Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

Diego yang masih tergeletak di tanah melihatku yang terdiam lama.

Matanya yang penuh perhatian menatapku, seolah mencoba menangkap setiap tanda yang bisa menunjukkan kalau aku memang baik-baik saja.

"Kai, kamu oke?" tanyanya dengan suara serak, penuh kekhawatiran.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menenangkan pikiranku yang terus dipenuhi dengan kilasan-kilasan yang datang begitu saja.

Rasanya semuanya begitu kabur, meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali fokus, pikiranku tetap melayang.

.

.

.

.

"Ah... sedikit patah tulang mungkin," jawabku pelan, berusaha meyakinkan Diego meskipun ada rasa cemas yang mengganjal di hati.

"Yah... kurang lebih sama..." jawabnya sambil tersenyum menghela napas panjang, lelah.

Namun tiba tiba teringat akan satu hal.

Diego memandangku dengan tatapan yang tajam, matanya seolah berusaha memeriksa setiap gerak tubuhku.

Aku tahu, dia selalu peduli, bahkan lebih dari yang aku harapkan.

"Bahumu bagaimana?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Ia tidak tampak main-main, jelas ada kekhawatiran di balik suaranya.

Aku memandang luka di bahuku, yang masih terasa perih meski tidak begitu parah.

Aku menatap luka di bahuku, yang masih terasa perih meskipun tidak terlalu dalam.

"Cuma ditusuk sedikit, nggak dalam kok. Lagi pula, ada kotak medis di sini, kan?" jawabku sambil tersenyum tipis, berusaha melucu meskipun rasa sakit masih menyelimuti tubuhku.

Diego tidak membuang waktu. Ia langsung berdiri dan dengan cepat dan melangkah menuju ruangan yang lebih jauh di dalam stasiun bawah tanah, tempat penyimpanan alat medis.

Aku hanya bisa menatapnya, agak bingung dengan reaksinya yang begitu cepat.

"AKU HANYA BERCANDA HEYY!!" teriakku sambil berbaring melihatnya berjalan mencari kotak medis.

.

.

.

.

Manusia satu ini ....

.

.

.

.

Tak lama setelah itu, Diego kembali dengan kotak medis kecil yang terlihat cukup lengkap.

Ia datang dengan ekspresi wajah yang terlihat lega namun tetap khawatir, menunjukkan betapa dalamnya perhatiannya padaku.

"Kai, ada di sini..." ujarnya sambil berlari menghampiriku, wajahnya yang lelah tampak sedikit lebih tenang.

Dengan cekatan, Diego membantuku untuk berdiri dan mulai membersihkan lukaku dan memakaikan perban di bahu yang terluka.

Aku sedikit terkejut dengan betapa ahli dia dalam menangani hal seperti ini, ternyata ia jauh lebih terampil dari yang aku kira.

"Kamu belajar dari mana memakaikan perban?" tanyaku sambil melihat tangannya yang bergerak cepat dan hati-hati, mengamati bagaimana ia melakukannya dengan penuh perhatian.

Diego tersenyum tipis, tanpa menoleh ke arahku.

"Ah... itu dari ibuku. Dulu, ayahku kan pulang-pulang sering babak belur gara-gara selalu melawan preman di jalanan, jadi aku sering lihat ibuku yang merawatnya," jawabnya santai, seolah itu adalah hal yang biasa.

Aku terdiam sejenak, berusaha membayangkan bagaimana ayah Diego, yang ku kenal sebagai pria yang tegas dan penuh kasih sayang, bisa memiliki pengalaman seperti itu.

"Ah... pantas," gumamku sambil mengingat kembali bagaimana gaya ayah Diego yang mirip dengan anjing Siberian Husky, tegas dan setia, tak kenal lelah.

Namun, ada satu hal yang masih menggelitik pikiranku.

.

.

.

.

Mengapa sifat anaknya bisa begitu berbeda?

.

.

.

.

Diego yang penuh energi, ceria, dan seperti anjing Golden Retriever, sangat berbeda dengan ayahnya yang tampak lebih dingin dan keras.

Mereka seakan berasal dari dunia yang berbeda.

.

.

.

.

"Lagipula, kamu kenapa nggak ada sedikit pun sifat seperti Om Harvey sih?" tanyaku sambil tersenyum nakal, mencoba merayakan momen ini meskipun suasana hati kami masih belum sepenuhnya pulih.

Diego tertawa pelan, dan melanjutkan pekerjaannya tanpa banyak bicara.

"Masa kamu nggak tahu sifat ibuku, Kai?" jawabnya dengan nada bercanda, matanya memancarkan sinar kebahagiaan meskipun kami masih terjebak dalam situasi yang tegang ini.

Aku mengangguk pelan, merasa agak malu karena tidak memikirkan hal itu sebelumnya.

"Ah... benar juga kalau dipikir-pikir sifatmu memang mirip ibumu," gumamku, menyadari bahwa aku sudah lama mengenal Diego dan keluarganya, meskipun terkadang aku lupa betapa besar pengaruh ibunya dalam dirinya.

Ibunya adalah sosok yang selalu menjaga dan menguatkan keluarga mereka.

Selesai membalut lukaku, Diego mundur sedikit dan mengamati hasil pekerjaannya dengan teliti.

"Selesai. Mungkin jangan terlalu banyak bergerak, biar tidak memperparah lukanya," katanya sambil tersenyum puas meskipun sedikit lelah.

Aku mengangguk, menahan rasa sakit yang masih sedikit terasa.

"Makasih," ujarku pelan, merasa sedikit lebih baik dengan perawatan yang dia berikan.

Diego hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Santai~," katanya dengan nada ringan, mencoba menghilangkan ketegangan yang masih ada di antara kami, sambil membuka handphone.

Aku menatap layar handphone Diego yang masih berfungsi, berharap ada berita atau petunjuk apapun tentang keadaan di luar sana.

Aku merasa gelisah, tapi tidak ada yang lebih penting dari mengetahui apakah keluarga Diego aman.

Dengan nada yang agak frustrasi, aku berkata,

"Ada kabar dari keluargamu? apakah internet masih bisa berfungsi?"

Diego segera mengambil handphone-nya dan mulai memeriksa.

Beberapa saat kemudian, dia menggelengkan kepala dan berkata,

"Hmm... nggak ada internet sih." Lalu, dia terdiam sejenak, seolah mencoba mencerna sesuatu.

"Kayaknya keluargaku aman-aman aja, soalnya ada ayah. Eh, tapi... ayah ngirim pesan sebelum sinyal mati," lanjutnya, suaranya mulai penuh kebingungan dan kekhawatiran.

Wajahnya yang tadi agak tenang mulai menunjukkan kecemasan yang jelas.

"Lihat!! Apa kataku, katanya aku suruh ke rumah... aku disuruh ke bunker. Dia bilang jangan khawatirkan tentang ibu, aku disuruh mencari tempat aman aja."

"Tipikal Om Harvey sekali, sangat percaya dia bisa diandalkan," gumamku dalam hati, membayangkan sikap ayah Diego yang tegas dan tenang, percaya anaknya sudah bisa hidup mandiri.

"Tapi di luar sama aja. Ada monster jelek ini juga," katanya sambil menunjuk ke makhluk yang sudah tergeletak tak bernyawa di dekat kami.

Aku diam sejenak, merenung, menatap makhluk itu dengan perasaan campur aduk.

Melihatnya di sini, mati di tangan kami, membuatku merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya sedang kami hadapi.

.

.

.

.

"Voraxes ya..." gumamku pelan, menyebut nama ras makhluk itu.

.

.

.

.

Tiba-tiba, pandanganku mulai gelap.

Sensasi aneh merayapi tubuhku, seolah aku terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan lebih kuat dari apapun yang pernah aku rasakan.

Sebuah kekuatan yang tak bisa kubendung.

Rasa panas menyengat di kedua mataku, mengalir melalui setiap urat darahku dengan cepat.

Seperti sebuah aliran energi yang menguasai seluruh tubuhku.

Dalam sekejap, kilasan gambar-gambar cepat mulai muncul di pikiranku, sebuah gambaran yang begitu jelas, seolah aku menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di hadapanku.

Aku melihat medan pertempuran yang kelam, penuh darah dan kehancuran.

Pasukan Voraxes yang menakutkan, serangga raksasa yang dipenuhi duri tajam dan aura kegelapan, berhadapan dengan pasukan elf yang penuh keanggunan dan keberanian.

"Elf?" gumamku, sebuah nama yang sering terdengar layaknya di cerita cerita fantasi novel.

Layaknya menonton film dengan bantuan efek.

"Apakah ini asli?" gumamku ragu apa yang kulihat.

.

.

.

.

Tiba tiba pandanganku dialihkan, seolah olah dipaksa melihat sesuatu yang lain.

Itu adalah sosok Ratu Voraxes.

.

.

.

.

Tubuhnya jauh lebih besar dari penjaga yang baru saja kami kalahkan, dia dalam gua, dijaga oleh makhluk yang kurasa penjaganya.

Makhluk yang sama yang baru saja kami kalahkan.

.

.

.

.

Namun, di balik itu, ada sesuatu yang berbeda.

Aku seperti bisa diarahkan untuk melihat sesuatu, sebuah bagian badannya.

.

.

.

.

Titik lemahnya...

.

.

.

.

Titik kelemahannya terletak di bagian punggungnya, tepat di balik lapisan duri yang tampak tak tertembus.

Duri-duri itu melindungi tubuhnya, namun ada satu titik yang jelas, terbungkus rapat oleh lapisan pertahanan yang tidak mudah ditembus.

Di situlah kelemahannya. Jika ada yang bisa menembus lapisan itu, mungkin itulah kunci untuk menghancurkan Ratu Voraxes.

Saat aku berkedip, pandangan didepanku berbeda lagi.

Aku melihat lebih banyak gambaran, elf-elf yang berjuang mati-matian, namun banyak yang jatuh dalam pertempuran itu.

Di tengah kekacauan, aku melihat seorang elf yang tampak berbeda dari yang lainnya.

Ia mengenakan pakaian perang yang lebih terang dan membawa panah yang bersinar dengan cahaya suci.

Aku kaget karena dia dengan mengalahkan penjaga yang baru saja kami kalahkan dengan mudahnya.

Elf itu tampak memiliki kekuatan yang luar biasa, dan ia berusaha menyerang titik yang tepat di tubuh Ratu Voraxes.

Namun, tepat ketika ia hampir berhasil, Ratu Voraxes menyadari ada yang tidak beres.

Kurasa karena salah satu penjaganya tidak menjawab panggilannya, dan dengan marah, ia mengeluarkan jeritan yang mengguncang seluruh medan pertempuran.

Suara teriakan itu sangat keras, memekakkan telinga, dan penuh dengan amarah yang bisa meresap hingga ke tulang.

Elf itu, yang sudah begitu dekat dengan kemenangan, tidak tahu bahwa suara jeritan itu telah memanggil seluruh pasukan Voraxes.

.

.

.

.

Ratusan...

Tidak. Itu RIBUAN!

.

.

.

.

Dalam pertempuran yang begitu sengit antara satu elf dan ribuan pasukan Voraxes, elf itu akhirnya terjatuh.

Aku terkejut.

Semua kilasan ini adalah gambaran nyata dari pertempuran yang sudah lama terjadi.

Aku bisa merasakannya, pandangan tentang sejarah mereka, tentang pertempuran-pertempuran yang terjadi jauh di masa lalu.

.

.

.

.

Namun, tiba-tiba penglihatanku seolah dilempar kembali ke tubuhku, seperti menandakan bahwa apa yang kulihat sudah cukup.

"Hah...?" aku mengerjapkan mataku, mencoba mengembalikan fokus dan mencerna apa yang terjadi.

Diego yang masih tergeletak di tanah tampak kebingungan melihatku yang tiba-tiba mengeluarkan suara kebingungan.

"Kai, kamu oke?" tanyanya dengan suara serak, seolah khawatir melihatku yang seakan tersesat dalam pikiranku.

Aku terbangun kembali, tubuhku gemetar hebat.

Pikiran rasionalku mulai bekerja dan mengingat bahwa apa yang kulihat itu bukan untuk ditonton.

Tapi itu peringatan.

Rasa panik yang tak terkontrol mulai merasuki pikiranku.

"Tidak... tidak... kita harus kabur sebelum Ratu berteriak!!!" seruku dengan panik, sambil berdiri walaupun badanku seperti hendak hancur.

Waktu semakin sempit, dan aku tahu kami tidak punya banyak waktu.

"Kenapa, Kai? Ada apa?" tanya Diego, suaranya penuh keheranan. Matanya terbelalak, masih tampak kebingungannya yang dalam.

Aku mencoba merapikan pikiranku secepat mungkin.

"Ratu... dia memanggil pasukannya. Jika kita tidak bergerak sekarang, kita tidak akan selamat."

Jantungku berdebar kencang, namun aku berusaha menyusun kata-kata dengan jelas.

Aku tahu kami hanya punya satu pilihan yang sangat berbahaya.

Suara yang sangat keras tiba-tiba menggema dari dalam lorong stasiun, membuatku terperanjat.

Suara itu memekakkan telinga, penuh amarah dan teriakan yang mengerikan.

Suara itu datang dari Ratu Voraxes, dan aku tahu ini adalah pertanda buruk.

.

.

.

.

"KYYEEAAAIAIIIAIIAIAIHHHHHHH!!!"

Teriakan itu mengguncang seluruh tanah, seolah memanggil pasukan dari segala penjuru.

"Brengsek!!!" seruku, merasa panik semakin menguasai diriku.

"Tamat sudah... Ratu memanggil seluruh koloninya!" Aku tak bisa menahan diri lagi.

.

.

.

.

Kami harus segera bertindak.

.

.

.

.

"HAH?" Diego tampak semakin bingung, cemas, dan tak mengerti apa yang terjadi.

"Tidak ada waktu untuk penjelasan!" kataku dengan nada mendesak.

"Kita cuma punya satu opsi, bunuh Ratu atau kita yang terbunuh!" Suaraku semakin parau, aku bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti kami berdua.

Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari ke arah sarang Ratu, meninggalkan Diego yang masih berusaha mencerna kata-kataku.

Aku tahu dia masih belum sepenuhnya paham, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan lebih banyak. Setiap detik yang terlewat bisa menjadi akhir bagi kami.

.

.

.

.

Sesampainya aku didepan sebuah lubang besar yang kupikir baru dibuat di dalam stasiun ini.

Lubang besar ini seperti gua untuk sarang Ratu.

Saat aku masuk aku melihat makhluk itu dengan jelas.

Ratu Voraxes yang sama yang kulihat dari pandanganku tadi.

Makhluk besar dengan tubuh besar dan menjijikkan, tampak tak bisa bergerak selain untuk berkembang biak.

Aku mengingat kembali gambaran yang sempat kulihat tentang pertempuran yang terjadi jauh di masa lalu.

Elf yang mencoba menyerang, hanya fokus pada satu titik yang sama, titik yang berada di belakang duri-duri itu.

Dan meskipun banyak yang gugur dalam pertempuran itu, mereka tetap berusaha untuk menembus pertahanan sang Ratu.

Aku tahu itu karena aku telah melihat kilasan gambar pertempuran elf yang berusaha menembus pertahanan itu, fokus hanya pada satu titik yang sama hingga akhir hayat mereka.

Aku segera mencari benda yang bisa kuberikan untuk melawan, mataku menangkap beberapa batu besar yang berserakan di sekitar tempat itu.

Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat salah satu batu dan mulai memanjat tubuh Ratu Voraxes yang besar.

"Harus bisa... harus bisa," aku bergumam, berusaha menenangkan diriku.

Waktu semakin sempit. Langkah-langkah pasukan serangga terdengar semakin dekat, suara terbang sayap mereka semakin menggema. Keputusan harus cepat.

Aku memukul duri yang melindungi tubuh Ratu dengan batu yang kuangkat.

Namun, durinya terlalu keras dan kokoh, membuatku batu itu hancur.

Aku mencoba menarik duri itu dengan tanganku, tetapi tidak ada hasilnya.

Bahkan tanganku mulai terluka dan berdarah akibat usaha yang sia-sia ini.

.

.

.

.

"Kunghhh... kumohonnnnnnn..." teriakku putus asa, suara permohonanku menggema dalam ruangan ini.

Hanya suara gemerisik pasukan serangga yang semakin mendekat yang terdengar. Aku merasa tenggelam dalam keputusasaan, tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.

.

.

.

.

Tiba-tiba, dalam keputusasaanku, mataku tertuju pada sesuatu yang menyelamatkan kami.

Sebuah pipa besi yang ada di dekatku. Itu Diego, yang datang dengan membawa pipa besi, mencoba mencongkel duri yang menghalangi kami.

"HMMMPPPHHHHHH!" Diego mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi duri itu tetap tak bisa bergerak.

Aku segera membantu dengan menarik pipa dari depannya, sementara Diego terus mendorong.

Dengan tekad yang sama, kami bekerja sama untuk mengeluarkan duri tersebut.

"AYOOOOLLAHHHHHHHHHH!!!" teriakku, berusaha sekuat tenaga.

Aku berdoa agar duri itu bisa terlepas. Setiap usaha kami semakin membuatku putus asa, tetapi aku tahu jika kami tidak berhasil, kami akan mati di sini.

Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, duri itu terlepas!

Namun, dalam kepanikan, pipa besi itu terlempar jauh, meluncur jatuh ke tanah.

Diego segera melangkah maju, berusaha untuk memukul bagian tubuh Ratu yang telah terbuka.

Namun, itu malah membuat Ratu semakin marah, dan tidak bisa menembus lapisan daging itu.

Diego terus menerus memukul namun apalah daya itu hanya membuatnya kesakitan.

Teriakannya semakin mengerikan.

"KYYEEAAAIAIIIAIIAIAIHHHHHHH!!!"

.

.

.

.

Aku menatap Diego, rasa putus asa mulai menyelimuti wajahku.

Tidak tahu lagi bagaimana cara bertahan hidup.

Tapi aku tahu satu hal, jika kami tidak bisa menghentikan Ratu sekarang, semuanya akan berakhir.

Diego, dengan napas terengah-engah, menatapku dengan mata penuh kebingungan dan ketakutan.

Aku bisa melihat betapa dia mencoba memahami situasi ini, tapi tidak ada waktu untuk penjelasan lebih lanjut.

Aku menatap Ratu yang semakin mengamuk, dan tubuhku bergetar, bukan hanya karena takut, tapi juga karena keteguhan untuk bertahan hidup.

Aku harus hidup!