Chereads / Zaman Yang Terlupakan / Chapter 3 - Chapter 2

Chapter 3 - Chapter 2

Aku menatap layar holografik yang menggantung di depanku, cahaya birunya memantulkan wajahku yang penuh kebingungan.

Setiap detil pada layar itu terasa begitu nyata, seolah dunia ini bukan lagi dunia yang biasa aku kenal.

Pikiranku berputar-putar mencoba mencari penjelasan untuk semua ini, namun tak ada yang masuk akal.

Di sampingku, Diego tampak resah.

Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat serius, matanya terpaku pada layar holografiknya sendiri, yang masih memproses informasi dengan lambat.

"Diego, sudah coba buka?" tanyaku, mencoba memecah keheningan yang menggelayuti kami.

Aku berusaha untuk tidak terdengar terlalu panik, meskipun perasaan bingung dan cemas mulai menguasai diriku.

Diego mengangguk ragu.

Jarinya gemetar sedikit saat menyentuh layar tersebut, seolah takut layar itu akan memakannya jika dia terlalu keras menekannya.

"Ini aneh," jawabnya, suaranya penuh kebingungan.

"Tampaknya seperti tampilan game, tapi rasanya nyata. Kamu dapat juga, kan?"

Aku mengangguk pelan, menelan ludah.

Tanganku terangkat, ragu-ragu menyentuh layar holografik di depanku.

Begitu jariku menyentuh permukaannya, sebuah tampilan baru muncul, dan aku terkejut melihat apa yang tertulis di sana.

.

.

.

.

----------------------------------

Character Profile

----------------------------------

Nama : Kailendra Ador Saputra

Kelahiran : 16 November 2005

Kelas : Menunggu Penentuan...

----------------------------------

.

.

.

.

Aku terdiam sejenak, mataku memandang layar itu, informasi kelahiran dan namaku terpampang.

Bagaimana itu tahu data kita?

.

.

.

.

"Nama, kelas dan tahun" gumamku, merasa ada yang janggal dengan tampilan ini.

Diego melirikku, ekspresinya penuh kebingungan.

"Punyaku seperti itu juga."

Namun, sebelum aku sempat membaca lebih lanjut, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.

Langit di luar mulai menerang, seperti kilatan petir yang memecah gelapnya malam.

Orang-orang di sekitar kami, yang tadinya terpesona oleh fenomena langit yang spektakuler, tampaknya sudah mulai melupakan hal itu.

Sekarang, mereka semua sibuk, bergegas mencari informasi di layar holografik mereka masing-masing, seperti kami.

.

.

.

.

----------------------------------

Kelas: The Seeker

----------------------------------

Deskripsi: Pada tahap awal, manusia pilihan diberi kemampuan spesial yang dikenal psychic. Mereka mulai mengembangkan kemampuan dasar untuk melihat masa lalu, hanya dapat merasakan petunjuk atau kilasan peristiwa acak. Dalam situasi mendesak, mereka dapat mendengar bisikan berupa suara dari entitas yang lebih tinggi.

----------------------------------

Skill : Terkunci sampai naik kelas

----------------------------------

.

.

.

.

Aku terpaku, membaca tulisan tersebut berulang kali. Setiap kata terasa lebih berat, semakin mempertegas perasaan asing yang menyelimuti diriku.

Rasanya semakin sulit membedakan antara kenyataan dan fantasi.

Apakah ini nyata?

Di sebelahku, Diego menatap layar holografiknya dengan ekspresi tak percaya, wajahnya memerah sedikit karena kebingungan.

Sama seperti diriku, dia seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kita lihat.

Aku kembali menatap layar, berusaha memahami apa yang tertulis di sana.

"The Seeker?" pikirku dalam hati.

Apa ini ada hubungannya dengan diriku?

Entahlah, aku merasa kebingunganku semakin dalam.

Hanya satu yang bisa kulakukan saat ini, bertanya pada Diego nanti dan mencari tahu lebih banyak.

"Aku dapat kelas-'" Diego mulai bicara.

"Jangan di sini," bisikku cepat, suara ku hampir hilang ditelan ketegangan.

"Ingat sarannya? Kita diminta untuk menyimpan ini untuk diri sendiri."

Diego mengangguk, meski wajahnya masih diliputi rasa penasaran yang jelas terlihat.

Tapi, sebelum sempat berpikir lebih jauh, layar holografikku berubah lagi, kali ini lebih cepat.

.

.

.

.

----------------------------------

Region: Indonesia

----------------------------------

Kota: Jakarta

----------------------------------

Ketentuan: Bumi telah berevolusi. Daratan dari dimensi lain mulai bergabung. Jakarta kini menjadi zona terisolasi. Anda tidak dapat meninggalkan kota hingga hitung mundur berakhir.

Misi : Bertahan hidup selama 30 menit awal proses evolusi, zona aman akan diberitahukan di menit kelima, harap segera mencari dan masuk ke zona aman sebelum waktu habis.

Saran: Jangan sepenuhnya mempercayai apa pun.

----------------------------------

.

.

.

.

Aku membaca setiap kata itu dengan cermat, tetapi semakin lama aku membaca, semakin besar perasaan gelisah yang menyelimuti diriku.

.

.

.

.

Jakarta menjadi zona terisolasi.

Proses evolusi?

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

.

.

.

.

Aku mencoba mengingat apa yang sempat aku pelajari tentang dunia ini, tentang fenomena yang telah lama terjadi di luar jangkauan kita, tetapi semuanya terasa kabur dan menghilang begitu saja dalam pikiranku.

"Diego, kamu dapat pesan ini juga?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar meski aku berusaha tetap tenang.

Diego menatap layar holografiknya, ekspresinya penuh kebingungan.

"Ya... ? Apakah hanya lelucon?" jawabnya dengan nada ragu, yang semakin membuatku bingung.

Kami saling bertatapan, mencoba mencari jawaban di wajah satu sama lain.

Namun, sebelum sempat berdiskusi lebih lanjut, suara keramaian di sekitar kami semakin keras.

Lampu-lampu kota tiba-tiba menyala kembali, dan beberapa orang mengeluarkan sorak-sorai kegembiraan melihat listrik yang kembali hidup.

"Listrik menyala lagi! Mungkin sistem ini cuma lelucon," Diego mencoba tertawa, namun aku bisa mendengar dari nada suaranya bahwa dia pun tak sepenuhnya yakin.

Ada kecemasan yang tersembunyi di balik candaan itu.

Namun suasana lega itu tidak bertahan lama.

Sejenak, layar besar di salah satu gedung di depan kami yang semula menampilkan berita tentang fenomena planet yang sejajar itu, berubah.

Sekarang, sebuah layar berita menunjukkan wajah serius dari seorang pembawa berita yang berdiri di hadapan latar belakang yang menunjukkan simulasi grafik tsunami.

.

.

.

.

"Perhatian! Tsunami besar diprediksi akan melanda wilayah pesisir Jepang dalam beberapa menit ke depan. Penduduk diminta segera mengungsi ke tempat yang lebih tinggi!"

.

.

.

Aku menelan ludah, merasa perasaan aneh yang menyelimutiku semakin nyata.

"Diego... ini nggak mungkin cuma lelucon, kan?" tanyaku, suaraku mulai tak terdengar begitu yakin.

Dia hanya menatap layar, wajahnya semakin cemas.

Sebelum kami bisa berbicara lebih lanjut, layar di gedung lainnya tiba-tiba berganti.

Berita kali ini datang dari Amerika Serikat.

Pembawa berita berdiri di tengah angin kencang yang mengamuk, di sekelilingnya puing-puing berterbangan.

.

.

.

.

"Hurricane Atlas, yang sebelumnya diperkirakan hanya badai tropis kecil, kini telah berkembang menjadi topan kategori lima. Angin dengan kecepatan lebih dari 300 kilometer per jam menghancurkan kawasan pesisir Florida. Penduduk yang belum dievakuasi diminta segera berlindung!"

.

.

.

.

Tiba tiba layar itu seperti terdistorsi karena gangguan sinyal, dan tiba tiba mati.

"Sinyal hilang!" seru seseorang, terkejut.

"Internet mati, kita nggak bisa menghubungi siapa-siapa!" teriak orang lain, wajahnya ketakutan.

Kerumunan di sekitarku mulai gelisah. Bisikan berubah menjadi jeritan ketakutan.

"Kenapa semuanya terjadi bersamaan?" tanya seorang pria, suaranya bergetar penuh kecemasan.

"Apakah ini kiamat?" gumam seorang wanita, memeluk erat anak kecil di pelukannya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

Diego menatapku dengan wajah pucat.

"Kai, aku nggak suka ini... ini mulai terasa nyata," katanya, suaranya semakin teredam ketakutan.

Tiba-tiba, gempa bumi mengguncang dengan keras. Tanah di bawah kami bergetar, dan suara retakan keras terdengar dari dalam tanah.

Seolah-olah seluruh dunia sedang terbelah. Orang-orang mulai panik, berlarian tanpa arah, kebingungan dan ketakutan memenuhi udara.

Suara kaki yang terburu-buru berlari, jeritan, dan suara tangisan mulai memenuhi ruang udara yang semula terasa biasa.

"Apa yang terjadi?!" teriak seorang pria, suaranya tercekat karena ketakutan yang menyelimuti dirinya.

Di tengah kekacauan itu, aku merasakan getaran yang semakin kuat dari tanah di bawah kami.

Tanpa pikir panjang, aku menarik tangan Diego.

"Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriakku, suara tenggelam dalam gemuruh yang semakin mengerikan.

Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk keadaan.

Kemudian, seperti mengonfirmasi semua kecurigaan kami, layar holografik di depan kami mulai berkedip.

Hitung mundur yang tadinya hanya diam di layar kami, kini mulai bergerak.

.

.

.

.

----------------------------------

00:29:59

----------------------------------

.

----------------------------------

00:29:58

----------------------------------

.

----------------------------------

00:29:57

----------------------------------

.

.

.

.

Detik-detik berlalu, semakin mengingatkan kami bahwa waktu kami semakin menipis. Kerumunan di sekitar kami mulai panik.

Beberapa orang berlari mencari tempat berlindung, sementara yang lainnya menangis atau hanya berdiri terpaku, terlalu takut untuk bergerak. Ketakutan begitu jelas terasa di udara.

"Kenapa ini mulai bergerak?!" seorang wanita menjerit panik.

Suara retakan memenuhi udara saat jalanan mulai terbelah, menyebabkan teriakan panik memenuhi tempat itu.

Aku segera menarik Diego ke arahku, mencoba menjaga agar kami tidak terpisah.

"Cari tempat terbuka! Cepat!" seruku sambil terus menariknya.

.

.

.

.

Kami berlari menuju taman terdekat, berharap dapat menemukan tempat yang lebih aman.

Namun, belum sempat tiba, pohon-pohon raksasa muncul dari tanah dengan bentuk yang tak lazim.

Mereka tampak seperti dari dunia lain, bukan flora yang dikenal di Bumi.

"Ini... Apa ini benar-benar dunia kita?" pikirku sambil terus berlari, mataku tak lepas dari pemandangan yang semakin mencekam.

.

.

.

.

"Apa itu...." gerakanku tiba-tiba berhenti.

Aku melihat pemandangan di langit kagum, takjub dan takut.

Ribuan makhluk yang besar dan banyak berterbangan diatas gedung gedung, seperti burung namun aku yakin itu bukan.

Setelah memperhatikan dengan seksama, itu adalah segerombolan serangga raksasa mulai beterbangan, jumlahnya tak terhitung.

Pemandangan itu membuatku tertegun, tak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

"Kai! ke sini!" Diego menarik ku yang melamun, memkasa ku terus berlari dan membawaku ke balik salah satu pohon besar.

Namun, sebelum kami bisa merasa aman, seekor serangga raksasa itu terbang mengarah ke depan kami.

Tubuhnya hitam mengkilap, dengan mata merah menyala yang menatap kami tajam.

Keberadaannya begitu menakutkan, dan aku bisa merasakan getaran ketakutan merayap di dalam diriku.

Aku menelan ludah, pasrah pada takdir.

.

.

.

.

"Tamat sudah," gumamku dengan senyum pahit, seolah-olah aku sudah siap menerima kenyataan.

Namun, tanpa memberi kesempatan untuk berpikir lebih jauh, Diego tiba-tiba bergerak cepat.

"MENYINGKIR!!"

Dengan kekuatan yang tak masuk akal, dia melompat ke arah serangga itu dan menghantamnya dengan tinjunya.

Tubuh serangga itu terlempar jauh, menghancurkan sebuah gedung kosong yang ada di dekatnya, membuat bangunan itu runtuh seketika.

Aku terjatuh, tercengang melihat apa yang baru saja terjadi.

"Diego... apa apaan itu.....?" tanyaku, suaraku hampir tak terdengar.

Diego menatap tangannya sendiri, ekspresinya penuh kebingungan dan keterkejutan.

"Aku… aku nggak tahu.

Aku nggak pernah sekuat ini sebelumnya," bisiknya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Dia membantuku berdiri, matanya masih tertuju pada tangannya yang tampak bergetar.

"Kelasku..., deskripsinya mengatakan bahwa aku bisa jadi berani dan sedikit kuat.., nampaknya itu benar," jelas Diego, suaranya lebih mantap meskipun ada kebingungan di matanya.

Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, Diego justru dengan terbuka berbagi apa yang ia miliki.

Berbeda denganku, yang malah menyuruhnya menyembunyikan kemampuannya tadi.

"Aku… aku dapat kelas The Seeker," ujarku akhirnya, menatap Diego dengan penuh keraguan.

"Deskripsinya mengatakan aku bisa mendengar bisikan yang memberi petunjuk…."

Lagi dan lagi, aku tidak mengungkapkan semuanya.

Diego tersenyum kecil, tulus.

"Nggak masalah, Kai. Kita bisa saling melengkapi," katanya, tanpa sedikit pun keraguan.

Dia menatapku dengan senyum yang penuh pengertian, seolah mengatakan bahwa itu bukan masalah besar.

"Ayo cari tempat aman terlebih dahulu,"

Kami segera melarikan diri dan bersembunyi dari makhluk makluk itu, banyak suara bangunan rubuh, jeritan, tangisan dan yang lain lain.

Banyak manusia yang berlari lalu lalang, sifat naluri egois mereka muncul satu persatu, tidak peduli dengan cara apa.

Hanya ada satu pikiran, harus selamat.

Kota ini sudah seakan hancur.

Gempa susulan datang mengguncang lebih hebat, yang memaksa kami untuk mencari tempat aman sambil menghindari serangga yang menakutkan itu.

Tiba-tiba sebuah bisikan muncul di kepalaku.

Bukan suara Diego, bukan suara apapun di sekitar kami, ini adalah bisikan yang hanya aku bisa dengar.

.

.

----------------------------------

~ Utara ~

----------------------------------

.

.

Aku terperangah, dan langsung menoleh ke arah Diego.

"Aku… aku dengar sesuatu," kataku cepat, suara bergetar karena ketegangan.

Diego mengernyit, bingung.

"Dengar apa?"

"Ada bisikan. itu mengatakan… 'utara.' Apa kita harus mempercayainya?"

Diego terdiam sejenak, lalu menatapku dengan penuh keyakinan.

"Apa itu dari kelasmu? mungkin itu bisa jadi petunjuk, mari kita ikuti,"

Kenapa dia begitu percaya kepadaku? Bahkan aku sendiri meragukan itu.

Aku ragu sejenak dan bergumam pada diri sendiri

"Tapi aku ragu itu menuntun kita kemana,"

.

.

.

.

Kami terus bergerak, meski aku tahu gerakanku semakin pelan, lelah oleh gempa yang mengguncang secara sporadis, berbeda dengan Diego yang memiliki daya tahan tubuh yang kuat.

Aku harus tetap tenang dan memastikan setiap langkah kami terjaga.

Aku melirik layar holografik yang menampilkan sisa waktu hitung mundur.

.

.

.

.

----------------------------------

00:17:49

----------------------------------

.

----------------------------------

00:17:48

----------------------------------

.

.

.

.

Waktu terus berjalan, angka di layar itu terasa seperti pengingat kejam yang tak henti-hentinya menekan.

"Hampir lima belas menit kita berlari," gumamku.

Di sepanjang jalan, kami beberapa kali harus berhenti untuk menghindari serangga-serangga raksasa yang patroli. 

Sepanjang jalan kami di hantui rasa terror.

Melihat manusia manusia lain tidak selamat menghadapi makhluk itu dan hanya menjadi mangsanya.

Makhluk-makhluk itu terlihat mengerikan, dengan tubuh keras dan kaki-kaki tajam yang mencengkeram lantai.

Diego beberapa kali tampak ingin menyerang mereka, tapi dia menahan diri. 

Dan aku juga menahannya.

Aku tahu dia ingin melindungi orang lain, tapi situasi ini terlalu berbahaya.

Bahkan Diego mengerti bahwa bersikap heroik tanpa rencana hanya akan membawa malapetaka.

Dia pasti memikirkan keluarganya.

Aku tahu betapa pentingnya orang tuanya bagi Diego.

Dia selalu bercerita tentang mereka dengan penuh kasih, dan aku bisa melihat bahwa pikiran tentang mereka yang masih menunggunya adalah alasan dia terus maju tanpa ragu.

.

.

.

.

Tanpa ragu, kami melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi reruntuhan.

Puing-puing bangunan yang hancur berserakan di mana-mana, seakan menjadi saksi bisu dari kehancuran dunia yang dulunya begitu akrab.

Langkah kami semakin mantap meskipun setiap sudut yang kami lalui terasa semakin tidak masuk akal. Seolah-olah, dunia ini telah kehilangan logika dan tatanannya.

----------------------------------

~ Bawah Tanah ~

----------------------------------

"Bawah tanah?" gumamku pelan, nyaris tak terdengar, sambil mengerutkan alis.

Aku berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang aneh.

"Diego, ada bisikan lagi," seruku, suaraku sedikit bergetar.

"Kali ini katanya… 'bawah tanah.'" Aku menunjuk ke arah yang entah bagaimana terasa benar, seolah-olah bisikan itu memberikan arahan yang harus kami ikuti.

Diego langsung mempercepat langkahnya, matanya penuh kewaspadaan saat mengikuti arah yang kutunjuk.

"Bawah tanah?" ulangnya, suaranya terdengar penuh pertimbangan.

Aku mengangguk, mencoba mengingat peta area ini yang pernah kulihat.

"Mungkinkah itu stasiun bawah tanah? Apa ada stasiun bawah tanah di sekitar sini?" tanyaku, nada suaraku mencerminkan kebingungan.

Diego berhenti sejenak, menatap reruntuhan di depan kami.

"Stasiun bawah tanah? Tunggu sebentar…" Dia mengedarkan pandangannya, seolah-olah mencari sesuatu. Kemudian, dengan nada penuh kepastian, dia menunjuk ke arah kanan.

"Di sana!"

Aku mengikuti arah yang ditunjuk Diego, mataku menajam, berusaha menangkap apa yang dia lihat.

Di kejauhan, di balik tumpukan puing-puing yang lebih tinggi, terlihat sesuatu yang mirip pintu masuk stasiun, sebuah lubang gelap yang sebagian besar tertutup reruntuhan.

"Pintu masuknya… tertutup sebagian karena reruntuhan gempa tadi, tapi itu bisa saja jalannya!" katanya, suaranya penuh keyakinan.

Kami segera berlari menuju lokasi itu, menghindari puing-puing yang berserakan dan melewati reruntuhan yang mulai terasa seperti labirin.

Angin yang berembus dari lubang itu membawa aroma tanah basah bercampur debu, menambah kesan misterius dari tempat tersebut.

Diego berhenti di depan pintu masuk yang sempit, mencoba menyingkirkan beberapa pecahan beton yang menghalangi jalan. Aku berdiri di sampingnya, memandang ke dalam lubang gelap itu.

"Kita benar-benar akan masuk ke sini?" tanyaku, mencoba memastikan.

Dia menatapku, matanya penuh keyakinan. "Kalau ini petunjuknya, kita nggak punya pilihan lain, Kai."

.

.

.

.

Kami melangkah turun ke stasiun bawah tanah yang terasa dingin dan sunyi, jauh dari yang kuharapkan. Tidak ada siapa pun di sana, padahal seharusnya ini jadi tempat perlindungan.

Atmosfernya sangat berbeda. Terasa menekan, membuat bulu kudukku berdiri.

"Kenapa kosong?" gumamku, lebih pada diriku sendiri.

Diego melirik sekeliling dengan waspada.

"Ini aneh… Kenapa nggak ada orang di sini?" tanyanya, suaranya berbisik.

Aku mengangguk pelan, melangkah pelan di lorong yang hanya diterangi oleh lampu darurat yang redup.

"Iya… seharusnya ini jadi tempat yang lumayan aman. Tapi kenapa kosong?"

Suara langkah kaki kami bergema di tengah kesunyian yang mencekam.

Namun, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang besar di ujung lorong. Tubuhku langsung menegang, dan aku menarik Diego ke balik pilar terdekat.

"Diam," bisikku cepat, menarik Diego ke belakang pilar.

Diego mengintip perlahan dari balik pilar, matanya membelalak saat melihat sosok itu dengan lebih jelas.

"Kai... apa itu?" bisiknya gemetar.