Aditya memutar gas motornya perlahan, memastikan setiap roda menghindari bebatuan yang berserakan dan lubang menganga di jalanan. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma campuran tanah basah dan dedaunan yang membusuk.
"Ayo, jangan lamban seperti kura-kura," suara Khu terdengar dari dalam pikirannya, nadanya setengah menggerutu.
"Diam deh. Kalau jatuh, lu bakal ketawain gua kan?," balas Aditya sambil menatap tajam ke jalan yang remang.
Ia menghindari sebuah lubang besar dengan gerakan cekatan, hampir seperti dia sedang bermain slalom di game balap. "Hah, lihat tuh, hampir aja! Refleks gamer emang gak pernah bohong!" katanya sambil tersenyum kecil.
Khu mendengus dalam pikirannya. "Kau terlalu bangga untuk sesuatu yang sederhana. Kalau aku yang mengendalikan, kita sudah sampai di Yogyakarta sekarang."
"Yah, tapi kan gue manusia. Punya batas," jawab Aditya santai, tapi matanya tetap awas, mencari jalan yang lebih mulus.
Sebuah batu besar terlihat di depan, terlalu besar untuk dilewati dengan mudah. Aditya menekan rem mendadak, roda belakang motornya sedikit tergelincir. "Wah, hampir aja gue kecium tanah!" serunya.
"Kalau kecelakaan, aku akan mengingatkanmu setiap hari tentang kebodohan ini," sahut Khu dingin.
"Aduh, serius banget sih lu," Aditya tertawa kecil, lalu melanjutkan perjalanan. Ia melirik sekilas ke kaca spion, melihat Genta yang tertidur pulas sambil memeluk punggungnya erat. "Heh, dia tidur kayak bayi. Udah kayak boneka beruang."
Namun, tak lama kemudian, ia melihat sesuatu di kejauhan—kilauan kecil seperti cahaya merah yang terpantul di jalanan gelap. Mata Aditya menyipit. "Khu, itu apa?"
"Berhenti dulu," suara Khu kini lebih serius. "Ada sesuatu yang tidak beres."
Aditya memperlambat motor, tapi tangannya tetap di atas gas. Perjalanan ini mungkin tampak sederhana, tapi ia tahu, di dunia yang sekarang, kejutan bisa muncul kapan saja.
Cahaya merah itu semakin dekat, menerangi jalanan gelap yang retak dan penuh debu. Aditya memperlambat motor, tapi bukan karena rasa takut—lebih karena ia ingin memahami situasinya. Ia melirik ke belakang, memastikan Genta masih terlelap, pelukannya erat di pinggangnya.
"Kalau gua takut, Genta pasti bangun dan panik. Gua gak mau bikin anak kecil ini lebih stres," gumam Aditya sambil menghela napas.
Akhirnya, cahaya itu memperlihatkan asalnya. Sekelompok orang muncul dari balik kegelapan. Mereka memegang berbagai senjata tajam—pisau, golok, bahkan ada yang membawa besi berkarat. Wajah mereka terlihat kumal, pakaian compang-camping, dan sorot mata mereka seperti binatang buas yang sedang kelaparan.
"Manusia?" Aditya membisikkan kata itu dengan nada setengah lega, tapi perasaan aneh mulai menyelimuti pikirannya ketika melihat senyuman mereka. Senyum yang tidak ramah—lebih seperti serigala yang baru menemukan mangsa empuk.
"Sial," bisik Khu dalam pikirannya. "Aku tidak suka tatapan mereka. Itu bukan ekspresi orang yang ingin ngobrol santai."
Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan bekas luka besar di wajahnya, maju ke depan. "Hei, bocah! Motor itu... dan tas yang kau bawa. Tinggalkan di sini. Anggap ini sebagai biaya perjalanan lewat wilayah kami," ucapnya dengan nada memaksa.
Aditya tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Ah, biaya perjalanan? Kalau pakai tarif, mana papan tulisnya? Atau mungkin kalian terima pembayaran pakai kartu?"
Kelompok itu tertawa kecil, tapi tidak dengan cara yang menyenangkan. Tawa mereka penuh ancaman, seperti hyena yang sedang mengepung.
"Perasaan gua mulai gak enak," ujar Aditya, kali ini dalam hati.
"Aku setuju," sahut Khu. "Mereka bukan cuma mau barang-barangmu. Tatapan mereka... lebih dari itu. Bersiaplah, Aditya. Jangan biarkan mereka mendekat."
Aditya menarik napas dalam, lalu dengan tenang memutar gas motornya sedikit, cukup untuk membuat suara mesinnya menderu pelan. "Denger, gua cuma numpang lewat. Gua gak mau ribut, apalagi sama manusia lain. Jadi, gimana kalau kita anggap ini sebagai pertemuan yang damai?"
Bekas luka di wajah pria itu bergerak saat ia menyeringai. "Sayangnya, damai bukan bagian dari kamus kami, bocah."
Salah satu dari mereka tiba-tiba melangkah maju, mencoba meraih tas di punggung Aditya. Refleks cepat Aditya langsung bekerja. Ia memutar setang motornya, membuat roda depan berputar tajam dan mengenai lutut pria itu.
"ARGH!" teriaknya, terhuyung ke belakang.
Aditya tersenyum dingin. "Wah, gua lupa bilang. Gua gak suka diganggu saat gua lagi jalan-jalan santai."
Sekelompok itu mulai mengerumuni Aditya, mengacungkan senjata mereka dengan ancaman nyata.
"Aditya, ini akan jadi pertempuran yang buruk," kata Khu dengan suara rendah. "Tapi... aku di sini. Kau tidak sendiri."
Aditya menegakkan tubuhnya di atas motor. Tatapannya berubah tajam, seperti pemain game yang baru saja masuk ke level boss fight. "Kalian yang mulai. Jadi, gua selesain."
Cahaya merah dari senjata tajam mereka memantul di mata Aditya, tetapi senyuman kecil di wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak takut—ia siap untuk bertarung.
Aditya mematikan mesin motornya dengan tenang, tapi sorot matanya berubah tajam seperti mata elang yang mengunci mangsanya. Ia perlahan menurunkan Genta dari motornya, menggendong anak kecil itu dengan hati-hati. Genta masih setengah tertidur, tidak menyadari bahaya yang mengintai di sekitar mereka.
Dengan langkah cepat, Aditya membawa Genta ke sudut bangunan yang runtuh, tempat gelap dan cukup aman untuk berlindung. Ia meletakkan Genta di balik reruntuhan dan menatap Khu yang perlahan muncul dari tubuhnya.
"Khu, jagain dia," ucap Aditya dengan nada serius, jauh dari kesan santai biasanya. "Biar gua yang ngurusin mereka."
Khu melipat tangannya, alisnya sedikit terangkat. "Kau yakin? Mereka punya senjata. Dan kau... hanya manusia biasa, ingat?"
Aditya berbalik, menatap Khu dengan senyum penuh percaya diri. "Manusia biasa? Kayaknya lu lupa gua pernah ngalahin capung raksasa kemarin. Gua udah naik level."
Khu mendesah panjang, tapi akhirnya tersenyum tipis. "Baiklah. Tapi kalau kau mati, jangan harap aku bakal memaafkanmu."
Aditya menepuk bahu Khu pelan sebelum melangkah kembali ke tengah jalan. Angin malam berhembus, membawa aroma debu dan ancaman.
"Ayo maju, sini!" teriaknya sambil mengepalkan tangan.
Kelompok itu tertawa mengejek. "Bocah ini benar-benar mau mati, ya?" kata salah satu dari mereka, seorang pria kekar dengan tongkat besi di tangannya.
Aditya berjalan perlahan, tapi langkahnya penuh kepastian. "Lu semua ngomong gede banget. Tapi gua cuma liat segerombolan pengecut yang cuma berani kalau ramean."
"APA?!" Pria bertongkat itu maju dengan amarah, mengayunkan tongkatnya dengan kekuatan penuh ke arah Aditya.
Tapi Aditya hanya miringkan tubuhnya sedikit, membuat tongkat itu menghantam udara kosong. Sebelum pria itu sadar, Aditya sudah meninju perutnya dengan keras. Pria itu jatuh ke tanah, terengah-engah sambil memegangi perutnya.
"Satu jatuh," ujar Aditya sambil tersenyum tipis. "Siapa berikutnya?"
Salah satu dari mereka, pria bertato di wajahnya, mengeluarkan pisau dan menyerbu ke arah Aditya dengan kecepatan tinggi.
Khu, yang mengawasi dari jauh sambil menjaga Genta, hanya menggeleng. "Manusia ini memang gila. Tapi... dia mulai membuatku terkesan."
Aditya menghindari serangan pisau itu dengan gesit, melompat ke samping lalu menyambar batu besar di tanah. Dengan gerakan cepat, ia melempar batu itu ke wajah pria bertato. Batu itu menghantam keras, membuat pria itu tersungkur.
"Selanjutnya?" Aditya menatap sisa kelompok itu dengan mata penuh tantangan.
Namun, sisa kelompok itu mulai mundur perlahan. Sorot mata mereka berubah, dari kesombongan menjadi ketakutan. "Dia... bukan manusia!"
Aditya menatap pria itu dengan tatapan tajam, aura hitam keunguan yang mengelilingi tubuhnya berdenyut seperti gelombang energi yang siap meledak. Pria dengan luka di wajahnya hanya menyeringai, tangannya mengeluarkan api yang memanas hingga udara di sekitarnya bergetar.
"Ayo bocah, tunjukkan kekuatanmu!" teriak pria itu sambil melontarkan bola api besar dari tangannya.
"Infernal Surge!" Bola api itu meluncur dengan kecepatan tinggi, membakar segala yang dilewatinya.
Aditya segera melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan sigap. Bola api menghantam tanah di belakangnya, menciptakan ledakan besar yang melemparkan pecahan aspal ke udara.
Aditya tidak tinggal diam. Dia memukul tanah dengan kepalan tangannya, mengirimkan gelombang energi hitam keunguan ke arah pria itu. "Void Spiral!" teriaknya. Gelombang energi itu berputar seperti tornado mini, menghancurkan apa pun yang dilewatinya.
Pria itu menepis serangan dengan satu tangan, membuat energi Aditya terpental ke samping dan menghancurkan sebuah bangunan kecil. "Hah, hanya segini? Kau benar-benar pemula!" ejeknya.
Pria itu kembali menyerang, kali ini melompat tinggi ke udara, mengangkat kedua tangannya dan menciptakan pilar api yang jatuh dari langit seperti hujan meteorit. "Inferno Barrage!"
Aditya segera membentuk perisai dari auranya. "Oblivion Shield!" teriaknya. Perisai itu berhasil menahan beberapa serangan, tapi sisanya menghantam tanah, menciptakan kawah besar di sekitarnya. Debu dan asap membumbung tinggi, mengaburkan pandangan.
Ketika debu mulai mereda, Aditya sudah berada tepat di depan pria itu. "Jangan remehkan gua!" serunya sambil melepaskan pukulan keras yang diselimuti energi gelap. "Phantom Strike!"
Pukulan itu menghantam dada pria tersebut, membuatnya terlempar ke belakang hingga menabrak dinding bangunan yang langsung runtuh. Namun, pria itu bangkit dengan cepat, meski darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Kau cukup kuat untuk pemula, tapi aku belum selesai!" Pria itu menjejak tanah dengan keras, menciptakan retakan yang menjalar ke arah Aditya. Dari retakan itu, api meletus seperti geyser, memerangkap Aditya di dalam lingkaran api.
Pria itu tertawa. "Ini akhirmu! Crimson Maelstrom!"
Lingkaran api berubah menjadi pusaran raksasa, seolah ingin melahap Aditya. Namun, Aditya berdiri tegak, mengangkat kedua tangannya. "Lu pikir lu yang terkuat di sini? Gua akan menunjukkan kekuatan yang sebenarnya!"
Dia memusatkan energinya, menciptakan bola energi hitam keunguan yang berdenyut dengan kekuatan destruktif. "Eclipse Nova!" teriaknya.
Bola energi itu meledak, menghapus pusaran api pria tersebut dengan kekuatan dahsyat. Gelombang kejutnya menghancurkan bangunan di sekitar mereka, membuat pria itu terpental jauh hingga tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Aditya berdiri di tengah kehancuran, napasnya terengah-engah, auranya masih menyala terang. Pria itu terkapar, tidak mampu lagi bangkit. Aditya meliriknya dengan dingin.
"Jangan coba-coba meremehkan gua lagi," ucapnya sebelum berjalan kembali ke tempat Genta bersembunyi, meninggalkan medan pertempuran yang telah hancur lebur.
Aditya berjalan menjauh dari medan pertempuran, tubuhnya masih diselimuti sisa aura hitam keunguan yang perlahan memudar. Khu langsung melayang di sampingnya dengan ekspresi penasaran. "Kenapa kau bisa tiba-tiba kuat banget, Aditya?" tanyanya, suaranya terdengar serius.
Aditya menoleh sekilas, lalu mengusap lehernya dengan santai. "Hah? Gua juga gak ngerti. Lu kira gua belajar kekuatan ini dari mana? Itu kayak... spontan aja keluar."
Khu menyipitkan mata, melayang mendekat hingga berada tepat di depan wajah Aditya. "Jangan bercanda! Tidak mungkin kekuatan seperti itu muncul begitu saja. Aura hitammu bahkan lebih kuat daripada yang terakhir kali aku lihat."
Aditya mengangkat bahu sambil mengelap sedikit keringat di dahinya. "Ya mana gua tahu, Khu. Mungkin karena gua kesel aja. Lu liat sendiri tadi mereka ngegangguin gua pas gua lagi nyantai sama Genta. Jangan-jangan ini efek lu lagi."
Khu mendesah pelan, melipat tangan di dadanya. "Bukan aku. Aura itu murni berasal dari dalam dirimu, Aditya. Tapi aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba meningkat drastis. Kalau kamu terus begini, aku khawatir tubuhmu tidak akan kuat menahannya."
Aditya menghentikan langkahnya sejenak, menatap Khu dengan serius. "Lu takut gua meledak atau gimana?"
Khu memutar matanya. "Meledak? Tidak, tapi mungkin tubuhmu bisa rusak dari dalam. Kekuatan sebesar itu membutuhkan kontrol. Kalau kamu terus menggunakannya tanpa memahami batasanmu, itu bisa jadi bumerang."
Aditya menggaruk kepalanya sambil menghela napas panjang. "Ah, ribet banget sih. Gua bakal cari tahu nanti deh, sekarang gua cuma mau lanjut perjalanan gua.
Khu menatap Aditya dengan ekspresi rumit, tapi akhirnya dia hanya mendesah pelan. "Baiklah, tapi kamu harus mulai serius memahami kekuatanmu, Aditya. Kalau kamu terus asal pakai, bukan cuma kamu yang dalam bahaya, tapi juga Genta dan aku."
Aditya tersenyum tipis, mengusap hidungnya dengan gaya sok percaya diri. "Lu tenang aja, gua gak bakal bikin kalian celaka. Gua kan tanggung jawab."
Khu hanya menggelengkan kepala sambil bergumam, "Dasar manusia keras kepala..."
Aditya jongkok di samping Genta yang masih terlelap. "Genta, ayo bangun," ucapnya lembut sambil menggoyangkan bahu anak itu.
"Umm..." Genta membuka matanya perlahan. Ia melihat sekeliling yang porak-poranda—puing-puing berserakan, tanah retak, dan bekas ledakan di mana-mana. "Lah, ini abis ada apaan, Kak?" tanyanya dengan nada bingung, matanya melebar saat menyadari kehancuran di sekitarnya.
Aditya tersenyum tipis sambil mengusap kepala Genta. "Ah, gak ada apa-apa, kok. Aku cuma berantem sama orang jahat yang ganggu kita tadi. Tapi tenang aja, sekarang semuanya udah aman."
Genta duduk dan menatap Aditya dengan penasaran. "Kakak yang ngelakuin semua ini?"
Aditya mengangguk santai. "Iya, tadi aku lawan orang yang ganggu kita. Kamu gak usah khawatir, aku janji bakal selalu jaga kamu."
Khu melayang di dekat mereka, menyilangkan tangan dengan ekspresi tidak puas. "Kamu harus jujur, Aditya. Genta berhak tahu kalau kekuatanmu bisa berbahaya."
Aditya menoleh ke Khu dengan tatapan malas. "Udahlah, Khu. Dia masih anak-anak, gak perlu tahu semua detail ribet itu. Gua gak mau bikin dia takut."
Genta memiringkan kepala, menatap Khu. "Apa maksudnya, Kak Aditya?"
Khu tersenyum lembut pada Genta. "Aditya ini... bagaimana aku bilang, punya kekuatan besar, Genta. Tapi kekuatan itu juga harus dijaga dengan baik, kalau tidak, bisa saja membahayakan dirinya sendiri."
Genta menatap Aditya dengan kagum, bukan takut. "Kak Aditya keren banget! Aku mau kayak Kak Aditya kalau gede nanti."
Aditya terkekeh, menepuk bahu Genta pelan. "Hahaha, kamu terlalu baik, Genta. Tapi janji ya, kamu bakal jadi lebih keren daripada aku nanti."
Khu memutar matanya sambil menghela napas. "Kalian ini, benar-benar pasangan yang aneh. Baiklah, Genta, ayo bersiap-siap. Kita harus segera pergi sebelum ada masalah lagi."
Aditya berdiri sambil menggandeng tangan Genta. "Lu bener, Khu. Tapi inget, Genta itu prioritas gua, jadi jangan bikin dia takut dengan omongan aneh lu."
Khu menggeleng kecil, tapi ada senyum samar di wajahnya. "Baik, aku tidak akan membuatnya takut. Tapi cepatlah, kita tidak bisa berlama-lama di sini."
Aditya tersenyum pada Genta. "Ayo, kita lanjut perjalanan. Aku janji, semuanya bakal baik-baik aja."
Genta mengangguk dengan semangat, memeluk lengan Aditya erat-erat. "Aku percaya Kak Aditya!"
Khu kembali masuk ke dalam tubuh Aditya dan Aditya kembali naik ke motornya. "Ayo naik Genta." Genta naik ke motornya dan memegang erat, Aditya pun lanjut perjalanan nya.
Dari kejauhan di atas gedung ada yang memperhatikan mereka. "Terakhir kali aku bertemu dengannya di Monas, dia cuma sendirian.
Siapa gadis itu berambut panjang itu? Dia baru saja masuk ke dalam tubuhnya." Ia mendesah pelan lalu duduk di ujung atap gedung, lalu dari belakang muncul wujud seorang gadis berambut perak dengan mata biru.
"Hati hati... Dia player seperti mu, dia menjalin kontak dengan dewa sama seperti kita." Gadis itu berdiri dan mengeluarkan pedang nya dan merobek ruang menciptakan celah portal.
"Berarti dia adalah ancaman, kita akan bertemu lagi, Aditya Surya." Ia masuk kedalam portal dan menghilang tanpa jejak.