Chereads / Games Into Reality / Chapter 2 - EPS-2 Mengikuti bimbingan nya

Chapter 2 - EPS-2 Mengikuti bimbingan nya

Aditya menatap tubuhnya yang semula penuh luka kini pulih sepenuhnya. Tidak ada lagi rasa sakit di tulang atau ototnya. Bahkan bekas darah yang tadinya membekas di kulit dan pakaiannya menghilang begitu saja. Ia mengangkat kedua tangannya, memperhatikan setiap detail yang kini tampak berbeda. Garis-garis hitam misterius seperti tato menyelimuti lengan dan dadanya, membentuk pola yang bergerak perlahan seperti hidup. Cahaya samar keunguan memancar dari pola itu, seakan energi mengalir di bawah kulitnya.

"Apa ini... dari kekuatan Khu ya?" gumam Aditya dengan nada bergetar, di antara kagum dan ngeri.

Suara yang dalam dan menggema tiba-tiba terdengar di dalam pikirannya, membuat Aditya tersentak. "Benar sekali, Aditya. Itulah kekuatan yang kini kau miliki. Aku telah menjadi bagian darimu, dan dengan itu, tubuhmu kini dipulihkan sepenuhnya. Luka, rasa sakit, dan bahkan kelemahanmu yang dulu... semua itu telah lenyap."

Aditya menoleh ke sekeliling, mencoba mencari sosok Khu, meskipun ia tahu itu sia-sia. "Kau... di mana? Kenapa suara lu ada di kepala gue?!" tanyanya dengan nada panik.

"Aku bukan makhluk fisik, Aditya. Aku adalah kekosongan, esensi dari kehampaan itu sendiri. Tubuhku tidak pernah benar-benar ada, dan sekarang aku telah menyatu denganmu. Kita adalah satu."

Aditya menggertakkan giginya. "Satu? Jadi, gue nggak punya privasi lagi, ya? Mau mikir aja lu denger?" Ia mencoba bercanda, meski rasa gugup masih memenuhi dirinya.

Khu tertawa kecil, suara itu terdengar seperti gemuruh yang jauh namun menakutkan. "Aku akan membiarkanmu berpikir sendiri, manusia. Namun, jika kau dalam bahaya atau butuh kekuatanku, aku akan selalu ada."

Aditya menghela napas panjang. Ia mencoba fokus, menenangkan pikirannya yang berantakan. Lalu perlahan, ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Anehnya, setiap gerakan terasa lebih ringan, lebih cepat, dan lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengepalkan tangan, dan hawa dingin mengalir melalui telapak tangannya, menciptakan angin hitam yang melingkar di sekitarnya.

"Whoa... Ini gila banget," ucap Aditya sambil menatap tangan kirinya yang kini dikelilingi oleh bayangan pekat. "Khu, ini... apa ini yang gue rasakan sekarang? Kok tubuh gue kayak lebih ringan, tapi juga penuh energi."

"Itulah hadiah dari kekosongan. Tubuhmu telah diperkuat untuk bertahan di dunia ini. Tapi ingat, kekuatan ini tidak datang tanpa harga. Dunia ini penuh dengan dewa-dewa lain yang memiliki inang mereka sendiri, dan mereka tidak akan tinggal diam melihat keberadaan kita."

Aditya termenung. Bayangan makhluk raksasa yang hampir membunuhnya tadi masih terlintas di benaknya. "Tunggu... berarti... gue nggak cuma harus bertahan dari monster-monster itu, tapi juga dari inang dewa lain?"

"Benar sekali. Dan mereka tidak akan segan-segan menghancurkanmu, Aditya. Tapi jangan khawatir. Dengan kekuatanku, kau punya kesempatan untuk melawan mereka. Namun, itu tergantung pada keberanianmu."

Aditya tersenyum tipis, meskipun keringat dingin masih membasahi dahinya. "Berani? Gue barusan hampir mati, dan lu ngomongin keberanian? Tapi ya... kalau memang ini cara gue bertahan, mau nggak mau gue harus belajar buat pake kekuatan ini."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di kejauhan, membuat Aditya terdiam. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan matanya melebar saat melihat ledakan besar di ujung jalan. Sebuah gedung tinggi runtuh, menimbulkan awan debu raksasa yang menyebar ke segala arah. Dari balik awan debu itu, muncul sesosok makhluk lain lebih besar dari yang sebelumnya. Tubuhnya dipenuhi duri-duri tajam, dan kedua matanya bersinar merah menyala seperti obor neraka.

"Apa itu?!" Aditya berteriak sambil melangkah mundur.

"Monster yang memiliki kekuatan regenerasi sangat kuat, pasukan dari dewa pemakan daging," jawab Khu dengan nada tenang namun penuh kewaspadaan. "Dunia ini telah menjadi medan perang para dewa, dan para makhluk seperti itu adalah prajurit mereka. Kau harus memilih kabur atau hadapi."

Aditya menelan ludah. Pilihannya jelas, tapi hatinya berdebar keras. "Kabur kedengerannya lebih aman, tapi... kalau gue terus kabur, kapan gue bisa ngendaliin kekuatan ini?" gumamnya pada dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangannya yang kembali dilingkupi bayangan pekat.

Makhluk besar itu meraung, suaranya mengguncang area sekitar, lalu melangkah mendekat dengan setiap langkahnya yang menyebabkan tanah di sekitarnya retak.

Aditya menatapnya dengan wajah penuh tekad. "Oke, Khu. Kalau gue bakal jadi inang lu, sekarang waktunya buat nunjukin kekuatan lu!"

"Seperti kataku, Aditya," suara Khu terdengar penuh kegembiraan gelap, "Aku akan selalu ada. Kini, mari kita perkenalkan kekosongan kepada mereka."

Makhluk itu meraung dengan ganas, tubuhnya yang besar seperti monster berbentuk iblis penuh duri langsung menerjang Aditya dengan kecepatan luar biasa. Angin yang ditimbulkan dari serangan itu cukup kuat hingga puing-puing di sekitar berhamburan, menandakan betapa destruktifnya serangan tersebut. Aditya, yang hanya bisa berdiri terpaku, menutup matanya karena yakin ini akan menjadi akhir baginya.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Saat cakar tajam makhluk itu menghantam tubuhnya, serangan itu menembus tubuh Aditya tanpa meninggalkan luka sedikit pun, seperti menabrak bayangan yang tidak memiliki wujud nyata.

"Eh? Kok bisa?!" Aditya membuka matanya, melihat tubuhnya masih utuh tanpa goresan sedikit pun. Dia menatap makhluk itu yang tampak kebingungan, cakarnya terjulur ke depan seperti menusuk udara kosong.

"Sesuatu terjadi, Khu! Apa ini?!" Aditya berteriak, masih belum percaya pada apa yang baru saja terjadi.

Suara Khu muncul di dalam pikirannya, terdengar tenang namun tegas, seperti guru yang mengajari muridnya. "Tenanglah, Aditya. Aku sudah bilang, tubuhku tidak terikat oleh hukum fisik. Karena kini kita adalah satu, aku telah menerapkan mekanisme pertahanan itu pada tubuhmu. Ketika kau merasa terancam, tubuhmu otomatis menjadi tidak terikat fisik, atau yang disebut intangible. Serangan fisik tidak akan bisa menyentuhmu."

Aditya mengerutkan alisnya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Jadi... kalau ada yang nyerang gue, mereka cuma nembus kayak tadi? Ini serius keren banget! Tapi tunggu... apa ada batasannya?"

Khu terkekeh kecil, suaranya seperti gemuruh yang dalam. "Tentu saja ada. Kekosongan bukanlah sesuatu yang bisa kau gunakan tanpa batas, Aditya. Setiap kali tubuhmu menjadi tidak terikat fisik, itu menguras sebagian energi yang kau miliki. Jika energimu habis, aku tidak bisa melindungimu lagi. Jadi gunakan dengan bijak."

Makhluk itu kembali meraung, tampaknya semakin marah karena serangannya gagal mengenai target. Ia mundur selangkah, lalu mengayunkan tangannya yang besar dengan kekuatan lebih besar, menyebabkan angin tajam seperti badai menerjang ke arah Aditya. Kali ini, Aditya secara refleks melompat ke samping, mencoba menghindar.

"Khu, apa gue bisa ngelawan makhluk ini?!" tanya Aditya dengan napas memburu.

"Tentu saja kau bisa. Tapi kau harus memahami satu hal penting, Aditya," jawab Khu. "Kekuatanku tidak hanya melindungimu. Kau juga bisa menggunakannya untuk menyerang. Manfaatkan kehampaan, kekosongan yang melingkupimu. Biarkan ia menjadi senjatamu."

Aditya menatap kedua tangannya yang mulai dikelilingi oleh bayangan pekat. Angin dingin terasa di kulitnya, seakan kekuatan itu merespons panggilannya. "Gimana caranya gue pakai kekuatan ini untuk nyerang?!"

"Fokuskan emosimu," kata Khu. "Bayangkan kehampaan itu sebagai ekstensi dirimu. Ia bisa menjadi apa saja: tombak, pedang, atau bahkan penghancur. Tapi ingat, kehampaan tidak mengenal batas moral. Kau harus mengendalikannya, atau ia akan mengendalikanmu."

Aditya mengepalkan tangannya, mencoba fokus meski tubuhnya bergetar karena ketakutan. Perlahan, bayangan pekat itu mulai memadat di tangannya, membentuk sesuatu seperti pedang panjang dengan desain yang tidak wajar—bilahnya bergerigi dan tampak seperti terbuat dari kegelapan murni.

"Oke... Ini agak menyeramkan, tapi keren juga," gumam Aditya sambil mengangkat pedang bayangan itu.

Makhluk besar itu tampaknya menyadari perubahan pada Aditya. Ia menggeram rendah, lalu menerjang lagi, kali ini dengan lebih agresif, cakar dan durinya melesat cepat ke arah Aditya.

"Ayo, Aditya!" suara Khu menggema di pikirannya. "Serang balik sebelum ia membunuhmu!"

Dengan keberanian yang dipaksakan, Aditya melompat ke samping, menghindari serangan pertama makhluk itu, lalu mengayunkan pedang bayangannya ke arah makhluk itu. Serangannya mengenai salah satu duri besar di lengan makhluk itu, memotongnya dengan mudah seperti mentega.

Makhluk itu mengeluarkan raungan kesakitan, darah hitam pekat mengucur dari luka yang ditinggalkan pedang Aditya. Aditya menatap hasil serangannya dengan tak percaya. "Whoa! Ini beneran berhasil?!"

"Tentu saja berhasil," jawab Khu dengan nada puas. "Kehampaan adalah lawan alam semesta. Tidak ada makhluk hidup yang bisa melawannya jika kau tahu cara menggunakannya."

Namun, makhluk itu tidak menyerah. Dengan luka besar di lengannya, ia kembali mengumpulkan energi, kali ini membentuk bola api besar yang menyala merah di tangannya. Aditya menatap bola api itu dengan ngeri.

"Khu, apa gue bisa nahan itu?!"

"Kau tidak perlu menahannya," kata Khu. **"Hancurkan sebelum ia sempat menyerang. Gunakan kehampaan untuk melahap serangannya."

Aditya mengepalkan tangan kirinya, bayangan pekat kembali berkumpul di telapak tangannya, membentuk sesuatu seperti pusaran gelap kecil. Ia merasakan energi yang sangat besar mengalir melalui tubuhnya. Dengan teriakan penuh keberanian, ia mengarahkan pusaran itu ke arah bola api yang dilemparkan makhluk itu.

Bola api itu melesat cepat, namun sebelum sempat mencapai Aditya, pusaran gelap yang ia lepaskan melahap bola api itu sepenuhnya, meninggalkan kehampaan murni di udara. Makhluk itu tampak kebingungan, sementara Aditya berdiri dengan napas terengah-engah.

"Oke... Ini mulai terasa sedikit keren," ucap Aditya dengan senyum kecil di wajahnya. Namun, senyum itu hilang ketika makhluk itu kembali menerjang.

"Bersiaplah, Aditya," suara Khu kembali menggema.

Aditya melompat ke samping, tubuhnya hampir terjatuh karena kekuatan terjangan makhluk itu. Napasnya memburu, tapi ia tidak membuang waktu. Ia mengangkat tangannya, fokus pada energi gelap yang mengalir di sekujur tubuhnya, dan membentuk bola hitam pekat sebesar kepala manusia. Bayangan bola itu tampak berdenyut seperti makhluk hidup, seolah siap melahap apa saja yang disentuhnya.

"Oke, kita coba ini," gumam Aditya dengan wajah tegang, lalu melempar bola hitam itu dengan kekuatan penuh.

Bola tersebut melesat cepat seperti peluru, melintasi udara dengan suara mendesis yang menyeramkan. Saat bola itu mengenai lengan kanan makhluk tersebut, sebuah suara seperti desisan dan raungan pecah di udara. Bagian yang tersentuh bola hitam itu perlahan-lahan memudar, bukan seperti terbakar atau dihancurkan, tapi *dihapus* dari keberadaan. Dalam hitungan detik, seluruh lengan kanan makhluk itu lenyap, meninggalkan kekosongan yang berdenyut seperti pusaran.

Makhluk itu meraung, suara jeritannya begitu keras hingga mengguncang udara di sekitar. Darah hitam pekat yang tampak lebih seperti asap cair keluar dari area yang terhapus, menguap begitu saja tanpa meninggalkan jejak.

"Bagus, Aditya," suara Khu terdengar dalam pikirannya, tenang namun penuh pujian. "Kau mulai memahami cara menggunakan kekuatan kehampaan."

Aditya menatap makhluk itu dengan ngeri namun juga penuh rasa penasaran. "Dia masih bisa regenerasi, kan? Maksudku, kayak di game-game biasanya, makhluk begini pasti punya semacam kemampuan penyembuhan."

"Tidak kali ini," jawab Khu, nada suaranya penuh keyakinan. "Apa yang dihancurkan oleh kehampaan tidak dapat dipulihkan. Anggap saja bagian tubuh itu sudah ditiadakan dari kenyataan. Bahkan makhluk abadi pun tak akan bisa meregenerasi apa yang sudah dihapus oleh kekosongan."

Mendengar itu, Aditya merasa sedikit lega, namun hanya sesaat. Makhluk itu, meskipun kehilangan satu lengan, masih berdiri dengan garang. Matanya yang berwarna merah darah bersinar lebih terang, dan tubuhnya mulai memancarkan aura hitam pekat yang menggetarkan udara di sekitar.

"Oh, sial. Dia kelihatan makin marah," gumam Aditya dengan gugup.

"Tentu saja," kata Khu dengan nada sedikit dingin. "Makhluk seperti ini tidak akan menyerah hanya karena kehilangan satu lengan. Kau harus menghancurkannya sepenuhnya sebelum ia sempat membalas."

Makhluk itu tiba-tiba menginjak tanah dengan kekuatan besar, menyebabkan retakan menyebar di lantai beton. Ia menerjang Aditya sekali lagi, kali ini lebih cepat dan lebih liar. Aditya nyaris tidak sempat menghindar, tubuhnya melompat mundur dengan kecepatan tinggi, namun ia tetap terkena hempasan angin dari serangan itu. Tubuhnya terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras.

Aditya mengerang kesakitan, darah menetes dari sudut bibirnya. "Sial... ini makin buruk," ucapnya sambil memegangi perutnya yang nyeri.

"Bangkit, Aditya," suara Khu kembali menggema, kali ini lebih serius. "Jika kau tidak melawannya sekarang, ia akan menghancurkanmu. Gunakan kekosonganmu dengan lebih kreatif. Jangan hanya menyerang. Perang adalah seni bertahan dan menyerang secara bersamaan."

Aditya mengangkat tangannya, kali ini menciptakan sesuatu yang berbeda. Bayangan pekat mengalir dari tubuhnya, membentuk dinding kehampaan yang melingkar di sekelilingnya, seperti penghalang yang melindunginya dari serangan langsung.

Makhluk itu menerjang dinding tersebut dengan keras, namun setiap kali ia menyentuhnya, bagian tubuhnya yang menyentuh mulai memudar dan menghilang. Makhluk itu menggeram kesakitan, namun tetap terus menyerang, seperti binatang buas yang tidak peduli pada tubuhnya sendiri.

Aditya, dari balik dinding bayangannya, mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia memfokuskan pikirannya, menciptakan bola kehampaan yang lebih besar dari sebelumnya, kali ini penuh dengan percikan energi yang berdenyut seperti jantung yang berdetak.

"Ini mungkin bakal melelahkan banget, tapi gue harus coba," katanya sambil menatap makhluk itu.

Makhluk itu menerjang sekali lagi, mengabaikan rasa sakit dari tubuhnya yang terus menghilang. Saat jaraknya hanya beberapa meter, Aditya mengangkat bola kehampaan tersebut dan melemparkannya dengan kekuatan penuh.

Bola itu meledak saat mengenai tubuh makhluk itu, menghasilkan ledakan senyap yang mematikan. Tidak ada suara keras atau gelombang energi, hanya kehampaan murni yang menyebar, melahap tubuh makhluk itu sedikit demi sedikit hingga tidak ada yang tersisa.

Aditya jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Khu berbicara lagi di dalam pikirannya, kali ini dengan nada puas. "Kerja bagus, Aditya. Kau baru saja mengalahkan makhluk yang bahkan para prajurit terlatih pun tidak akan mampu hadapi."

Aditya menatap tangannya, yang masih dikelilingi oleh sisa-sisa bayangan kehampaan. "Khu, kekuatan ini... sekuat apa, sih? Dan apa gue bisa ngendalikan semuanya?"

"Itu tergantung pada tekadmu, Aditya," jawab Khu. "Kehampaan bukan sekadar kekuatan. Ia adalah refleksi dari dirimu sendiri. Dan percaya atau tidak, ini baru awal dari perjalananmu."

Aditya tersenyum tipis, meskipun tubuhnya masih terasa sakit. "Kalau ini baru awal, gue nggak bisa bayangin apa yang bakal gue hadapi nanti. Tapi, gue rasa... gue siap."

Aditya menarik napas panjang, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertarungan tadi. Ia berjalan perlahan menuju tempat tasnya terselip di antara reruntuhan dinding. "Akhirnya selesai juga, gua harap nggak ketemu lagi sama makhluk kayak gitu," gumamnya sambil memungut tas yang sudah kotor terkena debu.

"Hah, lumayan juga kau," suara Khu terdengar dengan nada seperti sedang menahan tawa. "Makhluk itu, kalau dipikir-pikir, bahkan bisa bertahan dari ledakan nuklir. Dan kau berhasil menghapusnya dari eksistensi."

"Nuklir? Serius lo?!" ujarnya dengan nada setengah terkejut dan setengah tidak percaya. "Gila, nggak nyangka... Tapi ya, itu tadi masih untung banget, Khu. Kalau dia lebih cepat lagi, gua mungkin udah jadi debu sekarang."

Khu terkekeh pelan, suaranya bergema seperti bisikan yang berasal dari kedalaman tak berujung. "Kau meremehkan dirimu sendiri, Aditya. Kau punya potensi lebih besar dari apa yang kau pikirkan. Dan itu baru permulaan."

Aditya memasukkan beberapa barang yang masih bisa diselamatkan ke dalam tasnya. "Ya, kalau ini baru permulaan, gua nggak bisa bayangin kayak apa akhirnya, Khu. Tapi ngomong-ngomong, sekarang kita harus ke mana? Apa gua harus cari orang dulu? Siapa tahu masih ada yang selamat di sekitar sini."

Khu terdiam sejenak sebelum menjawab, nadanya berubah menjadi serius. "Tujuan pertama kita... Monas."

Aditya berhenti berjalan, menatap ke depan dengan ekspresi bingung. "Eh!? Monas? Tunggu, lo serius? Kenapa Monas, sih? Itu kan cuma tugu doang."

"Monas adalah bangunan tertinggi di negara ini, bukan?" tanya Khu tanpa menghiraukan keraguan Aditya.

Aditya mengangguk pelan, meski masih tidak mengerti. "Iya, tapi... itu kan cuma monumen sejarah. Apa hubungannya sama situasi sekarang?"

"Kau masih belum memahami, ya?" ucap Khu dengan nada hampir mengejek. "Di dunia yang telah berubah ini, titik-titik dengan struktur atau ketinggian tertentu cenderung menjadi pusat berkumpulnya Mana—energi dasar yang menopang keberadaan dunia ini. Monas, dengan ketinggiannya, kemungkinan besar menjadi pusat energi terbesar di kota ini. Aku ingin kau pergi ke sana untuk menyerap Mana yang terkumpul di titik pusatnya."

Aditya mengerutkan kening, mencoba mencerna penjelasan Khu. "Menyerap Mana? Serius, gua bisa ngelakuin itu?"

"Tentu saja. Semua orang bisa menyerap Mana" jelas Khu.

Aditya memegang perutnya yang masih terasa nyeri akibat pertarungan tadi. "Tunggu, jadi ini kayak di game ya? Gua harus nge-grind buat jadi lebih kuat? Aduh, kok rasanya hidup gua makin ribet aja."

"Anggap saja begitu," jawab Khu dengan nada ringan, lalu menambahkan dengan sedikit ketegasan. "Tapi ini bukan permainan. Kalau kau tidak memperkuat dirimu, kau tidak akan bertahan lama di dunia ini. Makhluk yang kau lawan tadi hanyalah salah satu dari banyak ancaman yang akan kau hadapi."

Aditya mendesah panjang. "Ya, ya... ngerti. Monas, kan? Berarti gua harus jalan kaki ke sana, dong? Motor gua udah hancur, nih. Belum lagi siapa tahu ada makhluk serem kayak tadi di jalan."

"Jika kau terus-menerus mengkhawatirkan semua hal kecil, kau tidak akan pernah maju," balas Khu dengan nada dingin. "Percayalah pada kekuatanmu, Aditya. Lagipula, aku ada di sini untuk membimbingmu."

Aditya tertawa kecil, meski terpaksa. "Gua nggak yakin 'bimbingan' lo itu bakal bikin hidup gua lebih gampang, Khu. Tapi ya sudahlah, nggak ada pilihan lain juga."

Ia mulai berjalan keluar dari gang sempit, menatap langit yang dipenuhi bayangan wyvern dan reruntuhan gedung pencakar langit. Dalam hati, ia berusaha mengumpulkan keberanian, meski pikirannya dipenuhi kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Monas, huh? Gua harap ini beneran sepadan sama risikonya," gumamnya sambil melangkah menuju jalan besar yang penuh puing-puing dan sisa kehancuran dunia yang telah berubah drastis ini.