Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Games Into Reality

🇮🇩Fikri_Dwi
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.5k
Views
Synopsis
Aditya Surya, siswa SMA kelas 11 yang dikenal sebagai maniak game, tak pernah menyangka bahwa hobinya akan mengubah hidupnya selamanya. Saat dunia dikuasai oleh hype Rogue Like And Darkness, sebuah game RPG terbaru dengan dunia gelap penuh tantangan, Aditya memutuskan mencobanya. Dengan antusias, ia menjelajahi game itu hingga larut malam, mempelajari sistem, karakter, dan rahasia permainan yang baru saja ia mulai. Namun, pagi berikutnya membawa kejutan yang mengerikan kos-kosannya hancur lebur. Dunia luar yang ia kenal telah berubah menjadi dunia dari game yang ia mainkan! Ras-ras misterius, monster buas, dan makhluk asing kini berkeliaran di sekitarnya, seakan permainan itu menjadi kenyataan. Dengan hanya pengalaman satu malam bermain, Aditya harus memanfaatkan semua yang ia tahu dari game tersebut untuk bertahan hidup di dunia baru yang penuh bahaya. Mampukah Aditya mengatasi dunia penuh kekacauan ini? Ataukah ia akan menjadi korban dari permainan yang kini menjadi realita? Di dunia yang menuntut strategi, keberanian, dan keahlian, ia harus menjawab pertanyaan: Apakah ia hanya seorang pemain, atau takdirnya lebih besar dari itu?
VIEW MORE

Chapter 1 - EPS-1 Tanpa Tahu Menahu

Jakarta Utara

08:12

Aditya duduk di pojok kamar kosnya, tubuhnya bersandar pada dinding yang retak, kedua lututnya ditekuk, dan wajahnya tertutup oleh kedua tangan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa takut yang menguasai pikirannya. Napasnya tidak teratur, dadanya naik-turun seperti orang yang baru saja berlari jauh. Pemandangan di luar lubang besar di dinding terus terngiang di benaknya—monster, kehancuran, dan dunia yang tidak lagi ia kenal.

"Sial…" bisiknya pelan, suaranya serak karena tegang. Ia menggenggam rambutnya, menariknya sedikit dalam upaya putus asa untuk berpikir jernih. "Gue harus ngapain ini? Gue nggak bisa cuma diem doang. Tapi kalau gue keluar…" Aditya menelan ludah, membayangkan sosok wyvern yang melayang rendah tadi, nafas apinya melahap gedung-gedung yang dulu kokoh berdiri.

Pelan-pelan, ia berdiri. Lututnya terasa lemas, tapi ia memaksakan diri untuk melangkah mendekati lubang di dinding itu. Angin dingin dari luar kembali menerpa wajahnya, membawa bau menyengat seperti asap dan darah. Pemandangan di luar terlihat semakin jelas di bawah sinar matahari yang keemasan, tapi bukannya memberikan rasa nyaman, sinar itu malah membuat kehancuran yang ia lihat semakin nyata.

Gedung-gedung tinggi yang dulunya berdiri megah kini telah runtuh, seperti ditarik paksa oleh tangan raksasa yang tak terlihat. Jalanan yang biasa dipenuhi kendaraan kini hanya menyisakan aspal retak yang dipenuhi kawah besar. Di udara, wyvern masih terbang rendah, ekornya yang panjang dengan duri tajam menghantam salah satu sisa gedung, membuatnya runtuh dengan gemuruh mengerikan.

Di kejauhan, ia melihat sekelompok makhluk humanoid yang berjalan seperti pasukan. Mereka memiliki tubuh tinggi kurus dengan kulit abu-abu kebiruan, mata bersinar merah, dan tangan yang berakhir dengan cakar panjang. Mereka menyeret senjata primitif—kapak besar dan pedang bengkok yang terlihat berkarat tapi tetap mematikan. Di belakang mereka, seekor monster berbentuk seperti laba-laba raksasa dengan delapan mata merah dan tubuh berbulu hitam pekat melintas di antara reruntuhan, kakinya yang tajam seperti tombak menghancurkan sisa-sisa jalan dengan mudah.

Aditya menatap semuanya dengan mulut terbuka. "Gue nggak lagi mimpi buruk, kan?" pikirnya, tapi rasa dingin yang ia rasakan di telapak kakinya menyadarkan bahwa ini terlalu nyata untuk jadi mimpi.

Ia mundur dari lubang itu, menoleh ke sekeliling kamarnya yang juga tidak lagi terasa aman. Dinding-dindingnya penuh retakan, lemari kecil di pojok ruangan telah ambruk, dan kasurnya berantakan karena tertimpa pecahan tembok. Ia melihat laptopnya yang masih menyala, menampilkan layar utama game Rogue Like And Darkness. Logo game itu terpampang jelas di sana, seolah mengejeknya.

Aditya menatap layar itu, lalu kembali memandangi kehancuran di luar. Sebuah pemahaman mulai muncul di benaknya, membuat tubuhnya kembali gemetar. "Bukan gue yang masuk ke dunia game…" pikirnya. Ia menghela napas panjang, lalu bergumam dengan suara pelan tapi penuh ketakutan.

"…Game-nya yang jadi nyata… Dunia ini udah berubah jadi dunia Rogue Like And Darkness."

Kata-kata itu terasa berat di lidahnya, seperti mengunci nasib buruk yang tak bisa ia hindari. Ia memutar tubuhnya, mencoba mencari sesuatu yang bisa ia gunakan. "Oke, Dit, tenang. Tenang. Kalau ini kayak di game, berarti gue butuh senjata, item, apa pun buat bertahan…"

Ia mulai menggeledah kamar kosnya dengan tangan gemetaran, membuka lemari yang sudah miring dan memeriksa isi laci meja belajarnya. Tidak ada apa pun selain benda-benda biasa: gunting, pensil, dan sebungkus mi instan. Aditya menghela napas panjang, frustrasi.

Tiba-tiba, sebuah suara keras menggema dari luar, seperti raungan yang membuat tanah bergetar. Aditya langsung berhenti bergerak, tubuhnya kaku di tempat. Ia kembali mendekati lubang di dinding dan mengintip ke bawah. Di jalanan yang sudah hancur, sebuah makhluk besar muncul dari balik reruntuhan gedung.

Itu adalah troll, tubuhnya sebesar bangunan dua lantai, kulitnya seperti batu yang pecah-pecah, dan matanya merah menyala. Troll itu membawa tongkat kayu besar dengan ujung logam yang bersinar, seolah baru saja digunakan untuk menghancurkan sesuatu. Ia mengaum keras, dan suara itu menggema di seluruh kota. Di belakang troll itu, makhluk-makhluk humanoid tadi mulai berkumpul, seperti pasukan yang siap berperang.

Aditya menahan napas, berjongkok perlahan agar tidak terlihat. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. "Sial…" gumamnya dengan suara bergetar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba berpikir.

"Kalau gue tetap di sini, gue pasti bakal mati. Tapi kalau gue keluar, peluang gue untuk bertahan nggak lebih besar." pikirnya. Ia menatap sekeliling kamarnya lagi, mencoba mencari jalan keluar. Pandangannya tertuju pada tas ranselnya yang tergeletak di lantai. Ia mengambil tas itu dengan cepat dan memasukkan beberapa benda—sebotol air, ponsel, charger, mi instan, dan gunting.

"Sumpah, gue nggak tahu ini bakal cukup atau nggak, tapi gue nggak bisa cuma duduk diem," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia menatap lubang di dinding sekali lagi, lalu menarik napas panjang.

"Kalau ini benar-benar dunia Rogue Like And Darkness, maka gue harus bermain sesuai aturannya." Suara Aditya terdengar pelan, tapi ada sedikit keberanian yang mulai tumbuh di dalamnya, meski hanya secuil. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah bergerak, meski ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi di luar sana.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia menyadari satu hal ini bukan sekadar permainan lagi. Ini adalah hidup dan mati dan ia hanya punya satu kesempatan untuk bertahan.

Aditya berdiri di ambang pintu kamarnya yang hancur, tangan kanannya gemetar saat memegang tas ransel lusuh yang sudah ia isi seadanya. Pandangannya tertuju pada lorong panjang kos-kosan di lantai dua yang sekarang sunyi. Biasanya, lorong ini dipenuhi suara tawa dan obrolan para penghuni kos—tetangga-tetangganya yang sering ia temui saat keluar untuk membeli makan atau mencuci pakaian. Tapi sekarang, lorong itu terasa mati. Tidak ada satu suara pun, bahkan langkah kaki.

"Ke mana mereka semua?" gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang mencekam. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya yang terasa berat. "Apa mereka sudah pergi dari sini... atau... apa mereka sudah mati?" Pikiran itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Aditya mengalihkan pandangannya ke pintu-pintu kamar tetangga yang kebanyakan terbuka setengah, seperti ditinggalkan terburu-buru. Beberapa pintu bahkan terlihat rusak, engselnya lepas, dan serpihan kayu berserakan di lantai. Ada jejak kaki yang berceceran di lantai kotor, tapi bentuknya tidak seperti kaki manusia—lebih besar, dengan bekas cakar panjang yang mencakar ubin.

"Hah… semoga saja mereka baik-baik saja," ucapnya pelan, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan harapan itu. Dengan hati-hati, Aditya mulai melangkah keluar dari kamarnya, mendekati tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai satu.

Tangga yang biasa ia lewati setiap hari kini terlihat penuh dengan debu dan puing-puing kecil. Beberapa anak tangga terlihat retak, dan ada bekas seretan sesuatu yang berat di sepanjang sisi tangga. Ia menginjak anak tangga pertama dengan perlahan, memastikan tidak ada suara berisik yang akan menarik perhatian. Tangannya berpegangan erat pada pegangan tangga, meskipun itu juga sudah sedikit goyah.

Saat mencapai lantai satu, Aditya berhenti sejenak. Pandangannya menyapu area ruang tamu kos-kosan yang sekarang berantakan. Sofa yang biasanya menjadi tempat nongkrong para penghuni kos telah terbalik, dan televisi di sudut ruangan pecah berkeping-keping. Ada genangan cairan gelap di dekat pintu depan, yang membuat Aditya merinding. Ia tidak berani mendekat untuk memastikan apa itu.

Langkahnya melambat ketika ia mencapai pintu utama kos-kosan. Pintu itu setengah terbuka, seperti telah dihantam sesuatu yang besar. Engselnya bergoyang-goyang pelan setiap kali angin berembus, menimbulkan suara berderit yang menusuk telinga.

Aditya menelan ludah, lalu mengintip ke luar dari celah pintu. Cahaya matahari pagi menyilaukan, tapi ia tetap bisa melihat dunia di luar—dan apa yang ia lihat membuatnya langsung mundur setengah langkah.

Di luar, pemandangan yang biasa ia kenal sebagai kawasan perkotaan kini berubah menjadi medan kehancuran. Jalanan di depan kos-kosan dipenuhi reruntuhan, mobil-mobil terbakar, dan pohon-pohon tumbang. Di sisi jalan, bekas kawah besar terlihat, dengan kepulan asap yang masih mengepul dari tanah yang hangus.

Lebih jauh ke depan, ia melihat bayangan monster besar yang bergerak lambat di antara reruntuhan gedung. Makhluk itu terlihat seperti ogre dengan tubuh setinggi gedung tiga lantai. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang penuh luka tampak membawa sisa-sisa bangunan, dan ia mengaum keras, suaranya mengguncang udara.

Aditya merasakan tubuhnya kaku. Napasnya tercekat, dan jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia menunduk, berusaha mengatur napas sambil menenangkan dirinya. "Oke, Dit… nggak ada jalan mundur lagi. Kalau gue tetap di sini, gue bisa ketahuan. Gue harus keluar…"

Dengan tangan yang gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan, mencoba membuat sesedikit mungkin suara. Angin dari luar langsung menerpa wajahnya, membawa bau asap, darah, dan sesuatu yang busuk. Ia melangkah keluar dengan hati-hati, ranselnya bergoyang di punggung, dan setiap langkahnya terasa seperti menembus zona berbahaya.

Ketika ia akhirnya berdiri di jalan depan kos-kosan, Aditya bisa melihat dengan lebih jelas betapa hancurnya dunia ini. Di langit, wyvern yang tadi ia lihat melayang rendah, mengeluarkan jeritan melengking yang membuatnya refleks menutup telinga. Di dekatnya, sebuah hound berkepala dua dengan tubuh dipenuhi duri sedang berkeliaran, mencabik-cabik bangkai sesuatu yang tak bisa ia identifikasi lagi.

Aditya menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain selain bergerak. Perlahan, ia membuka matanya lagi, lalu berkata pada dirinya sendiri dengan suara pelan, "Ini bukan lagi soal nunggu bantuan. Ini soal bertahan hidup."

Dengan langkah pelan, ia mulai berjalan di antara reruntuhan, berharap keberuntungannya cukup untuk membuatnya bertahan hidup di dunia yang telah berubah menjadi neraka.

Aditya melangkah pelan di gang sempit, napasnya tertahan, matanya terus menyapu area sekitar, memastikan tidak ada sesuatu yang aneh yang mengikuti. Udara di gang itu terasa lembap, dengan bau anyir bercampur aroma logam yang membuat perutnya mual. Dinding di kedua sisi gang penuh dengan retakan dan coretan yang entah berasal dari manusia atau makhluk lain.

"Gue harap nggak ada yang lihat gue di sini..." gumamnya, hampir seperti doa. Tas ranselnya bergoyang di punggung, beratnya seolah menekan pundaknya yang sudah kelelahan.

Ia menggenggam tali tasnya lebih erat, berusaha menenangkan diri. "Cuma mi instan satu, air sebotol, sama gunting. Kalau gue nggak hati-hati, gue bakal kelaparan sebelum ketemu solusi. Fokus, Dit. Jangan panik." Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan gemetarnya.

Gang itu panjang dan gelap, diterangi hanya oleh cahaya matahari yang memantul dari celah-celah bangunan di atasnya. Setiap langkah Aditya bergema, suara kakinya seolah menjadi satu-satunya pengingat bahwa ia masih hidup. Tapi tiba-tiba, suara lain mulai terdengar dalam, berat, seperti desahan rendah yang keluar dari dada makhluk besar.

Aditya berhenti, tubuhnya menegang. Ia memiringkan kepala, mencoba mencari sumber suara. "Apa itu?" bisiknya pelan, jantungnya mulai berpacu lagi. Ia melangkah lebih pelan, hampir tanpa suara, dan mendekati ujung gang yang terbuka ke sebuah area yang lebih luas.

Ketika ia melongok keluar, tubuhnya langsung membeku. Di sana, tepat di tengah jalan yang penuh reruntuhan, berdiri sebuah makhluk setinggi tiga meter dengan tubuh kekar seperti batu, kulitnya hitam keabu-abuan yang memantulkan cahaya samar. Tangannya besar, dengan cakar tajam yang meneteskan darah segar. Di salah satu tangannya, ia memegang tubuh manusia yang sudah mati leher korban itu tergenggam erat, kepala tergantung dengan posisi tak wajar.

Aditya hanya bisa menatap pemandangan itu dengan mata membelalak. Kakinya gemetar, dan ia merasakan peluh dingin mulai mengalir di dahinya. Tubuhnya terasa seolah terpaku di tempat. "Apa-apaan itu...?" pikirnya. Ia ingin berbalik dan lari, tapi tubuhnya tidak mau menurut.

Makhluk itu tiba-tiba menoleh. Matanya, dua lubang kosong yang bersinar ke unguan seperti listrik, bertemu langsung dengan tatapan Aditya. Dalam sekejap, makhluk itu melempar tubuh tak bernyawa di tangannya seperti seonggok sampah. Suara benturan tubuh dengan tanah menggema di telinga Aditya, membuatnya semakin panik.

"Gue harus lari!" pikir Aditya, akhirnya memaksa tubuhnya untuk bergerak. Tapi belum sempat ia mengambil langkah pertama, makhluk itu sudah bergerak.

Dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh sebesar itu, makhluk tersebut sudah berdiri tepat di depannya dalam sekejap. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ada medan listrik yang menekan segalanya. Kilatan-kilatan energi biru menyala mengitari tubuh makhluk itu, menciptakan suara mendesis yang menusuk telinga.

Aditya mencoba mundur, tapi kakinya tersandung puing, dan ia jatuh terduduk. "Gila... secepat itu?! Apa-apaan ini?!" pikirnya, panik.

Makhluk itu mengangkat tangannya yang besar, dan sebelum Aditya bisa berkata apa pun, kepalan tangannya menghantam perut Aditya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.

"URGH!"

Rasa sakit itu datang begitu cepat dan begitu parah, seperti ada palu raksasa yang menghancurkan tulang rusuknya sekaligus. Udara keluar dari paru-parunya, dan darah memancar dari mulutnya sebelum ia bahkan sempat sadar apa yang terjadi. Tubuhnya terangkat dari tanah akibat pukulan itu dan terpental dengan keras ke dinding di belakangnya.

BRUGH!

Dinding itu hancur berkeping-keping seperti kertas yang dihantam benda keras. Tubuh Aditya jatuh di atas puing-puing, dadanya terasa seperti dilindas truk. Penglihatannya kabur, dan suara berdenging memenuhi telinganya. Ia mencoba menarik napas, tapi setiap tarikan terasa seperti pisau yang menusuk paru-parunya.

Makhluk itu berjalan mendekat, suaranya menggetarkan tanah di sekitarnya. Dengan setiap langkah, medan listrik di sekitarnya semakin intens, menghanguskan puing-puing kecil yang tersentuh kilatannya.

Aditya, meskipun hampir tak bisa bergerak, mencoba menopang tubuhnya dengan satu tangan. Pandangannya tertuju pada makhluk itu, tapi kepalanya berputar. "Gue bakal mati… Ini… terlalu gila. Gue nggak mungkin bisa lawan ini…" pikirnya. Darah menetes dari sudut bibirnya, sementara tubuhnya bergetar karena rasa sakit yang menguasai.

Makhluk itu mengangkat tangan, siap memberikan pukulan terakhir yang mungkin akan menghancurkan Aditya sepenuhnya. Tapi di tengah ketegangan itu, terdengar suara keras dari jauh seperti raungan wyvern atau sesuatu yang lebih besar lagi. Makhluk itu menghentikan gerakannya, kepalanya menoleh ke arah suara tersebut.

Aditya memanfaatkan momen itu. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, ia bergumam pelan, "Gue nggak boleh mati di sini… Gue nggak boleh mati kayak gini…"

Ia mencoba merangkak, meskipun rasa sakit di setiap persendiannya membuat setiap gerakan terasa seperti penyiksaan. Napasnya berat, tapi matanya tetap menatap ke depan, mencoba mencari jalan keluar. Ini bukan game lagi. Di sini, mati berarti benar-benar selesai.

Aditya berusaha berdiri, tubuhnya gemetar dan perutnya masih terasa seperti dihantam besi panas. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti ada ribuan duri menusuk otot-ototnya. Darah dari mulutnya masih menetes, meninggalkan jejak kecil di lantai yang berdebu. Meski begitu, ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit sambil memaksa dirinya untuk terus berjalan.

"Ayo, Dit… sedikit lagi... cuma beberapa langkah ke belokan itu. Kalau gue bisa kabur, mungkin gue punya kesempatan," gumamnya dalam hati, berusaha menyalakan kembali semangat bertahan hidupnya.

Udara di sekitarnya masih penuh dengan bau anyir darah dan sengatan listrik yang menyengat. Ia melirik ke belakang, dan makhluk itu masih berdiri di sana, mengawasi dengan mata bersinar merah seperti bara api yang siap meledak kapan saja. Tapi sepertinya ia tidak bergerak, hanya berdiri diam seolah menunggu langkah selanjutnya dari Aditya.

Aditya mempercepat langkahnya, menahan rasa sakit yang mencabik-cabik tubuhnya. Tangannya yang gemetar meraih dinding di samping untuk menjaga keseimbangan. Napasnya tersengal-sengal, hampir seperti suara orang tenggelam yang mencari udara. Belokan itu tinggal beberapa meter lagi, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan secercah harapan kecil.

Namun, sebelum ia bisa mencapai sudut itu, suara dentuman keras di belakang membuatnya menoleh. Mata Aditya membelalak. Makhluk itu mengangkat salah satu tangannya yang raksasa, dan dari telapak tangannya muncul kilatan listrik yang semakin membesar, berkumpul menjadi bola energi biru menyala. Udara di sekitarnya mendesis, seperti terbakar oleh panas yang tak terlihat.

"Sial! Dia tahu gue mau kabur!" pikir Aditya, kepanikannya langsung memuncak. Ia mencoba mempercepat langkahnya, memaksa tubuhnya yang sudah hampir runtuh untuk berlari.

Dalam hitungan detik, makhluk itu melepaskan bola energi listrik tersebut, meluncurkannya langsung ke arah Aditya. Suara letusan yang memekakkan telinga menggema di seluruh gang, diikuti oleh kilatan cahaya yang begitu terang hingga seolah membakar penglihatan.

"BOOOM!"

Aditya tidak sempat bereaksi. Ledakan itu menghantamnya dengan kekuatan luar biasa, melempar tubuhnya seperti boneka kain ke udara. Suara retakan terdengar jelas dari tubuhnya saat ia menghantam dinding di belakang dengan keras, tembok itu hancur berantakan seperti pasir. Tubuhnya terhempas ke tanah dengan bunyi "Brugh!" yang menyakitkan.

Rasa sakit yang ia rasakan kini jauh melampaui apa pun yang pernah ia bayangkan. Sisi kirinya mati rasa, tapi dadanya terasa seperti diremukkan sepenuhnya. Darah segar mengalir dari pelipisnya, menetes ke tanah. Ia mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhnya seperti tidak mau bekerja sama. Tangannya gemetar hebat saat mencoba menopang tubuhnya, tapi kekuatannya habis begitu saja.

Asap dari ledakan masih mengepul, memenuhi udara di sekitarnya dengan bau gosong yang menyengat. Pandangannya mulai kabur, tapi ia masih bisa melihat siluet makhluk itu yang perlahan mendekatinya. Suara berat langkah kakinya menggema, setiap hentakan seperti tanda akhir yang mendekat.

"Gue… nggak bakal selamat dari ini…" pikir Aditya, napasnya tersengal-sengal. Rasa takut yang selama ini ia tahan mulai menyeruak, memenuhi pikirannya. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi bahkan mulutnya tidak bisa terbuka.

Makhluk itu berhenti hanya beberapa meter dari tubuhnya. Mata merahnya bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan kilatan listrik kecil masih menari-nari di sekujur tubuhnya. Ia menundukkan kepala, mengamati Aditya yang terkapar di tanah seperti mangsa yang sudah tidak berdaya.

"Ini… benar-benar akhir gue..." Aditya ingin memejamkan mata, tapi tiba-tiba sesuatu dalam dirinya menyala. Sebuah dorongan samar bukan keberanian, tapi rasa putus asa yang mendorongnya untuk tidak menyerah begitu saja. Dengan sisa-sisa kekuatan yang nyaris tidak ada, ia mencoba bergerak, menyeret tubuhnya sejauh mungkin, bahkan jika itu hanya beberapa sentimeter.

Makhluk itu tampaknya memperhatikan gerakan kecil itu, lalu mengangkat tangannya sekali lagi. Bola energi yang lebih besar mulai terbentuk di telapak tangannya, memancarkan suara gemuruh seperti badai. Aditya hanya bisa menatapnya dengan napas tersengal, seluruh tubuhnya basah oleh keringat dan darah.

"Apa ini akhir gue? Apa gue benar-benar bakal mati di sini... tanpa tahu kenapa semua ini terjadi?" pikirnya. Mata Aditya mulai kabur lagi, rasa sakitnya seperti menyatu dengan kesadaran yang semakin memudar. Tapi di dalam hatinya, ia tetap menggenggam satu harapan kecil bahwa ini semua adalah mimpi buruk, dan ia akan terbangun dari semua ini.

Makhluk itu bersiap untuk memberikan serangan terakhir, sementara Aditya hanya bisa tergeletak di tanah, tubuhnya tak berdaya, tapi pikirannya berteriak keras "Tolong... siapa pun... selamatkan gue."

Aditya memejamkan matanya, pasrah menerima nasib. Namun, tepat saat makhluk itu hendak meluncurkan serangan terakhirnya, udara di sekitarnya berubah drastis. Suara gemuruh rendah terdengar, diikuti dengan angin yang berputar semakin cepat di sekitar mereka. Aditya membuka matanya perlahan dan melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Tepat di atas makhluk itu, sebuah lubang besar berwarna hitam pekat muncul di udara, seperti celah di kain realitas.

"Apa... apa itu?!" pikir Aditya dengan wajah penuh keterkejutan.

Makhluk raksasa yang sebelumnya penuh percaya diri kini menunjukkan ekspresi ketakutan. Mata merahnya yang menyala berubah redup saat ia menyadari kekuatan yang jauh melampaui dirinya. Lubang hitam itu mulai berputar dengan intensitas yang meningkat, menarik segala sesuatu di sekitarnya. Bangku, potongan tembok, bahkan serpihan-serpihan kecil dari reruntuhan mulai terhisap ke dalamnya.

Makhluk itu mencoba melawan tarikan gravitasi lubang hitam tersebut, mencengkeram tanah dengan cakarnya yang besar. Tapi sia-sia. Perlahan tubuhnya mulai terangkat, kakinya meninggalkan tanah. "Tidak! Ini... ini mustahil! Siapa yang berani melawan aku?!" Makhluk itu meraung dengan nada panik, cakarnya mencakar-cakar udara saat tubuhnya terseret ke arah lubang itu.

Aditya, yang masih terkapar di tanah, hanya bisa menatap dengan mulut terbuka. "Huh? Apa yang sebenarnya terjadi?!" pikirnya, tubuhnya gemetar di antara rasa takut dan kebingungan.

Saat makhluk itu hampir sepenuhnya terseret ke dalam lubang hitam, sebuah suara berat menggema di udara. Suaranya begitu dalam dan menakutkan, seperti berasal dari kedalaman kekosongan yang tak terukur. "Aku sudah bosan menunggu..."

Aditya menoleh ke arah sumber suara, tapi yang ia lihat hanyalah kegelapan. Dari balik bayangan yang entah datang dari mana, sosok misterius perlahan muncul. Tubuhnya tersembunyi di balik tudung hitam besar yang mengalir seperti asap, menutupi wajah dan seluruh tubuhnya. Tidak ada bagian tubuhnya yang terlihat, hanya kegelapan absolut yang seperti menelan cahaya di sekitarnya. Udara di sekitar sosok itu dingin, bahkan lebih dingin daripada kematian yang hampir saja merenggut Aditya.

"Siapa... siapa itu?!" Aditya bertanya dengan suara gemetar.

Makhluk yang sebelumnya mengancam Aditya kini tak lagi bisa melawan. Dalam tarikan terakhir, tubuh raksasanya tersedot sepenuhnya ke dalam lubang hitam. Raungannya yang terakhir menggema sebelum hilang sepenuhnya. Lubang hitam itu perlahan mengecil hingga akhirnya lenyap, meninggalkan keheningan yang mencekam.

Sosok bertudung itu melangkah mendekati Aditya. Langkahnya tak menimbulkan suara, seperti ia tak benar-benar menyentuh tanah. Udara di sekitarnya terasa semakin berat, membuat Aditya sulit bernapas.

"Apa... apa kau...?" Aditya mencoba berbicara, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.

"Para dewa lain telah memilih inang mereka," suara sosok itu menggema, seolah berbicara langsung ke pikiran Aditya. "Mereka bergegas ke dunia ini, mempersiapkan kekuatan mereka untuk menguasai realitas baru ini. Namun, aku... aku menunggu. Aku mengamati. Dan sekarang, aku telah menemukanmu."

Aditya menatap sosok itu dengan tatapan penuh ketakutan. "Inang? Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!"

Sosok itu berhenti tepat di depan Aditya. Dari balik tudungnya, dua cahaya kecil muncul, seperti mata yang menatap langsung ke jiwa Aditya. "Aku adalah kekosongan. Aku adalah ketiadaan yang mendahului segala sesuatu dan yang akan tetap ada setelah semuanya berakhir. Namaku adalah Khu, Dewa Kekosongan."

Aditya merasakan tubuhnya gemetar semakin hebat. "Kekosongan...? Apa yang kau inginkan dariku?"

Khu mengangkat tangannya atau setidaknya sesuatu yang berbentuk tangan namun terbuat dari kegelapan murni. Dalam gerakan lambat, ia menunjuk ke dada Aditya. "Dunia ini telah berubah, anak manusia. Kau telah melihatnya sendiri. Kekacauan ini adalah hasil dari ketamakan para dewa, yang ingin menjadikan realitas sebagai permainan mereka. Namun, kau... kau adalah anomali. Kau tidak seharusnya berada di sini, tapi kau ada. Itu membuatmu... istimewa."

Aditya menelan ludah, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. "Jadi... apa yang kau inginkan dari gue?"

Khu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada yang lebih pelan namun penuh kekuatan. "Aku ingin menawarkanmu sesuatu, Aditya. Sebuah kesempatan untuk bertahan hidup di dunia yang baru ini. Tapi dengan harga... kau harus menjadi inangku, pembawa kekuatanku di dunia ini. Dengan itu, kau akan memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi segala sesuatu yang ada di sini. Termasuk para dewa lain yang akan memburumu."

Aditya memandang Khu dengan campuran ketakutan dan kebingungan. Tawaran itu terdengar seperti jalan keluar, tapi juga terdengar seperti perangkap. "Apa yang terjadi kalau gue jadi inang lu? Apa gue masih bakal jadi gue?"

Khu tersenyum samar, sebuah ekspresi yang meski tak terlihat langsung, entah bagaimana bisa dirasakan oleh Aditya. "Kau akan tetap menjadi dirimu, tapi lebih dari itu. Kau akan menjadi bagian dari kekosongan, seperti aku. Sebuah keberadaan yang tidak dapat dihancurkan oleh waktu ataupun takdir."

Aditya terdiam, pikirannya penuh dengan keraguan. Tapi saat ia melihat tubuhnya yang penuh luka dan darah, serta dunia luar yang penuh dengan kehancuran dan makhluk-makhluk berbahaya, ia tahu bahwa pilihannya sangat terbatas.

"Oke," ucapnya akhirnya, meski suaranya nyaris tak terdengar. "Gue nggak punya pilihan lain. Kalau ini satu-satunya cara gue bisa bertahan hidup... gue terima."

Mata Khu bersinar lebih terang sejenak, lalu ia merentangkan tangannya. "Bagus. Maka mulai sekarang, kau dan aku akan menjadi satu. Bersiaplah, Aditya. Dunia ini akan menjadi saksi dari kekuatan kekosongan."

Dalam sekejap, Khu menghilang menjadi aliran bayangan pekat yang meluncur ke arah tubuh Aditya, menyatu dengannya. Aditya berteriak kesakitan saat tubuhnya diliputi oleh kegelapan, tapi bersamaan dengan itu, ia merasakan kekuatan yang luar biasa membanjiri setiap serat tubuhnya.

Ketika semuanya selesai, Aditya berdiri, tubuhnya penuh dengan tanda-tanda hitam seperti tato abstrak yang menyala samar. Matanya kini bersinar seperti bintang di tengah kegelapan.

"Dunia ini baru saja berubah... dan gue juga," ucap Aditya, suaranya bercampur dengan gema yang dalam, seolah Khu berbicara bersamanya.