Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 2 - Chapter 1

Chapter 2 - Chapter 1

"Kai."

"Kailendra Ador Saputra."

Aku menggumamkan namaku dalam hati, mencoba meyakinkan diriku bahwa aku masih berdiri di sini, di dunia nyata.

Sudah sembilan belas tahun aku hidup, namun entah kenapa, semuanya terasa seperti bayangan samar yang datang dan pergi tanpa peringatan.

"Hari ini, ya?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri, sambil menghela napas panjang. Diego, yang berdiri di sampingku, menoleh, alisnya sedikit terangkat.

"Ya, hari ini," jawabnya singkat, matanya berbinar saat menatap langit.

.

.

.

.

Delapan planet sejajar sempurna di atas sana, menciptakan panorama yang tak tertandingi.

Orang-orang di sekitarku bersorak kegirangan, banyak yang mengarahkan ponsel mereka ke langit, mencoba mengabadikan momen langka ini.

Namun, aku hanya diam, lebih memilih menyimpan semuanya dalam ingatan. Sorak-sorai itu terdengar seperti gema yang jauh, seolah aku berada di dunia lain.

.

.

.

.

Aku seorang psychic, atau yang biasa disebut dengan indigo.

Sebutan yang membuatku lebih banyak berpikir tentang kutukan daripada anugerah.

.

.

.

.

Dunia ini, bagi kebanyakan orang, hanyalah satu realitas.

Satu tempat di mana segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, logis, kasatmata, dan dapat dipahami.

Namun, bagiku, dunia ini terbagi menjadi dua.

Dunia nyata, tempat semua orang hidup tanpa menyadari apa yang tersembunyi di balik pandangan mereka.

Dan dunia lain, yang hanya bisa kulihat.

Dunia yang tidak kasatmata, dipenuhi oleh sosok-sosok yang keberadaannya sering kali tak diakui.

Hantu, roh, bayangan... sebut saja apa yang kau mau.

Mereka ada di sini.

Tidak selalu tampak, tidak selalu nyata, tetapi mereka ada.

Namun, itu bukanlah hal yang paling menggangguku.

Yang paling membebani adalah sesuatu yang jauh lebih dekat, sesuatu yang tidak pernah bisa kuhindari.

.

.

.

.

Kemampuanku membaca emosi manusia.

.

.

.

.

Aku tidak memintanya.

Aku tidak menginginkannya.

Tapi itu ada, menempel erat padaku, seperti bayangan yang tak pernah meninggalkan tubuh.

Setiap kali aku melihat seseorang, perasaan mereka seolah terpancar begitu saja, membanjiri pikiranku dengan sensasi yang bukan milikku.

Bahkan ketika mereka mencoba menyembunyikannya, senyum palsu atau kata-kata manis tidak pernah bisa menutupi emosi mereka yang sebenarnya dariku.

Dan itu… itu adalah kutukan.

.

.

.

.

Tapi mau bagaimanapun aku harus tetap belajar bukan mengenai kutukan ini?

Orang gila mana yang akan menerima kutukan tanpa tahu bagaimana mengendalikan dan menyembuhkannya?

Namun, apa yang aku lihat, apa yang aku rasakan, tidak bisa aku bagikan dengan siapa pun.

Tidak dengan orang-orang yang aku anggap dekat.

Semua ini hanya untukku, dan aku harus menyimpannya sendiri.

.

.

.

.

Aku berdiri di tepi jalan utama kota, memandangi langit yang mulai gelap.

Gemerlap lampu kota berpadu dengan cahaya redup senja yang tersisa, menciptakan suasana yang entah kenapa terasa menyesakkan.

"Kenapa? Kamu nggak suka perayaan semacam ini?" suara Diego tiba-tiba terdengar di sampingku, memecah keheningan yang aku nikmati.

Aku menggeleng pelan, tanpa menoleh.

"Aku sebenarnya nggak tertarik. Kamu aja yang maksa aku ke sini."

Diego tertawa kecil. Nada tawanya ringan, meskipun aku tahu ada sedikit kebingungan di baliknya.

"Tapi ini momen langka banget, Kai. Semua orang antusias. Kamu beneran nggak penasaran?"

Aku mengangkat bahu, tetap tanpa menatapnya.

"Aku lebih suka diam di rumah. Kalau bisa, aku mau jadi batu saja."

Diego tertawa lebih keras kali ini, sedikit terlalu keras untuk suasana hatiku yang sedang murung.

"Batu? Batu kerikil, gitu?" candanya sambil menepuk bahuku.

"Ayolah, Kai," lanjutnya, suaranya lebih lembut sekarang.

"Jangan bilang kamu nggak lihat apa yang ada di atas sana. Delapan planet, sejajar. Ini fenomena besar yang cuma terjadi puluhan ribu tahun sekali. Siapa tahu ada makna khusus di balik semua ini."

"Makna apa?" balasku datar. Pandanganku tetap tertuju ke langit.

Diego terdiam sebentar, mungkin mencari jawaban.

"Orang-orang senang karena mereka pikir ini keren." jawabku tanpa menunggu Diego mencari jawaban.

Aku mendesah pelan, tidak ingin memperpanjang diskusi.

Mataku memandang ke atas.

Orang-orang terus bersorak, tertawa, dan mengabadikan momen ini.

Tapi aku? Aku tetap di tempatku, membiarkan pikiranku berkelana.

Mungkin untuk malam ini, aku memutuskan untuk diam, hanya menjadi penonton yang menyaksikan pemandangan luar biasa ini.

Dan mungkin, hanya mungkin, mencoba menikmati momen yang singkat ini.

.

.

.

.

Aku memperhatikan mereka dalam diam, mataku menyapu kerumunan tanpa benar-benar tertarik pada hiruk-pikuk tersebut.

Ada sesuatu yang aneh di udara.

Aku bisa merasakannya, meskipun samar.

Ada sensasi ganjil yang merayap di bawah kulitku, seperti sebuah bisikan halus dari dunia yang tak terlihat.

Orang-orang tampak terpapar oleh sesuatu yang tidak mereka sadari.

"Kenapa nggak ikut foto-foto juga?" Suara Diego memecah lamunanku.

Dia melirik ke arahku sambil tersenyum lebar, seolah-olah fenomena ini adalah pesta besar yang wajib dirayakan.

Aku hanya menggeleng. Tatapanku tetap terpaku pada langit yang perlahan meredup, seolah bayangan besar mulai menyelimuti langit malam.

"Nggak penting," jawabku singkat.

Diego mendesah kecil.

"Kai, serius, kapan lagi kita bisa lihat pemandangan kayak gini? Semua orang juga menikmatinya. Kamu justru nggak tertarik sama sekali"

Aku tidak segera menjawab.

Ada sesuatu yang lain yang mengusik pikiranku. Perasaan yang sulit dijelaskan, namun cukup kuat untuk membuatku tetap gelisah.

"Ada yang nggak beres," gumamku pelan, hampir seperti berbicara dengan diri sendiri.

"Hah? Maksudnya apa?" Diego mengerutkan dahi, suaranya terdengar bingung namun juga penuh rasa ingin tahu.

Aku menggeleng pelan, mencoba mengabaikan dorongan aneh itu.

"Entahlah... rasanya ada sesuatu yang salah."

Diego menatapku dengan pandangan heran.

"Paranoid lagi?" katanya sambil tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan. Tangannya yang hangat menepuk bahuku.

"Ayolah, ini fenomena luar biasa. Rileks sedikit, Kai. R-I-L-E-K-S Nikmatin aja momen ini."

Senyum tipis merekah di wajahku, tapi aku tahu senyum itu kosong—lebih seperti topeng yang aku kenakan untuk membuatnya berhenti bertanya.

"Iya, iya... fenomena luar biasa," jawabku datar berusaha menghargai Diego.

Aku memandang Diego dari sudut mataku.

Dia masih tersenyum lebar, wajahnya begitu cerah, seolah-olah tidak ada yang salah di dunia ini. 

.

.

.

.

Aku teringat saat pertama kali bertemu Diego. Itu sudah lama sekali, saat kami masih duduk di bangku SMP, dan rasanya seperti kejadian itu baru kemarin.

Seperti yang ku katakan, aku memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seseorang, kemampuan yang aku bahkan benci.

Yang bahkan sebelum mereka mengucapkan sepatah kata pun aku sudah tahu niatnya.

Marah, takut, jijik, senang, iri, benci... semuanya terlalu jelas.

Perasaan-perasaan itu sering kali muncul di sekitar orang-orang yang mendekatiku.

Rasanya seperti aku yang menyusup ke dalam pikiran mereka, dan aku bisa merasakannya, bahkan jika mereka mencoba menyembunyikannya.

Namun, ada satu hal yang berbeda ketika seorang manusia aneh menghampiriku.

Hari itu, aku sedang duduk sendirian di sudut kelas, menatap kosong ke jendela, seperti biasa.

Tiba-tiba, aku mendengar suara yang begitu ceria dan penuh semangat.

Aura emosinya begitu murni dan tulus, seperti cahaya yang tidak pernah ternodai.

Aku bisa merasakan bahwa dia benar-benar tidak memiliki niat jahat, tidak seperti kebanyakan orang yang datang dengan motif tersembunyi.

"Hei, salam kenal! Namaku Diego. Diego Sebastian Carter. Tapi panggil Diego aja. Gimana menurutmu, keren kan namanya?"

Suara itu datang begitu saja, tanpa peringatan.

Aku menoleh ke arah suara itu, dan di sana dia berdiri, dengan senyum lebar di wajahnya dan mata yang berbinar.

Dengan percaya diri, ia mengedipkan sebelah matanya, seolah-olah ingin memberiku pesan bahwa dia yakin dengan dirinya sendiri.

Aku memiringkan kepala, sedikit bingung.

.

.

.

.

Apa ini orang? Ada apa dengan dia?

.

.

.

.

Ketika orang lain mendekat, mereka biasanya membawa perasaan canggung atau ketakutan tanpa sadar.

Tapi Diego? Tidak.

Dia hanya tersenyum, seolah-olah kami sudah lama saling kenal.

Seperti kubilang, manusia ini memang aneh.

.

.

.

Hal yang bisa aku deskripsikan tentang Diego adalah sosok yang sangat kuat, meskipun dia bukan orang yang selalu berpikir jangka panjang.

Dia lebih banyak bertindak berdasarkan impuls, kadang-kadang tanpa memikirkan konsekuensinya.

Bahkan ketika aku dirundung.

.

.

.

.

Namun kita tidak akan membahas itu.

menjijikan

.

.

.

.

Ada satu ciri khas yang tak pernah berubah, selalu membawa aura positif.

Karena dia selalu tersenyum.

.

.

.

.

Ya, senyuman itu.

Senyumannya selalu tulus, datang dari dalam hati, dan entah bagaimana membuat semua orang di sekitarnya merasa nyaman.

Meskipun aku sempat berpikir ada yang salah dengan otaknya, mungkin sedikit ceroboh atau terlalu percaya diri, tapi senyuman itu sangat tulus dan berasal dari emosinya yang murni.

Itu membuat aku merasa seolah-olah dunia ini tidak sepenuhnya buruk, seperti ada secercah harapan di tengah segala kegelapan.

Karena dia menunjukkan dirinya apa adanya, tanpa berpura-pura.

.

.

.

.

Saat itu, aku sedang melamun, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Tanpa peringatan, dia membuka suara.

"Aku ingin masuk perguruan tinggi militer," katanya, suaranya terdengar tegas, jauh berbeda dari biasanya.

Aku terdiam sejenak, memalingkan wajah untuk menatapnya dengan heran.

Kali ini, ada keseriusan yang sulit diabaikan dalam nada suara dan emosi yang kurasakan. Tatapannya penuh dengan harapan, sesuatu yang jarang kutemui darinya.

"Serius?" tanyaku akhirnya, memecah keheningan yang tercipta di antara kami.

Diego mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi pasti.

"Ya, sangat serius. Aku sudah memikirkan ini sejak lama."

Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apakah dia benar-benar yakin dengan apa yang baru saja dia katakan.

Tubuhnya yang berotot dan postur tegapnya memang cocok dengan gambaran seorang prajurit. Rambutnya yang selalu dipotong pendek gaya buzz-cut khasnya semakin menambah kesan bahwa dia lahir untuk hal seperti ini.

"Kalau cuma dari penampilan, aku yakin orang-orang militer bakal langsung menerimamu," candaku, mencoba mencairkan suasana.

Namun, di balik lelucon itu, aku ingin memastikan satu hal.

"Tapi... apakah kamu benar-benar yakin ini yang kamu mau?"

Diego terdiam sejenak, menundukkan pandangannya seperti sedang menyusun kata-kata yang tepat.

Ketika dia kembali menatapku, matanya kembali penuh dengan tekad.

"Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang aku anggap keluarga. Aku ingin punya kekuatan untuk menjaga mereka."

Kata-katanya membuatku terpaku. Aku tahu dia serius. Kali ini bukan sekadar angan-angan sesaat atau ide impulsif.

"Ya, aku percaya kamu bisa melakukannya," jawabku akhirnya.

"Tapi, kamu tahu kan, aku bukan orang yang paham soal impian seperti itu."

Diego tertawa kecil, sebuah tawa yang ringan tapi menenangkan.

"Nggak apa-apa. Aku cuma ingin kamu tahu aja,"

Aku menatapnya lebih lama, mencoba membaca lebih dalam.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Oh ya... bagaimana dengan rencana ikut ayahmu ke Amerika? Kalau kamu benar-benar mau masuk militer, bukannya lebih mudah mulai dari sana?"

Diego mendesah pelan, sebuah ekspresi yang jarang kulihat darinya.

"Aku sempat memikirkan soal itu. Katanya itu akan membuka lebih banyak peluang. Tapi... aku nggak yakin, Kai. Kalau aku mulai dari sana, semuanya jadi terasa seperti jalan yang ditentukan oleh ayah, bukan aku."

Aku mengangguk pelan, mencoba memahami perasaannya.

Diego selalu punya hubungan yang rumit dengan ayahnya, Harvey.

Sebagai seorang diplomat yang terkenal disiplin, ayahnya sering memiliki harapan besar untuk Diego, harapan yang terkadang terlalu berat untuk ditanggung.

"Jadi, kamu memilih untuk tetap di sini dan memulai dari nol?" tanyaku, mencoba memastikan keputusannya.

Diego mengangguk lagi.

"Ya. Aku ingin sesuatu yang benar-benar milikku. Aku ingin membuat jalan hidupku sendiri."

Aku tersenyum kecil, membayangkan Diego harus menghadapi omelan panjang ayahnya.

"Kalau begitu, siap-siap saja diceramahi om Harvey. Aku yakin dia nggak akan tinggal diam kalau tahu rencanamu."

Diego tertawa, kali ini lebih lepas.

"Yakinlah, Diego. Apa pun yang kamu pilih, aku percaya kamu akan berhasil."

Senyumnya kali ini lebih hangat, lebih dalam. Itu adalah senyum yang selalu bisa membuat orang di sekitarnya merasa lebih baik, termasuk aku.

"Akan kuingat itu, Kai. Terima kasih."

Aku mengangguk, tapi dalam hati aku merasa canggung. Aku bukan tipe orang yang pandai memberikan dukungan emosional seperti ini.

Diego selalu begitu, penuh harapan dan impian besar.

Sedangkan aku?

Aku lebih sering terjebak dalam kebingungan dan keraguan.

Namun, entah bagaimana, melihat semangat Diego memberiku secercah keyakinan.

Keyakinan bahwa mungkin aku juga bisa menemukan impianku sendiri, suatu saat nanti.

Suatu hari nanti....

semoga...

.

.

.

.

Diego menggoyangkan bahuku dengan penuh semangat, hampir membuatku kehilangan keseimbangan.

"Kai, lihat ini! Ini luar biasa! Langitnya... benar-benar luar biasa!" teriaknya, matanya berbinar penuh kekaguman.

Aku mengangkat kepala, menatap langit yang berangsur kelam.

Warna oranye dan merah muda senja kini tergantikan oleh gelap yang pekat, dihiasi ribuan bintang yang terlihat lebih terang dari biasanya.

Namun, keindahan itu terasa ganjil. Udara terasa berat, dan suasana menjadi aneh, seolah-olah alam tengah menahan napas.

Kota yang tadinya ramai oleh deru kendaraan dan obrolan kini berubah.

Sorak-sorai terdengar dari segala penjuru, orang-orang mengeluarkan ponsel mereka, merekam fenomena langka ini. Suara kamera ponsel mengambil gambar dan video mengisi udara.

Tiba-tiba, kekacauan kecil mulai terjadi.

Satu per satu ponsel mati tanpa alasan jelas. Bukan hanya milik satu atau dua orang, tetapi semuanya.

"Eh, kenapa ponselku mati?" suara seorang wanita terdengar dari arah kerumunan, nadanya cemas.

"Kenapa ya? Punyaku juga nggak nyala!" seru seorang pria dari sisi lain.

Diego mengerutkan alis.

"Apa yang terjadi?" tanyanya, matanya melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu.

"Listrik mati juga? papan siaran di gedung itu mati" kata seseorang memberitahukan temannya.

Aku menoleh kepadanya dengan perasaan tidak nyaman.

"Ponselmu masih menyala?" tanyaku, meski aku sudah menduga jawabannya.

Diego mengeluarkan ponselnya dari saku, menekan tombol daya beberapa kali.

Dia menggeleng sambil mengangkat bahu.

"Nggak. Baterainya masih penuh tadi, tapi sekarang malah mati total," jawabnya, nadanya mulai terdengar khawatir.

Aku menghela napas, mencoba mencerna situasi yang terasa semakin aneh.

"Apa ini... pemadaman listrik massal? Tapi kenapa semua ponsel juga mati?"

Ketegangan di udara semakin terasa. Orang-orang mencoba menyalakan ponsel mereka dengan panik, menekan-nekan tombol daya seolah itu bisa memulihkan keadaan.

Diego menoleh ke arahku.

"Kota ini bakal gelap gulita,"

.

.

.

.

Belum sempat aku menjawab, sesuatu yang lebih aneh terjadi. Sebuah cahaya biru muncul di depan ku, seperti layar holografik yang memancarkan kilauan dingin.

"APA APAAN INI" teriak wanita muda kebingungan.

"Diego kau melihatnya juga?" tanyaku bingung.

"Layar biru? iya, apa apaan ini? prank?" jawabnya dengan kebingungan juga

Aku mundur selangkah, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Di layar itu, tulisan besar berwarna perak muncul. 

.

.

.

.

----------------------------------

Pemberitahuan Kosmik -

----------------------------------

Bumi akan berevolusi ke tingkat yang lebih tinggi di alam semesta.

----------------------------------

.

.

.

.

Keheningan langsung menyelimuti kerumunan. Tidak ada lagi obrolan atau suara kamera. Hanya desahan napas, langkah kaki yang ragu, dan bisikan kecil terdengar di antara orang-orang.

Diego menatap layar itu dengan mata membelalak.

"Apa benda ini?" bisiknya sambil mencoba memegang layar didepannya namun tidak bisa.

Seorang pria dari arah kanan kami berbicara pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa ini semacam lelucon pemerintah?"

Wanita di sebelahnya menggeleng keras, sambil berusaha memegang layar itu, namun tembus.

"Tidak mungkin. Semua ponsel mati. Layar ini... tidak seperti teknologi yang pernah kulihat."

Di depan kami, seorang remaja dengan hoodie lusuh bergumam.

"Evolusi... mungkin ini semacam peringatan dari alam?"

Spekulasi mulai beredar, tetapi aku tetap diam, mencoba mencerna semuanya. Tulisan di layar itu sederhana, tetapi dampaknya menggetarkan.

Aku memandang layar itu dalam diam, mencoba mencari petunjuk. Kata-kata itu terasa lebih dari sekadar peringatan.

Lalu, angka besar muncul di bawah tulisan itu. Hitung mundur yang menggetarkan hati.

.

.

.

.

----------------------------------

00:30:00

----------------------------------

.

.

.

.

Kegelisahan merambat cepat di antara kerumunan, menyebar seperti api di tengah angin. Beberapa orang mulai bergerak panik, langkah mereka tergesa-gesa tanpa tujuan yang jelas.

Suara tangis pecah di beberapa sudut, sementara yang lain hanya berdiri mematung, terlalu terkejut atau bingung untuk bereaksi.

Orang-orang mulai panik. Beberapa berteriak, beberapa lainnya mencoba mencari tempat aman, meskipun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa yang terjadi dalam tiga puluh menit?!" seorang wanita berseru dengan suara gemetar.

"Kai," Diego mengguncang lenganku lagi, memaksaku keluar dari lamunanku.

"Apa ini?!" tanyanya dengan nada putus asa.

Aku menggeleng pelan.

"Aku juga nggak tahu. Tapi... ini bukan lelucon. Lihat semua orang. Mereka juga tidak tahu apa-apa."

Lalu, pesan baru muncul di layar, semakin mempertegas absurditas situasi ini:

.

.

.

.

---------------------------------

Pusat Bantuan -

----------------------------------

Selamat Datang, Yang Terbangun Dalam Era Baru

Karantina Bumi #5 telah selesai dan siap kembali memasuki era kosmik

Terus berevolusi untuk menjelajahi alam semesta

Lihat informasi pribadi dengan mengetuk tampilan character profile

Saran : Jangan Percaya Membagikan Informasi Anda Kemanapun! Berjuanglah Sendiri

----------------------------------

Bertahan dan teruslah berevolusi untuk menyaksikan era baru.

----------------------------------

.

.

.

.

Aku merasakan tubuhku merinding.

Kata-kata itu terasa seperti ancaman halus yang menghantam dadaku.

Ini lebih dari sekadar permainan.

Ini nyata.

Nyata dan mengancam kehidupan semua orang.

Tidak ada jalan untuk melarikan diri. Dunia yang selama ini kami kenal sudah berubah.

Dan kami hanya punya dua pilihan.

----------------------------------

Bertahan... atau Lenyap.

----------------------------------