Chereads / Rel Bintang Semesta / Chapter 6 - Chapter 6 : Chapter 2 bangun

Chapter 6 - Chapter 6 : Chapter 2 bangun

Cahaya pagi merambat perlahan melalui sela-sela tirai lusuh, mengisi ruangan dengan sinar keemasan yang hangat. Kael membuka matanya perlahan. Pandangan buramnya mulai fokus, memperlihatkan langit-langit kayu berwarna pucat dan dinding yang dihiasi noda kelembapan. Bau samar lilin dan debu memenuhi udara, mengingatkan pada rumah-rumah tua yang tak terurus.

Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Saat ia bangkit dari tempat tidur kecil dengan rangka besi berkarat, ia mengusap wajahnya dengan tangan yang kurus dan pucat. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah ia telah tidur terlalu lama.

"Apa ini... kamarku?" gumamnya dengan suara serak.

Mata Kael menelusuri ruangan kecil itu. Di sudut dekat jendela, sebuah meja kayu sederhana berdiri. Di atasnya ada beberapa lembar kertas yang diletakkan sembarangan, tetapi satu surat terlihat mencolok. Diletakkan dengan hati-hati, seolah menunggu untuk ditemukan.

Kael melangkah perlahan, tubuhnya masih limbung. Kakinya hampir tersandung karpet lusuh di lantai. Ia meraih surat itu, membuka segelnya yang rapuh, dan mulai membaca tulisan tangan yang rapi. 

Setelah membaca surat itu Kael mengembuskan napas panjang, matanya terpaku pada surat itu. Perlahan, kenangan mulai menyelinap kembali. Melissa, adiknya, gadis yang ia janjikan untuk lindungi setelah kedua orang tua mereka tiada.

"Hm..." Kael menatap surat itu lagi. "Jadi dia pergi ke Dunwich."

Ia melipat surat itu dan meletakkannya kembali di meja. Otaknya mulai memproses informasi dengan lambat. Ia melangkah ke arah lemari pakaian kecil di dekat meja. Membuka pintunya, ia menemukan tumpukan pakaian yang tersusun rapi, sebagian besar lusuh, tapi tetap bersih. Ia menggeledah lebih dalam, mencari sesuatu.

Tidak ada kantong uang. Tidak ada sisa dollar atau koin. Tidak ada yang tersisa.

"Oh…" keluhnya pelan. Ia menutup lemari itu perlahan, lalu bersandar padanya, mencoba mencerna situasi. "Bahkan dana darurat juga?"

Kael terdiam, berusaha menyusun serpihan fakta yang ada di pikirannya. Tidak mungkin Melissa ceroboh dalam manajemen keuangan—dia selalu lebih teliti daripada dirinya. Namun, kondisi mereka akhir-akhir ini memang jauh dari kata stabil. Apakah Melissa menggunakan uang itu untuk membiayai perjalanan kereta uap kelas ekonomi? Barangkali untuk menutup kebutuhan makan selama enam hari satu malam di sana? pikirnya dengan getir.

["Masuk akal, mengingat biaya kereta tidak murah, dan dia mungkin berencana membawa pulang gaji yang nyaris habis untuk menambal pengeluaran."] Kael menghela napas berat, mencoba menenangkan diri sebelum beranjak dari sandaran lemari. Tanpa membuang waktu, dia bangkit, melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air dingin membasuh tubuhnya yang tegang.

Usai mandi, Kael mengenakan setelan formal: Topi tinggi, kemeja putih rapi, jas hitam yang presisi, celana panjang senada, dan dasi hitam yang diikat sempurna. Sebuah cane hitam digenggamnya mantap, seolah menjadi simbol keteguhan langkahnya hari itu. Tanpa sepatah kata, ia meninggalkan apartemen, berjalan menembus keramaian dengan sikap yang tenang walaupun badannya lemas

Di sudut pabrik garmen Dunwich East, suasana dipenuhi deru mesin jahit dan aroma kain yang lembap, berpadu dengan bunyi gemerisik gulungan kain bercampur aroma benang baru memenuhi udara. Melissa duduk di antara para pekerja perempuan lainnya, memegang jarum dan benang, dengan mata tertuju pada renda yang ia sulam perlahan. Jemarinya bergerak, meski terasa kaku dan lelah setelah enam hari bekerja.

Di sebelahnya, seorang teman baru, Clara, menghela napas panjang sambil meletakkan sulamannya. "Melissa, kau sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan ini?" tanya Clara, menatap Melissa dengan senyum lelah.

Melissa melirik temannya dan mengangguk pelan. "Sedikit. Tapi jariku seperti berhenti bekerja setiap malam."

Clara terkekeh kecil, meski matanya tampak penuh pengertian. "Kau tidak sendiri. Di hari pertama, aku sampai menangis di kamar karena tanganku hampir kaku. Tapi kau tahu? Lama-lama, kita akan terbiasa."

Melissa menghela napas sambil merapikan lipatan kain di pangkuannya. "Mungkin. Tapi aku tidak pernah membayangkan menyulam renda sepanjang hari bisa terasa seperti ini. Aku kira ini hanya soal ketelatenan, tapi ternyata... sangat melelahkan."

Clara mengangguk. "Itulah pekerjaannya. Kita mungkin dibayar untuk membuat sesuatu yang indah, tapi jarang ada yang melihat betapa keras usaha kita untuk itu."

Melissa berhenti sejenak, memandang hasil rendanya yang hampir selesai. "Aku hanya berharap semua ini sepadan. Aku harus mengirim uang kembali ke rumah."

Clara menepuk bahunya lembut. "Dan kau akan melakukannya. Kau kuat, Melissa."

Meski lelah, Melissa tersenyum tipis, lalu kembali menyulam, berusaha mengabaikan rasa nyeri di jemarinya.