Pasar di Kota Dunwich
Langit mendung menggantung di atas pasar Riverside, menciptakan bayangan abu-abu yang melingkupi kios-kios kayu reyot. Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli memenuhi udara, diselingi suara derit gerobak dan teriakan penjual yang menawarkan dagangan mereka. Kael menyusuri lorong-lorong sempit itu dengan langkah santai, matanya menyapu setiap sudut pasar. Tidak ada yang menarik perhatiannya—hanya keramaian seperti biasa. Namun, saat dia melewati sebuah tong sampah tua yang berkarat, sesuatu berkilau di tanah.
Dia berhenti. Sebuah koin perak tergeletak di sana, tertutup setengahnya oleh lumpur. Kael memutuskan untuk mengambilnya, tapi tepat ketika dia membungkuk—
Bruk!
Tubuhnya terdorong ke belakang oleh seseorang yang menabraknya cukup keras. Dia hampir terjatuh, namun berhasil menyeimbangkan diri dengan tongkat hitamnya.
"Eh, maafkan aku, Tuan! Anda tidak apa-apa? Apa aku menabrakmu terlalu keras?" suara perempuan itu terdengar gugup.
Kael mendongak perlahan, menatap orang yang baru saja menabraknya. Seorang wanita berdiri di depannya dengan ekspresi cemas. Dia mengenakan jubah cokelat kusam, cukup panjang untuk menyembunyikan pakaian di baliknya. Ada keranjang kecil berisi roti di lengannya.
"Aku baik-baik saja," jawab Kael datar, hampir malas. Tapi kemudian matanya menyipit curiga. "Hmm... kamu seorang penyihir, bukan?" tanyanya sambil mencoba berdiri tegak dengan bantuan tongkatnya.
Wanita itu terlihat sedikit terkejut. "Iya, aku seorang penyihir. Namaku Echina. Senang bertemu dengan Anda, Tuan…" Dia menggantungkan kalimatnya, berharap Kael memperkenalkan diri.
"namaku Kael," jawabnya singkat. "Jadi, bagaimana bentuk pertanggungjawabanmu?"
Echina terdiam beberapa saat, tak tahu harus menjawab apa. Namun, saat melihat kondisi Kael yang tampak lemah, wajahnya berubah serius. "Sa… saya bisa menyembuhkan Anda. Badan Anda kelihatannya lemas dan rentan. Apa Anda sakit?"
Kael memandangnya dengan alis terangkat. Dia tampak mempertimbangkan tawaran itu, sebelum akhirnya menyandarkan berat tubuhnya ke tongkat. "Oke," katanya. "Tapi aku juga mau roti yang kamu bawa itu. Sebagai kompensasi koin perakku yang hilang, tentu saja."
Echina terperanjat. "Koin perak Anda hilang? Saya... saya tidak tahu apa-apa soal itu, Tuan!"
Kael hanya mengangkat bahu. "Entah bagaimana, koin itu tidak ada lagi di tempatnya. Padahal nilainya setara dengan sepuluh dollar."
Wajah Echina sedikit memerah karena kesal, tapi dia menunduk untuk menutupi ekspresinya. "Baiklah," katanya dengan nada pasrah. "Kalau itu bisa menebus kesalahanku…"
Sambil menyembunyikan kecurigaannya, Echina mengaktifkan sihir pendeteksi kebohongan. Mantranya sangat halus; hanya dengan menatap mata lawan bicara, dia bisa memastikan kebenaran dari ucapannya. Kael yang berdiri di depannya tampak tenang, tanpa sedikit pun tanda-tanda berbohong.
[Jadi dia tidak berbohong. Mengejutkan. Aku kira dia penipu ulung, tapi ternyata bukan. Mataku tidak salah.] pikir Echina.
"Ini, Tuan Kael," katanya sambil menyerahkan sepotong roti dari keranjangnya. "Semoga cukup untuk mengganti koin Anda yang hilang."
Kael menerima roti itu dengan santai, lalu menggigitnya tanpa basa-basi. "Kamu penyihir," ujarnya sambil mengunyah. "Tapi kenapa kelihatan seperti orang biasa?"
Echina mendongak, sedikit bingung. "Maksud Anda?"
"Kalau aku jadi penyihir, aku tidak akan berkeliaran di pasar seperti ini dengan pakaian sederhana. Kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu."
Echina mengerutkan alisnya. "Tuan Kael, Anda membuat saya terdengar seperti kriminal."
Kael hanya terkekeh kecil. "Tidak ada asap tanpa api. Pasti ada alasan kenapa kamu di sini."
Dia menyandarkan punggungnya ke tong sampah sambil memandangi kerumunan di sekitarnya. Pasar semakin ramai, dengan suara pedagang yang semakin keras menawarkan barang dagangan mereka. Bau rempah, ikan asin, dan roti panggang bercampur menjadi satu.
"Kalau saya boleh tanya," Echina akhirnya berbicara, "kenapa Anda sendiri ada di sini? Anda kelihatan bukan orang yang biasa berjalan-jalan di pasar."
Kael meliriknya sekilas. "Aku cuma lewat. Tapi takdir sepertinya menarikku ke sini."
"Takdir?"
Kael hanya tersenyum samar, tidak menjawab. Dia kembali memakan rotinya perlahan, membiarkan suasana hening sejenak.
"Apa aku terlihat seperti orang sakit?" tanyanya tiba-tiba.
Echina mengangguk ragu. "Agak, ya. Wajah Anda pucat, dan tubuh Anda kelihatan lemah. Kalau boleh jujur, saya heran Anda masih bisa berdiri."
Kael tertawa pelan. "Kamu cukup jujur untuk seorang penyihir."
"Itu hal yang wajar. Lagipula, penyihir tidak seharusnya berbohong," jawab Echina. Namun, pikirannya kembali ke mantra yang dia gunakan tadi. Jika Kael benar-benar mengatakan yang sebenarnya, apa mungkin dia hanya seorang pria biasa?
"Tuan Kael, kalau Anda tidak keberatan, saya bisa mencoba membantu Anda," katanya akhirnya. "Saya punya beberapa ramuan sederhana yang mungkin bisa memperbaiki kondisi tubuh Anda."
Kael menatapnya dengan tatapan sulit dibaca. "Dan apa imbalannya?"
Echina terdiam, tidak menduga pertanyaan itu. "Tidak ada," jawabnya pelan. "Saya hanya ingin membantu."
"Hmm." Kael menegakkan tubuhnya, meski jelas terlihat bahwa dia masih bersandar pada tongkat. "Kalau begitu, tunjukkan padaku ramuanmu. Aku ingin tahu apakah penyihir ini benar-benar bisa dipercaya."
Echina menarik napas dalam-dalam. Dia membuka kantong kecil di ikat pinggangnya dan mengeluarkan sebuah botol kaca kecil berisi cairan berwarna hijau zamrud. Dengan hati-hati, dia menyerahkannya pada Kael.
"Minumlah ini. Tapi pelan-pelan. Rasanya pahit," katanya.
Kael memandang cairan itu dengan skeptis. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya membuka tutup botol dan meneguknya perlahan. Benar saja, ekspresinya berubah saat rasa pahit itu menyentuh lidahnya.
"Kamu tidak bercanda soal rasanya," katanya sambil memejamkan mata. Namun, beberapa saat kemudian, dia membuka matanya lagi, dan ada sedikit kilau yang kembali ke wajahnya, serta tidak pucat lagi.
"Bagaimana rasanya?" tanya Echina cemas.
Kael mengangkat tongkatnya, melangkah beberapa kali dengan lebih stabil. "Rasanya... cukup efektif. Terima kasih."
Wajah Echina sedikit melunak. "Saya senang bisa membantu."
Kael menatapnya dengan penuh arti. "Kamu berbeda dari penyihir lain yang pernah kutemui. Kebanyakan dari mereka hanya peduli pada keuntungan dan egois."
Echina tersenyum kecil. "Mungkin Anda belum bertemu banyak penyihir yang baik."
"Mungkin," jawab Kael, lalu melangkah pergi meninggalkan Echina.
Echina memandang punggungnya yang semakin jauh, rasa penasaran tumbuh dalam pikirannya. Siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa dia terasa… aneh?
Di antara keramaian pasar, angin dingin bertiup perlahan, seolah membisikkan sesuatu yang tak terdengar.