Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 11 - Chapter 10

Chapter 11 - Chapter 10

Dia berbicara dengan suara yang rendah, namun penuh kekuatan, seperti seseorang yang terbiasa memimpin dan memberikan arahan.

"Ah, kalian bertiga yang baru sampai. Selamat bergabung. Kami bersyukur kalian selamat," katanya dengan senyum kecil.

Aku merespons dengan cepat, menjaga nada bicaraku tetap sopan meski ada ketidaknyamanan yang mengganjal di dadaku.

"Ah, itu karena kami beruntung saja, Pak. Perkenalkan, nama saya Kai. Di sini teman saya Diego, dan yang perempuan bernama Ayla. Sayangnya, kaki kanannya patah tertimpa bangunan, jadi dia harus digendong teman kami." Aku menundukkan kepala sedikit, berjabat tangan dengannya untuk menunjukkan rasa hormat, meskipun itu sebagian besar hanya pura-pura.

Dia mengangguk singkat, tatapannya bergeser ke arah Diego dan Ayla.

"Salam kenal. Nama saya Dirga. Sebelumnya, saya adalah kepala desa di sini," katanya, nada bicaranya datar namun ada penekanan halus yang memberi kesan bahwa ia ingin menegaskan otoritasnya.

"Ada diskusi tadi," lanjutnya, suaranya mengalir seperti seseorang yang terbiasa berbicara kepada orang banyak.

"Kami semua sepakat... untuk saling menjaga, dan bekerja sama. Menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya." Suara Pak Dirga terdengar tegas, namun ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan di balik kata-katanya.

"Misi bertahan hidup ini... sepertinya akan segera selesai."

Ia berhenti sejenak, menatap kami semua dengan pandangan yang tajam, lalu melanjutkan,

"Lebih baik jika kalian bergabung dengan kami."

Ia mengangkat tangan, menunjuk ke arah kami—aku, Ayla, Diego, dan pria bertudung itu.

"Sebelum kalian datang, jumlah kami... adalah 20 orang. Dengan kalian berempat yang baru datang, totalnya menjadi 24."

Suasana menjadi hening sejenak.

Semua mata tertuju pada kami, seolah-olah kami adalah pendatang baru yang akan mengubah segala sesuatu.

"Ah, baiklah, Pak. Kami mohon bantuannya," kataku, suaraku berusaha terdengar tenang meski ada ketegangan yang sulit kusembunyikan.

Sambil berbicara, aku membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat.

Pak Dirga tersenyum, tapi aku bisa merasakan bahwa senyuman itu tidak sepenuhnya tulus.

"Sebentar lagi misi akan selesai," katanya, suaranya lebih rendah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

"Kita akan lihat apa yang terjadi setelah ini. Semoga zona ini tetap aman... karena jika tidak, air itu akan masuk."

Nada kekhawatirannya membuat udara di sekitar kami terasa semakin berat.

Aku mengamati wajahnya.

Meski ia mencoba menunjukkan ketenangan, matanya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang dalam.

Aku melirik ke arah layar sistem yang melayang di udara, menunjukkan waktu yang tersisa.

Hanya tiga detik lagi.

.

.

.

.

----------------------------------

00:00:02

----------------------------------

.

----------------------------------

00:00:01

----------------------------------

.

----------------------------------

00:00:00

----------------------------------

.

.

.

.

Akhirnya, detik terakhir berlalu, dan sebuah pop up biru dengan tulisan muncul.

.

.

.

.

----------------------------------

Pemberitahuan

----------------------------------

Selamat karena kepada yang mengikuti arahan dan masuk ke zona aman

Hadiah : Meningkatkan jalur lanjutan kelas

----------------------------------

.

.

.

.

Tiba-tiba, tanpa tanda atau peringatan, seluruh orang yang berada di dalam bangunan ini satu per satu diselimuti oleh cahaya emas yang terang benderang.

Cahaya itu begitu kuat hingga hampir menyilaukan, namun anehnya tidak menyakitkan untuk dilihat.

Semua aktivitas seolah terhenti dalam sekejap, dan kerumunan yang semula sibuk mendadak berubah hening.

Aku mengenali cahaya ini.

Terlalu familiar untuk dilupakan.

Di sekitarku, wajah-wajah yang semula penuh kesibukan kini berganti dengan ekspresi keterkejutan, ketakutan, bahkan kebingungan.

Beberapa orang saling memandang, berusaha mencari jawaban di wajah-wajah lain yang sama tidak tahunya.

Di sebelahku, Diego juga terlihat terpaku.

Cahaya emas itu membalut tubuhnya seperti jubah yang bersinar.

Aku bisa mendengar gumamannya, meski suaranya hampir tenggelam oleh keheningan yang aneh ini.

"Cahaya ini..." katanya pelan, suaranya serak dan penuh keraguan.

Aku mengangguk pelan, rasa familiar merayap di benakku.

"Ini seperti waktu kita naik kelas sebelumnya," kataku dengan lirih sambil menatap ke sekeliling.Aku mengangguk, berusaha menjaga tenang meskipun jantungku berdegup kencang. 

"Ini seperti waktu itu... waktu kita naik kelas sebelumnya." jawabku dengan suara nyaris berbisik.

Mata Diego melebar, tanda dia memahami maksudku.

Tapi sebelum dia sempat merespons, suara Ayla memecah lamunanku.

Ayla yang berdiri di sampingku menatapku dengan bingung.

"Naik kelas? Maksudnya apa, Kai?" tanyanya, wajahnya terlihat lebih cemas daripada penasaran.

Aku menoleh padanya, mencoba tersenyum untuk menenangkan.

"Kaki kamu akan sembuh, Ayla," kataku lirih.

Aku tidak tahu pasti, tapi aku ingin percaya bahwa ini semua adalah bagian dari rencana yang lebih besar.

"Percaya saja."

Ayla tampak ingin bertanya lebih banyak, tapi akhirnya dia hanya mengangguk pelan.

Wajahnya masih penuh kekhawatiran, tapi ada sedikit harapan di matanya.

Di tengah keheningan yang mulai terusik oleh bisikan dan gumaman, seseorang dari kerumunan akhirnya berseru.

Suaranya lantang, menggelegar di tengah suasana penuh ketegangan.

"Apa yang terjadi? Apa ini?!"

Yang lain segera menyusul, terdengar lebih bersemangat meskipun masih diliputi kebingungan.

"Apakah kita akan mendapatkan kemampuan baru lagi?!"

Sorak-sorai kecil mulai terdengar, menggema di dalam ruangan yang terasa seperti menjadi tempat sakral.

Cahaya emas itu semakin menyelimuti tubuh-tubuh di sekelilingku, membuat setiap orang tampak seperti makhluk agung yang baru saja diangkat dari debu.

Namun, aku tahu ini bukan hanya tentang kekuatan.

Bukan hanya tentang berkat atau kemegahan.

Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini semua.

Energi yang mengalir ke dalam tubuhku memang terasa hangat, menyenangkan bahkan.

Tapi bersamanya, ada juga rasa tanggung jawab yang berat, seperti beban yang baru saja ditempatkan di pundakku.

.

.

.

.

----------------------------------

Jalur Lanjutan Sedang Dibuat Dikarenakan Ini Merupakan Jalur Baru

----------------------------------

.

.

.

.

----------------------------------

Kelas: The Mindbreaker

----------------------------------

★★★☆☆☆☆☆☆☆

----------------------------------

Deskripsi: Individu dengan kemampuan untuk mengintip ke dalam tirai masa lalu dan merasakan gema emosi serta kejadian yang telah berlalu. Awalnya, Clairvoyant hanya dapat melihat kilasan, tetapi potensi mereka untuk menguak rahasia tersembunyi sangat besar.

----------------------------------

Skill:

----------------------------------

Spirit Whisper (pasif)

Bisikan dari entitas spiritual terdengar di saat-saat mendesak, membimbing langkahmu.

Empathic Vision (pasif)

Mengintip kedalaman emosi seseorang, menguak rahasia yang mereka sembunyikan.

Vision (pasif)

Kilasan acak dari masa lalu atau masa depan. Terlalu acak yang terkadang sangat berbahaya bagi pengguna.

Echo Field (aktif)

Menghasilkan gema energi serangan musuh di masa lalu, baik serangan psikis maupun fisik. Biaya energi mental pengguna tergantung intensitas serangan.

Past Projection (aktif)

Memunculkan momen penting dari masa lalu objek yang disentuh. Biaya kekuatan mental dan jiwa tergantung kedalaman memori yang ingin diketahui.

- [ Baru ]-

Psionic Mirror (pasif)

Memantulkan serangan psikis ke penyerang dengan kekuatan lebih besar, berlaku sekali dalam periode tertentu. Mengurangi daya tahan psikis pengguna setelahnya.

Psychic Barrage (aktif)

Menyerang pikiran musuh dengan ilusi rasa sakit, berpotensi membuat mereka kehilangan fokus atau pingsan. Menguras energi mental pengguna, berisiko menyebabkan migrain.

Mind Shatter (aktif)

Menghantam pikiran target dengan ketakutan dan keputusasaan, membuat mereka kehilangan keberanian bertarung. Mengurangi ketahanan mental pengguna, dapat memicu 'Vision' tak terkendali.

Astral Chains (aktif)

Menahan musuh dengan rantai astral tak terlihat. Musuh tak bisa bergerak sementara tetapi dapat menyerang psikis untuk melawan efeknya. Membutuhkan energi besar dan melemahkan fisik pengguna.

----------------------------------

.

.

.

.

Aku membaca skill baruku dengan hati yang berdebar. Untunglah, ada skill combat di sana.

Kalau tidak, aku mungkin tak bisa melindungi diriku sendiri.

Kerumunan di sekitar yang tadinya tegang mendadak berubah riuh.

Mereka tampaknya asyik berdiskusi tentang kemampuan baru yang mereka dapatkan.

Kelelahan yang tadi membelenggu tubuhku kini perlahan menghilang, digantikan sensasi hangat yang menyelimuti tubuhku, seperti cahaya emas itu menyedot rasa lelah itu tanpa sisa.

Yang terluka pun sembuh dengan kecepatan yang sulit dipercaya.

Mereka tertegun, termasuk Ayla.

Kaki kanannya yang patah kini kembali seperti sediakala.

"K-kakiku... Kakiku!" serunya dengan suara penuh keterkejutan.

Ia menatap kaki kanannya seakan memastikan bahwa ini bukan ilusi.

Aku, meskipun sudah merasakannya sebelumnya, tetap takjub.

Kekuatan macam apa yang mampu menyembuhkan luka secepat ini?

Apakah suatu hari aku juga bisa melakukannya?

"Kakimu sembuh, Ayla?" tanyaku sambil membantunya berdiri.

Ayla mengangguk, masih diliputi keheranan.

Dia mencoba berdiri sendiri dan seperti akan mencobanya dengan berjalan, dengan reflek aku membantu memegang tangannya.

"Iya... kakiku... aku bisa menggerakkannya, aku bisa berjalan,", katanya dengan ekspresi antusias dan tidak percaya sambil menatapku.

"Syukurlah kakimu sembuh," kataku sambil tersenyum.

"Terima kasih... akhirnya aku tidak akan merepotkan kalian lagi," katanya melihat ku dan Diego dengan nada penuh haru.

Senyumku mengembang, begitupula Diego.

Namun momen itu segera dipecahkan oleh Diego.

"Aku naik kelas!" serunya penuh semangat. "Kai, Ayla, kalian naik kelas juga, kan?"

Aku tersadar dari lamunanku dan menatap Diego yang masih tampak terkejut.

"Iya, kelasku naik. Ayla, bagaimana dengan skillmu? Sekarang sudah terbuka?" tanyaku, memancing Ayla untuk memeriksa.

Ayla langsung membuka tampilan dan mengangguk.

"Sudah, skill-ku tertulis—"

Sebelum ia sempat melanjutkan, aku mengangkat telunjukku ke depan bibir, memberi isyarat agar ia tidak membicarakannya di depan umum.

Diego, di sisi lain, mengangguk pelan, tampaknya setuju denganku.

"Jangan di sini," kataku dengan nada tegas namun tenang.

Ayla menatapku dengan bingung, tapi akhirnya ia hanya mengangguk patuh.

Namun, kebahagiaan dan antusias kami tak berlangsung lama.

Di udara, sebuah pop up pemberitahuan baru muncul.

.

.

----------------------------------

Pemberitahuan

----------------------------------

Selamat kepada para survivor yang berhasil memasuki zona aman.

Zona aman akan bertahan selama 3 hari.

Gunakan waktu ini untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Sistem Penerjemah Bahasa kini tersedia untuk berbagai ras darat yang berhasil selamat, memudahkan komunikasi antar spesies.

Kami juga telah membuka Sistem Party di tampilan anda, dengan maksimal 10 anggota per Party.

----------------------------------

Manfaat Pesta 

----------------------------------

Sistem memberikan misi atau petunjuk khusus yang hanya tersedia untuk party, termasuk lokasi zona aman atau ancaman baru.

Bonus regenerasi kesehatan atau stamina aktif saat anggota berada dalam radius dekat satu sama lain.

----------------------------------

Diharapkan kalian segera membentuk party untuk memperbesar peluang bertahan hidup.

----------------------------------

.

.

.

.

----------------------------------

Pemberitahuan

----------------------------------

Proses evolusi Phase 2 akan segera dimulai.

Makhluk dari Ras Air akan bergabung dalam era baru ini.

Misi akan tersedia setelah 3 hari persiapan selesai. Gunakan waktu ini untuk mempersiapkan diri dan meningkatkan kemampuan bertahan hidup.

Saran: Hindari berada di dekat sumber air selama fase ini berlangsung, karena potensi ancaman akan meningkat secara signifikan.

----------------------------------

Bertahan dan teruslah berevolusi untuk menyaksikan era baru.

----------------------------------

.

.

.

.

Lagi dan lagi, pemberitahuan ini seolah hanya memberitahukan mimpi buruk bagi kami.

Isi pesan ini menambah kekacauan yang sudah ada.

Bagaimana caranya jika perintahnya adalah menjauh dari air?

Seolah-olah ini adalah penghinaan langsung kepada kami, penghuni zona yang dikelilingi oleh air dari segala arah.

.

.

.

.

Bagus sekali... benar-benar bagus 

Mereka seakan ingin memastikan kami mati.

.

.

.

.

Kerumunan yang tadi penuh dengan semangat mendadak membeku dalam keheningan mencekam.

Mata mereka terpaku pada pesan bercahaya yang melayang di udara, pesan yang hanya beberapa kalimat tapi cukup untuk mengguncang segalanya.

Keheningan itu hanya bertahan sekejap.

Dalam hitungan detik, seperti air yang tiba-tiba meluap dari bendungan, kepanikan melanda kerumunan.

"Apa-apaan ini? Hindari air?!" teriak seorang wanita dari belakang, suaranya menggema dengan nada panik.

Matanya membelalak seperti baru saja melihat sesuatu yang mengerikan.

"Ini lelucon apa?! Bagaimana kita bisa menghindari air kalau zona kita ini dikelilingi air di mana-mana?!" seru seorang pria dengan suara penuh kemarahan, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih.

Rasa frustrasinya terlihat jelas dari ekspresinya yang memerah.

Di tengah kekacauan itu, Pak Dirga, kepala desa yang dihormati, melangkah ke depan.

Sosoknya yang tinggi dan tegas membuat kerumunan secara refleks memberi ruang.

Dengan satu gerakan tangannya, ia berusaha meredakan kegaduhan.

"Tenang, semuanya! Tenang!" serunya dengan suara yang keras dan penuh wibawa.

Meski tegas, aku bisa mendengar ketegangan yang terselip di dalamnya, seolah ia berusaha keras menutupi emosi yang sebenarnya.

Aku bisa merasakan emosi yang ia coba sembunyikan—amarah yang membara, bercampur kebencian terhadap sistem yang terus-menerus mempermainkan nasib nya.

Kerumunan mulai sedikit mereda, meski gumaman panik masih terdengar di sana-sini.

Pak Dirga melanjutkan dengan nada yang lebih tenang tapi tetap tajam.

"Kita tidak punya waktu untuk panik!" lanjutnya dengan suara lantang.

"Protes tidak akan mengubah apa pun. Sistem memberi tahu kita untuk membentuk party. Kita harus bekerja sama, bukan saling menyalahkan atau menyerah pada ketakutan!"

Orang-orang mulai saling memandang, mencoba mencerna kata-katanya.

Dari arah lain, muncul pria bertubuh besar dengan senapan otomatis di punggungnya.

Dia tidak mengangkat tangan seperti Pak Dirga, tapi kehadirannya saja cukup untuk membuat orang-orang melangkah mundur.

"Kalian bisa ikut Dirga kalau mau mati perlahan-lahan," katanya dingin, suaranya rendah tapi penuh tekanan.

"Tapi kalau kalian ingin bertahan sungguhan, ikut aku. Aku tidak akan membawa beban, hanya mereka yang siap melawan."

"Jangan menebar ketakutan di sini, Bram! Ini bukan waktunya untuk adu kuat!" seru Pak Dirga, suaranya tegas, tetapi jelas mengandung kemarahan yang ditahan.

Aku memperhatikan pria bersenjata itu—Bram, nama yang disebutkan oleh Pak Dirga.

Siapa dia? gumamku dalam hati.

Sikapnya berbeda dari kebanyakan orang di sini.

Ada sesuatu yang membuatnya tampak seperti ancaman, bahkan bagi orang seperti Pak Dirga.

Bram hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh teguran tersebut.

Sorot matanya yang tajam menyapu kerumunan, seolah mencari sekutu.

Bram hanya tersenyum tipis.

"Aku tidak menyuruh mereka memilih sekarang, Dirga. Tapi mereka yang ingin hidup lebih lama tahu harus ke mana." Ia menatap kerumunan dengan pandangan tajam, lalu memutar tubuhnya dan berjalan ke sisi lain lapangan, menunggu orang-orang mendekatinya.

Aku memperhatikan dengan saksama.

Sistem membatasi setiap party hanya untuk 10 orang, sementara jumlah kami di sini ada 24.

Tidak sulit menebak siapa yang akan diterima dalam party Pak Dirga, orang-orang yang dekat dengannya, keluarga, atau mereka yang ia anggap berharga.

Di sisi lain, Bram jelas hanya menerima mereka yang menurutnya kuat atau berguna dalam pertempuran.

Ketegangan di udara kian terasa.

Satu per satu, orang-orang mulai bergerak, memilih antara Pak Dirga atau Bram.

Dalam waktu singkat, dua party terbentuk.

Pak Dirga mengumpulkan 10 orang yang kebanyakan adalah warga desa—beberapa di antaranya tua atau masih muda, tetapi ia menekankan pentingnya kerja sama.

Sementara itu, party Bram dipenuhi oleh orang-orang yang tampaknya lebih terbiasa menghadapi situasi keras.

Salah satunya bahkan membawa pedang besar di punggungnya.

Aku, Ayla, Diego, dan pria bertudung itu tersisa.

Tidak ada yang mau menerima kami—tidak oleh Pak Dirga, karena ia sudah penuh, dan tentu saja tidak oleh Bram, yang memandang kami dengan tatapan meremehkan sebelum melanjutkan dengan anggota pilihannya.

Aku mendesah dalam hati.

Ini bukan hal yang mengejutkan.

Di saat seperti ini, orang hanya akan memikirkan keselamatan diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka anggap penting.

"Ayla, Diego," panggilku pelan.

Mereka berdua menoleh ke arahku.

Ayla tampak ragu, sementara Diego menatap kerumunan dengan rahang mengatup rapat, jelas marah melihat ketidakadilan yang terjadi.

"Kita tidak akan diterima di party mana pun," kataku dengan nada rendah namun tegas.

"Kita harus membuat keputusan sendiri."

Ayla menunduk, ekspresinya penuh keraguan.

"Tapi… kita cuma bertiga, Kai. Apa mungkin kita bisa bertahan?" tanyanya, suaranya bergetar.

Aku hendak menjawab, tetapi sebelum sempat berkata apa-apa, pria bertudung yang sejak tadi diam di sudut tiba-tiba bergerak mendekati kami.

Langkahnya tenang, tidak tergesa-gesa, tetapi ada sesuatu dalam gerakannya yang terasa berbeda.

Dia berhenti di depan kami, cukup dekat hingga aku bisa melihat bayangan wajahnya di bawah tudung.

Suaranya rendah, berat, dan nyaris tanpa emosi ketika akhirnya ia berbicara.

"Empat," katanya singkat.

Aku memandangnya dengan bingung.

"Jika kalian bertiga membentuk party, aku ikut," lanjutnya dengan nada datar. Tidak ada keraguan dalam suaranya, hanya kepastian yang membuatku mau tak mau mendengarkan.

Aku menoleh ke Ayla dan Diego, mencari persetujuan mereka.

Ayla tampak ragu, menggigit bibir bawahnya seperti sedang mempertimbangkan sesuatu yang sulit.

Tapi Diego langsung mengangguk.

"Lebih baik empat daripada tiga," katanya dengan tegas, tanpa keraguan sedikit pun.

Aku menghela napas dan akhirnya mengangguk.

"Baiklah. Kita berempat."

Pria bertudung itu tidak mengatakan apa-apa lagi.

Namun, dengan gerakan perlahan, ia mulai membuka tudungnya.

Cahaya matahari sore menerpa rambutnya yang panjang dan berkilauan seperti perak. Dalam sekejap, suasana di antara kami berubah.

Rambut peraknya yang panjang hingga leher terlihat dengan jelas di bawah sinar matahari sore.

Awalnya, aku hendak memperkenalkan diri, tetapi kata-kataku tercekat di tenggorokan saat aku melihat tampilannya.

.

.

.

.

Diego menatapnya dengan mata melebar, lalu berbisik.

"Kai… dia…"

Aku menatapnya, jantungku berdetak kencang.