Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 8 - Chapter 7

Chapter 8 - Chapter 7

"Apa sudah menit kelima?" tanyaku sambil melirik Diego yang masih sibuk menata napasnya.

Wajahnya terlihat sedikit pucat, peluh mengalir di pelipisnya, tetapi ia tetap berdiri tegak di sampingku.

Dia hanya mengangguk pelan, jelas masih mencoba memulihkan tenaga setelah kejadian tadi.

"Hampir...," gumamnya, suaranya terputus oleh tarikan napas panjang

"Tapi kita harus segera bersiap."

Pandanganku melihat ke layar sistem.

Angka-angka digital itu terus berkurang, seolah menghitung mundur sesuatu yang tak terhindarkan.

.

.

.

.

----------------------------------

00:06:31

----------------------------------

.

----------------------------------

00:06:30

----------------------------------

.

.

.

.

Waktu terus berjalan, setiap detiknya terasa menekan, mengingatkan kami bahwa bahaya mungkin masih mengintai.

"Kita harus segera mengemas perlengkapan," kata ku, suaraku kini terdengar lebih tegas meskipun masih ada sisa kelelahan di sana.

"Sekarang, misi kita hanya bertahan hidup." aku menatapnya sambil memikirkan langkah berikutnya.

Tiba-tiba, Diego tampak teringat sesuatu.

"Ah! Aku mengambil perlengkapan didalam tas tadi sebelum aku terburu-buru menghampirimu," ujarnya.

"Kulempar di pintu masuk gua karena terlalu berat, dan langsung berlari kearahmu saat mendengar teriakanmu. Tas itu isinya makanan dan kotak medis."

"Bagus!" pujiku spontan. Itu adalah kabar baik yang sedikit mengurangi ketegangan di dadaku.

"Aku sebenarnya berniat mencari senjata," lanjut Diego sambil menggaruk tengkuknya.

"Tapi yang kutemukan dan yang terdekat malah toko makanan. Jadi aku ambil makanan sebanyak mungkin. Karena terburu-buru, jadinya aku hanya sempat mengambil pipa besi dari sana. Itu saja yang terlintas dipikiranku." Dia tertawa kecil, meskipun jelas ada rasa khawatir di matanya.

Aku tersenyum kecil, mencoba menyemangatinya.

"Tindakan yang bagus, untung saja kamu membawa pipa itu."

"Tunggu," ujar Diego langsung berlari menuju pintu masuk gua untuk mengambil tas yang dimaksud.

Tak butuh waktu lama, ia kembali sambil memanggul tas yang tidak terlalu besar di pundaknya.

"Ini dia," ucapnya dengan napas sedikit terengah.

"Segini cukup?" tanyanya, membuka sedikit tas itu untuk menunjukkan isinya. Beragam makanan kaleng, botol air, dan beberapa perban medis terlihat tertata seadanya.

Aku menimbang-nimbang sejenak.

"Kupikir cukup untuk sekarang, tapi aku tidak tahu seberapa langka makanan nantinya. Kalau sempat, kita harus mencari lagi."

Diego mengangguk setuju.

"Oke. Kalau begitu, haruskah kita keluar dari sini sekarang?"

Aku menggeleng perlahan.

"Tunggu sebentar. Aku ingin mencoba sesuatu dengan skill baru ku pada mayat ratu itu."

Diego terdiam, raut wajahnya mencerminkan kebingungan bercampur rasa penasaran. Namun, dia memilih untuk tidak terlalu banyak bertanya.

Akhirnya, dengan anggukan kecil, ia berkata,

"Ide bagus! Tapi cepat, kita tidak punya banyak waktu." Dia melangkah ke samping, memberiku ruang untuk mendekati tubuh monster yang menjulang besar itu.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah lebih dekat.

Tubuh ratu Voraxes, makhluk raksasa dengan kulit bersisik tebal dan sayap compang-camping, terlihat mengerikan bahkan dalam kematiannya.

Aroma darah bercampur bau busuk memenuhi udara, tetapi aku mencoba mengabaikannya.

"Beri aku waktu sebentar ya?" kataku sambil menatap Diego dengan senyum tipis.

"Kalau ada apa-apa dengan tubuhku, goyangkan tubuhku lagi, oke?" Aku menambahkan candaan kecil untuk meringankan suasana.

Diego terkekeh meski masih terlihat cemas.

"Baiklah, tapi jangan sampai berdarah lagi, kau sudah cukup membuatku khawatir tadi!" balasnya dengan nada bercanda, meski sorot matanya serius.

Aku mengangguk, lalu berjongkok di samping mayat itu.

Dengan hati-hati, aku menyentuh tubuh ratu Voraxes.

Kulitnya terasa dingin dan kasar, seperti batu yang sudah lama terkikis angin.

Aku memejamkan mata, berusaha memusatkan pikiran untuk mengaktifkan skill yang baru saja aku pelajari.

"Ratu Voraxes... elf," gumamku pelan, mencoba memanggil ingatan atau esensi yang mungkin tersisa dalam tubuh makhluk ini.

Di balik kelopak mataku yang terpejam, sebuah sensasi aneh mulai merayap.

Rasanya seperti gelombang energi dingin yang merambat dari ujung jariku hingga ke seluruh tubuh.

Tubuhku seolah terhubung dengan makhluk itu, seperti menjelajahi sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kematian.

Diego memperhatikanku dengan penuh waspada dari belakang.

"Hei, kau baik-baik saja, kan?" tanyanya, sedikit mendekat tetapi masih menjaga jarak.

Aku mengangkat tangan kiriku sedikit, memberikan isyarat agar dia tetap di tempat.

"Aman. Beri aku waktu sedikit lagi..." suaraku terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

.

.

.

.

Saat aku membuka mata, pemandangan di hadapanku berubah drastis, seperti terlempar ke dunia lain yang asing namun menawan.

Di hadapanku berdiri seekor makhluk menyerupai serangga raksasa, tetapi dengan keanggunan yang lebih liar.

Kulitnya memancarkan kilauan gelap, seperti obsidian yang memantulkan cahaya redup.

Namun, yang lebih menarik adalah sosok elf yang berdiri di sampingnya, dengan senyum ramah dan postur yang anggun.

Mereka terlihat akrab, hubungannya seperti elf adalah penunggang dan serangga itu adalah tunggangannya, mereka hidup damai.

"Hah? Mereka… bersama?" pikirku, bingung.

Namun, keganjilan muncul.

Dari serangga itu, aku merasakan emosi yang keruh dan penuh gejolak, seperti pusaran amarah yang tersembunyi di dalamnya.

Sebaliknya, elf di sampingnya memancarkan aura lembut dan murni, seperti embun pagi di musim semi.

Kontras yang tajam itu membuatku gelisah, seakan-akan ada rahasia besar yang mengintai di balik hubungan mereka.

.

.

.

.

Ketika aku berkedip, pemandangan itu lenyap.

Dunia di sekitarku berubah dari yang terang menjadi malam yang gelap, diterangi oleh sinar sebuah planet yang mirip bulan.

Di depanku, sebuah pohon raksasa berdiri, begitu besar hingga melampaui batas imajinasiku.

Batangnya menjulang tinggi ke langit, menembus awan, sementara daunnya berayun lembut di atas awan-awan itu, menciptakan kanopi yang tak tertandingi.

Pohon itu begitu megah hingga membuatku terdiam, terhanyut dalam lamunan yang mendalam

Namun, lamunanku terganggu oleh sesuatu yang bergerak di sudut mataku.

Sosok elf muncul, melangkah dengan anggun menuju pohon raksasa tersebut.

Nampak seperti sosok yang sangat penting.

Ia mengenakan jubah bersulam cahaya bintang, langkahnya ringan seperti bisikan angin.

Aku menyaksikan dengan takjub saat ia berhenti di hadapan akar-akar pohon yang tebal dan kuat.

Ia menundukkan kepala, seperti berdoa dengan penuh khusyuk, sebelum perlahan berjalan menembus akar-akar itu, seolah-olah mereka membuka jalan khusus untuknya.

Tanpa sadar, penglihatanku seperti diarahkan untuk mengikutinya.

Di balik akar itu, aku menemukan ruang dalam pohon, tempat yang luar biasa mewah dan tak terlukiskan.

Dinding-dindingnya bersinar dengan pola emas bercahaya, sementara altar besar berdiri di tengahnya, terbuat dari kristal murni yang memancarkan cahaya lembut.

Ruangan itu dipenuhi aroma yang menenangkan, seperti campuran bunga langka dan udara pagi.

Namun, keindahan itu segera ternodai oleh kehadiran lain.

Dari balik akar pohon yang besar, aku merasakan emosi yang familiar, emosi serangga tadi yang seakan terkorosi.

Ia bersembunyi, mengintip dari kegelapan dengan intensi yang jelas bukan sesuatu yang baik.

Amarah dan niat buruknya terasa, seperti racun yang menyelinap di udara.

.

.

.

.

Aku menahan napas, menyaksikan makhluk itu melangkah perlahan, mendekati elf yang kini bersujud di hadapan altar. 

Namun, saat makhluk itu hampir mendekati sang elf, sebuah kilauan cahaya tiba-tiba menyala dari altar, seperti ledakan bintang yang tenang namun penuh kekuatan.

Cahaya itu mengalir seperti gelombang, menyentuh setiap sudut ruangan, membuat bayangan makhluk tersebut bergeming sejenak.

Aku merasakan energi murni dari cahaya itu, seperti gelombang peringatan yang kuat dan tak terbantahkan.

Makhluk serangga itu mundur sejenak, keraguan tampak di gerakannya. Tapi, niat jahatnya belum pudar.

Aku bisa merasakan kebencian dan kegelisahan yang makin menjadi-jadi, seolah cahaya itu hanya memicu amarahnya.

Ia mengeluarkan suara rendah, nyaring, seperti raungan tajam bercampur desis.

Suara itu bergema di seluruh ruangan, membuat altar sedikit bergetar.

Sang elf, masih dalam posisi berdoa, perlahan membuka matanya.

Ia tidak terkejut ataupun panik.

Tatapannya penuh ketenangan, seperti seseorang yang telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia berdiri dengan anggun, berbalik menghadap makhluk itu.

Ketika elf itu menyadari apa yang terjadi, ia melangkah maju dengan mata yang memancarkan ketegasan.

Suaranya bergema di dalam ruangan, bukan dengan bahasa yang aku mengerti, melainkan sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam.

Setiap kata terasa seperti terukir dalam jiwa, dan meskipun aku tidak dapat memahami bahasa itu, aku merasakan emosinya, amarah bercampur dengan keputusasaan yang mendalam.

"ᚠᚢᚾᚴᚺᚱᛖᛏ ᛟᚾ ᚲᛖᛚᛖᛏᛖᛞᛟᚷᛖᚱ, ᛁᛞᛃᚨᛞᛟᚢᚾ ᛗᚨᚱᚷᛁᛃᚨᚾᛞᛖ!" kata elf itu dengan suara yang tegas.

Makhluk serangga itu mendesis, membalas dengan suara rendah dan menyakitkan, menegaskan niat jahat yang tak tergoyahkan.

Elf itu mencoba berbicara lagi, suaranya sedikit melembut, tetapi tetap penuh kewibawaan.

"ᛃᚢᛃᛟᚺᚨ ᛋᚢᛗᚷᛁᚾᛞᚨᚱ ᚦᛖᛞᛖᚲᛟᚾᛖᛏᚨᛋᛏᛃᛟᚢᛋᛏᛁᛊ ᛃᚢᛖᛋᚦᛁᛊ ᛏᛟᛟᛚᚨᛞᛖ?" katanya dengan penuh harapan, meskipun nadanya semakin lembut.

Tapi makhluk serangga itu merespons dengan gerakan liar, menegaskan niat jahat yang tak tergoyahkan.

Aura gelapnya menyebar, membanjiri ruangan dan membakar emosi tenang yang dipancarkan elf tersebut.

Semua yang ada di ruangan itu seakan diliputi kegelapan yang pekat.

.

.

.

.

Aku tidak menyadari kehadiran lain di balik bayangan.

Seekor makhluk serangga, kawanan dari makhluk utama itu, ternyata bersembunyi di sudut gelap ruangan.

Ia menunggu dengan sabar, seperti pemburu yang mengintai mangsanya.

Dengan gerakan tiba-tiba dan kecepatan yang mengejutkan, makhluk itu menyerbu altar.

Sebelum elf itu sempat bereaksi, ia merenggut sesuatu yang bersinar dari altar dengan kasar, sebuah biji bercahaya.

Aku tertegun.

Bahkan elf yang berdiri di hadapan altar tidak menduga hal ini.

Sinar dari altar padam seketika, menyisakan kegelapan yang pekat dan dingin.

Rasanya seperti dunia berhenti bernafas.

Elf itu, terpana dan marah, berusaha menghentikan makhluk tersebut. Namun, segalanya sudah terlambat.

Dalam kekalutan, ia kehilangan keseimbangan, terjatuh ke tanah, memegangi bumi dengan tangan gemetar.

"ᚷᛟᛞᛖᛋᛋ ᛟᚢᚱ ᛗᛁᚾᛞᛋ," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tetapi aku bisa merasakan duka yang mendalam dari kata-katanya.

Kehancuran telah dimulai, dan tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula.

Kemudian, elf itu mengeluarkan sebuah peluit kecil dari sabuknya.

Ia meniupnya dengan penuh tenaga, dan bunyi nyaring melengking memenuhi ruangan, menggema seperti panggilan perang.

Ketika biji itu direnggut, tanah mulai bergetar hebat, dan suara retakan terdengar menggelegar.

.

.

.

.

Pohon raksasa di tengah ruangan, yang menjulang hingga menembus awan, mulai bergetar hebat.

Getaran itu menjalar seperti gelombang, mengguncang tanah di bawahnya. Akar-akar besar mencuat dari permukaan, merobek bumi dengan kekuatan yang tak tertahankan.

Elf-elf yang berada di dekat altar bergegas, mencoba menyelamatkan apa yang tersisa.

Suara mereka menggema dalam bahasa kuno yang tak kumengerti, tetapi emosi mereka terpancar dengan jelas.

"ᚺᛁᚱᛗᛁᛇ ᛋᛁᛚᛃᛇ!" teriak salah satu elf dengan nada panik.

"ᛇᛇᛋᛇ ᚴᚱᚨᛋᛋᛇ!" seru yang lain, nadanya penuh keteguhan meski aku tahu keberanian mereka akan segera sirna.

Aku tidak mengerti kata-kata mereka, tetapi rasa takut, kebingungan, dan keputusasaan yang mendalam terasa begitu nyata.

Pohon itu bukan sekadar pohon bagi mereka, itu adalah sumber kehidupan, harapan, dan simbol kekuatan alam yang mereka lindungi selama ini.

Beberapa elf tua berusaha menggunakan sihir mereka untuk melindungi pohon itu.

Namun, kekuatan mereka tampak rapuh, bergoyang di bawah tekanan takdir gelap yang tak bisa mereka tolak.

"ᚠᛇᛇᛒᛋᛇ ᛇᛋ ᛖᛗᛁᛇ ᛁᚾᛇᛋ ᚷᛖᛚᛇ!" seru seorang elf tua, tetapi nadanya lebih mirip doa terakhir daripada perintah.

Ketika pohon itu akhirnya runtuh sepenuhnya, emosi para elf meledak dalam tangisan dan bisikan penuh kehilangan.

"ᚠᛇᚹᛇᛇᛒᛁᛇ," bisik salah satu dari mereka, air matanya mengalir deras.

Kata-kata itu terasa seperti epitaf, sebuah penghormatan terakhir kepada pohon yang telah menjadi jiwa mereka.

.

.

.

.

Pengkhianatan.

.

.

.

.

Saat kehancuran semakin nyata, pandanganku tiba-tiba kabur, seperti ada sesuatu yang menarik kesadaranku lagi.

Dunia di sekitarku memudar perlahan, berubah menjadi kegelapan pekat.

Sebuah sensasi asing menyelimuti diriku, dingin dan penuh tekanan, seperti berada di dasar lautan yang gelap.

Ketika aku membuka mata lagi, pemandangan yang berbeda menyambutku.

Aku berada di sebuah gua, bukan gua tempat aku dan Diego berlindung, tetapi gua lain yang terasa... hidup.

Udara di sini berat, hampir seperti bernapas di bawah beban emosi yang tebal.

Aku merasakan sesuatu, samar-samar, seperti gelombang emosi yang mengalir di sekitarku.

Emosi itu tidak manusiawi, tetapi juga tidak sepenuhnya asing.

Awalnya, itu hanyalah kabut keruh, tetapi semakin lama, semakin nyata.

Amarah, keserakahan, dan kehancuran bercampur menjadi satu, menciptakan kehadiran yang mengintimidasi.

Rasanya seperti amarah, keserakahan, dan kehancuran bercampur menjadi satu.

.

.

.

.

Sangat Familiar.....

.

.

.

.

Lalu aku melihatnya.

Sang ratu Voraxes.

Ia berdiri megah, tubuhnya besar dan gelap, setiap inci kulitnya memancarkan aura kekuasaan yang mencekam.

Matanya bersinar merah seperti bara api, dan dari tubuhnya mengalir energi hitam yang terasa pekat.

Di dadanya, aku melihat sesuatu, sebuah biji kecil yang bersinar dengan cahaya redup, seolah menjadi pusat dari segalanya.

Aku menyadari apa yang telah terjadi.

Biji itu, benda misterius yang menjadi sumber kehancuran, kini berada di dalam tubuhnya.

Ia telah menyatu dengan sang ratu, menjadikannya lebih dari sekadar makhluk serangga.

Ia adalah sumber dari semua malapetaka yang kami alami.

.

.

.

.

Seketika pandanganku berubah lagi. Kegelapan menghilang, dan aku kembali ke gua tempat aku dan Diego mengalahkan ratu voraxes.

Di depanku, tubuh besar sang ratu tergeletak, tidak bergerak. Aku menarik napas panjang, mencoba menguasai diri.

"Kai?" suara Diego memanggil, nada khawatir terdengar jelas. "Kau baik-baik saja?"

"Ah, ya, aman kok," jawabku sambil mengangguk pelan, mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.

Meski sebenarnya pandanganku mulai sedikit kabur dan tubuhku dilanda kelelahan akibat biaya yang kutanggung, aku berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman kecil yang aku paksakan.

"Sudah selesai?" tanyanya, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Sudah," jawabku singkat, meski pikiranku masih memproses apa yang baru saja aku lihat.

"Apa yang kau dapat?" desaknya.

"Sebentar." Aku memejamkan mata lagi, mencoba merasakan sesuatu.

Dan itu ada, di dalam tubuh sang ratu.

Aku membuka mata, menoleh ke Diego.

aku kemudian membuka mata dan menoleh kediego

"Diego, seberapa kuat kamu sekarang? Bisakah kau membalikkan mayat ini? Ada sesuatu yang harus kuperiksa," pintaku.

Diego menatapku sebentar dan agak bingung.

"Eh? Biar kucoba," katanya.

Diego kemudian mengangguk tanpa banyak pertanyaan kepadaku.

Dengan langkah mantap, dia mendekati tubuh besar sang ratu, mencengkeram bagian pinggir tubuhnya.

"HIIYAAAAA!" teriaknya, mengerahkan semua kekuatannya.

Dengan susah payah, dia berhasil membalikkan mayat besar itu, hingga punggungnya kini menghadap ke bawah.

Suara berat terdengar saat tubuh raksasa itu bergeser, menggema di dalam gua.

Aku segera mendekat ke bagian dadanya.

"Bisakah kau hancurkan bagian ini, Diego?" tanyaku sambil menunjuk celah di antara kulit kerasnya.

Diego mengangguk lagi, menyelipkan tangannya ke celah-celah itu.

Dengan tenaga yang luar biasa, dia menarik dan merobek sebagian kulit keras itu, membuka bagian lunaknya.

"Segini cukup?" tanyanya, menoleh ke arahku.

"Cukup," jawabku.

Aku segera merogoh tas yang Diego bawa sebelumnya, mengambil kotak medis darinya.

Aku menyayat bagian lunak di dadanya perlahan.

Darah hijau kental mengalir keluar, menetes ke tanah.

Namun, aku tidak peduli.

Tanganku langsung bergerak masuk ke dalam tubuh itu, meraba-raba sesuatu yang terasa seperti pusat dari semuanya.

Rasanya sangat menjijikan, meski mungkin hanya beberapa detik, hingga akhirnya jariku menyentuh sesuatu yang keras dan berbeda dari daging di sekitarnya.

"Dapat!" seruku, menarik tanganku keluar.

Tangan kiriku kini berlumuran darah hijau, tetapi di genggamanku ada sesuatu, benda kecil berbentuk bulat dengan cahaya redup.

Benda yang pernah kulihat sebelumnya.

.

.

.

.

Ketika aku membuka genggaman tangan, sebuah notifikasi biru muncul di depan mataku, melayang di udara.