Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 10 - Chapter 9

Chapter 10 - Chapter 9

Ombak raksasa itu mendekat, menghempas dengan kekuatan yang melampaui imajinasi, melebihi tinggi bangunan didalam zona aman, dan menghantam dengan dahsyat.

Aku menyaksikan air bergelombang seperti dinding besar yang mengamuk, menggulung segala sesuatu di jalannya.

Suara gemuruhnya menggema di telingaku, memekakkan dan memacu adrenalinku.

Namun, zona aman itu tetap berdiri tegak.

Cahaya hijau yang menyelimutinya menciptakan dinding pelindung yang memecah air dengan kokoh, menahan terjangan ombak.

Kami bertiga, Ayla, Diego, dan aku, berlari di sisi menuju sisi kiri zona aman, tepat di luar perlindungannya.

Ombak itu seperti monster hidup yang bergerak liar, mengancam untuk melumat kami tanpa ampun.

"Diego..." bisikku, nyaris tak terdengar di tengah kekacauan.

Suaraku bergetar, begitu pula tubuhku.

"Lihat air itu," jawab Diego, nadanya penuh ketakutan.

Matanya terpaku pada ombak yang semakin mendekat.

Ayla, yang masih digendongnya, hanya bisa berbisik pelan,

"Ombak... ombak besar... datang."

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meskipun jantungku terasa seperti akan meledak.

"Tidak ada jalan keluar," pikirku.

Aku bersiap menerima hantaman air yang akan segera menelan kami.

Namun, yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan.

.

.

.

.

Ombak itu tidak menghantam kami.

Sebaliknya, air itu berhenti tepat di hadapan kami dan mengalir mengelilingi sekitar kami, menciptakan ruang kosong, seperti sebuah gelembung pelindung tak terlihat.

Angin dingin yang membawa aroma garam laut tiba-tiba terhenti.

Aku berdiri mematung, takjub dan bingung.

.

.

.

.

Kekuatan apa yang melindungi kami?

Siapa yang menciptakan ini?

Atau... apa?

.

.

.

.

"Kai..." Diego memanggilku dengan nada tidak percaya.

"Apa ini? Apa yang sedang terjadi?"

"Aku tidak tahu!" jawabku, suaraku masih bergetar.

Mataku mengawasi air yang terus bergolak di luar area ini.

Tanpa waktu untuk berpikir lebih jauh, aku tidak mengharapkan pelindung ini bertahan lama, aku mencari cara supaya kami bisa masuk zona aman.

Dan benar aku menyadari sesuatu, pelindung itu semakin kecil.

Seolah ada batas waktu yang memaksa kami untuk segera bertindak.

Aku melihat ke depan dan mataku tertuju pada tangga yang menjadi satu-satunya akses menuju zona aman.

Dewi keberuntungan sepertinya masih berpihak pada kami.

Syukurlah, kekuatan tak terlihat itu juga melindungi tangga tersebut dari terjangan air.

"Kita tidak punya waktu untuk mencari tahu. Lihat ke depan!" Aku menunjuk ke arah tangga yang terlihat jelas menuju zona aman.

"Itu satu-satunya jalan. Kita harus masuk zona aman!!!"

Kami mulai berlari, dan yang membuatku semakin terheran adalah area itu bergerak bersama kami, seolah mengikuti setiap langkah.

Di atas tangga, aku melihat kerumunan orang yang berkumpul di dalam zona aman.

Sebagian besar dari mereka tampak cemas, menatap ke arah kami dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

Beberapa lainnya hanya berdiri diam, wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu yang bercampur ketakutan.

Namun, aku tak punya waktu untuk memedulikan tatapan mereka.

Fokusku hanya satu yaitu memastikan kami bertiga selamat.

Aku merasakan beratnya udara di sekeliling, seolah-olah semua ketegangan dunia sedang menekan dadaku.

Aku memutuskan untuk bertindak cepat.

Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku melemparkan tas Diego yang kupegang ke atas tangga.

Seorang pria bertudung, berdiri di ujung tangga, menangkapnya dengan cekatan tanpa sepatah kata pun.

Aku memanjat tangga dengan cepat, jantungku berpacu.

Sesampainya di atas, aku berbalik dan mengulurkan tangan untuk membantu Diego.

Diego, dengan Ayla di punggungnya, menyusul di belakangku. aku melihat area itu semakin menyusut, sangat kecil sekarang.

"Ayo, Diego! Pegang tanganku!" Aku menariknya sekuat tenaga, sementara gelembung pelindung itu terus menerus mengecil seperti bola yang menyusut.

Area itu menyusut dan lenyap tepat saat kami masuk ke dalam zona aman.

Dalam sekejap, air menghantam tangga dengan kekuatan brutal, menghancurkannya dan meninggalkan dinding air tinggi yang mengelilingi zona ini.

Kami terjatuh di lantai bangunan zona aman, terengah-engah, kelelahan namun selamat.

Diego dengan hati-hati menurunkan Ayla dari punggungnya, membiarkannya bersandar pada dinding.

Wajah Ayla tampak sangat pucat, seperti kehilangan semua warna.

Napasnya tersengal-sengal, dan matanya setengah tertutup.

"Ayla..." bisikku, merasa panik.

"Kau baik-baik saja?"

Dia mengangguk lemah, suaranya nyaris tak terdengar.

"Kita... kita selamat..." katanya dengan napas yang terputus-putus.

Orang-orang di sekitar kami mulai mendekat, membentuk lingkaran.

Menampilkan berbagai emosi, kekhawatiran, rasa ingin tahu.

"Apa yang terjadi di luar sana?" tanya seorang pria berambut putih dengan nada cemas.

"Apa-apaan itu... bagaimana mungkin?" gumam seorang wanita sambil menunjuk ke arah kami.

Aku menggeleng pelan, tidak tahu harus menjawab apa.

Pikiran-pikiranku masih kacau, mencoba memahami keajaiban yang baru saja terjadi.

Namun, pria bertudung yang tadi menangkap tas Diego melangkah maju.

Aura yang terpancar darinya begitu kuat, hampir mendominasi atmosfer.

Dia menatap kerumunan dengan tajam, dan seolah-olah tanpa sepatah kata pun, dan kerumunan itu langsung ketakutan dan bubar.

Namun, aku tak punya waktu untuk memikirkan sikap pria itu.

Perhatianku tertuju pada Ayla yang tampak semakin lemah.

Dia berkeringat deras, tubuhnya gemetar, dan matanya mulai terpejam.

"Ayla apa kau baik baik saja???" tanyaku, mengguncang bahunya dengan lembut.

Dengan suara hampir tak terdengar, Ayla menjawab,

"Air... aku butuh air..."

Aku langsung tersentak.

"Ada ditas, di mana—oh!" Aku berbalik, mencari tas yang tadi kulempar.

Sebelum aku sempat bertanya, pria bertudung itu kembali muncul, menyerahkan tas itu kepadaku tanpa sepatah kata pun.

"Terima kasih," kataku singkat sebelum membuka tas dengan tergesa-gesa.

Aku mengeluarkan botol air dan segera membukanya.

"Ayla, ini... minumlah perlahan," ucapku sambil membantunya meneguk air.

Awalnya, tangannya begitu lemah hingga aku harus memegang botol itu untuknya.

Namun, perlahan, energinya seperti kembali.

Dia meraih botol itu dengan tangannya sendiri dan mulai meminum air dengan rakus, seperti seseorang yang baru saja kembali dari ambang kematian.

"Hah... hah... aku lebih baik sekarang," kata Ayla sambil mengembuskan napas panjang. 

Aku dan Diego saling bertukar pandang.

Aku bisa melihat kekhawatiran yang sama di matanya.

Ada sesuatu yang terjadi pada Ayla, sesuatu yang belum kami pahami.

"Aku akan mengambil botol lain," kataku, mengambil botol lain dan menyerahkan nya ke Diego.

"Minumlah juga. Kau pasti sangat lelah."

Diego mengangguk.

"Terima kasih, Kai." Dia meneguk air itu dengan tenang, berbeda dengan Ayla.

Setelah minum beberapa teguk, dia menyerahkan sisanya kepadaku.

"Kau juga harus minum," katanya.

Aku mengangguk dan menenggak air itu, membiarkan kesegarannya mengalir melalui tenggorokanku.

Setelah beberapa saat, kami bertiga duduk diam, berusaha mengatur napas.

Namun, pikiranku masih penuh dengan pertanyaan.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Apa kekuatan misterius yang melindungi kami?

Dan yang terpenting... apa yang terjadi pada Ayla?

.

.

.

.

Kami masih mengatur napas dan beristirahat, sementara pria bertudung yang sebelumnya memperhatikan kami, kini melangkah pergi, seolah memberi kami waktu untuk memahami apa yang baru saja terjadi.

Ketika ketenangan mulai menyelimuti kami, aku memecah keheningan.

"Ayla... tadi... apakah itu..." tanyaku, tak mampu menyelesaikan kalimat itu, memandang Ayla yang juga tampak bingung, begitu pula Diego yang memandangnya dengan penuh rasa penasaran.

Ayla menatap kami, wajahnya tampak bingung, seolah ia sendiri tak tahu apa yang baru saja terjadi.

"Ah, aku benar-benar tidak tahu...."

"S- satu-satunya yang kubisa jelaskan adalah saat area yang melindungi kami muncul, rasanya seperti ada kekuatan yang menghisap energiku begitu cepat," katanya, dengan kebingungannya yang tak bisa disembunyikan.

Kami semua diam sejenak.

Mungkin orang lain akan meragukan kata-katanya, mungkin mereka akan menganggapnya sebagai kebohongan atau ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Namun aku tahu emosi darinya mengungkapkan bahwa ia tidak sedang berbohong, murni kebingungan, ingin bertanya, tapi harus memberi penjelasan.

"Apa kamu sudah melihat profil karaktermu?" tanyaku mencoba memberi petunjuk.

"Ah... apakah itu di layar biru aneh itu?" Ayla bertanya dengan ragu.

"Ya, apakah kamu belum sempat melihatnya?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya, aku tidak sempat—"

"Sebelum aku bisa memahami apa yang sedang terjadi, gempa sudah dimulai, bangunan runtuh, dan— aku— tertimpa salah satu reruntuhan itu. Fokusku hanya pada meminta pertolongan, sampai akhirnya kalian datang untuk menolongku—"

"Terima kasih banyak, aku benar-benar berhutang budi pada kalian," jawabnya, ekspresinya menunjukkan rasa bersalah, kepalanya tertunduk seolah ia merasa bertanggung jawab atas segalanya.

"Sungguh malang..." kataku prihatin.

"Apakah hal itu masih bisa dilihat sekarang?" tanya Ayla, tampak ingin memastikan segalanya.

"Ya, coba cek profil karaktermu di layar," jawabku.

Aku melihat Ayla mengetuk angin di depannya, seolah mencoba mengakses layar itu.

Beberapa detik kemudian, ia membacanya dengan hati-hati.

"Tertulis namaku Ayla Moreau, tahun kelahiranku 9 Oktober 2004. Dikatakan, kelasku adalah Hydromancer. Pada tahap awal, individu yang dipilih diberi kemampuan untuk berhubungan dengan elemen air. Mereka dapat mengendalikan dan berinteraksi dengan air di sekitar mereka, baik untuk menyerang maupun mempertahankan diri. Namun, kekuatan ini datang dengan biaya, semakin lama mengendalikan air, semakin besar dampak dehidrasi yang akan dialami. Dan... skillku terkunci," katanya, dengan suara yang mulai stabil, dan sadar bahwa itu karena kekuatannya.

Aku merasa lega. Sekarang semuanya masuk akal.

"Ah, sekarang semuanya lebih jelas... "

"Syukurlah kamu bersama kami, Terima kasih, Ayla," kataku sambil tersenyum.

"Benar... Terima kasih, Ayla," Diego ikut tersenyum.

Ayla terkejut, tidak menyangka kami akan berterima kasih padanya.

"Tapi kalian seharusnya bisa sampai lebih cepat jika tidak menolongku..." katanya, masih merasa bersalah.

"Hei... kami tidak menyesal menolongmu. Itu keputusan kami sendiri, dan kami ingin melakukannya. Kalau ada penyesalan, itu seharusnya pada diri kami sendiri, bukan pada kamu," kata Diego dengan tegas, wajahnya serius.

"Betul... Kami tidak menyesal sama sekali. Bahkan, rasanya kami berhutang budi padamu, karena kamu menyelamatkan kami berdua sekaligus," sambungku, memberikan senyuman tulus.

Ayla menatap kami dengan bingung.

"Ah... kalian tidak berhutang budi. Akulah yang berhutang budi," katanya, suaranya penuh tekad meskipun masih ada rasa bersalah di wajahnya.

"Bagaimana kalau kita saling impas saja? Kami sudah menolongmu, dan kamu sudah menolong kami. Tidak ada yang berhutang budi," kataku dengan ringan.

"Betul, kita saling bantu," Diego menambahkan.

"Ta-tapi..." Ayla ragu-ragu.

"Shhh, anggap saja sekarang kita impas," kataku sambil tersenyum, mengalihkan perasaan beratnya.

"Terima kasih... terima kasih banyak sekali lagi..." ucapnya dengan tulus.

Namun aku merasakan perubahan emosinya, menjadi lebih sedih.

"Karena sekarang sudah aman, kalian tidak perlu mengurusku lagi, kalian bisa pergi," lanjutnya, emosinya sedih, enggan merepotkan kami lebih lama.

Diego langsung menatapnya dengan ekspresi khawatir.

"Tidak! Mana bisa kami meninggalkan penyelamat kami? Kakimu juga belum sembuh, bagaimana kau akan bertahan hidup kalau begitu?" kataku dengan tegas, menunjukkan kekhawatiran yang tulus.

"Suka atau tidak suka kami sekarang dipaksa berteman dalam situasi yang kacau ini. Teman tidak meninggalkan temannya dalam kesusahan," lanjutku, menyampaikan keyakinanku dengan suara yang mantap.

Diego di sampingku tersenyum bangga, emosinya terbaca olehku seperti seorang ayah yang bangga melihat anaknya bertindak bijaksana.

.

.

.

.

Diego.... sudah kuduga ada yang salah dengan otaknya.....

.

.

.

.

Aku berusaha untuk tidak peduli dengan ekspresi bangga itu dan lebih fokus pada Ayla.

Tiba-tiba, aku melihat Ayla meneteskan air mata, wajahnya penuh dengan emosi.

"Teman ya..." ucapnya dengan suara lirih.

"Terima kasih... terima kasih... Aku akan membalasnya suatu hari nanti, aku berjanji..." katanya sambil terisak.

Aku tidak mencoba menenangkannya, karena aku tahu ini adalah cara Ayla melepaskan beban emosinya.

Diego sepertinya sepemikiran denganku, membiarkannya menangis untuk melepaskan kesedihannya.

Aku berdiri, lalu menatap ke arah cahaya hijau yang membentuk dinding air yang cukup tinggi, kurang lebih setinggi Diego dari lantai bangunan yang kami injak.

Kami seolah-olah terperangkap di dalam akuarium kering, sementara di luar sana, air mengelilingi kami.

"Sekarang, fokus kita adalah bertahan hidup. Bagaimana kita melanjutkan hidup setelah ini," kataku dengan senyum yang kecut dan pahit, lalu berbalik untuk melihat kerumunan yang mulai berkumpul di tengah lapangan.

Mereka sedang berdiskusi, mencoba merencanakan langkah selanjutnya.

Ayla yang sudah lebih tenang juga mengalihkan pandangannya ke kerumunan itu, begitu juga Diego.

Saat aku melihat layar detik waktu yang terus berdetik, aku menyadari bahwa waktu kami semakin sempit.

.

.

.

.

----------------------------------

00:00:56

----------------------------------

.

----------------------------------

00:00:55

----------------------------------

.

.

.

.

"Haruskan kita bergabung dengan mereka?" tanyaku, suaraku bergetar samar.

Tatapanku bergantian tertuju pada Diego dan Ayla, dua sosok yang kini jadi sekutu dalam kekacauan ini.

Waktu terus berdetak seperti palu godam, menghantam nadi dengan irama mematikan.

Diego menatap lurus ke depan, wajahnya serius, rahangnya mengeras seperti seseorang yang baru saja mengambil keputusan berat.

"Lebih baik begitu," katanya tegas.

"Kita tidak bisa hanya berpangku tangan. Jika ada harapan untuk bertahan, itu dengan bekerja sama. Mereka mungkin punya informasi yang kita butuhkan."

Ayla tampak ragu, bola matanya bergerak gelisah, seperti mempertimbangkan ribuan kemungkinan buruk dalam sekejap.

Namun akhirnya, dia mengangguk pelan, suara gemetar keluar dari bibirnya.

"Aku setuju... Diego mungkin benar. Kita harus mencoba."

Diego tersenyum tipis, sekilas ketegangan di wajahnya melonggar.

"Baiklah, kalau begitu, ayo kita bergerak." Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia mengangkat Ayla dengan penuh hati-hati ke punggungnya.

"Pegangan yang erat," katanya lembut.

Aku mengangguk singkat sambil meraih tas Diego.

Rasanya tanganku tak mau berhenti gemetar karena hal tadi, tetapi aku paksakan diri untuk fokus.

Namun, setiap langkah membawa kami lebih dekat ke arah keramaian dan... harapan?

Atau justru bahaya baru?

.

.

.

.

Saat kami berjalan kesana, pria bertudung yang sebelumnya kami lihat berada di sana.

Dia duduk di atas tong kosong, posturnya santai, tetapi aura yang memancar darinya penuh teka-teki.

Tatapannya lurus ke arah kerumunan, seolah-olah dia sedang menilai dan memahami segala sesuatu dari balik bayangannya.

Diego berhenti sejenak untuk menurunkan Ayla, membiarkannya duduk di atas tong kosong lainnya agar bisa beristirahat.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Ayla mengangguk, meskipun wajahnya masih menyimpan kelelahan.

"Aku bisa bertahan," jawabnya pelan.

Salah satu orang dari kerumunan mendekati kami.

Pria itu terlihat berumur sekitar 40-an, dengan jenggot tipis dan mata tajam yang memancarkan otoritas.

Dia berbicara dengan suara yang rendah tetapi penuh kekuatan.

"Ah, kalian bertiga yang baru sampai. Selamat bergabung. Kami bersyukur kalian selamat."

Kata-katanya terdengar ramah, bahkan nada suaranya cukup meyakinkan.

Tapi tidak bagiku.

Aku merasakannya.

Gelombang emosi yang terlalu kuat untuk disembunyikan, bahkan dengan senyuman itu.

Rasa kesal yang membara, hampir seperti bara api yang ditutupi kain tipis—terlihat samar tapi jelas ada di sana.

Syukur? Tidak ada syukur di sana.

Hanya beban.

Beban tambahan yang membuat bahunya terasa lebih berat.

Kekesalan yang mendesak di sudut pikirannya, seolah-olah ia ingin berteriak.

"Lagi-lagi orang baru. Lagi-lagi aku harus memikirkan cara menjaga mereka hidup. Lagi-lagi aku harus berbagi apa yang bahkan tidak cukup untuk diriku sendiri."

.

.

.

.

Sifat manusia yang akrab....