Aku menatap Diego dengan mata penuh keputusasaan, perasaan hampa yang menyelimuti setiap inci tubuhku.
Aku merasa seolah dunia ini runtuh perlahan-lahan di sekeliling kami.
Ratu Voraxes, makhluk mengerikan yang kami hadapi, hampir menghabiskan seluruh kekuatan kami. Tubuhku gemetar, dan pandanganku mulai kabur, seolah sesuatu yang lebih besar dari kami akan segera terjadi.
Kegelapan yang semakin mencekam hanya membuat perasaan hampa itu semakin dalam. Rasa takut begitu pekat, seolah itu menjadi bagian dari udara yang kami hirup.
Suara langkah kaki serangga yang datang dari segala arah menggema di telinga, semakin mendekat, menambah ketegangan yang sudah membebani hati kami.
Aku tahu kami tidak punya banyak waktu.
Tiba-tiba, bisikan lembut namun tegas menghantam pikiranku, seperti suara yang datang dari jauh namun begitu jelas.
Itu suara yang pernah memandu langkahku sebelumnya ketempat sialan ini.
.
.
----------------------------------
~ Tusuk ~
----------------------------------
.
.
Itu suara yang sama, suara yang pernah memandu langkahku ke tempat sialan ini.
Instingku bekerja seketika, aku menatap Diego yang tampaknya sedang menyeimbangkan tubuhnya, berusaha bertahan di atas tubuh Ratu Voraxes yang terus mengamuk.
"Benda tajam! Pipa!" teriakku dengan penuh harapan.
Suara itu, petunjuk itu, terasa begitu nyata dan kuat, seolah ada yang menuntun untuk bertindak lebih cepat, untuk tidak memberi kesempatan bagi Ratu Voraxes dan pasukan serangganya.
Diego tak ragu.
Dengan ketangkasan yang luar biasa, dia meluncur turun dari tubuh Ratu, berlari cepat mencari pipa yang tadi terlempar jauh.
Aku bisa mendengar langkah kaki serangga yang semakin mendekat, semakin jelas, dan semakin menakutkan. Aku tahu ini adalah momen yang menentukan.
"Kai! Tidak ada waktu!" teriak Diego, suaranya penuh urgensi, dan aku bisa melihat betapa cemasnya dia.
Matanya yang tajam menatapku, jelas terlihat kecemasan yang tak bisa dia sembunyikan.
"TANGKAP!"
Semua terasa berjalan begitu cepat, dan seolah waktu berputar lebih lambat. Pipa itu meluncur ke arahku dengan kecepatan tinggi.
Aku mengulurkan tangan, berusaha menangkapnya dengan segenap kekuatan yang tersisa, tubuhku gemetar, tetapi aku tahu ini adalah satu-satunya peluang kami.
"DAPAT!" teriakku dengan suara penuh kemenangan saat akhirnya aku berhasil menangkap pipa itu tepat sasaran.
Namun, tidak ada waktu untuk merayakan kemenangan kecil ini.
Aku langsung menyadari bahwa segerombolan serangga yang baru saja masuk ke sarang Ratu kini sudah berada di dalam jarak yang sangat dekat.
Jumlah mereka sangat banyak, terlalu banyak, dan panikku semakin meningkat.
Keringat mulai membasahi pelipisku, tubuhku kaku, namun aku tahu tak ada waktu lagi.
Ratu Voraxes semakin menggeliat di atas tanah, terkejut dengan apa yang sedang kami lakukan. Jika kami tidak segera bertindak, semua usaha ini akan sia-sia.
"KUMOHONNNNNNN!" Aku berteriak dengan seluruh kekuatan yang ada di dalam diriku, mengerahkan energi terakhir yang tersisa.
Pipa yang aku pegang kuangkat tinggi dan langsung menusukkan ujungnya ke titik kelemahan sang Ratu, tepat di bagian punggungnya, tempat yang aku tahu adalah titik paling rapuh dari makhluk ini.
Saat ujung pipa itu menyentuh titik yang tepat, Ratu Voraxes mengeluarkan teriakan keras yang mengguncang seluruh ruang bawah tanah.
"KHEUAAIAAAAAAAA!" Suara teriakannya begitu memilukan, namun dalam momen itu, aku hanya bisa merasakan getaran hebat yang mengiringi jeritan itu.
Tanah di bawah kami bergetar, seolah dunia ini hendak terbelah.
Dari ujung pipa yang menancap pada titik kelemahan sang Ratu, cairan hijau kental mulai menyembur keluar.
Cairan itu mengotori tanah, menyebar begitu cepat, seiring tubuh sang Ratu yang mulai melemah.
Setiap tetes cairan yang jatuh seolah menjadi pertanda bahwa kami semakin dekat untuk mengalahkan makhluk ini.
Segala sesuatunya berlangsung begitu cepat, namun aku bisa merasakannya jelas.
Ratu itu mulai kehilangan kekuatannya, dan tubuhnya yang semula bergerak dengan amarah mulai melambat. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya yang besar mulai runtuh.
Namun, yang paling mengejutkan adalah perubahan yang terjadi pada pasukan serangga yang sebelumnya masuk ke sarang Ratu.
Mereka mulai bergerak lebih lambat, bahkan berhenti total, tidak lagi bergerak seperti makhluk hidup.
Seiring dengan melemahnya tubuh sang Ratu, pasukan serangga itu pun mulai berubah menjadi abu. Tubuh mereka menghilang dengan cepat, seiring dengan kematian sang Ratu Voraxes.
Seperti ada ikatan hidup yang menghubungkan mereka semua, dan begitu sang Ratu jatuh, mereka pun ikut musnah.
Kesunyian yang mencekam melanda ruang bawah tanah itu. Tidak ada lagi suara selain napas kami yang berat, tanda bahwa kami baru saja mengalahkan makhluk yang mengancam hidup kami.
Aku berdiri terpaku sejenak, merasa bingung antara lega dan cemas. Tubuhku masih gemetar, dan meski kami telah mengalahkan Ratu Voraxes, aku tahu bahaya belum sepenuhnya berakhir.
.
.
.
.
----------------------------------
Pemberitahuan Kosmik : Ras Menengah-Kebawah
----------------------------------
Pemimpin koloni Voraxes telah meninggal.
Ras Voraxes tereliminasi dari proses awal evolusi era kosmik.
----------------------------------
.
.
.
.
Pop-up baru muncul di layar sistem, cukup mencuri perhatianku di tengah kekosongan yang masih terasa begitu berat di sekelilingku.
.
.
.
----------------------------------
Selamat Telah Menyelesaikan Hidden Quest
----------------------------------
Hadiah: Penciptaan Jalur Lanjutan Kelas Baru Seeker Sesuai Keinginan
Katakan siap jika sudah memutuskan keinginan apa yang akan dibuat
----------------------------------
.
.
.
Pesan itu jelas tertera, berpendar di layar, namun aku tidak segera menjawabnya.
Semua yang kuinginkan saat itu adalah waktu untuk pulih. Waktu untuk mengosongkan pikiran yang masih terperangkap dalam bayang-bayang pertempuran tadi.
Aku mengabaikan pesan itu, memberi lebih banyak perhatian pada rasa berat yang menghinggapi tubuhku, yang sepertinya tidak akan bisa pulih begitu saja dalam sekejap.
Langkahku terhuyung-huyung, dan aku merosot turun dari tubuh besar Ratu Voraxes yang kini tergeletak tak berdaya, terkulai di tanah.
Rasanya, seperti beban yang terangkat sedikit setelah sekian lama bergumul dengan ketegangan. Aku duduk di samping tubuhnya, tak mempedulikan bau tak sedap yang mulai tercium dari tubuh mayat itu.
Bagiku, itu hanya sebuah penopang sementara, seakan menenangkan rasa lelah dan putus asa yang menguasai diriku.
Di sisi lain, Diego masih tampak berdiri, wajahnya penuh kebingungan, seolah tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Dia berjalan mendekatiku, kecemasan jelas terlukis di wajahnya.
Aku mengangkat telapak tangan untuk menutupi wajahku, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang mendalam.
"Itu... sangat horor..." kata Diego pelan, suaranya berat saat menatap tubuh Ratu Voraxes yang terbaring tak bernyawa.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, mengkhawatirkan kondisiku.
Aku terdiam. Bahkan diriku sendiri tidak tahu apakah aku baik-baik saja. Pertanyaan itu terasa kosong.
Entah untuk Diego, entah untukku. Aku hanya bisa tersenyum lemah, mencoba meyakinkan dirinya, meskipun aku tahu senyum itu tidak benar-benar meyakinkan, bahkan untuk diriku sendiri.
"Apakah kita dengan bodohnya baru saja mencoba masuk ke pemakaman kita sendiri?" ujarku, nada frustrasi terdengar dalam suaraku.
"Seharusnya kita tidak mengikuti bisikan bodoh itu... Seharusnya kita berhenti sejak awal."
Diego menghela napas panjang, seolah merasakan kedalaman kegelisahanku. Wajahnya yang biasanya cerah kini nampak suram, tubuhnya tampak lebih lelah daripada sebelumnya.
"Ini sudah selesai, kan?" tanyaku, meskipun aku tak sepenuhnya yakin dengan kata-kata itu.
Diego menatap layar sistem yang masih menyala di hadapannya.
"Kupikir begitu," jawabnya pelan, matanya tampak ragu.
"Sistem mengatakan bahwa ras ini sudah tersingkir dari proses. Seharusnya kita aman sekarang."
Aku mengangguk perlahan, tapi masih ada satu hal yang mengganjal di pikiranku.
"Omong-omong... terima kasih atas bantuanmu," kataku, berusaha mengucapkan kata-kata penghargaan meskipun rasa lelah dan kebingungan mendominasi pikiranku.
"Kupikir kamu akan pergi meninggalkanku."
Diego tersenyum, senyum yang selalu membuat suasana sedikit lebih cerah, meskipun tak bisa menghapus rasa berat dalam hatiku.
"Mana mungkin aku ninggalin kamu begitu saja," jawabnya, suaranya penuh keyakinan.
"Aku kan sudah janji ke ibumu."
"Sudah kubilang kan kamu sebaiknya melupakan janji itu?" jawabku dengan nada yang sedikit tajam. Aku berusaha menyembunyikan kesedihan di balik kata-kataku.
"Toh ibuku sudah tidak ada lagi."
Diego mendekat, dengan perhatian yang mendalam. Dia membantu aku berdiri, tangannya yang kuat memberi dukungan meski aku masih merasakan kelelahan yang luar biasa.
"Aku tidak akan melupakan janji itu," katanya dengan lembut, matanya menatapku serius.
"Janji itu bukan untuk ibumu, tapi juga untukmu."
Aku hanya bisa menghela napas panjang, merasa sedikit cemas namun juga terharu dengan kata-katanya.
Ada kehangatan dalam sikapnya, meskipun aku masih merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diriku.
Ketika aku merasa sedikit lebih kuat, aku melihat layar sistem yang menampilkan waktu misi bertahan hidup yang tersisa.
.
.
----------------------------------
00:07:49
----------------------------------
.
----------------------------------
00:07:48
----------------------------------
.
.
"Jadi, sekarang apa?" tanyaku, mencoba memecah keheningan yang masih menguasai kami.
"Masih ada dua menit sebelum mereka memberitahukan kita lokasi zona amannya. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
Aku berusaha menenangkan diri, berfokus pada hal-hal praktis.
Diego memikirkan sejenak, lalu mengangguk perlahan.
"Mm... Mungkin kita bisa beristirahat dulu, cari tempat yang lebih aman?" Suaranya penuh kelelahan, tetapi di matanya masih ada semangat yang tidak hilang.
"Kita butuh waktu untuk pulih, Kai. Kita sudah melalui banyak hal."
"Omong-omong, kamu dapat hadiah dari hidden quest itu, kan?" tanya Diego dengan nada ringan, seolah tidak ada yang istimewa.
Aku terkejut dengan pertanyaannya, aku hampir melupakan tentang pop-up yang muncul tadi.
"Ah, aku dapat. Kamu juga?"
"Iya," jawabnya, sambil menggaruk belakang kepala.
"Padahal kamu yang membunuh, bukan aku," kata Diego, aku merasakan sedikit emosi bersalah karena menerima hal itu.
Aku memutar mataku, tertawa pelan meskipun perasaan lelah masih menyelimuti tubuhku. '
"Aku akan lebih marah kalau kamu tidak dapat. Kita semua berkontribusi, Diego. Tanpa kamu, aku tidak akan bisa melakukan ini sendiri." aku memutar mataku dengan pelan, mencoba sedikit melupakan ketegangan yang masih menggelayuti diriku.
Diego hanya tersenyum, senyuman yang aku rasa sudah cukup untuk mengurangi sedikit ketegangan di udara yang masih terasa berat.
"Eh, jadi, tertulis kita bisa membentuk jalur lanjutan kelas kita sesuai keinginan," katanya, membahas pop-up yang muncul.
"Maksudnya apa, ya?"
Aku memikirkan sebentar, lalu menjawab dengan hati-hati.
"Mungkin... semisal kalau kamu ingin jalur lanjutan kekuatanmu, itu bisa dibuat sesuai dengan keinginanmu, jenis kekuatan yang kamu pilih."
Diego mengangguk dan terlihat langsung antusias.
"Hmm... kalau begitu, yang diinginkan, ya..." Dia mulai berpikir keras, jelas sekali, dia sudah sangat ingin mencoba mengubah jalur kelasnya.
"Umm... sebaiknya dipikirkan dulu, Diego... TUNGGU-" aku mencoba memberi peringatan, tetapi sudah terlambat.
Sebelum aku bisa melanjutkan, cahaya emas tiba-tiba menyelimuti tubuh Diego, seolah-olah seluruh ruang sekitar kami memancarkan aura berkilauan.
Efek itu seperti yang biasa kita lihat dalam game ketika karakter mengalami level up.
tiba tiba muncul aura cahaya emas disekitar diego, jika dilihat lihat sama seperti game jika kamu level up efek seperti itu ada.
"Woahhh... luka-luka ku... perlahan sembuh?" Diego berkata, sambil memutar-mutarkan tangannya, seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
Aku hanya bisa menatapnya dengan takjub, tak pernah terpikirkan hal seperti ini bisa terjadi begitu cepat.
aku melihat adegan itu dengan takjub...
"Kai, KAMU HARUS BUAT PERMOHONAN SEKARANG!!! LUKAMU BISA SEMBUH!" Diego berkata dengan penuh semangat, wajahnya berseri-seri, jelas sekali dia sangat terkesan dengan perubahan yang terjadi padanya.
"A... K- kamu bikin keinginan apa tadi?" tanyaku dengan nada tergesa, tak tahu apa yang sedang terjadi.
Diego tertawa, tampak sedikit bingung.
"Ah, tadi... apa ya... aku lupa... sebentar," jawabnya, sambil mengerutkan kening, berusaha mengingat kembali apa yang dia pilih.
Setelah beberapa detik, wajahnya menyala, dan dia berkata dengan penuh keyakinan,
"Ohhh... aku ingat! Aku ingin selalu bisa melindungi orang-orang terdekatku dengan berani. Sekarang aku dapat kelas 'The Brave Warrior', yang meningkatkan daya tahan tubuh dan kemampuan bertarungku!" Diego berkata dengan penuh semangat.
"Cepat, Kai! Kamu juga harus naik kelas! Agar lukamu bisa sembuh!"
Aku terdiam, ragu sejenak. Tidak mudah untuk membuat keputusan seperti ini. Namun, aku tahu ini adalah kesempatan langka, dan mungkin jalan terbaik untukku. Aku menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah," ujarku, mencoba menenangkan pikiranku.
Aku kembali menatap pop-up yang muncul sebelumnya di layar sistem. Waktu terasa berjalan begitu lambat saat aku membaca pesan yang tertera.
.
.
.
.
----------------------------------
Selamat Telah Menyelesaikan Hidden Quest
----------------------------------
Hadiah: Penciptaan Jalur Lanjutan Kelas Baru Seeker Sesuai Keinginan
Katakan siap jika sudah memutuskan keinginan apa yang akan dibuat
----------------------------------
.
.
.
.
Aku siap...
----------------------------------
Buatlah Keinginan Sekarang
----------------------------------
.
.
.
Aku memejamkan mata, merasakan setiap tarikan napasku, mencoba fokus pada keinginan yang benar-benar datang dari hati.
Aku tahu, keinginan ini bukan hanya tentang meningkatkan kekuatanku, tetapi lebih dari itu, ini tentang mencari jawaban atas hal ini.
Pemikiranku melayang, teringat akan perjalanan panjang yang telah kulalui. Ketidaktahuan sering kali menjadi musuh terberat, menutup mataku dari kebenaran yang tersembunyi.
Aku merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar yang harus aku temukan, sesuatu yang lebih dari sekadar pertempuran dan kekuatan.
.
.
'Hanya mereka yang mencari kebenaran yang dapat mengungkap rahasia dunia dan mengubah takdir mereka.'
Kalimat itu kembali terngiang di pikiranku, seakan menjadi pemandu di tengah kegelapan.
'Jauhkan aku dari kebohongan yang meracuni pikiran, dan bimbinglah aku menuju cahaya kebenaran yang tersembunyi di balik segala misteri ini.'
.
.
Hatiku bergetar. Keinginan ini bukan hanya tentang diriku sendiri, melainkan tentang dunia yang lebih luas.
Aku ingin mengungkap kebenaran yang lebih dalam dari apa yang sudah aku ketahui, mencari jawaban atas segala misteri ini, untuk diri sendiri, untuk dunia, dan untuk mereka yang ada di sekitarku.
Itulah keinginanku.
Aku membuka mataku perlahan, merasakan energi yang mengalir melalui tubuhku.
Namun, apa yang aku lihat... bukanlah apa yang kutunggu.
Aku bukan lagi berada di stasiun bawah tanah itu, bukan lagi bersama Diego. Aku tidak merasakan tanah di bawah kakiku, tidak ada suara di sekitarku.
Aku merasa ringan, seakan melayang.Aku bukan lagi berada di stasiun bawah tanah itu, bukan lagi bersama Diego. Aku tidak merasakan tanah di bawah kakiku, tidak ada suara di sekitarku. Aku merasa ringan, seakan melayang.
Aku menatap ke bawah, dan tak melihat tubuhku.
Bukannya tubuh fisikku, aku kini menyadari ini adalah ruhku. Aku mengambang, melayang di ruang kosong yang tak berbatas, luar angkasa.
Kosong. Tanpa batas. Tanpa arah.
"APA LAGI INII YA TUHANNNNN!!!!!! DI MANA AKUU?!" teriakku mesikpun tidak ada suara yang keluar, panik dan lelah itulah emosi yang kurasakan sekarang akan cobaan yang tidak ada habisnya.