Keranjang rotinya masih penuh. Sejak satu jam yang lalu, Kael berjalan berkeliling pasar, mencari pelanggan yang cocok. Sudah satu jam berlalu; langkahnya melewati pedagang sayur, kios daging, hingga deretan toko-toko kecil yang menjual perhiasan murahan dan bahan kain. Tidak ada satupun pelanggan yang dirasanya "tepat". Kael tahu betul jenis target yang ia cari—orang-orang yang bukan hanya bisa membeli rotinya, tetapi membuat keuntungan melampaui batas standar.
Sinar matahari yang masih lembut pagi itu menyentuh batu-batu jalanan. Kael menghela napas ringan. Keranjang rotinya yang ditata rapi dan roti mulai dingin. Sudah cukup, ini buang-buang waktu. Pikirnya. Langkahnya berubah arah, meninggalkan pasar menuju jalanan yang lebih lengang.
Terlihat kereta kuda dari dari arah kanan lalu maju kedepan. Kerata kuda itu tampak berbeda dari yang biasa ia lihat di pasar—lebih bersih, lebih elegan, dengan ukiran-ukiran detail di sisi pintu kacanya yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Saat kereta kuda itu datang dari arah kanan terlihat di jendela dengan tirai sutra tipis ada wanita cantik. Seorang wanita bangsawan berwajahnya halus, pucat,mata hijau zamrud dan nyaris sempurna nan anggun menatap keluar dari jendela kerata. Rambut pirangnya yang panjang dihiasi bunga lili putih yang tersemat rapi di sisi kepala, membuatnya tampak seperti lukisan hidup.
"Bukan manusia ini mah."ujar kael setelah sedikit molongo—waktu melihat wajah wanita bangsawan itu.
Kereta kuda berhenti tepat di depan toko besar mewah memposisikan sisi kanan kereta berhadapan dengan kael. Kusir kereta turun dan berjalan cepat memasuki toko.
Kael memicingkan mata untuk melihat kereta itu kejauhan, pandangannya tertuju pada jendela kereta yang sedikit terbuka. Seorang wanita duduk di sana, wajahnya tampak jelas meskipun sedikit tersembunyi di balik tirai sutra tipis. Rambut pirangnya yang panjang jatuh lembut ke bahunya..
Itu dia target marketku, bukan waktunya terpukau untuk sekarang. Kereta itu adalah peluang. Jika seseorang seanggun wanita itu tertarik dengan roti miliknya, dia bisa dapat keuntungan dan pergi menyusul adiknya dengan cepat. Ia menata ekspresi wajahnya, memastikan senyum samar yang tepat tergambar di sana—bukan terlalu ramah, tetapi cukup meyakinkan.
Kereta itu masih diam di tempatnya ketika Kael mendekat, sekarang ia bisa melihat dengan lebih jelas. Wanita itu duduk di sebelah kanan, mengenakan gaun mewah berwarna hijau tua dengan detail putih yang begitu kontras. Ruffle berlapis menghiasi rok lebar nan menjuntai, sementara lengan gaunnya berkumpul indah dengan aksen pita hijau tua warna putih. Korset coklat keemasan melengkapi siluet rampingnya, dan kerah mock-neck berenda dengan bros hijau zamrud di tengahnya memberi kesan aristokrat sempurna dan sepasang sarung tangan tipis berwarna putih yang membalut jari-jarinya.
Di sebelah kirinya, seorang gadis muda—mungkin berusia empat belas tahun—duduk dengan mata berbinar penuh rasa penasaran. Rambut pirang Evelyn ditata sederhana, hanya diikat dengan pita hijau tua yang serasi dengan gaunnya.
Wajahnya cerah, dan senyumnya lebih bebas, tanpa sikap jaim yang dimiliki sepupunya. Kael berhenti tepat di sisi kanan kereta, memberikan jarak yang sopan. Ia menundukkan kepala sedikit.
"Selamat pagi, Nona," ucapnya dengan suara yang halus namun tegas. "Izinkan saya memperkenalkan roti terbaik yang pernah Anda temui."
Wanita itu—Audrey—menoleh perlahan. Mata hijaunya menatap Kael dengan penuh ketenangan, seolah sedang menimbang sesuatu. Senyum tipis muncul di bibirnya.
"Roti?" ujarnya. Suaranya lembut tetapi memiliki nada otoritas yang tidak bisa diabaikan.
"Benar, Nona." Kael mengangkat sedikit keranjang rotinya. "Roti yang saya jual tidak biasa. Dibuat dengan bahan terbaik, disempurnakan dengan teknik yang saya pelajari sejak kecil. Ini bukan sekadar makanan, tetapi pengalaman yang patut Anda coba."
Gadis di sebelah Audrey—Evelyn—langsung mendekatkan wajahnya ke jendela kereta. "Benarkah itu? Berapa harganya?."
"satu koin emas per buah, Nona," jawab Kael tanpa keraguan.
Audrey mengangkat alis, matanya menatapnya tajam. Evelyn, di sisi lain, terkejut. "satu koin emas?! ujarnya dengan suara lembut dan sedikit terkejut.
Kael tersenyum kecil. "Ada harga, ada kualitas."
Audrey tetap tenang, tetapi tatapannya tak lepas dari wajah Kael. ["Dia tenang sekali. Terlalu tenang untuk ukuran penjual pasar biasa yang berani menjual roti ke bangsawan, dengan harga tidak wajar. Ini penipu."] Sedikit kerutan muncul di keningnya, tetapi hanya sesaat. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan.
"Roti ini sudah sering laku terjual?" tanya Audrey, nada suaranya sedikit mengecoh.
Kael mengangguk. "Saya selalu mencari pelanggan yang bisa menghargai kualitas. Tentu saja, tidak semua orang bisa memahami hal itu. Namun saya yakin, Anda berdua memiliki selera yang tinggi."
Evelyn tersenyum senang. "Kak Audrey, ayo kita beli satu. Aku penasaran!"
Audrey tidak menjawab Evelyn. Ia tetap menatap Kael. Dalam hatinya, ia sudah melancarkan sihir kecil—sihir yang bisa membacai pikiran orang. Namun yang mengejutkannya, ia tidak menemukan sesuatu yang biasa. Pikiran pemuda itu penuh dengan variabel, rencana-rencana yang ia susun secara detail.
["Dia memikirkan banyak hal. Langkah-langkah, kata-kata yang harus ia ucapkan, bahkan bagaimana ekspresi wajahnya harus terlihat di hadapanku."]
Kael tetap tenang, tetapi Audrey tahu ia bisa membaca situasi. Pemuda itu sengaja menempatkan dirinya sebagai seseorang yang polos tetapi profesional. Strategi yang cerdas.
"1 koin emas harga yang aneh untuk sebuah roti," kata Audrey akhirnya.
"Terkadang harga adalah cermin dari nilai," jawab Kael. "Dan jika saya salah, Anda bisa membuktikan sendiri dengan mencicipinya."
Audrey merasakan desakan lembut dari Evelyn yang duduk di sampingnya. Gadis itu kini menatapnya dengan mata berbinar, penuh harap. "Kak Audrey, ayo kita beli satu! Aku ingin mencobanya," Evelyn bersuara pelan namun mendesak, seperti anak kecil yang menemukan sesuatu yang menarik di tengah kebosanan pagi itu.
Audrey tetap diam sejenak, pikirannya berputar. Ia memang tidak suka terburu-buru memutuskan sesuatu, terutama saat berhadapan dengan orang asing yang tampak lebih dari sekadar 'penjual roti biasa'. Pandangannya kembali beralih pada pemuda di luar kereta.
Kael berdiri tenang, tidak banyak bergerak. Keranjang rotinya dipeluk di lengannya, seolah berat barang dagangannya bukan masalah sama sekali. Wajahnya tenang dan profesional—terlalu profesional untuk seseorang yang menjajakan roti di pasar. Meski senyum kecil di bibirnya tampak ramah, Audrey bisa melihat ada sorot mata tajam yang dipendamnya. Ia mempelajari kami.
["Menarik. Seorang penjual roti dengan lidah tajam yang tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Apa ini hanya kebetulan?"] pikir Audrey dalam hati, senyum samar masih menghiasi wajahnya.
Akhirnya, ia berkata, "Baiklah." Suaranya lembut, namun Evelyn langsung bersorak kecil di sebelahnya. "Beri kami satu."
Kael menyodorkan roti itu dengan sikap hormat, tidak berlebihan, namun tetap memiliki kesan profesionalisme. Evelyn merogoh kantong kecilnya dan satu koin emas tanpa pikir panjang, menyodorkannya ke Kael.
"Terima kasih atas kepercayaan Anda, Nona." Kael menundukkan kepalanya sedikit.
Evelyn, yang kini memegang roti itu, memandangnya penuh semangat. "Sepertinya roti ini enak! Kau harus datang ke mansion keluarga Heart sore ini!" serunya tiba-tiba.
Kael memandang Evelyn dengan tatapan kaget yang ia sembunyikan dengan cepat. "Mansion keluarga Heart, Nona?"
"Ya! Kami akan mengadakan pesta teh sore ini. Kau bisa membawa lebih banyak roti. Aku yakin para tamu akan menyukainya!" Evelyn berkata tanpa ragu, senyum lebarnya memancarkan kepolosan yang khas.
Audrey memejamkan mata sejenak, seolah menahan tawa kecil yang hanya ia sendiri yang tahu. ["Kau sungguh masih sama, Evelyn. Terlalu cepat mempercayai orang lain."]
"Aku yakin penjual roti ini tidak akan mengecewakan, kan, Kak Audrey?" Evelyn menoleh ke sepupunya, memohon restu.
Audrey membuka matanya, lalu tatapannya kembali jatuh pada Kael. Pemuda itu tetap berdiri tegak, sikapnya tenang seperti sebelumnya, tetapi Audrey tahu dalam pikirannya pasti ada banyak perhitungan.
"Apa kau tertarik, Tuan?" tanya Audrey dengan nada lembut namun sedikit menusuk, seolah ingin menguji jawaban Kael.
Kael tersenyum tipis, memainkan peran yang sudah ia siapkan. "Jika Nona bersedia mengundang saya, maka saya tidak akan menolak kesempatan itu. Saya adalah seorang penjual yang mencari pelanggan, dan tentu saya merasa terhormat bisa menjajakan roti di tempat seistimewa kediaman keluarga Heart."
Kata-kata itu keluar dengan begitu rapi hingga Evelyn semakin yakin. "Lihat? Ia bahkan tahu bagaimana cara berbicara seperti bangsawan! Ini akan menyenangkan!"
Audrey diam sejenak. Matanya memandang Kael dalam-dalam, seolah ingin menembus lapisan tenangnya. Lalu, tanpa disadari siapapun, ia mengangkat jemari tangannya yang tersembunyi di balik kereta dan membentuk tanda kecil di udara. Sebuah neraca tak terlihat muncul di atas kepala Kael—kecil, halus, dan hanya bisa dilihat oleh Audrey.
Neraca itu adalah salah satu sihir lamanya, sebuah cara untuk 'menakar' seseorang. Bukan hanya kekuatan, tetapi juga kepribadian, niat, dan keberanian. Kael tidak bergerak, tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Namun Audrey melihat jarum neraca itu bergerak tidak berat ke satu sisi, tetapi seimbang.
["Menarik. Jarang sekali aku bertemu seseorang dengan keseimbangan seperti ini."] pikir Audrey. ["Biasanya, orang yang terlalu cerdik atau licik akan terlihat jelas. Tapi pemuda ini... Ia seperti memainkan dua sisi dirinya sekaligus."]
"Kalau begitu, kami akan menantimu sore nanti," Audrey akhirnya berkata, memutuskan untuk membiarkan ini berjalan lebih jauh. Evelyn bersorak kecil di sebelahnya, tampak puas dengan hasilnya.
Kael menunduk hormat lagi. "Saya tidak akan mengecewakan, Nona. Terima kasih atas kesempatannya."
Kereta akhirnya bergerak perlahan setelah kusir kembali membawa tas mewah barang belanjaan, meninggalkan Kael berdiri di tempatnya. Audrey duduk diam, memandang ke arah pemuda itu hingga sosoknya menghilang di kejauhan.
Evelyn, yang tidak menyadari apapun, berseru riang. "Kak Audrey, kau baik sekali membiarkannya datang! Bayangkan, kita akan punya penjual roti yang datang ke pesta teh kita! Tamu-tamu pasti menyukainya!"
Audrey hanya tersenyum tipis. "Kita lihat saja nanti, Evelyn."
Dalam pikirannya, ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari Kael. Ia bukan pemuda biasa yang kebetulan lewat. Ada rencana, ada pola pikir yang jauh lebih tajam dari apa yang terlihat di permukaan.
["Aku ingin tahu... Apa yang sebenarnya kau cari, pemuda? Dan seberapa jauh kau akan melangkah?"]
Neraca kecil itu menghilang tanpa jejak, tetapi Audrey sudah menandai Kael di dalam pikirannya.
Kael berdiri di tempatnya, keranjang rotinya kini sedikit lebih ringan. Senyumnya tidak memudar, tetapi dalam pikirannya, ia sudah menyusun langkah selanjutnya. Mansion keluarga Heart. Ini bisa menjadi kesempatan besar.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik dan berjalan menjauh dari jalanan itu. Langkahnya ringan, tetapi pikirannya penuh perhitungan—tentang variabel, kemungkinan, dan bagaimana ia akan memainkan perannya sore nanti.
["Gadis muda itu mudah sekali percaya. Tapi wanita satunya... Audrey Heart."] Ia bergumam dalam hati. ["Orang seperti itu tidak bisa dikelabui begitu saja. Dia membaca situasi seperti seorang ahli."]
Langkah Kael terhenti sesaat, lalu ia tersenyum kecil. "Menarik."
Pagi itu berakhir dengan Kael yang berhasil menjual rotinya, tetapi hari ini baru dimulai. Sore nanti, ia akan berhadapan langsung dengan keluarga Heart