Langit sore mulai memudar menjadi palet oranye keemasan, menyelimuti dunia dengan kehangatan yang perlahan sirna sebelum malam mengambil alih.
Namun, keindahan itu sama sekali tidak mengurangi ketegangan yang kini mengikatku di tempatku berdiri.
Di depan kami, seorang pria bertudung berdiri tegak, sikapnya penuh kewaspadaan, seperti sosok bayang-bayang dari kisah lama yang terlupakan.
Udara di sekeliling kami terasa berat, nyaris mencekik.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Namun, gerakan lambat tangannya, yang mulai menarik tudung dari kepalanya, seolah-olah membawa dunia ini menuju momen yang menentukan.
Saat tudung itu jatuh ke bahunya, sinar matahari sore memantulkan kilau dari rambutnya yang panjang dan keperakan, terlihat seperti untaian sutra yang menyerap setiap serpihan cahaya.
Wajahnya akhirnya terlihat jelas di bawah cahaya keemasan—indah, tajam, tetapi dingin.
Detik itu, suasana berubah drastis.
Kehangatan yang tadi terasa nyaman berganti menjadi ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.
Aku melirik Diego, berharap mendapatkan sedikit kepercayaan diri darinya.
Namun, dia justru berdiri kaku di tempat, rahangnya ternganga, dan matanya melebar.
"Kai..." gumamnya pelan, suaranya terdengar patah-patah.
"Apa maksudmu?" tanyaku, berusaha memahami apa yang ingin dia sampaikan.
Namun, aku tidak perlu menunggu jawabannya.
Tatapanku kembali tertuju pada pria bertudung itu—atau, lebih tepatnya, makhluk yang berdiri di depan kami.
Wajahnya yang anggun dan sempurna, dengan telinga panjang yang menjulang di kedua sisi kepalanya, membuat napasku tertahan.
Elf.
Jantungku berdegup kencang, hampir terasa menyakitkan di dalam dadaku.
Kilasan dari Vision yang menghantui pikiranku menghantam tanpa ampun.
Elf ada di sini.
Aku hanya berdiri terpaku, merasakan tubuhku seperti terikat oleh kekuatan tak kasatmata.
Ketakutan bercampur dengan kekaguman, menciptakan kekacauan dalam pikiranku.
.
.
.
.
Dia tidak tahu, kan?
Dia tidak tahu aku terikat pada benih itu kan?
Jika dia tahu… apakah aku akan dibunuh?
.
.
.
.
Diego, yang tampaknya merasakan ancaman yang sama, perlahan menarik diri sambil menyeret Ayla ke belakangku.
Langkahnya terasa berat, seperti ia tahu bahwa menjauh tak benar-benar berarti selamat.
Ayla hanya mengikutinya tanpa sepatah kata pun, tetapi genggaman tangannya di lengan Diego terlihat semakin erat.
Aku mendengus pelan, mencoba menahan kekesalan yang mendidih di dada.
Kenapa harus aku yang berdiri di depan?
Dengan napas panjang, aku mencoba mengusir gemuruh di dalam dada.
Tapi semua upaya itu sia-sia saat mereka muncul.
Dugaan yang menggerogoti pikiranku sejak awal kini menjadi kenyataan.
.
.
.
.
Ras Elf.
.
.
.
.
Seperti ras voraxes, mereka juga datang.
Sosok mereka berdiri angkuh, seperti pilar-pilar yang tak tergoyahkan.
Mereka datang dengan keanggunan sekaligus keangkeran yang tak terbantahkan.
Tak seperti voraxes yang cenderung liar, para elf membawa aura yang jauh lebih menusuk dan misterius.
Aku menggenggam kedua tangan di sisi tubuhku, berusaha meredam gemetar yang semakin tak terkendali.
Aura yang ia bawa terasa jauh lebih berat, lebih menekan, seolah-olah setiap tatapannya mampu membaca seluruh isi jiwaku.
Matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.
Rasanya sulit bernapas saat berada di bawah sorot matanya.
Ketika akhirnya aku memberanikan diri membuka mulut, suara yang keluar terdengar parau dan sedikit bergetar.
"Kamu... kamu..."
Ia menatapku.
Alisnya terangkat, memberikan ekspresi yang tidak hanya penuh rasa ingin tahu, tetapi juga mengandung penghinaan yang halus.
Dengan nada rendah, tetapi cukup tajam untuk menusuk gendang telinga, ia menjawab,
"Apakah aku terlihat seperti monster bagimu?"
Aku terdiam, mencoba memproses kata-katanya.
Di dalam hati, aku tahu harus memilih jawabanku dengan hati-hati.
Diego dan Ayla, yang masih bersembunyi di belakangku, mulai membuatku kehilangan kesabaran.
Aku melirik mereka, memberikan tatapan tajam yang membuat mereka akhirnya bergerak keluar, meskipun dengan sangat canggung.
Ayla tersenyum kikuk, jelas terlihat ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Diego, di sisi lain, membungkukkan badan dengan cara yang terlalu berlebihan, membuatku nyaris ingin memutar mata.
Kekonyolan mereka justru menambah lapisan absurditas pada situasi ini.
.
.
.
.
Aku menarik napas panjang lagi, mencoba mengambil alih kendali suasana.
Dengan langkah kecil, aku maju sedikit dan mengulurkan tangan, meskipun aku sendiri merasa canggung melakukannya.
"Abaikan kami. Maafkan sikap mereka," kataku, berusaha terdengar santai.
Senyum kecil kugoreskan di wajahku, meskipun lebih banyak upaya daripada spontanitas di dalamnya.
"Namaku Kai. Ini Diego dan Ayla. Mereka temanku."
Namun, tanganku yang terulur tetap tak bersambut.
Pria elf itu hanya menatapku dingin, matanya seolah menusuk langsung ke dalam tulang-tulangku.
Aku menelan ludah, menurunkan tangan dengan gerakan yang terasa lebih berat daripada seharusnya.
Kegugupan merayap, tetapi aku mencoba menutupinya dengan menggaruk leher, sebuah kebiasaan yang muncul saat aku merasa tidak nyaman.
Akhirnya, setelah keheningan yang terasa seperti berabad-abad, ia membuka mulutnya.
Suaranya rendah, tetapi tajam seperti bilah pedang yang menggoreskan setiap kata langsung ke udara.
"Aku Kael Throne, panggil aku Kael. Aku berasal dari ras elf." katanya dengan nada yang tak memerlukan penjelasan tambahan.
Nada formalitasnya mengingatkan pada seseorang yang terbiasa memberi perintah, bukan menerima.
Suaranya tajam, dengan intonasi yang terdengar hampir menantang.
Aku bisa merasakan tekanan di balik setiap katanya, seperti ia sengaja menguji sejauh mana aku mampu bertahan dalam situasi ini.
Sorot matanya menusuk, seolah menguliti lapisan terluar diriku.
Napasku terasa berat, meski aku berusaha keras menjaga ekspresi tetap tenang.
Dalam hati, aku bergulat dengan berbagai pertanyaan.
Dalam hati, aku bergulat dengan beribu pertanyaan.
Apakah dia sekutu atau ancaman?
Apakah dia seperti ras Voraxes yang menghancurkan manusia tanpa ampun?
Atau mungkinkah dia dapat diajak bekerja sama?
Aku tahu, salah langkah bisa berarti malapetaka.
.
.
.
.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang mencengkeram.
Lalu, dengan suara yang berusaha terdengar formal, aku berkata,
"Jadi, mengenai pembentukan party... Di sini ada aturan bahwa satu orang harus menjadi pemimpin untuk memutuskan apakah kita menerima misi atau tidak. Apakah ada yang ingin mencalonkan diri?"
Aku sengaja mengarahkan pertanyaan ini kepada semua orang, meski dalam hati aku tahu jawabannya.
Seperti yang kuduga, Ayla dan Diego langsung menggelengkan kepala dengan cepat, seperti anak kecil yang takut disuruh maju ke depan kelas.
Aku memutar bola mata ke arah Kael. Ekspresinya tetap datar, tanpa sedikit pun perubahan.
"Kamu lebih cocok," katanya tiba-tiba.
Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi, tetapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatku terdiam sejenak.
"Saat kalian berlari menuju zona aman, kulihat kamu berpikir cepat untuk menemukan jalan keluar dan mengarahkan teman-temanmu."
Aku tertegun.
Apakah ini sebuah... pujian?
Dari seorang Elf?
Bahkan Diego dan Ayla terlihat sama terkejutnya.
Kael menambahkan,
"Meskipun aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan sebelumnya sebelum fitur penerjemah aktif."
Ah, itu menjelaskan sikap diamnya tadi. Ia benar-benar tidak memahami kami.
"Terima kasih...," jawabku sedikit ragu.
Aku tak terbiasa menerima pengakuan seperti itu, apalagi dari seseorang yang auranya begitu mendominasi.
"Baiklah, karena tidak ada yang keberatan, aku akan mengambil alih sebagai pemimpin."
Aku membuka layar holografis di depanku, memeriksa opsi pembentukan party.
"Tertulis di sini aku harus memasukkan nama party. Ada ide?" tanyaku sambil melirik mereka satu per satu.
Diego, seperti biasa, langsung mengangkat tangan dengan antusias. Tetapi sebelum dia sempat berbicara, aku buru-buru memotongnya.
"Kecuali Diego," kataku tegas.
"Hei! Aku hanya mencoba membantu," protesnya sambil mengangkat bahu dengan senyum pasrah.
Wajahnya memancarkan ekspresi yang sudah aku kenal baik—campuran kekecewaan dan humor.
Seolah-olah ia tahu, ide-ide mengenai penamaan yang dibuatnya jarang diterima.
Tak sulit memahami alasannya.
Lagipula, siapa lagi kalau bukan Diego yang menamai anjing Golden Retriever-nya Megamite77GoldenAngel.
Nama yang tidak hanya panjang, tapi juga absurd.
Nama macam apa itu?
Orang aneh itu bahkan memanggilnya dengan julukan '77.
Bayangkan situasinya.... pulang ke rumah dan berteriak, "Megamite77GoldenAngel, ayo sini!"
.
.
.
.
"Bagaimana kalau 'Eclipse'?" saran Ayla tiba-tiba, memecah keheningan.
Diego langsung mengangguk setuju tanpa sedikit pun tanda protes.
Di sisi lain, Kael hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh.
"Terserah kalian," jawabnya datar, tanpa emosi
"Baiklah, karena semua setuju, namanya akan 'Eclipse,'" aku memutuskan.
"Untuk mengaktifkan party, tertulis bahwa kita harus berjabat tangan. Mari kita coba."Aku mengulurkan tangan ke Diego.
Aku mengulurkan tangan ke Diego lebih dulu.
Ia menjabat tanganku dengan semangat, dan seketika, sebuah pop-up undangan muncul di layarnya.
Kami mengulangi proses itu dengan Ayla dan akhirnya, dengan Kael.
Saat ia menjabat tanganku, ada momen singkat di mana matanya menatapku tajam—seolah menimbang sesuatu yang tak terucapkan.
Party kami kini resmi terbentuk.
Empat orang.
Aku sebagai pemimpin.
.
.
.
.
"Jadi, sekarang apa rencananya?" tanyaku setelah menyelesaikan konfigurasi party.
"Tertulis bahwa kita diberi waktu tiga hari untuk mempersiapkan diri menghadapi fase berikutnya. Kael, apakah kau tahu sesuatu?"
Semua mata kini tertuju pada Kael.
Ada harapan dalam tatapan Ayla dan Diego, tetapi aku lebih berhati-hati.
Sikap Kael sejak awal penuh misteri, dan aku ragu dia akan memberikan jawaban yang memuaskan.
"Tidak tahu," jawabnya singkat, suaranya tetap dingin.
"Tertulis bahwa ras yang hidup di air akan bergabung. Mungkin kita hanya perlu bertahan dari mereka."
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Jawaban itu tidak banyak membantu, tetapi setidaknya itu memberi kami sedikit gambaran.
"Umm... bolehkah aku bertanya lagi padamu?" aku memberanikan diri untuk berbicara lagi, meski tahu risikonya.
Kael mengangkat alis, seolah menantangku. "Aku hanya akan menjawab jika kita menggunakan sistem pertanyaan setara. Satu pertanyaan untuk satu pertanyaan."
Aku terdiam sejenak.
Kemudian aku mengangguk.
"Baiklah," jawabku setelah jeda singkat.
Aku mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati.
"Dan dari mana asalmu? Bagaimana kalian bisa sampai di tempat ini?"
Kael memiringkan kepalanya sedikit, menatapku dengan ekspresi sulit ditebak.
"Untuk pertanyaan pertama, aku berasal dari Ares, tempat bangsa elf. Untuk yang kedua, aku tidak tahu, tiba-tiba saja kami seperti diteleportasi ke sini"
Nada bicaranya datar, tapi ada kekuatan di balik setiap katanya.
Ia melipat tangannya di dada, posturnya tetap tegap dan penuh kewaspadaan.
"Sekarang giliranku," katanya tajam.
"Dua pertanyaan."
Aku menahan napas.
"Silakan."
"Apakah kalian melihat elf lain di sekitar sini? Dan, apakah kalian melihat serangga berkulit hitam?" tanyanya, nadanya dingin, tapi ada sesuatu yang lain—dendam, mungkin juga amarah—tersembunyi di balik suaranya.
Aku menunduk, menghindari tatapan tajamnya sambil mencoba mencerna pertanyaannya.
Rasanya seperti sebuah jebakan, dan aku tahu jawaban apa pun yang kuberikan akan membawaku lebih dalam ke jurang masalah.
Pertanyaannya jelas mengarah pada Voraxes—ras serangga ganas yang kami temui sebelumnya.
Sial, ini benar-benar situasi yang rumit.
Menghindar hanya akan membuat segalanya lebih buruk.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diriku.
"Untuk pertanyaan pertama, tidak," jawabku pelan, mengangkat pandangan untuk menatap matanya.
"Kami tidak melihat elf lain." Aku berhenti sejenak, menimbang kata-kataku berikutnya.
"Untuk pertanyaan kedua... ya, kami melihatnya," lanjutku, dengan nada yang lebih tegas meskipun hatiku masih berdebar.
Wajah Kael tidak berubah, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di udara.
"Aku ingin mengajukan pertanyaan," katanya, suaranya lebih tajam sekarang.
Sebelum dia sempat melanjutkan, aku mengangkat tangan, mencoba menenangkannya.
"Sudahlah, Kael. Tanyakan saja," ujarku sambil memaksakan senyum tipis.
"Aku akan menjawab tanpa syarat. Anggap saja ini sebagai bentuk kepercayaanku pada party kita."
Kael terdiam.
Matanya menyipit, menatapku seperti mencoba menilai apakah aku benar-benar tulus atau ada hal lain.
"Di mana kalian melihatnya? Dan apakah kalian melihat serangga yang lebih besar?" tanyanya akhirnya, dengan nada datar yang membuatku semakin gelisah.
Aku menunjuk ke arah dinding air besar, tempat kami masuk sebelumnya.
"Di sana. Tidak jauh dari tempat kami tiba. Tetapi sekarang mungkin sudah terendam air."
Kael mengepalkan tangannya dengan kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
Sorot matanya berubah menjadi penuh dendam, tetapi dia tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Dan tentang serangga yang lebih besar..." aku ragu sejenak sebelum melanjutkan,
"...maksudmu ratunya?"
Perubahan ekspresi Kael begitu drastis hingga membuatku mundur setengah langkah.
Tatapannya kini lebih intens, seperti bara api yang baru saja disiram minyak.
"Kalian melihat ratunya?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih tegas, penuh amarah yang nyaris tak bisa ia kendalikan pada ratu tersebut.
Ekspresi Kael berubah drastis.
"Kalian melihat ratunya?" nadanya kini lebih tegas, penuh amarah yang nyaris tidak bisa ia kendalikan.
Aku merasakan Diego di sampingku bergerak gelisah.
"Kai!" serunya panik, mencoba menghentikanku sebelum aku mengatakan hal yang lebih buruk.
Namun, aku mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia tenang.
"Tidak apa-apa, Diego."
Aku menatap Kael kembali dan mengangguk.
"Ya, kami melihatnya."
Kael melangkah maju, mendekatiku.
Aura di sekitarnya terasa semakin berat, seperti tekanan tak terlihat yang membuat napasku tersendat.
"Kalian melihat mayatnya?" tanyanya lagi, matanya menyala penuh kebencian.
"Siapa yang membunuhnya?"
Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian.
"Tentang itu... aku dan Diego yang membunuhnya."
Reaksi Kael seperti yang sudah kuduga.
Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang jelas.
"Kalian?" Dia menekankan kata itu dengan penuh penghinaan.
"Seorang manusia?"
Aku mengangkat tanganku perlahan, mencoba menenangkan situasi.
"Mungkin kamu tidak akan percaya sampai kami menunjukkan sesuatu... tetapi kumohon, tenanglah terlebih dahulu."
Kael tidak menjawab, hanya mengangkat alisnya, menunggu.
Aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan sebuah benih kecil, menggenggamnya erat sebelum memperlihatkannya pada Kael.
"Ini," kataku pelan.
"Bukti bahwa kami memang melakukannya."
Wajah Kael yang biasanya dingin kini benar-benar runtuh.
Matanya melebar, penuh keterkejutan, bahkan horor.
Dia langsung meraih benih itu tanpa peringatan.
"Kael, tunggu—!"
Terlambat.
Begitu tangannya menyentuh benih tersebut, energi gelap memancar keluar, menyelimuti tangannya.
Kael terhuyung mundur, wajahnya meringis menahan rasa sakit.
Aku terdiam, hanya bisa menatapnya dengan rasa bersalah yang mencekam.
Ketika akhirnya dia kembali menatapku, matanya menyala penuh kebencian.
Untuk selanjutnya aku sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, dan benar saja.
Ketika ia akhirnya menatapku kembali, matanya menyala penuh kebencian.
"KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" teriaknya.
Dari tangannya, muncul sebuah busur energi.
Ia menarik busur itu, menciptakan panah berbentuk energi angin yang berwarna hijau terang.
Angin di sekitar kami mulai mengamuk, membuat debu dan pasir berputar seperti badai mini.
Diego berdiri di depanku, tubuhnya membentengi aku dari ancaman Kael.
Aura di sekitar Diego berubah drastis.
Dia kini memancarkan energi yang intens, sebuah ancaman terselubung yang membuatku tertegun.
"Turunkan busurmu," kata Diego.
Suaranya rendah, dingin, tetapi penuh kewibawaan.
Tidak ada keraguan dalam nadanya, hanya ancaman yang tersirat, cukup kuat untuk membuat siapapun berpikir dua kali.
Kael tetap memegang busurnya, panah energi hijau di tangannya tampak bergetar seiring dengan kemarahannya yang jelas belum mereda.
Mata elf itu seperti bara, memancarkan amarah yang mengintimidasi.
Namun, meski dikelilingi oleh amukan angin dan ancaman nyata, Diego tidak bergeming.
"Dengarkan penjelasannya terlebih dahulu," lanjutnya dengan tegas.
Nada bicaranya seperti pisau yang menggores udara, memaksa semua orang yang mendengarnya untuk berhenti dan memperhatikan.
Aku menelan ludah, mencoba memahami situasi yang berubah begitu cepat.
Sebelumnya aku pikir Kael hanya akan bertanya beberapa hal, tapi sekarang dia siap membunuhku—atau mungkin kami semua—tanpa ragu sedikit pun.
Rasanya seperti berdiri di tepi jurang tanpa pegangan.
Aura Diego kini begitu kuat, memancar seperti medan perang tak terlihat.
Baru sekarang aku menyadari bahwa ini adalah war cry-nya, salah satu kemampuan khusus Diego yang dapat memancarkan tekanan mental, membuat musuh gentar.
Namun kali ini, bahkan aku yang berada di pihaknya merasa sedikit terintimidasi.
"Kalian lebih baik menjelaskannya dengan baik." Suara Kael terdengar lebih tenang, tetapi tidak ada kelembutan di sana—hanya dingin dan ancaman yang menakutkan.
Dia perlahan menurunkan busurnya, meskipun energi dari panahnya tetap bersinar, seolah siap dilepaskan kapan saja.
"Jika ada sesuatu yang kalian sembunyikan, aku pastikan kalian tidak akan bertahan sampai hari ketiga."