Benih itu ada di tanganku. Rasanya dingin, seperti batu yang telah lama terkubur di kedalaman bumi.
Aku menatap notifikasi biru yang muncul di hadapanku.
.
.
.
.
----------------------------------
Benih Pohon Dunia – Corrupted Seed
----------------------------------
Deskripsi:
Benih ini dipercaya berasal dari Pohon Dunia yang hilang, pohon sakral yang menghubungkan dunia dengan alam semesta. Awalnya penuh kehidupan, benih ini kini terkorupsi oleh energi gelap dari ruang terlarang, merusak harmoni dunia.
Mereka yang mencoba menggunakannya akan terbelenggu dan terperangkap dalam kegelapan abadi. Namun, sebagai imbalannya, mereka akan mengendalikan takdir, mengubah jalan dunia sesuai kehendak mereka.
----------------------------------
Ikatan Jiwa: Kailendra Ador Saputra (Permanen hingga korupsi dalam benih berhasil disucikan).
----------------------------------
Efek : Pengguna dapat memanipulasi energi gelap untuk menyerang atau bertahan, menciptakan ledakan atau perisai yang kuat. Namun, pengguna akan mengalami pertumbuhan energi gelap di dalam tubuhnya, membuatnya dihantui mimpi buruk dan ancaman penguasaan total oleh energi gelap tersebut.
----------------------------------
Informasi Menyucikan: Akses Ditolak
Syarat : Kelas Mencapai Tier 5
----------------------------------
Kode Sensor AEN-4F56 - Informasi Terlarang
----------------------------------
.
.
.
,
Aku menatap notifikasi itu dengan tatapan kosong, mencoba memahami arti dari setiap kata yang muncul.
.
.
.
.
Pohon Dunia....
.
.
.
.
Nama itu... entah kenapa terasa akrab.
Pikiran-pikiran tentang dongeng masa kecil dan cerita rakyat kuno muncul di kepalaku.
Kisah yang sering dianggap hanya mitos oleh kebanyakan orang.
Pohon Dunia, konon katanya menjadi sumber segala kehidupan, sebuah keajaiban yang menghubungkan dunia ini dengan dimensi lain.
Namun, kini aku berdiri di sini, memegang bukti nyata di telapak tanganku.
Benih ini... terasa hidup, tetapi tidak seperti kehidupan yang hangat dan penuh harapan.
Sebaliknya, ada aura gelap dan mencekam yang terus menyelimuti setiap inci keberadaannya.
Saat aku membaca lebih jauh, aku semakin merasa seperti terjerumus ke dalam lubang kegelapan.
"Ikatan Jiwa... Permanen?" gumamku, suaraku bergetar.
Panik mulai menguasai diriku.
Aku menatap telapak tanganku, benih itu terasa seolah menyatu dengan jiwaku.
"Diego!" Aku hampir berteriak, menoleh padanya yang tengah mencoba mengatur napas.
"Aku... aku terikat pada benda ini!"
Diego bingung dan langsung panik.
"Apa maksudmu, Kai?" tanyanya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
"Aku tidak tahu! Aku hanya... hanya membaca informasi yang muncul! Ini berbicara tentang 'Ikatan Jiwa'! Tentang energi gelap yang bisa tumbuh di dalam tubuhku!" Aku menjelaskan dengan cepat, kata-kataku hampir tak teratur.
Aku tak tahan lagi.
Dengan refleks, aku melempar benih itu ke tanah.
Namun, alih-alih jatuh dan berhenti di sana, benih itu lenyap seketika.
Aku menatap kosong tanah di depanku, berharap benda itu benar-benar hilang.
Tetapi harapan itu hancur saat aku merasakan sesuatu yang dingin kembali ke telapak tanganku.
Benih itu ada di sana lagi, seakan menolak untuk pergi.
"APA-APAAN INI?!" aku berteriak, kali ini benar-benar panik.
Aku mencoba melemparnya lagi, dan lagi, tetapi hasilnya selalu sama.
Benda itu kembali, seolah-olah aku adalah pemilik sahnya, atau lebih tepatnya, tahanannya.
Diego mendekat dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
"Biar aku coba—" katanya sambil menjulurkan tangan.
Saat jarinya nyaris menyentuh benih itu, wajah Diego mendadak berubah, penuh rasa sakit.
Dia terhuyung mundur, memegangi lengannya sambil mengerang keras.
"AARRGH!" Diego mundur sambil memegangi tangannya.
Aku menatapnya dengan mata membelalak.
"Diego! Kau baik-baik saja?!" tanyaku panik, mendekatinya.
"Aku... aku tidak tahu," katanya dengan napas tersengal.
Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Rasanya... seperti sesuatu menarik energiku."
Aku menatap benih itu dengan ngeri.
"Apa sebenarnya benda ini...?"
Diego menggeleng, lalu dengan susah payah berusaha bangkit.
"Kai, kau harus menjelaskan semuanya padaku. Apa yang terjadi di sana? Apa yang kau lihat sebelum mengambil benda itu?"
.
.
.
.
Aku menoleh padanya, menyadari bahwa dia menatap benih itu dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Aku menatapnya ragu, tetapi akhirnya menghela napas.
"Jadi..."
Dengan cepat, aku mulai menceritakan semuanya, dari penglihatanku tentang serangga penjaga, sampai transformasi sang ratu menjadi sumber kehancuran, dan bagaimana aku berhasil menemukan benih ini di tubuhnya.
Kali ini aku menjelaskan semuanya.
Aku tidak meninggalkan detail apa pun.
.
.
.
.
Diego mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian.
Setiap kata yang kuucapkan terasa seperti beban berat yang kugulingkan ke arahnya, dan meskipun dia mencoba terlihat tenang, aku bisa melihat sorot matanya yang penuh kekhawatiran semakin dalam.
"Jadi, benih ini... masih terkorosi oleh energi gelap?" tanyanya pelan, nada suaranya penuh kehati-hatian, seolah tak ingin memperburuk kegelisahanku.
Aku mengangguk, enggan menjawab dengan kata-kata.
Lidahku terasa kelu.
Rasanya seperti mengakui sesuatu yang tak bisa kuhindari, sesuatu yang sudah sejak awal terasa salah.
"Aku tidak berpikir sejauh itu," gumamku akhirnya, menundukkan kepala.
"Aku hanya... aku hanya merasa harus mengambilnya. Siapa tahu ini hal penting." Pandanganku tertuju pada benih di telapak tanganku, kecil tetapi terasa begitu berat, seperti membawa kegelapan dunia di dalamnya.
"Memang penting sih tapi....." lanjutku, rasa penyesalan mulai menjalari pikiranku.
Diego diam sejenak, lalu menghela napas panjang.
Ia menatapku dengan sorot mata yang aneh—campuran antara simpati dan ketegasan.
"Yah, aku juga nggak bisa menyalahkanmu," katanya akhirnya, mencoba tersenyum sambil menggaruk lehernya.
"Kalau aku berada di posisimu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Apa yang sudah terjadi, ya sudah. Sekarang, kita fokus ke apa yang bisa dilakukan selanjutnya."
Aku mengangkat kepala, menatapnya.
Ada ketenangan dalam suaranya yang, meskipun sederhana, mampu sedikit meredakan badai di kepalaku.
Namun, aku tetap merasa bersalah.
"Kalau benda itu memang terikat padamu," lanjutnya,
"berarti ini tugas kita untuk menemukan caranya. Kita akan menyucikannya, Kai. Jangan khawatir. Hanya soal waktu sebelum kita tahu apa yang harus dilakukan."
Aku mengangkat wajah, menatapnya.
"Diego," panggilku dengan suara lemah.
"Kau tidak perlu bertanggung jawab Diego. Aku yang salah. Aku yang membawanya ke sini."
Diego menggeleng, senyum kecil muncul di wajahnya.
"Kau benar. Tapi apa kau pikir sebagai teman, aku akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian?" Dia menepuk pundakku dengan ringan.
"Kita ada di sini bersama. Jadi, tanggung jawabmu adalah tanggung jawabku juga."
Diego tersenyum dengan penuh keyakinan.
"Kita hanya perlu lebih kuat," kata Diego lagi. Kali ini, nadanya lebih optimis.
"Tingkatkan tier kelas kita. Sampai tier lima. Buka semua informasi yang tersembunyi. Setelah itu, kita lihat langkah apa yang harus kita ambil."
Ucapan Diego memang benar.
Tidak ada jalan lain selain terus maju.
Aku berusaha mengalihkan suasana dengan sedikit bercanda, meskipun hatiku masih berat.
"Setidaknya ini membantu kita memahami apa yang terjadi," ujarku dengan nada ringan.
"Apa aku sekarang seperti penerus Ratu Voraxes? Untung saja tidak ada elf di sini, kalau tidak—"
Tiba-tiba, pikiranku terhenti.
Sebuah pikiran baru muncul begitu saja, menghentikan ucapanku.
"Tunggu," potongku cepat.
Aku menatap Diego dengan mata yang membelalak.
"Kalau serangga ini bisa sampai ke Bumi... menurutmu, apakah elf juga bisa?"
Diego mematung.
Wajahnya perlahan berubah, dari kebingungan menjadi ketegangan.
Matanya melebar, seolah menyadari sesuatu yang mengerikan.
Aku merasakan hal yang sama—ketakutan yang perlahan merayap ke dalam pikiranku.
.
.
.
.
Kami saling menatap dalam diam cukup lama, sampai akhirnya ketegangan itu terasa tak tertahankan.
Pikiran bahwa makhluk seperti elf mungkin ada di sekitar kami membuat bulu kudukku meremang.
Hampir bersamaan, kami refleks memutar kepala, memeriksa sekeliling gua dengan cemas.
Memeriksa apakah ada sesuatu yang mengawasi kami, meskipun mungkin itu hanya paranoia.
"Bukankah lebih baik kita pergi dari tempat ini?" usulku dengan suara gemetar, meskipun aku berusaha terdengar tegar.
Diego, yang biasanya lebih tenang dariku, ternyata terlihat lebih panik.
Bahkan sebelum aku menyadarinya, dia sudah meraih tasnya dan mulai membereskan barang-barangnya.
Saat dia menyadari tatapanku, dia hanya berkata dengan senyumannya,
"Ayo kita keluar."
.
.
.
.
Kami tidak membuang waktu lagi untuk berkemas dan segera meninggalkan stasiun bawah tanah itu.
Aku menaruh benih di kantung celanaku, toh jika jatuh, dia akan kembali lagi.
Gempa kecil terus mengguncang tanpa henti, membuat dinding-dinding stasiun bergetar.
Batu-batu kecil berjatuhan dari langit-langit, menambah kecemasan yang menggumpal di dadaku.
Kami harus segera pergi sebelum tempat ini berubah menjadi kuburan kami
Namun, sebelum benar-benar keluar, aku menyempatkan diri untuk memeriksa sisa-sisa persediaan yang masih layak digunakan.
Makanan kaleng, botol-botol air mineral, dan apa pun yang bisa kami bawa, semua kujejalkan ke dalam ransel seseorang yang ku ambil.
Peluang untuk bertahan hidup akan sangat tergantung pada apa yang kami bawa saat ini.
Aku tahu, di luar sana, dunia sudah berubah.
Aku melihat bangunan bangunan banyak yang runtuh, gedung gedung yang tinggi runtuh, dan banyak orang berlarian terluka menuju jalan terbuka agar tidak tertimpa bangunan.
Begitu kami melangkah keluar dari stasiun, aku terkejut.
.
.
.
.
Pemandangan di luar lebih buruk dari yang kubayangkan.
Bangunan-bangunan yang dulu menjulang kini telah runtuh, menjadi puing-puing yang berserakan di mana-mana.
Jalanan penuh dengan debu, pecahan kaca, dan tubuh-tubuh yang tergeletak tanpa nyawa.
Beberapa orang berlarian dengan luka di tubuh mereka, mencoba mencari perlindungan di ruang terbuka.
Jeritan minta tolong bercampur dengan suara gemuruh reruntuhan, menciptakan harmoni mengerikan yang membuat perutku terasa mual.
Diego berdiri di sampingku, wajahnya pucat pasi.
Namun, sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, sebuah notifikasi muncul di hadapanku.
.
.
.
.
----------------------------------
Pemberitahuan
----------------------------------
Terdapat 13 titik zona aman di daerah Jakarta, ditandai dengan pertanda titik hijau di atas.
Harap segera menuju area tersebut sebelum waktu habis.
Anda akan diarahkan ke titik terdekat.
----------------------------------
Zona terdekat: 454 meter ke arah utara.
----------------------------------
.
.
.
.
Diego membaca notifikasi yang sama di pergelangan tangannya.
Matanya menyipit, menganalisis kata-kata yang muncul di layar.
"Zona amannya cukup dekat," kataku, mencoba menyusun rencana cepat di tengah suasana yang penuh ketidakpastian.
"Apakah ini di dekat pantai utara? Kalau iya, bagaimana kalau kita langsung ke sana?" tanyaku, nada suaraku penuh harap, meskipun kecemasan jelas terdengar.
Diego mengangguk, wajahnya tetap tegas.
"Nampaknya iya. Baiklah, ayo kita bergerak."
Kami mulai melangkah cepat, hampir seperti setengah berlari.
Langit yang suram dan udara yang berat menambah rasa sesak dalam setiap napas.
Meski jarak ke zona aman hanya sekitar 400 meter, tekanan situasi membuat langkah terasa lambat dan berat.
Seakan dunia sedang mengawasi kami, menunggu saat kami melakukan kesalahan yang berujung fatal.
Ketika kami melewati jalan yang penuh dengan reruntuhan, tiba-tiba suara lemah terdengar, seperti sebuah rintihan yang nyaris tenggelam dalam kebisingan kota yang hancur.
Saat itu, sebuah suara lemah memecah kebisingan.
"Tolong... tolong aku..."
Aku langsung menghentikan langkah.
Diego juga mendadak berhenti, matanya mencari-cari sumber suara.
"Kau dengar itu?" bisikku.
Diego mengangguk sambil memandang ke sekeliling.
"Ya, aku dengar. Tapi dari mana?"
Aku memusatkan perhatian, berusaha menangkap jejak emosinya, sebuah kemampuan yang aku sendiri masih sulit pahami.
"Di sana, ada seseorang di balik itu," kataku, menunjuk ke arah reruntuhan besar.
Aku bisa merasakan emosi yang datang darinya, emosi ingin hidup yang begitu kuat, meski diliputi ketakutan.
Tanpa membuang waktu, kami berlari menuju reruntuhan itu.
Diego langsung menunjukkan keahliannya.
Ia meraih salah satu balok besar yang menutupi reruntuhan itu dengan tangan yang kuat, lalu mengangkatnya dengan tenaga luar biasa.
"Tolooong... kumohon..." Suara itu semakin jelas. Kali ini terdengar seperti suara perempuan, penuh kepanikan, ketakutan, dan sedikit keputusasaan.
"Mohon bertahan, kami di sini untuk menolong. Apa kau sendirian di sana?" tanyaku, suaraku bergetar namun tetap mencoba terdengar meyakinkan
"Iya... aku sendirian.." jawabnya terisak.
Diego terus bekerja tanpa banyak bicara, menyingkirkan tumpukan reruntuhan dengan cekatan.
Ketika puing terakhir disingkirkan, sosok perempuan itu akhirnya terlihat.
Rambutnya berantakan, wajahnya berdebu, dan matanya sembab karena menangis.
Namun, yang paling mencolok adalah kakinya, terjepit oleh salah satu balok beton yang cukup besar.
"Diego, kakinya!" teriakku, segera menunduk untuk melihat lebih dekat.
Diego bergerak cepat.
Ia mengangkat balok itu dengan kedua tangan, membuatku kagum sekali lagi pada kekuatannya.
Ketika balok itu berhasil disingkirkan, aku segera memeriksa kaki perempuan itu.
Ada luka besar di bagian lutut hingga pergelangan kaki, meskipun untungnya tidak ada darah yang mengalir deras.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Hanya... hanya kakiku..." jawabnya terbata-bata, suaranya bergetar.
Ia tampak gemetar, mungkin karena rasa sakit atau syok yang ia alami.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih papan kayu yang tergeletak di jalan dekat kami.
Dengan cepat, aku mematahkannya menjadi dua bagian yang cukup panjang untuk dijadikan penyangga.
Aku mengambil kain dari tasku dan mulai membuat perban darurat untuk menyangga kakinya.
"Tahan... ini mungkin akan sedikit sakit," kataku lembut, mencoba memberinya keberanian.
Ia menggigit bibir bawahnya, jelas berusaha menahan rasa sakit.
Aku melakukan semua ini dengan refleks, berkat pelatihan dasar yang pernah kudapatkan di organisasi sekolah dulu.
Sebagai seseorang yang terbiasa hidup sendiri, aku selalu mempersiapkan diri untuk situasi seperti ini.
Itu sebabnya aku memuji kemampuan Diego ketika ia sebelumnya merawat luka bahuku.
"Hanya ini yang bisa kulakukan untuk mencegah pergeseran tulang lebih lanjut," kataku sambil mengencangkan ikatan perban dengan hati-hati.
"Untuk rumah sakit... aku tidak yakin apakah mereka masih beroperasi di saat seperti ini."
"Tidak apa-apa... terima kasih sudah menolongku," jawabnya, matanya mulai basah.
"Kupikir... kupikir aku..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, suaranya pecah karena emosional.
"Tenang, sekarang kau sudah aman," kataku, berusaha memberikan rasa tenang pada perempuan yang tampak ketakutan di hadapanku.
"Kai..." Diego memanggilku, suaranya lembut dan matanya memohon, seolah ingin memastikan bahwa aku tak akan meninggalkannya.
Aku tersenyum padanya, kemudian kembali menatap perempuan itu, merasa ada sesuatu yang berbeda darinya.
Tidak ada emosi gelap, seperti licik atau kebohongan yang biasanya aku temui pada orang-orang.
Seolah-olah, ia begitu murni, sangat bersih dari segala macam niat buruk.
Kedua kalinya aku bertemu dengan seseorang yang begitu jernih emosinya, setelah Diego.
.
.
.
.
Benar-benar luar biasa...
.
.
.
.
Aku tersenyum kecil.
"Bagaimana kalau kau ikut kami? Lagipula, kami sedang menuju zona aman," tawarku, mencoba membuatnya merasa lebih nyaman.
"Apakah... tidak merepotkan kalian? Aku... kakiku..." katanya, ragu-ragu, tampak khawatir akan menjadi beban bagi kami.
"Tak apa, zona amannya cukup dekat. Aku bisa menggendongmu," sahut Diego dengan senyum lebar karena aku berinisiatif menolong perempuan itu.
Perempuan itu tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena harus menerima bantuan kami.
"Terima kasih... maaf jika merepotkan kalian," ujarnya dengan suara pelan, penuh rasa terima kasih.
Diego pun segera melepaskan tasnya, siap membantu menggendongnya.
"Biarkan aku yang bawa tas ini," kataku, meskipun sebenarnya aku juga membawa tas di punggungku.
Tapi rasanya, ini lebih baik untuk membuatnya merasa lebih ringan.
"Terima kasih," kata Diego dengan lembut, lalu dengan hati-hati ia menggendong perempuan itu di punggungnya dengan hati hati.
Aku menoleh ke arah perempuan itu, merasa sudah saatnya untuk mengenalnya lebih baik.
"Oh iya, aku lupa bertanya, namamu siapa?" tanyaku.
"Ah... namaku Ayla, Ayla Moreau," jawabnya, mengangkat kepala sedikit dan memberikan senyum tipis yang terasa tulus.
Moreau, nama yang tidak begitu familiar di sini, gumamku.
"Oh.... salam kenal, Ayla. Namaku Kai Kalendra, dia Diego," kataku sambil memperkenalkan diri, berusaha menunjukkan keramahan.
Ayla tersenyum, meskipun ada kekhawatiran yang masih tampak di matanya.
"Salam kenal, Kai, Diego," katanya, suaranya terdengar lebih tenang setelah perkenalan kami.
"Kita harus cepat, sebelum waktu habis..." ujarku, mataku melirik ke waktu yang menunjukkan tiga menit tersisa.
.
.
.
.
----------------------------------
00:04:00
----------------------------------
.
----------------------------------
00:03:59
----------------------------------
.
.
.
.
Kami terus berlari, napas kami terengah-engah, setiap langkah semakin berat, tetapi kami tidak bisa berhenti.
Aku memimpin, melihat ke depan, dan akhirnya... pantai itu, terbentang di depan mata kami.
Parameter menunjukkan hanya 209 meter lagi. Kami hampir sampai.
Tapi tiba-tiba, tanah di bawah kaki kami berguncang dengan kekuatan yang luar biasa, lebih kuat dari sebelumnya.
Gempa itu datang dengan kekuatan yang sangat besar.
Aku hampir terjatuh, berusaha menyeimbangkan tubuh yang semakin tak terkendali.
Suara gemuruh dari dalam tanah membuat telinga kami berdenging, namun yang lebih menakutkan lagi datang setelah gempa itu berhenti.
Aku menatap ke arah pantai.
Air laut, yang tadinya tenang, tiba-tiba menyurut dengan sangat cepat, terlalu cepat, jauh lebih cepat daripada yang seharusnya.
Tubuhku langsung merinding, darah terasa membeku dalam sekejap.
.
.
.
.
Tanpa berpikir panjang, aku berteriak sekuat tenaga, berharap suara ku sampai ke mereka.
"DIEGO! AIR PANTAI!!!" teriakku, suaraku serak dengan ketegangan.
Diego segera menoleh, begitu pula Ayla yang digendongnya.
Mereka tampak terkejut apa yang sedang terjadi.
Namun, aku tahu waktu kami sangat terbatas.
"T-TSUNAMI! TSUNAMI AKAN DATANG! LARI!!!" teriakku, menarik lengan Diego dengan cepat, mencoba membangunkannya dari kebingungannya.
Kami tidak punya waktu untuk ragu, tidak ada pilihan lain selain melarikan diri.
Diego akhirnya sadar dan, meski masih terkejut, ia langsung bergerak cepat.
Dengan posisi Ayla yang kini semakin rapat di punggungnya, Diego berlari dengan segenap kekuatan yang ia miliki.
Ayla, yang digendong, wajahnya pucat pasi, matanya terbuka lebar.
"Ombak... ombak besar datang..." katanya dengan suara gemetar, matanya tak lepas dari horizon yang mulai gelap.
Kami terus berlari, seolah kaki kami tidak cukup cepat untuk menghindari bencana yang datang dengan begitu cepat.
Aku melihat ke samping, dan benar, ombak itu datang, meluncur dengan kecepatan yang membuat tubuhku merinding.
Aku menunjuk ke depan, berusaha untuk tetap tenang meski tubuhku dipenuhi kecemasan.
"ITU ZONA AMANNYA!" seruku, mataku tertuju pada area di depan yang tampak mencolok di tengah kekacauan.
Sebuah kubus cahaya hijau mengelilingi bangunan besar yang berdiri kokoh, menyerupai benteng.
Bangunan itu dirancang dengan struktur yang terangkat cukup tinggi dari permukaan tanah, dengan fondasi beton kokoh yang menopang seluruhnya.
Dari kejauhan, aku melihat sebuah tangga kecil di luar zona aman itu. Tangga itu terbuat dari logam, dipasang menempel pada sisi bangunan dengan kemiringan yang cukup curam.
Di sana, aku melihat keatas disana banyak orang berkumpul, beberapa tampak terpana oleh ombak besar yang datang.
Kami harus sampai di sana.
Tidak ada pilihan lain.
Meskipun aku tidak tahu apakah zona itu benar-benar akan menyelamatkan kami, setidaknya itu adalah satu-satunya harapan yang ada.
Kami harus berusaha, meskipun itu mungkin tidak cukup.
Kami berlari, meskipun kami tahu kami tidak akan bisa secepat ombak itu.
Kecepatan kami jauh tertinggal.
Parameter menunjukkan 103 meter lagi, 100 meter... masih ada waktu sedikit, masih ada sedikit harapan.
"Ayolah..." bisikku dalam hati, berlari kearah tangga dan memohon agar kami bisa selamat.
.
.
.
.
Aku melihat ke arah zona aman itu, dan terlihat beberapa orang sudah mulai menyadari kami.
Tatapan mereka, mata-mata yang penuh dengan kasihan dan keprihatinan, seperti mengatakan bahwa kami tidak akan sempat.
Aku benci mengakui itu, tetapi kenyataannya memang seperti itu.
Ombak itu datang dengan begitu cepat, seakan jarak antara kami dan zona aman tidak lebih dari sehelai rambut.
Aku tahu, kami mungkin tak akan sempat.
Dan, walaupun tubuhku terasa berat, meskipun napasku sesak, aku terus berlari.
Aku terus berlari, meski aku tahu perjuangan kami mungkin sia-sia.
Tak ada yang bisa menghentikan ombak yang datang dengan begitu ganas.
Dan akhirnya, aku mendengar suara itu suara ombak yang menghantam daratan, begitu keras dan memekakkan telinga.
Suara gemuruh yang semakin mendekat, semakin mengerikan, seolah itu adalah akhir dari semuanya.
"Maafkan aku, karena aku kalian..." suara lirih Ayla terdengar olehku meski suara ombak lebih besar darinya.
Emosi bersalah dan penyesalan terlukis jelas di suara dan emosi yang kurasakan, seolah dia merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi, sedih karena orang lain harus berkorban demi dirinya.
.
.
.
.
Whooooosh...