Chereads / Games Into Reality / Chapter 8 - EPS-8 Dalam perjalanan (2)

Chapter 8 - EPS-8 Dalam perjalanan (2)

Aditya memarkir motor di halaman rumah kosong yang tampak sudah lama ditinggalkan. Cat dindingnya terkelupas, jendela-jendela pecah, dan rumput liar tumbuh tinggi di halaman depan. Dengan napas lelah, ia turun dari motor dan menatap rumah itu dengan ragu.

"Gua ingin istirahat dulu. Besok kita lanjut lagi ke Yogyakarta," gumamnya, membuka pintu depan yang berderit nyaring.

"Aditya, kau yakin ini tempat yang cocok?" Khu muncul di sebelahnya dalam wujud fisik, matanya menyipit curiga. "Rumah ini terlihat seperti sarang Aberasi atau mungkin... hantu."

Aditya menoleh ke Khu dengan senyum meledek. "Hantu? Masa seorang dewa kekosongan takut sama hantu? Jangan malu-maluin dong."

Khu mendesah keras, melipat tangan di dada. "Aku tidak takut, hanya waspada. Itu dua hal yang berbeda."

Aditya tak menggubris, malah berjalan masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu senter dari ponselnya. Ruangan itu gelap, berdebu, dan penuh perabotan tua yang berantakan. Sekilas, tempat itu terlihat seperti rumah film horor murahan.

"Hoo… tempatnya romantis juga ya, cocok buat honeymoon," ucap Aditya sarkas sambil mengetuk dinding kayu yang rapuh. Debu berjatuhan, membuatnya batuk-batuk.

Khu mendengus sinis. "Kau terlalu santai, manusia. Setiap tempat yang kosong punya ceritanya sendiri."

Aditya mengabaikan ucapannya, langsung berjalan ke sofa tua di ruang tengah. Ia menyeka debu seadanya dengan tangan lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan dramatis. "Ini dia... surga."

"Surga yang penuh kutukan, mungkin," Khu menggumam tajam, masih berdiri di ambang pintu dengan hati-hati.

"Udahlah, santai aja. Nih rumah udah lama kosong, udah pasti aman." Aditya menguap panjang dan meletakkan tangannya di belakang kepala. Namun, tiba-tiba terdengar suara "creeeaak" dari lantai atas.

Aditya langsung terdiam. Matanya melirik ke langit-langit dengan kaku. "...Apa tadi?" tanyanya setengah berbisik.

Khu mengangkat alis. "Aku sudah bilang tempat ini mencurigakan. Tapi kau, seperti biasa, keras kepala."

Suara "creeeaak" kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Aditya langsung duduk tegak, matanya membelalak. "Oke, gua nggak takut. Ini mungkin... yaaa... cuma angin. Ya, angin."

"Di dalam rumah tertutup seperti ini?" Khu mendelik tajam.

Aditya menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. Dengan senter di tangan, ia berdiri dan memaksa senyum lebar. "Yaudah, gua cek ke atas aja. Ntar kalo ada Aberasi atau hantu, gua bakal ngajakin mereka main catur. Bisa tenang kan?"

Khu hanya mendesah pasrah, mengikuti Aditya dari belakang. "Kalau kau mati, itu bukan salahku."

Aditya menaiki tangga kayu yang berderit keras setiap kali diinjak. Setiap langkah membawa lebih banyak ketegangan. Ia berbisik lirih pada Khu. "Lu gak bisa bantuin gua terbang biar gak kena lantai ini?"

"Dan merusak kehormatanmu sebagai petarung? Tidak mungkin."

Saat tiba di lantai atas, Aditya membuka pintu sebuah kamar dengan hati-hati. Tiba-tiba, ada anak kecil perempuan yang duduk di sudut ruangan muka Aditya sontak kaget.

Aditya melihat anak kecil itu duduk gemetar di sudut ruangan yang gelap. Bajunya lusuh, wajahnya kotor, dan tangisannya nyaris tak bersuara. Jantung Aditya berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena iba.

"Hey, hey, kamu nggak apa-apa?" Suara Aditya pelan, berusaha terdengar lembut. Anak kecil itu hanya memandangnya dengan mata penuh air, tubuhnya gemetar seperti daun.

Aditya mendekat perlahan, lututnya menekuk agar sejajar dengan si anak. "Tenang, aku nggak akan menyakiti kamu. Aku... cuma orang tersesat yang kebetulan nyasar ke sini."

"Aditya... apa kau yakin ini bukan jebakan?" suara Khu terdengar di kepalanya, penuh kecurigaan.

Aditya melirik ke samping, sedikit berbisik, "Diam, Khu! Ini anak kecil, bukan monster game lu!"

Ia beralih lagi ke anak kecil itu yang masih menangis pelan, lalu memberanikan diri meraih bahunya. "Sini, sini, aku bantu. Kamu sendirian di sini? Kamu nggak perlu takut lagi."

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Aditya menarik anak itu ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa canggung, seperti seseorang yang sama sekali nggak terbiasa menghadapi anak kecil. Anak itu kaget, tapi perlahan tangisannya mulai mereda, bahunya yang tegang mulai melemas.

"Lihat? Udah nggak apa-apa. Tenang aja, abang Aditya jago nih soal jagain orang," ucap Aditya dengan senyum kecil, sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.

Khu mendesah keras di udara. "Kau ini kelewat sentimental. Ini bisa jadi ilusi atau—"

"Khu, serius deh, nggak semua hal di sini itu monster. Kadang yang mereka butuh cuma orang buat bilang 'semuanya baik-baik aja.'"

Anak kecil itu mulai tenang, meski tetap diam. Ia mencengkeram baju Aditya erat-erat, seolah Aditya adalah satu-satunya jangkar yang membuatnya bertahan. Aditya duduk bersandar ke dinding sambil membiarkan anak itu memeluknya erat.

"Gimana kalau kita kasih dia nama? Biar enak manggilnya." Aditya menatap ke udara, seakan berbicara pada Khu. "Hmm... gimana kalau namanya Genta? Kayak lonceng yang bikin tenang."

"Terserah kau." Khu menjawab singkat, namun kali ini suaranya lebih lembut, seolah setuju dengan tindakan Aditya meskipun enggan mengakuinya.

Aditya menatap anak itu sambil tersenyum lebar. "Mulai sekarang, abang panggil kamu Genta ya? Jangan takut lagi, oke? Kita bakal selalu bersama. Deal?"

Anak itu mengangguk kecil, masih tanpa suara. Tapi di matanya, ada secercah harapan baru yang mulai tumbuh.

"Nah, gitu dong!" Aditya berlagak ceria, meski dalam hatinya ia sadar situasi ini aneh dan nggak wajar.

Khu hanya memperhatikan dari samping. Untuk pertama kalinya, ia memilih untuk tidak berkata apa-apa—hanya memandang Aditya yang duduk di sana, memeluk anak kecil di tengah ruangan gelap dan sunyi. Entah bagaimana, pemandangan itu terasa hangat meski dunia di sekitar mereka begitu dingin.

"Aditya, mungkin... kau tidak sepenuhnya payah," gumam Khu pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa tadi?" Aditya menoleh sambil pura-pura nggak dengar.

"Bukan apa-apa!" Khu menjawab cepat, kembali memasang wajah datarnya.

Aditya tertawa kecil sambil merangkul Genta lebih erat. "Nggak nyangka, bahkan dewa kayak lu mulai luluh sama pesona gua."

"Diam, bodoh!" Khu membalas ketus, tapi kali ini ada secercah senyum samar di wajahnya

Aditya keluar dari kamar dengan langkah perlahan, menggendong Genta yang kini tertidur lemas di pelukannya. Nafas anak kecil itu tenang, kontras dengan ketegangan yang masih terasa di udara. Aditya menatap lorong yang suram dengan dinding penuh debu dan bekas retakan. Baginya, itu seperti labirin dari dunia yang hancur.

Ia akhirnya tiba di ruang tamu kecil dengan sofa tua yang masih lumayan layak. "Yaah... begini juga udah mending, daripada di lantai," gumamnya sambil menurunkan Genta perlahan ke sofa.

Khu muncul dengan wujud gadis berambut hitam panjangnya, bersandar di dinding. "Kenapa kau repot-repot menggendongnya? Kau bisa saja membiarkannya tidur di kamar tadi."

Aditya mendelik sebentar, lalu tersenyum kecil. "Udahlah, Khu. Anak kecil ini butuh tempat yang lebih aman. Lagian gue juga nggak bisa ninggalin dia sendirian gitu aja. Kalau tiba-tiba ada monster capung atau apa kek nongol, gue mau ngomong apa sama nurani gue?"

Khu mendesah, tetapi kali ini lebih lembut, seperti sudah lelah berdebat. "Manusia dan moral kalian memang merepotkan."

Aditya duduk di sofa, membenahi posisi Genta agar lebih nyaman, lalu ikut berbaring. Ia menarik nafas dalam-dalam, memandang langit-langit yang bolong di beberapa bagian, membiarkan cahaya bulan samar masuk.

Genta, meskipun dalam tidur, masih mencengkeram kaos Aditya erat-erat, seakan takut Aditya akan menghilang jika dilepaskan. Aditya menatap anak itu dan tersenyum tipis. "Tenang, Dek... Besok kita pergi dari sini. Kau nggak sendirian."

Khu mengamati pemandangan itu, matanya sedikit menyipit, seakan mencoba memahami sisi manusiawi yang tidak pernah ia mengerti sepenuhnya. Suaranya terdengar lembut saat ia berbisik, "Kau menyadari ini bukan beban yang mudah? Kau sudah membawa dua nyawa—dirimu sendiri dan anak itu."

Aditya memejamkan matanya sambil tersenyum kecil. "Ya tahu, Khu. Tapi lu tahu kan apa kata orang? 'Kalau udah ketemu masalah, ya dijalani aja.' Gue bukan pahlawan, tapi... kalau bukan gue, siapa lagi?"

Seketika ruangan menjadi sunyi. Hanya suara angin yang berhembus dari sela-sela jendela yang pecah. Khu melangkah mendekat, pandangannya tertuju pada Aditya yang sudah memeluk Genta erat, seolah ia adalah tameng bagi anak itu dari kegelapan dunia ini.

"Kau semakin aneh, Aditya." Khu berkata sambil duduk di lengan sofa, memandang mereka berdua.

"Iya, dan lu suka kan sama keanehan gue?" balas Aditya dengan mata masih tertutup, nada suaranya terdengar kelelahan tetapi penuh keyakinan.

Khu hanya diam. Tidak ada lagi kata-kata tajam atau sindiran sinis keluar dari mulutnya. Hanya tatapan lembut yang jarang ia tunjukkan, sebelum akhirnya ia memandang keluar jendela, menatap bulan yang bersinar samar di langit malam yang kelam.

Untuk pertama kalinya, di tengah dunia yang hancur dan penuh bahaya, sebuah momen keheningan terasa begitu berharga. Di antara sofa tua yang reyot dan anak kecil yang tidur dengan tenang, Aditya merasa—meski hanya sesaat—bahwa dirinya melakukan sesuatu yang benar.

Dan bagi Khu, ini adalah sebuah pemandangan yang tidak pernah ia kira akan ia saksikan.

Dengan desahan pelan, Khu kembali menyatu ke dalam tubuh Aditya, meninggalkan ruangan dalam kesunyian. Cahaya bulan perlahan memudar seiring malam berganti pagi.

Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang retak, menciptakan garis-garis cahaya samar di dinding berdebu. Aditya mengerjapkan matanya pelan, masih setengah sadar. Tubuhnya terasa sedikit kaku setelah semalaman tidur di sofa tua.

Ia menoleh ke samping, memperhatikan Genta yang masih terlelap di sisinya. Wajah anak itu tenang, namun cengkeraman kecil pada kaos Aditya belum sepenuhnya mengendur, seakan bahkan dalam tidur, ia takut ditinggalkan.

Aditya menghela napas sambil tersenyum kecil. "Anak ini... tidur nyenyak banget." Suaranya lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Kau menyayanginya." Suara Khu terdengar di dalam kepalanya, lembut namun tajam.

Aditya mendesah, meregangkan punggungnya pelan agar tidak membangunkan Genta. "Menyayangi? Nggak tahu, Khu. Gua cuma ngerasa... ini hal yang harus gue lakuin. Mau gimana pun, dia cuma anak kecil."

Khu mendengus pelan. "Rasa tanggung jawabmu ini bisa menjadi kelemahan, Aditya. Di dunia seperti ini, rasa peduli hanya akan memberatkan langkahmu."

Aditya tersenyum sinis, berdiri pelan dan berjalan ke jendela, memandang langit pagi yang sedikit mendung. "Kalau peduli itu kelemahan, ya biarin aja, Khu. Lebih baik lemah tapi tetap manusia, daripada jadi kuat tapi kosong seperti..." Ia berhenti, sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Seperti apa? Sepertiku?" potong Khu cepat.

Aditya menatap ke luar, diam sejenak, sebelum bergumam pelan, "Bukan gitu maksud gua."

Khu tertawa sinis di dalam kepalanya. "Apa pun itu, jangan lengah. Dunia ini tidak memberi ruang untuk kelembutan."

Aditya tidak menjawab, hanya memandangi hamparan jalanan kosong dan rumah-rumah yang hancur di kejauhan. Lalu, seakan ingin memecah suasana, ia berbalik dan melirik Genta yang masih tidur dengan posisi lucu, kaki mungilnya naik ke atas sandaran sofa.

"Lihat nih, Khu. Ini anak kecil apa gymnastic champion?" Aditya terkekeh pelan sambil membenahi posisi tidur Genta agar lebih nyaman.

"Kau bisa bercanda di situasi seperti ini?" sindir Khu.

Aditya berdiri lagi dan mengambil napas panjang. "Ya, harus. Kalau nggak bercanda, nanti gila beneran. Lu mau gua nyanyi lagu pop sambil nangis-nangis di pojokan?"

"Itu malah lebih mengerikan," jawab Khu datar.

Aditya tertawa kecil, lalu menepuk pipinya sendiri untuk membangkitkan semangat. "Oke! Sekarang sarapan, terus kita lanjut jalan." Ia berjalan ke arah dapur kecil di ujung ruangan, mencari-cari sesuatu yang masih layak dimakan.

Sementara itu, matahari pagi mulai naik lebih tinggi, menyinari kota yang hancur dengan lembut namun ironis. Di tengah dunia yang sudah berubah menjadi neraka, Aditya masih berpegang teguh pada apa yang ia bisa kendalikan: terus berjalan, dan memastikan satu anak kecil tetap selamat di sisinya.

Di dalam dirinya, Khu diam memerhatikan. Entah kenapa, pemandangan ini membuatnya sedikit... penasaran.

"Untung aja gue ngambil makanan sebelum kita sampai di stasiun," ujar Aditya sambil menurunkan tas lusuhnya dan membukanya dengan ekspresi penuh kemenangan. Ia merogoh dalam tas itu, seakan mencari harta karun, hingga akhirnya tangannya muncul membawa sekotak sereal dan sebotol susu. Matanya berbinar, senyum lebarnya seperti anak kecil menemukan kue ulang tahun.

"Gila! Gue beruntung banget bisa dapat begini," katanya sambil mencium kotak sereal seperti benda suci.

Khu, yang selama ini diam dalam tubuh Aditya, mendengus bosan. "Sereal dan susu? Itu yang membuatmu terlihat seperti pahlawan yang baru pulang dari perang?"

Aditya tak menggubris sindiran itu. Dengan gerakan dramatis, ia menuangkan sereal langsung ke tutup kardus serealnya yang ia sulap menjadi mangkuk darurat. Botol susu ia buka perlahan, seakan sedang membelah harta karun langka. "Tunggu dulu, ini bukan cuma sereal dan susu. Ini... simbol peradaban manusia, Khu. Gue berhasil menyelamatkan warisan kuliner ini dari kehancuran dunia."

Khu mendengus lebih keras. "Kau benar-benar makhluk paling aneh yang pernah kutemui."

Aditya tersenyum sambil menuangkan susu ke sereal. Cairan putih itu jatuh dalam gerakan slow motion di matanya. "Bayangin aja, dunia udah kayak neraka, tapi di tengah keputusasaan, masih ada sereal manis yang renyah. Kalau ini bukan keajaiban, gue gak tahu lagi apa namanya."

Ia menyendok sereal dengan ujung kardus dan memasukkannya ke mulut. Suara kriuk-kriuk terdengar jelas di ruangan sunyi itu, seakan mengumumkan bahwa kebahagiaan kecil masih mungkin dirasakan. Aditya memejamkan mata sambil mengunyah, seperti sedang mengalami wahyu ilahi.

"Aditya..." suara Khu mendadak berubah lebih serius.

Aditya membuka sebelah matanya. "Kenapa? Tersentuh ya lu? Jangan nangis dong."

"Bukan. Aku cuma bingung..." Khu diam sejenak. "Kenapa kau makan dengan tutup kardus sereal seperti itu?"

Aditya berhenti mengunyah, lalu menatap Khu yang tak terlihat. "Yah, lu pikir gue punya mangkuk porselen? Mau gue nyolong di rumah kosong cuma demi mangkuk?"

Khu terdiam. Aditya melanjutkan dengan bangga, "Begini, Khu, saat hidup memberikan lu dunia yang kacau, lu gak bisa pilih makan dengan gaya. Tapi selama masih ada rasa manis di sereal ini, hidup gue tetep ada artinya."

Khu mendesah panjang, tapi kali ini tanpa sindiran. Di balik kekonyolan Aditya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah semangat bertahan hidup yang tidak pernah goyah.

Aditya menyelesaikan suapannya, lalu mengangkat sisa botol susu dan berkata sambil tersenyum, "Cheers, Khu. Untuk dunia yang hancur tapi masih punya susu dingin."

Khu bergumam pelan, hampir tak terdengar, "…Manusia ini benar-benar gila. Tapi mungkin, kegilaannya itulah yang membuatnya tetap hidup."

Dengan sereal yang habis dan perut kenyang, Aditya bersandar sambil terkekeh kecil. Di tengah sunyi stasiun yang kelam, ia menemukan kebahagiaan sederhana yang tak ternilai—mungkin itulah caranya menertawakan dunia yang sudah hancur.

Setelah bersantai beberapa detik menikmati sereal terakhirnya, Aditya tiba-tiba menegakkan tubuhnya seperti disengat listrik. Wajahnya pucat dan panik.

"Astaga naga! Gua bego banget!" serunya sambil menepuk dahinya.

Khu langsung mendesah, suaranya terdengar malas. "Kau memang selalu seperti itu. Tapi kali ini, apa lagi?"

Aditya bergegas berdiri, mencari-cari sisa barang di dalam tas lusuhnya. "Genta! Aduh, gua lupa buatin makanan!" Dengan gerakan heboh, ia mengeluarkan lagi kotak sereal dan botol susu, lalu duduk bersila di lantai dengan ekspresi serius seperti seorang koki ternama.

"Kau... serius? Sereal lagi?" Khu bertanya, nadanya terdengar antara jijik dan takjub.

"Ya iya lah! Lu pikir gua bisa bikin steak wagyu di sini?" Aditya mulai menuangkan sereal ke tutup kardus lagi. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan lebih hati-hati, seakan ingin membuat hidangan "istimewa" untuk Genta.

"Lihat nih, Khu. Ini karya seni. Gue kasih komposisi serealnya pas, gak kebanyakan susu biar gak kelembekan." Aditya bicara seakan menjelaskan resep rahasia keluarga.

Khu, meski tak memiliki wajah fisik, jelas terdengar skeptis. "Sereal dingin yang sama, tapi kau membuatnya terdengar seperti hidangan kelas atas."

Aditya menatap Khu dengan serius sambil menunjuk ke arah tutup kardus berisi sereal. "Dengar ya, Khu. Di dunia ini, yang penting niatnya! Genta butuh makan, dan gue kasih yang terbaik dari apa yang gue punya. Lu tahu gak? Gue ini 'kokinya kemanusiaan terakhir'."

Khu akhirnya terkekeh pelan. "Kalau ini 'terbaik'-nya, maka dunia benar-benar sudah jatuh dalam jurang keputusasaan."

Aditya tidak peduli dengan sindiran Khu. Ia berdiri sambil membawa "mangkuk darurat" berisi sereal dan susu itu ke Genta yang masih meringkuk setengah tertidur. Dengan suara lembut, ia membangunkan bocah itu.

"Genta, ayo bangun. Sarapan dulu. Nih, aku buatin spesial buat kamu."

Genta perlahan membuka mata dan melihat sereal itu. Meski sederhana, senyumnya muncul dengan tulus. "Makasih, Kak."

Aditya mengacak rambut Genta dengan lembut. "Tenang aja. Di dunia yang kacau ini, kita tetap makan bareng. Kamu sama aku, kita gak bakal kelaparan."

Khu, yang menyaksikan semua itu, terdiam sesaat. Entah kenapa, di balik kebodohan Aditya, ada sesuatu yang menghangatkan—sebuah kepedulian yang tulus, walau sederhana.

"Kau aneh, Aditya," gumam Khu pelan, nyaris seperti pujian.

Aditya menoleh sambil tersenyum bangga. "Dan gua juga hebat, kan?"

Dengan itu, mereka bertiga duduk dalam keheningan yang nyaman. Di tengah dunia yang hancur dan kacau, satu tutup kardus berisi sereal berhasil menciptakan secercah kehangatan keluarga kecil yang tak pernah direncanakan.

Aditya hanya menatap Genta dengan senyum kecil yang dibuat-buat, seakan mencoba menyembunyikan rasa penasarannya yang mulai menyeruak. Ia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya membuka mulut, suaranya lembut namun tetap terdengar ragu.

"Genta, orang tua kamu kemana?"

Genta, yang sedari tadi fokus menyeruput sereal dengan wajah polos, tiba-tiba berhenti. Sendok kecil yang dipegangnya kini menggantung di udara. Pandangan matanya menghindari Aditya, seolah pertanyaan itu adalah sesuatu yang tak ingin ia dengar.

Aditya langsung menyadari perubahan itu. Senyumannya memudar perlahan, digantikan dengan tatapan lebih serius. "Hei, gak apa-apa. Kalau kamu gak mau cerita, gak usah dipaksa." Ia mengangkat tangannya, mencoba memberi isyarat bahwa semuanya aman.

Namun, Genta akhirnya bersuara. Suaranya kecil, hampir tenggelam dalam sunyi ruangan. "Mereka... gak ada, Kak."

Aditya terdiam, dan Khu di dalam dirinya pun ikut menyimak dengan tenang. Seperti ada sesuatu yang berputar dalam kepala Aditya, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk situasi ini. Tapi Genta melanjutkan sebelum ia bisa bicara.

"Kami berpisah waktu monster-monster itu datang. Ayah bilang dia akan kembali jemput aku... tapi sampai sekarang..."

Genta menunduk, genggaman tangannya pada sendok semakin erat. Aditya bisa melihatnya berusaha keras menahan sesuatu—rasa takut, sedih, atau mungkin harapan yang mulai pudar.

Aditya menarik napas dalam-dalam. Kepalanya menoleh sedikit ke arah Khu, seakan mencari jawaban atau petunjuk. Tapi seperti biasa, Khu hanya diam.

Dengan suara pelan namun tegas, Aditya akhirnya bersuara lagi. "Genta, mulai sekarang, kamu gak sendirian lagi. Oke?"

Genta mendongak, matanya yang berair menatap Aditya dengan bingung.

Aditya menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari. "Aku bakal jagain kamu. Kamu lihat kan betapa kerennya gue? Aku bisa ngalahin monster-monster jelek itu, gak ada yang bisa nyentuh kita."

Senyuman tipis kembali muncul di wajah Genta. "Beneran, Kak?"

Aditya mengangguk yakin, meskipun jauh di dalam hatinya, ia sadar janji itu adalah sesuatu yang besar. "Iya. Kamu lihat aja nanti. Kita bakal sampai Yogyakarta bareng. Aman, nyaman, dan kenyang! Deal?"

Genta mengusap air matanya, lalu mengacungkan kepalan kecilnya ke arah Aditya. "Deal!"

Aditya tertawa kecil sambil menyentuh kepalan itu dengan kepalannya sendiri.

"Nah, itu baru jagoan kecil. Sekarang makan yang banyak, biar kuat kayak aku."

Khu, yang selama ini diam, akhirnya bersuara di dalam kepala Aditya. Suaranya terdengar tenang, namun ada sedikit nada lembut di balik kata-katanya.

"Janji yang kau ucapkan itu berat, Aditya. Tapi... untuk pertama kalinya, aku merasa kau melakukan sesuatu yang benar."

Aditya hanya menghela napas sambil kembali duduk di sofa. "Ya, ya, Khu. Jangan bikin gua stres, oke?"

Dalam suasana yang sederhana itu, dua manusia dan satu entitas tak kasat mata duduk bersama, berbagi kehangatan kecil di tengah dunia yang telah runtuh. Di antara sereal yang hampir habis dan janji yang baru terucap, Aditya tahu—perjalanan ini baru sangat awal.

Aditya menunggu dengan sabar sambil sesekali memeriksa keadaan di luar melalui jendela rumah. Matahari pagi mulai naik perlahan, sinarnya menerobos kaca jendela, menerangi ruang sempit tempat mereka bermalam. Genta menghabiskan suapan terakhir cerealnya, lalu menatap Aditya dengan mata polos.

"Kenyang, Kak," ucap Genta singkat, sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya.

Aditya tersenyum tipis. "Bagus, biar nanti di jalan nggak rewel. Yuk, kita lanjut."

Ia berdiri, mengambil helm dari tasnya, lalu menyampirkan jaketnya ke bahu. Genta mengikuti di belakang seperti anak ayam, sedikit ragu namun tidak terlalu takut lagi.

Setelah membuka pintu rumah, Aditya melangkah menuju motor yang mereka parkir di depan. Ia menepuk-nepuk motor tua itu, lalu berkomentar sambil bercanda, "Nih motor udah kayak partner setia. Kalau dia bisa ngomong, pasti dia bakal protes capek."

Genta hanya memiringkan kepalanya bingung, tapi Aditya tak peduli. Ia naik ke motor dengan gaya berlebihan, sengaja menunjukkan kesan dramatis sambil tersenyum lebar ke arah Genta. "Ayo, naik! Hari ini kita bakal ngebut sampai Yogyakarta!"

Genta perlahan mendekat, lalu duduk di belakang Aditya. Kedua tangannya kecil melingkari pinggang Aditya dengan erat. Aditya tertawa kecil merasakan pelukan itu.

"Hahaha, santai aja, Genta. Nggak bakal jatuh kok, Kakak ini pengendara handal!" ucapnya dengan nada sombong.

Tapi Khu, yang sudah kembali bersembunyi dalam tubuh Aditya, mendengus. "Pengendara handal? Aku masih ingat bagaimana kau hampir menabrak tiang lampu kemarin."

Aditya mendesis pelan, berbicara dengan nada lirih agar Genta tidak mendengar. "Ssshh, jangan bikin gua malu, Khu. Anak kecil ini butuh panutan."

Khu hanya tertawa kecil dalam benaknya, membiarkan Aditya menikmati momennya.

Setelah memastikan Genta duduk nyaman, Aditya menyalakan motor dengan satu tarikan gas yang cukup keras. Suaranya memekakkan telinga, seperti biasa. Motor itu seperti mengerang protes, tapi tetap siap membawa mereka melintasi perjalanan berat.

"Oke, Genta! Pegang erat, ya. Kalau jatuh, aku nggak mau balik lagi buat jemput kamu!" Aditya bercanda sambil menengok ke belakang.

Genta mengangguk dengan serius, namun pelukannya semakin erat. Aditya tersenyum lebar. "Nah, itu baru anak jagoan."

Dengan satu tarikan gas, motor melaju meninggalkan rumah yang tadi mereka tempati. Jalanan kosong, hanya ada sisa-sisa kehancuran yang menemani perjalanan mereka. Angin pagi yang dingin berhembus, dan Aditya merasa anehnya sedikit lebih bersemangat hari ini.

"Ayo kita kejar Yogyakarta! Tapi jangan bilang kita bakal sampai tiga hari lagi, gua nggak sanggup tidur di jalan terus," gumam Aditya.

Khu akhirnya berbicara lagi, nadanya lebih lembut dari biasanya. "Tiga hari? Kalau kau tak membuat kesalahan bodoh lagi, mungkin kita bisa sampai lebih cepat."

"Santai aja, nona! Aku udah jadi pengendara profesional sekarang. Lihat aja nanti," jawab Aditya penuh percaya diri.

Mereka melaju ke arah matahari yang semakin tinggi, dengan motor tua yang berbunyi kasar namun setia. Genta, meski diam dan masih takut-takut, mulai merasa nyaman dengan perjalanan ini. Sementara Aditya—meski mulutnya penuh omong besar—merasa beban di pundaknya bertambah, bukan hanya untuk mencapai tujuan, tapi juga melindungi bocah kecil yang kini memeluknya erat.