Di dalam ruangan yang gelap dan sepi, hanya diterangi kilauan lembut dari lilin yang berjejer rapi di meja kayu antik, seorang wanita cantik duduk dengan tenang di sebuah kursi berlapis beludru hitam. Di sekelilingnya, buku-buku berserakan seolah mencerminkan luasnya pengetahuan yang ia miliki. Rambut panjang berwarna abu-abu muda tergerai lembut, kontras dengan topi besar berhias bunga violet dan pita tua yang bertengger anggun di kepalanya. Gaun berlapis-lapis berwarna ungu tua dan hitam membalut tubuhnya, memancarkan aura klasik namun berwibawa, sementara aksen renda dan kerah tinggi menambah kesan era Victoria. Sepatu boot tinggi berpadu dengan stocking hitam melengkapi tampilannya yang sederhana namun tetap mencerminkan keanggunan seorang pemimpin. Sebuah jam tangan kecil tergantung di pergelangan tangan kirinya, memberikan nuansa misterius yang subtil.
Lin duduk dengan sikap tenang, satu tangan menopang dagu sementara tangan lainnya memegang sebuah buku tebal. Pandangannya terfokus pada halaman yang terbuka, memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir yang mendalam.
"Tok tok."
Ketukan pintu yang ragu memecah keheningan. Seorang maid masuk dengan langkah mantap namun penuh hormat, ekspresi wajahnya netral namun sedikit tegang. Ia membungkuk dalam di depan Lin sebelum berbicara.
"Nyonya Lin, kerajaan Barat telah melancarkan serangan mendadak."
Lin perlahan mengangkat pandangannya dari buku, menutupnya dengan satu tangan tanpa tergesa. Tatapannya tetap tenang, tanpa jejak emosi berlebihan, namun ada kilatan intelektual yang dalam di matanya. "Detailnya?" tanyanya singkat namun padat.
"Empat kerajaan telah membentuk aliansi. Total pasukan mereka diperkirakan sekitar lima juta," maid itu menjelaskan sambil tetap membungkuk.
Lin terdiam sejenak, seolah mencerna informasi tersebut dengan perhitungan yang cermat. Tanpa menunjukkan rasa cemas, ia memutar pergelangan tangan kirinya dengan gerakan anggun. Sebuah bingkai besar dengan ukiran rumit muncul di hadapannya, memancarkan cahaya lembut dari portal magis di dalamnya.
"Sampaikan pada semua orang, teruskan pekerjaan seperti biasa. Tidak perlu panik," ujarnya singkat namun tegas.
"Baik, Nyonya Lin," maid itu menjawab sebelum meninggalkan ruangan dengan sikap sopan.
Lin melangkah masuk ke dalam portal dengan keanggunan yang terjaga. Begitu keluar, ia mendapati dirinya berada di langit diantara awan, berdiri di atas medan perang yang dipenuhi pasukan musuh. Mereka berbaris dalam formasi besar menyerupai phalanx yang dimodifikasi, dengan penyihir dan penyembuh di belakang, unit pedang magis di sayap, serta keempat raja yang dilindungi ketat di pusat.
Lin mengamati formasi itu dengan sikap tenang, satu alisnya terangkat sedikit, memberi kesan ia tengah mengkritisi sesuatu. "Formasi seperti ini?" gumamnya, nadanya nyaris terdengar seperti bisikan. "Strategi yang terlalu konservatif untuk digunakan dalam perang skala ini. Mereka masih terpaku pada taktik kuno tanpa mempertimbangkan fleksibilitas modern."
Ia melipat tangannya di depan dada, seolah waktu berada di bawah kendalinya. "Jika ini yang terbaik yang bisa mereka lakukan, aku bahkan tidak perlu berpikir terlalu keras untuk menghadapinya."
Tatapannya kini beralih ke cakrawala di mana musuh bersiap menyerang. Senyuman tipis terlukis di wajahnya, mengisyaratkan kombinasi kepercayaan diri dan kecerdasan strategis. "Mari kita lihat, seberapa jauh mereka bisa bertahan melawan perhitungan yang sesungguhnya."
Lin memandang pasukan di bawahnya dengan sikap tenang, matanya yang abu-abu terang tampak seperti cermin yang mencerminkan kekosongan angkasa. Dengan gerakan anggun, ia mengangkat tangan kanan, memunculkan tongkat sihir berbentuk kunci berwarna hitam pekat. Di kepala kunci, hiasan rantai kecil bergemerincing lembut, menambah kesan dominasi dan misteri.
Tanpa sepatah kata, Lin mengarahkan tongkat itu ke arah pasukan musuh. Dalam sekejap, langit di atas medan perang berubah menjadi lautan kosmik. Energi sihir yang mengingatkan pada ombak bintang menghantam daratan dengan kekuatan yang tak terukur, melahap formasi musuh seperti pasir diterpa badai. Jeritan dan kekacauan memenuhi udara, menyisakan kehancuran sebesar 3,300,234 prajurit dalam hitungan detik.
"Eternal Clock Pendulum," gumam Lin pelan namun jelas, suaranya mengalun seperti bisikan takdir.
Sebuah pendulum raksasa berwarna hitam muncul di atas medan perang, berayun perlahan dari kanan ke kiri. Setiap ayunannya memancarkan gelombang energi gelap yang membungkam sisa perlawanan, membuat suasana semakin mencekam. Lin memandang pemandangan itu dengan ekspresi tak terbaca, hanya sedikit menyipitkan mata seolah merenung.
"Aku benar-benar heran. Dunia yang dulu pernah aku datangi... tidak seperti ini," gumamnya lirih, nadanya mengandung kelelahan bercampur kejengkelan. "Apa ini ulah Le Folle? Gadis itu, dengan riasan badut sederhana yang aku temui 1.730 tahun lalu... seorang manipulator yang menjadikan dunia ini sebagai alat untuk tujuannya sendiri?"
Lin menurunkan tongkat sihirnya perlahan. Pendulum raksasa perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang hanya diiringi suara angin. Dengan gerakan elegan, ia menciptakan portal lain dan melangkah kembali ke ruangannya. Setibanya di sana, ia melangkah dengan tenang menuju pintu, gaunnya bergoyang ringan mengikuti langkahnya.
Ketika pintu terbuka, seorang maid menunduk hormat menanti di luar. Lin mengangguk kecil sebelum berkata, "Kita lanjutkan seperti biasa. Aku tidak ingin mendengar kegaduhan yang tidak perlu."
Tanpa menoleh, Lin melanjutkan langkahnya menyusuri lorong, meninggalkan ruangan itu dengan aura yang tak tersentuh, membawa ketenangan di tengah badai yang baru saja ia ciptakan.