Pagi itu, cahaya matahari redup menembus tirai kusam sebuah apartemen kecil. Di dalam kamar sempit berukuran 4x4 meter, seorang pria berambut hitam terbaring diam di atas ranjang. Kemeja putih berlengan panjang yang dikenakannya terlihat kusut, serasi dengan celana hitam yang memudar di beberapa tempat. Di sampingnya, seorang gadis muda, tak lebih dari enam belas tahun, duduk di meja kecil dekat jendela. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyimpan keletihan yang sulit disembunyikan.
Kemeja putih berlengan panjang dengan kancing di bagian depan, dihiasi pita kecil sebagai aksen di lehernya, memberikan kesan formal namun sederhana. Rok panjang berwarna gelap melengkapi penampilannya yang sederhana, namun tetap rapi. Di atas meja, secarik kertas dan pena berada di tangannya. Ia menunduk, menulis sesuatu dengan gerakan hati-hati, seolah setiap huruf mengandung beban berat yang tak terkatakan.
"Kalau kamu bangun, Kak Kael..." gumamnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan. Ia menoleh ke arah pria itu—kakaknya—yang terbaring koma sejak beberapa minggu lalu. Kael, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian kedua orang tua mereka. Melissa hanya bisa menatapnya dengan penuh keprihatinan, mengenang perjuangan kakaknya yang tiada henti.
[Tragedi keluarga Heyha]
Kehidupan keluarga mereka tak pernah lepas dari penderitaan sejak skandal besar lima tahun lalu. Orang tua mereka, yang bekerja sebagai insinyur di kantor pemerintah, difitnah oleh pejabat korup sebagai dalang dari penggelapan besar dana pembangunan jalur uap Kota Dunwich. Tuduhan itu menghancurkan nama baik keluarga Heyha. Meski ayah dan ibu mereka telah meninggal dalam kecelakaan tak lama setelah tuduhan itu muncul, Kael dijadikan kambing hitam kedua oleh pihak berwenang yang ingin menutup kasus itu cepat-cepat.
Kael yang saat itu seorang mahasiswa jurusan tata bahasa kuno Varythic di Universitas Dunwich, dipaksa keluar dari universitas dan kehilangan semua haknya. Meskipun tak bersalah, diskriminasi dari masyarakat dan stigma terus melekat padanya. Setelah kehilangan segalanya, Kael memutuskan untuk bekerja part time demi menghidupi Melissa, adiknya yang baru saja masuk sekolah jurusan teknik uap. Selama lima tahun, ia melakukan pekerjaan sampingan tanpa henti, mencoba menyekolahkan Melissa dan bertahan hidup. Namun, uang tabungan mereka habis, dan Melissa harus berhenti dari sekolahnya, meski ia sangat berbakat di bidang teknik.
Kael akhirnya mendapat pekerjaan tetap di sebuah pabrik. Namun, hanya dua bulan setelah ia bekerja, diskriminasi di tempat kerja membuat hidupnya semakin berat. Atasan yang bias dan rekan kerja yang iri sering menjadikannya sasaran perlakuan tidak adil. Semua itu mencapai puncaknya saat sebuah kecelakaan kerja terjadi. Kael, yang tengah bekerja di bawah tekanan, menjadi korban kecelakaan fatal yang membuatnya koma.
[Nama keluarga Heyha dibersihkan, tapi terlalu terlambat]
Ironisnya, seminggu setelah kecelakaan itu, seorang kepala detektif kota menemukan bukti yang membersihkan nama keluarga Heyha dari segala tuduhan. Bukti tersebut mengungkap bahwa pejabat korup itulah yang sebenarnya bertanggung jawab atas penggelapan dana tersebut, sementara keluarga Heyha hanyalah kambing hitam. Nama baik keluarga akhirnya dipulihkan setelah tiga minggu penyelidikan intensif. Namun, bagi Melissa, semua itu terasa tidak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur. Kakaknya kini terbaring koma, dan hidup mereka sudah hancur oleh fitnah yang kejam.
Melissa menggenggam pena lebih erat, mencoba menahan air matanya. Ia mulai menulis suratnya, berusaha menuangkan perasaan yang tak mampu diucapkannya.
[17 Januari 1847
Dari Melissa Heyha
Kamar Apartemen Kecil, Kota Dunwich, Albion
Dear Kak Kael,
Aku berharap Kak bisa mendengar semua ini meski mata Kak belum mau terbuka. Aku duduk di meja dekat jendela, memandangi jalanan Kota Dunwich yang mulai lengang. Rasanya aneh menulis surat ini ketika Kak ada di sebelahku, terbaring diam. Tapi aku tahu, kalau Kak bisa bicara, Kak pasti akan bilang, "Melissa, kabari aku apa pun yang kau lakukan." Jadi, inilah kabar dari adikmu.
Hari ini aku memutuskan untuk mulai bekerja di Pabrik Garmen Dunwich East, di sisi timur kota ini. Kak ingat kan, itu pabrik besar di dekat sungai? Aku diterima di bagian menyulam dan membuat renda. Pekerjaannya cukup rumit, tapi aku yakin aku bisa melakukannya. Kata orang-orang di sana, sulaman dan renda buatan pabrik itu terkenal sampai ke kota-kota besar lainnya. Siapa tahu, mungkin suatu hari hasil kerjaku akan dikenakan oleh seseorang yang penting.
Aku juga memutuskan untuk tinggal sementara di ruang teman kerja dekat pabrik. Kalau aku tetap bolak-balik dari apartemen kita ke pabrik, aku takut terlalu lelah dan malah tidak bisa bekerja dengan baik. Tenang, Kak, tempatnya sederhana tapi nyaman. Teman-temanku baik, mereka bilang akan membantuku menyesuaikan diri. Aku tetap akan pulang setiap tujuh hari sekali untuk memeriksa Kak dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Semoga... ketika Kakak bangun nanti, semua ini sudah berubah. Semoga Kakak tidak harus menanggung luka yang lebih dalam. Aku tahu, Kak telah melindungiku sejak kecil—dari ejekan, dari bully, dari dunia yang kejam ini. Bahkan ketika Kak harus menerima fitnah yang tidak adil dan kehilangan segalanya, Kak tetap berdiri tegak untukku.
Aku berjanji akan menjaga semua yang Kak perjuangkan. Semua pengorbanan Kak tidak akan sia-sia.
Aku akan menulis lagi begitu aku punya waktu, atau lebih baik lagi, aku akan cerita langsung ke Kak kalau Kak sudah sadar. Sampai saat itu tiba, aku akan bekerja keras dan menjaga semuanya tetap berjalan.
Dengan kasih,
Melissa]
Melissa menutup suratnya dengan napas berat. Ia menatap kakaknya sekali lagi, menggenggam jemarinya yang dingin dengan penuh harap. Di luar, suara kota yang perlahan bangkit kembali menjadi latar suara di tengah keheningan apartemen kecil mereka.