Chereads / Rel Bintang Semesta / Chapter 11 - Chapter 11: chapter 7 toko roti dan kediaman keluarga heart

Chapter 11 - Chapter 11: chapter 7 toko roti dan kediaman keluarga heart

Setelah Kael mendapatkan 1 koin emas dari menjual roti kepada bangsawan, ia memutuskan untuk pergi ke bank kota. Setibanya di sana, ia bertemu dengan resepsionis bank dan mengajukan permohonan untuk menukarkan uangnya. Setelah melalui proses yang memakan waktu beberapa saat, akhirnya Kael menerima 5000 dollar. Dengan uang tersebut, ia keluar dari bank dan berjalan menuju pasar.

Sambil berjalan, Kael memakan roti yang tidak terjual dari pagi tadi. Rasanya sederhana baginya, namun cukup memuaskan perutnya yang sudah lama kosong karena koma selama beberapa minggu. Saat melewati pusat kota Dunwich, ia mendongak sejenak ke arah menara jam besar yang menunjukkan pukul 13:37.

Setelah sampai di toko roti yang ia kunjungi tadi pagi, ia kembali bertemu dengan wanita pegawai toko tersebut. Wanita itu menyambutnya dengan ramah, meski sedikit terkejut melihatnya lagi.

"Halo, kita berjumpa kembali. Beberapa biaya hutangku tadi pagi," ujar Kael sambil menyerahkan uangnya.

"189 dollar, Tuan," jawab wanita itu sambil tersenyum.

Kael mengangguk dan berkata, "Oke, ini tidak masalah."

"Aku juga mau beli roti, satu keranjang yang paling mahal."

Wanita itu mulai melayani Kael dengan hati-hati, menata roti-roti terbaik yang dibungkus rapi ke dalam keranjang besar. Gerakannya lembut dan penuh perhatian, menunjukkan profesionalitas dan penghargaannya terhadap pelanggan.

"Semuanya 2567 dollar," ujar wanita itu setelah selesai.

Kael mengeluarkan uang sebesar 2600 dollar dan menyerahkannya. Setelah menghitung kembaliannya, wanita itu memberikan kembalianya dengan senyum hangat.

Kael mengucapkan terima kasih dan pergi membawa keranjang rotinya. Saat ia berjalan menjauh, di lantai atas toko roti, Cassandra Whitlock memperhatikannya dari balik jendela berterai putih. Ia duduk bersandar di sofa, wajahnya menyiratkan rasa penasaran.

"Siapa dirimu, Edward?" gumamnya pelan, menatap sosok Kael yang memegang keranjang roti di tangan kiri dan tongkat hitam di tangan kanan. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan tentang pria misterius itu, sementara Kael melanjutkan perjalanannya, menghilang di tengah keramaian kota.

Kembali Audrey dan Evelyn ke Mansion.

Kereta berhenti di depan gerbang besar mansion keluarga Heart, salah satu properti paling megah di kota Dunwich. Gerbang besi hitam dengan ukiran rumit itu perlahan terbuka, menampakkan jalan setapak berlapis batu pualam yang mengarah ke pintu masuk mansion. Di sepanjang jalan, taman dengan bunga-bunga bermekaran menambah kesan anggun dan mewah.

Evelyn melompat turun dari kereta dengan riang, gaun hijaunya berkibar saat ia berlari kecil ke arah pintu depan. Audrey turun dengan lebih tenang, jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan putih merapikan ujung gaunnya sebelum melangkah dengan anggun. Pelayan-pelayan yang sudah menunggu di depan segera membungkuk hormat.

"Selamat datang kembali, Nona Audrey, Nona Evelyn," ucap kepala pelayan dengan suara rendah yang penuh hormat.

"Terima kasih, Charles," jawab Audrey singkat. Ia melangkah masuk ke dalam mansion, diikuti Evelyn yang masih tampak bersemangat.

Interior mansion memancarkan kemewahan tanpa cela. Lantai marmer berkilauan, dinding berhiaskan lukisan klasik, dan chandelier besar yang menggantung di tengah aula utama memberikan suasana yang megah. Evelyn langsung menuju ruang tamu dengan ceria, sementara Audrey berjalan menuju ruang kerjanya di lantai dua. Namun, ia berhenti di tangga ketika mendengar suara Evelyn memanggilnya.

"Kak Audrey! Jangan pergi dulu! Aku ingin membicarakan pesta teh nanti sore!" Evelyn berseru sambil duduk di sofa berlapis beludru, menatap Audrey dengan penuh harap.

Audrey menghela napas pelan, lalu berbalik dan melangkah mendekati sepupunya. "Apa yang ingin kau bicarakan, Evelyn?"

Evelyn tersenyum lebar. "Tentang pria penjual roti itu! Aku sangat ingin tahu bagaimana rotinya. Kita harus mencoba sebelum pesta teh dimulai!"

Audrey duduk di seberang Evelyn, menyandarkan tubuhnya dengan anggun di kursi. "Evelyn, kau terlalu terburu-buru. Kita tidak tahu siapa dia atau apa niatnya. Membayar satu koin emas untuk sebuah roti sudah cukup mencurigakan."

"Tapi Kak Audrey, roti itu tampak sangat enak! Lagipula, tidak semua orang seberani dia menawarkan dagangannya kepada kita. Bukankah itu menarik?" Evelyn meraih keranjang kecil berisi roti yang tadi dibeli dari Kael. Ia membuka bungkusnya dan menatap roti tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.

Audrey menatap Evelyn sejenak, lalu memandang roti itu. Aroma roti yang lembut memang cukup menggoda, tetapi ia tetap waspada. Dalam pikirannya, ia masih teringat pada neraca sihir yang ia gunakan untuk membaca Kael. Pemuda itu memang misterius, dan keseimbangannya membuat Audrey semakin penasaran. Ia jarang bertemu seseorang yang pikirannya begitu kompleks.

"Kalau begitu, cobalah. Beritahu aku apakah rasanya sebanding dengan harganya," ujar Audrey akhirnya.

Evelyn berseri-seri, lalu memotong roti itu dengan tangan kecilnya. Ia mengambil satu potong dan menggigitnya perlahan. Matanya membelalak. "Kak Audrey! Ini luar biasa! Rasanya lembut, manis, dan ada rasa unik yang sulit dijelaskan. Kau harus mencobanya!"

Audrey mengangkat alis, sedikit terkejut melihat reaksi sepupunya. Dengan hati-hati, ia mengambil potongan kecil roti itu dan mencicipinya. Evelyn benar—roti itu memang luar biasa. Teksturnya sempurna, rasa manisnya tidak berlebihan, dan ada aroma rempah halus yang membuatnya berbeda dari roti biasa.

Audrey meletakkan potongan roti itu kembali ke piring, menatap Evelyn dengan pandangan serius. "Rasanya memang luar biasa. Tapi ini semakin membuatku bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Tidak banyak orang yang bisa membuat roti seperti ini, apalagi dengan keberanian untuk menjualnya dengan harga setinggi itu."

Evelyn hanya tertawa kecil. "Kak Audrey, kau selalu terlalu serius. Mungkin dia hanya seorang jenius yang rendah hati. Bukankah itu menyenangkan? Kita akan memiliki tamu istimewa di pesta teh kita nanti!"

Audrey tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar kemungkinan. Ia memutuskan untuk membiarkan ini berjalan, tetapi ia juga akan tetap waspada. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Kael, dan pesta teh nanti sore akan menjadi kesempatan yang sempurna untuk mengamati pemuda itu lebih dekat.

Persiapan Pesta Teh

Siang itu, mansion keluarga Heart sibuk dengan persiapan pesta teh. Para pelayan mondar-mandir membawa peralatan porselen, menyusun bunga segar di meja-meja, dan menyiapkan hidangan kecil untuk para tamu. Evelyn sibuk memilih gaun lain untuk dikenakan, sementara Audrey tetap mengenakan gaunnya yang anggun berwarna hijau tua.

Di taman belakang mansion, meja-meja bundar dengan payung besar telah disiapkan. Hidangan teh dan makanan ringan disusun rapi di atas meja-meja tersebut. Undangan telah disebar, dan tamu-tamu mulai berdatangan.

Audrey berdiri di dekat pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan taman, mengamati para tamu dengan tenang. Evelyn sudah sibuk berbicara dengan beberapa teman sebayanya, sementara Audrey memperhatikan setiap detail dengan cermat. Ia tidak hanya mengawasi tamu, tetapi juga menunggu kedatangan Kael.

Ketika jam menunjukkan pukul empat sore, suara langkah kaki di depan mansion membuat Audrey menoleh. Dari kejauhan, ia melihat Kael datang. Pemuda itu mengenakan pakaian sederhana tetapi bersih, dengan keranjang roti yang kini diikatkan di lengannya. Langkahnya tenang, tidak terburu-buru, tetapi penuh percaya diri.

Audrey memperhatikan dengan saksama saat Kael mendekat. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya membawa dirinya sendiri—bukan seperti pedagang biasa, tetapi seperti seseorang yang tahu bagaimana caranya beradaptasi dengan situasi.

Evelyn, yang melihat Kael datang, segera berlari mendekatinya. "Kau datang! Hebat! Aku sudah menunggumu!" serunya dengan gembira.

Kael tersenyum tipis, menundukkan kepala sedikit. "Terima kasih telah mengundang saya, Nona Evelyn. Saya membawa beberapa roti tambahan untuk pesta ini."

Audrey berjalan mendekat, langkahnya anggun tetapi penuh kewibawaan. "Selamat datang, Tuan Kael," ujarnya dengan nada sopan tetapi tegas. "Kami senang Anda bisa datang."

Kael membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Terima kasih atas kesempatannya, Nona Audrey."

Audrey mengamati Kael dengan seksama, mencoba membaca gerak-geriknya. Evelyn, di sisi lain, menarik tangan Kael dan membawanya ke meja tempat hidangan disusun. "Ayo, aku ingin kau menata roti ini di sini. Semua tamu pasti akan menyukainya!"

Kael mengikuti Evelyn dengan tenang, tetapi Audrey tetap mengawasinya dari kejauhan. ["Apa rencanamu, Kael? Apa tujuanmu datang ke sini?"] pikirnya dalam hati.

Pesta teh dimulai, tetapi bagi Audrey, ini lebih dari sekadar acara sosial. Ini adalah permainan pikiran—dan Kael adalah pe

main baru yang perlu diawasinya dengan cermat.