Chereads / Games Into Reality / Chapter 10 - EPS-10 Dalam perjalanan (4)

Chapter 10 - EPS-10 Dalam perjalanan (4)

Aditya duduk bersandar pada pohon besar di pinggir jalan, menatap motor yang terparkir di dekatnya dengan wajah lelah. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ia menghela napas, lalu melirik Genta yang duduk di sampingnya sambil menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kecil.

"Bensin udah mau habis," ucap Aditya tiba-tiba, nada suaranya tenang tapi sedikit mengeluh. Ia mengusap lehernya yang terasa pegal. "Kamu jalan kaki gak papa kan, Genta?"

Genta mendongak, wajahnya masih polos seperti biasa. "Aku gak papa, Kak. Aku suka jalan kaki, seru kok!" jawabnya sambil tersenyum kecil, seolah situasi sulit itu sama sekali tidak mengganggunya.

Aditya terkekeh pelan. "Haha, enak ya kalau jadi anak-anak. Semua kayaknya seru-seru aja." Ia meregangkan tubuhnya, lalu menatap jalan panjang yang membentang di depan mereka. Jalan itu sepi, diterangi hanya oleh rembulan yang samar di balik awan.

Khu, yang sebelumnya berdiam diri dalam tubuh Aditya, tiba-tiba muncul di hadapannya dalam wujud gadis melayang. Rambutnya yang panjang bergerak seperti kabut hitam, mata tajamnya memandang Aditya dengan ekspresi datar. "Kamu ini manusia bodoh, Aditya. Kenapa tidak mengisi bensin di tempat terakhir tadi? Aku sudah bilang kan?"

Aditya memutar bola matanya malas. "Udahlah, Khu, gua gak mau denger ceramah lu sekarang. Kalau lu pinter banget, kenapa gak bantu gua cari solusi, hah?"

Khu mendesah panjang, melipat tangannya. "Aku tidak akan membuang energiku untuk membantu manusia ceroboh sepertimu."

Genta menatap mereka berdua, kebingungan. "Kak Aditya sama Kak Khu kok berantem terus ya?"

Aditya langsung tertawa kecil, menoleh pada Genta. "Hahaha, gak kok. Kak Khu emang suka ngomel aja. Kamu jangan dengerin dia terlalu serius."

Khu menatap Aditya dengan tatapan tajam. "Kamu benar-benar manusia menyebalkan."

Aditya berdiri, menepuk celananya yang kotor. "Oke, kalau lu gak mau bantu, gua bakal cari jalan sendiri. Genta, ayo siap-siap. Kita lanjut jalan."

Genta bangkit dengan semangat, memeluk tas kecilnya erat-erat. "Oke, Kak!"

Khu hanya menghela napas, lalu perlahan melayang kembali ke dalam tubuh Aditya. "Baiklah, aku akan memantau. Tapi jangan harap aku akan membantumu dengan mudah."

Aditya tersenyum kecil. "Gua gak perlu bantuan lu, Khu. Tapi gua tau lu bakal bantuin kalau keadaan jadi kacau."

Sambil menggandeng tangan Genta, Aditya melangkah menuju jalan setapak yang gelap, motor yang sudah kehabisan bensin ditinggalkan begitu saja. Dengan langit malam yang pekat di atas kepala mereka, perjalanan pun dimulai kembali.

Genta menatap Aditya dengan ekspresi penasaran sambil berjalan di sisi kakaknya. Suara langkah kaki mereka terdengar di jalan setapak yang sunyi, hanya ditemani oleh cahaya bulan. "Kak, sebenarnya kita ke Yogyakarta ini mau ngapain sih?" tanyanya polos.

Aditya menoleh, tersenyum kecil. "Jadi gini, kita ke Yogyakarta karena aku mau cari tahu lebih tentang energi purba," jawabnya santai.

"Energi purba? Itu apa, Kak?" tanya Genta lagi, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

"Penjelasan gampangnya," Aditya mulai menjelaskan, suaranya pelan tapi serius, "Energi purba itu kayak sisa-sisa kekuatan dari dewa-dewa yang udah mati. Tapi energi itu gak cuma diam aja, dia bisa memengaruhi orang-orang atau tempat di sekitarnya. Nah, aku mau tahu kenapa energi purba bisa kebawa ke dunia kita yang sekarang."

Genta mengangguk-angguk, mencoba mencerna penjelasan itu. "Berarti itu penting banget ya, Kak?"

Aditya mengacak rambut Genta dengan lembut. "Iya, penting banget. Kalau kita bisa tahu lebih banyak soal energi purba ini, kita juga bisa ngerti apa yang sebenarnya terjadi sama dunia ini."

Tiba-tiba, suara Khu terdengar dari dalam tubuh Aditya. "Jangan buat penjelasan itu terdengar terlalu sederhana. Energi purba bukan hanya sisa-sisa dari dewa yang mati. Itu adalah bagian dari esensi alam semesta, sesuatu yang lebih besar dari yang kamu bayangkan, Aditya."

Aditya mendengus, berbicara dalam hati. "Iya-iya, gua tahu. Gua cuma nyederhanain buat Genta, lu gak usah ribet."

Khu mendesah, suaranya terdengar seperti seorang guru yang frustrasi. "Kamu benar-benar manusia yang sulit diatur."

Genta yang tidak tahu percakapan antara Aditya dan Khu, tersenyum kecil. "Kak Aditya hebat banget, tahu banyak soal hal-hal aneh kayak gini."

Aditya tertawa kecil, menepuk bahu Genta. "Hahaha, aku gak sehebat itu kok. Tapi, aku janji bakal bawa kamu sampai ke Yogyakarta dengan aman."

"Dan semoga tidak ada masalah lagi di jalan," tambah Khu dengan nada dingin, membuat Aditya hanya menggeleng sambil melanjutkan perjalanan mereka.

Aditya berjalan perlahan sambil memegang tangan Genta. Dalam hati, dia membuka percakapan dengan Khu. "Khu, menurut lu Aberasi itu ada pemimpin-nya gak sih? Atau mereka cuma makhluk gak berakal yang jalan tanpa arah?" tanyanya, memecah kebosanan dalam pikirannya.

Khu menjawab dengan tenang, nada suaranya seperti selalu, penuh kepastian. "Ada. Pemimpin mereka disebut Primarch. Tapi sekarang hanya tersisa satu. Yang lainnya sudah mati di dalam game sebelum dunia ini berubah menjadi seperti sekarang."

Aditya menghentikan langkahnya sejenak, memandang jalan kosong di depannya. "Primarch? Nama yang keren juga. Terus, siapa aja mereka? Lu tahu nama-nama mereka?"

"Tentu aku tahu," jawab Khu dengan nada datar, seperti menahan diri agar tidak terdengar meremehkan. "Dengar baik-baik, mereka ini bukan sekadar nama, tapi simbol kehancuran yang mewakili kekuatan berbeda. Yang pertama adalah Kaelzar the Devourer, pemakan dimensi. Dia adalah yang tersisa sekarang, pemimpin terakhir Aberasi. Yang lainnya... mereka sudah lenyap, tapi aku akan tetap menyebutnya supaya kau tahu."

Aditya memperhatikan serius, meskipun dia tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. "Oke, lanjut. Siapa aja mereka yang udah mati?"

Khu melanjutkan, suaranya terdengar lebih intens. "Ada Nyxterra the Void Herald, penguasa kehampaan yang membawa dunia pada kehancuran total dengan manipulasi ruang. Lalu ada Harlot the Corrupted Flame, makhluk yang membakar apapun menjadi abu dengan api yang tak pernah padam sekaligus ratu dari para naga. Dan terakhir, Threxial the Bone Tyrant, raja kematian yang menghidupkan kembali pasukannya dari tulang belulang para korban. Mereka semua jatuh di dunia game, tapi bekas pengaruh mereka masih terasa di dunia ini."

Aditya menghela napas panjang, mencoba mencerna semua informasi. "Jadi tinggal si Kaelzar ini ya? Gua harus berurusan sama makhluk kayak gitu juga?"

"Bukan hanya berurusan," jawab Khu dingin. "Jika kau ingin tahu lebih jauh tentang energi purba dan hubungan dunia ini dengan game, kau akan bertemu Kaelzar. Dan aku pastikan, pertemuan itu tidak akan menyenangkan."

Aditya menelan ludah, sedikit merasa terintimidasi. Namun, dia mencoba menutupi rasa gugupnya dengan bercanda. "Hah, santai aja. Gua pasti bisa ngalahin dia, kayak gua ngalahin capung raksasa kemarin."

Khu mendesah dalam pikirannya. "Kau terlalu percaya diri untuk seorang manusia yang bahkan baru saja tahu cara menggunakan kekuatanmu."

Aditya hanya tersenyum tipis sambil kembali mendorong motornya, membiarkan rasa penasaran dan sedikit ketakutannya menggantung di udara. "Kaelzar ya... Oke, gua tunggu pertarungan itu, entah kapan bakal datang."

Aditya menghentikan langkahnya. Wajahnya memerah karena rasa penasaran tiba-tiba muncul. "Eh, bentar, bentar! Lu tadi bilang Nyxterra itu penguasa kehampaan, kan? Tapi, lu kan juga dewa kekosongan atau kehampaan. Lah, kok julukan dia sama kayak lu? Apa ini gak aneh?"

Khu mendesah panjang di dalam pikirannya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada jengkel, seolah Aditya baru saja menanyakan sesuatu yang sudah jelas. "Dia itu aspek-ku, Aditya. Ketika aku masih ada di dalam game, aku adalah dewa jahat. Jadi, aku menciptakan aspek-aspek dari diriku untuk melayani tujuan-tujuanku. Nyxterra adalah salah satunya. Dia sangat kuat, jadi aku memberinya kehampaan sebagai domainnya. Namun, seiring waktu, dia menjadi cukup kuat untuk naik takhta sebagai salah satu Primarch."

Aditya melotot, seperti baru saja mendengar hal yang tidak masuk akal. "Lu... bikin Nyxterra? Jadi dia itu semacam 'anak' lu? Astaga, gua gak nyangka gua kenal sama dewa yang punya legacy kayak gini." Dia menggaruk kepalanya, mencoba memahami. "Tapi lu juga bilang dia udah mati, kan? Jadi aman dong ya?"

Khu menjawab dengan nada tenang, tetapi ada sedikit rasa bangga yang tersembunyi. "Ya, dia sudah mati, Aditya. Nyxterra mungkin kuat, tapi dia bukan tandingan para pemain yang menghancurkan dunia game. Dia hanyalah bagian kecil dari kekuatanku yang jauh lebih besar. Kau tidak perlu khawatir tentang dia. Tapi..."

Aditya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. "Tapi apa? Jangan bikin gua tegang, Khu!"

"Tapi jejak kekuatannya mungkin masih tersisa di dunia ini. Bahkan jika dia sudah mati, kehampaan yang dia bawa tidak akan hilang begitu saja. Kalau kau menemukannya, berhati-hatilah. Itu masih berhubungan denganku, dan mungkin... dengannya."

Aditya menghela napas, mencoba menghilangkan kegelisahan. "Hah, gua gak tahu apa ini berita bagus atau jelek. Tapi kalau gua harus ngadepin kekosongan dua kali, gua cuma berharap lu gak tiba-tiba ngelawan gua juga suatu hari nanti, Khu."

Khu tertawa kecil di dalam pikirannya. "Selama kau tetap menyenangkan untukku, aku tidak akan pernah melawanmu. Kau adalah inangku sekarang, Aditya. Kau dan aku akan terus berbagi takdir."

Aditya meringis mendengar jawaban itu. "Gua gak yakin itu bikin gua tenang, tapi yaudah lah. Ayo jalan lagi. Gua gak sabar lihat kejutan apa lagi di depan."

Genta memiringkan kepala, memandang Aditya yang tiba-tiba terdiam dengan ekspresi serius. "Kak, kok tiba-tiba diam? Ada apa?" tanyanya dengan nada polos, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Aditya tersentak dari lamunannya, lalu segera memasang senyuman. "Enggak, gak ada apa-apa kok," jawabnya sambil mengacak pelan rambut Genta. "Aku cuma lagi mikir aja... kamu udah capek belum?"

Genta menggeleng, meskipun matanya sedikit terlihat lelah. "Aku enggak capek, tapi kakak tadi kayak lagi ngobrol sama diri sendiri. Serem, tau."

Aditya terkekeh, mencoba mengalihkan perhatian. "Halah, itu cuma kebiasaan aja. Kadang-kadang kakak suka ngomong dalam hati. Ayo, kita jalan lagi. Kamu kan mau cepat sampai Yogyakarta."

Di dalam pikirannya, suara Khu tiba-tiba bergema, menyela dengan nada mengejek. "Gua baru tahu lu bisa bohong dengan senyuman sepolos itu, Aditya."

Aditya mendesah pelan, membalas dalam pikirannya. "Lu diem dulu. Gua gak mau anak kecil kayak Genta tahu soal lu atau hal-hal aneh ini. Dia masih kecil, biar hidupnya tenang dulu."

Khu hanya tertawa kecil, seperti menikmati drama kecil itu. "Baiklah, aku akan diam... untuk sekarang. Tapi kalau dia mulai curiga, aku tidak akan menahan diriku untuk muncul."

Aditya menahan napas sejenak, lalu kembali menatap Genta yang sudah berdiri siap melanjutkan perjalanan. "Oke, ayo kita lanjut! Gua janji kita bakal sampai sebelum kamu bosen ngeliatin jalanan."

Genta tersenyum, memegang erat tangan Aditya. "Oke, kak! Tapi aku mau nyanyi ya, biar seru!"

Aditya tertawa kecil, menggeleng. "Yaudah, tapi jangan fals ya. Kuping kakak masih pengen sehat."

Suara kecil Genta mulai terdengar menyanyikan lagu anak-anak, membuat suasana perjalanan sedikit lebih ringan, meskipun di kepala Aditya, bayangan percakapannya dengan Khu terus berputar, mengingatkan dia bahwa tantangan yang lebih besar mungkin sudah menunggu di depan.

Dua jam berlalu, dan semburat jingga mulai merangkak di cakrawala. Matahari perlahan muncul, menggantikan gelap malam. Suara burung-burung kecil mulai terdengar, membawa nuansa pagi yang damai.

Aditya menoleh ke Genta yang berjalan di sampingnya. "Aku gak nyangka kita jalan malam hari tanpa ada gangguan, Genta," ucapnya dengan senyum kecil yang menyiratkan rasa lega.

Genta menatap ke arah Aditya dengan senyum cerah. "Iya, kak! Aku kira bakal ada hal menyeramkan lagi seperti kemarin. Ternyata tenang banget, ya?"

Aditya mengangguk. "Bener banget. Kalau setiap malam kayak gini, kakak bisa langsung ke Yogyakarta tanpa drama." Ia menghela napas lega sambil meregangkan tubuhnya. "Gimana, kamu masih kuat jalan, kan?"

"Masih kok, aku gak capek," jawab Genta semangat. Tapi beberapa detik kemudian, dia menguap kecil. "Eh, tapi... mungkin aku sedikit ngantuk."

Aditya tertawa kecil. "Kalau gitu kita istirahat sebentar di sini. Duduk aja dulu, biar kamu gak terlalu lelah." Ia menunjuk sebuah batu besar di bawah pohon rindang, lalu menuntun Genta untuk duduk.

Saat mereka beristirahat, suara Khu muncul di dalam pikiran Aditya, terdengar sinis seperti biasa. "Kamu tau gak, aku agak curiga kenapa semalam gak ada gangguan sama sekali. Dunia ini gak pernah sebaik itu sama mu."

Aditya melirik ke arah pepohonan, memastikan Genta tidak mendengarnya. "Udah, lu jangan bikin gua panik pagi-pagi. Nikmatin aja dulu ketenangan ini."

"Heh, kau tau kan, tenang kayak gini biasanya cuma jadi jeda sebelum badai. Jangan lengah."

Aditya mendesah pelan, lalu menutup percakapan dengan Khu dalam pikirannya. Ia kembali tersenyum ke arah Genta, yang sekarang sudah mulai memetik bunga kecil di sekitar batu tempat dia duduk. "Kak, kita beneran bisa sampai ke Yogyakarta hari ini, kan?" tanya Genta penuh harap.

Aditya menepuk pundak Genta pelan. "Pasti bisa. Kamu tinggal percaya sama kakak. Selama kita jalan bareng, semuanya bakal aman."

Meski mulutnya berkata tenang, dalam hati Aditya tetap siaga. Ia tahu betul, dunia baru ini selalu punya cara untuk menyelipkan bahaya saat ia mulai lengah.

Saat mereka berjalan, tiba-tiba mata Aditya menangkap sesuatu yang besar di tengah jalan. Sebuah bangunan kuno berdiri megah, seolah-olah baru saja muncul dari ketiadaan. Dindingnya dipenuhi ukiran yang terlihat usang tapi penuh detail, dan suasananya memancarkan aura misterius.

Aditya langsung berhenti. "Noh, kan! Baru aja lu bilang jangan tenang-tenang amat, eh malah hal aneh dateng. Ini semua gara-gara lu, Khu," ucapnya dalam hati, merasa kesal.

"Kok aku yang disalahin? Aku gak ngapa-ngapain, Aditya!" balas Khu dalam pikirannya, terdengar setengah kesal.

Aditya memandangi bangunan itu dengan mata menyipit. "Lu kan yang bilang ada sesuatu aneh bakal terjadi. Nih, sekarang kejadian beneran, puas?"

Sementara itu, Genta menatap bangunan itu dengan penuh kagum. "Bangunan ini keren banget! Kayaknya kayak istana zaman dulu ya, kak?" tanya Genta dengan nada riang.

Aditya berusaha menutupi kecanggungannya. "Eh... iya, iya... keren sih." Tapi matanya tak lepas dari ukiran di dinding. Ada sesuatu yang membuatnya merasa... tidak nyaman.

"Bangunan ini bukan sembarang bangunan, Aditya," suara Khu terdengar serius di kepalanya. "Aku bisa merasakan energi yang sangat tua di sini. Jangan asal masuk."

Aditya menghela napas. "Yaelah, lu ngomong kayak gitu malah bikin gua makin penasaran."

Ia mendekati bangunan itu, mencoba melihat lebih jelas ukiran-ukiran yang menghiasinya. Setiap simbol terlihat seperti cerita, adegan perang, ritual, atau mungkin... peringatan.

Genta mengikuti di belakangnya, masih dengan tatapan takjub. "Kak, kita masuk gak? Siapa tahu ada harta karun!"

Aditya menoleh ke Genta sambil mengacak rambutnya pelan. "Harta karun apaan? Kalau ada jebakan gimana? Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku cek bentar."

"Aku ikut aja, kak! Aku gak takut, kok!" jawab Genta dengan senyum polos.

Aditya menatapnya sejenak, lalu mengalah. "Yaudah, tapi kamu jangan jauh-jauh dari aku, ya. Kalau ada apa-apa, langsung kabur."

"Aditya, kamu yakin mau masuk? Aku gak suka energi tempat ini," Khu memperingatkan lagi.

Aditya mendesah. "Kalau lu gak suka, kenapa gak bilang biar gua makin pengen masuk?"

"Dasar keras kepala!" balas Khu dengan nada jengkel.

Aditya berjalan mendekati pintu bangunan itu, dan begitu ia menyentuhnya, pintu besar itu terbuka perlahan dengan suara gemuruh, mengeluarkan angin dingin yang membuat bulu kuduknya meremang. "Oke, ini udah mulai gak enak... Tapi yaudahlah, mau gimana lagi," gumamnya sambil menguatkan diri.

Di belakangnya, Genta menggenggam erat tangan Aditya, kali ini ekspresinya sedikit gugup. "Kak, kalau ada yang aneh, kita balik aja, ya?"

Aditya menatap Genta dan mengangguk. "Tenang aja. Aku gak akan biarin kamu kenapa-napa." Dalam hati, ia tahu, ini bakal jadi awal dari sesuatu yang besar.

Mereka berdua masuk ke dalam bangunan itu. Udara di dalam terasa lebih dingin dan lembap dibandingkan luar. Hal pertama yang menarik perhatian mereka adalah dinding-dinding yang dipenuhi ukiran kuno dan tulisan yang terlihat asing. Genta berdiri memandang dinding itu dengan kagum, sementara Aditya melangkah mendekat dan menyentuh salah satu ukiran.

"Pasti ini benda bersejarah," ucap Aditya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Di dalam pikirannya, suara Khu terdengar. "Tulisan ini... aku kayak kenal. Tapi, di mana ya?"

Aditya mendengus, sedikit mengejek. "Yaelah, masa dewa kayak lu bisa pelupa sih? Apa gunanya jadi dewa kalo gampang lupa?"

"Jaga lisanmu, bodoh!" bentak Khu dengan nada kesal. "Aku ingat sekarang! Ini bahasa dari cosmos sebelumnya."

Aditya mengerutkan alisnya, bingung. "Cosmos? Apaan lagi tuh?"

"Cosmos itu seperti siklus waktu untuk alam semesta," jelas Khu. "Alam semesta kita ini luas, Aditya. Tapi, yang kamu harus tahu adalah... alam semesta itu tidak cuma satu."

Aditya melongo. "Huh!? Jadi... multiverse itu beneran ada!?"

"Ya, memang ada. Tapi versi yang kamu bayangkan pasti dangkal. Kita sekarang berada di cosmos kelima, yang artinya sebelum ini ada empat cosmos lain yang sudah hancur dan terlahir kembali. Itu adalah siklus tanpa akhir."

Aditya mengerutkan dahi, mencoba mencerna ucapan Khu. "Jadi, setiap cosmos itu kayak umur buat multiverse? Tapi, gimana caranya bisa hancur terus lahir lagi?"

Khu mendesah, seperti menjelaskan sesuatu yang seharusnya sudah jelas. "Cosmos akan terus mengembang, Aditya, sampai ada kekuatan yang menghancurkannya. Dan dari kehancuran itu, multiverse akan lahir kembali, menciptakan cosmos baru. Setiap cosmos itu seperti babak baru dari keberadaan alam semesta."

"Tunggu-tunggu," Aditya mengangkat tangan, mencoba menghentikan alur penjelasan yang mulai membingungkan. "Jadi ini udah cosmos ke lima? Berarti udah empat kali multiverse dihancurin? Siapa yang ngancurin? Ada orang iseng yang kuat banget gitu?"

"Bukan orang iseng," jawab Khu dengan nada tegas. "Di setiap cosmos, ada sosok yang memiliki kekuatan luar biasa, cukup untuk menghancurkan seluruh keberadaan. Dan tiap kali cosmos baru lahir, siklus itu dimulai lagi. Cosmos keempat hancur karena perang besar antar entitas primordial. Dan kalau kita tidak hati-hati, cosmos kelima ini bisa menghadapi takdir yang sama."

Aditya mengusap tengkuknya, merasa sedikit pusing. "Gila... gua kira masalah gua cuma sama Aberasi, eh malah jadi ngomongin skala kosmik gini. Lu beneran bikin gua pusing, Khu."

Genta, yang sedari tadi melihat wajah Aditya dengan wajah bingung, akhirnya angkat bicara. "Kak, kok kamu melamun? Ada apa?"

Aditya menoleh ke Genta, mencoba tersenyum meskipun dalam hati dia sedikit panik. "Hmm, gak kok, makasih sudah khawatir kan aku."

Genta mengangguk kecil, meskipun rasa cemas terlihat di wajahnya. Aditya lalu kembali menatap tulisan di dinding, matanya menyipit. "Jadi tulisan ini dari cosmos sebelumnya? Ada hubungannya sama tempat ini gak, Khu?"

"Kemungkinan besar, tempat ini adalah peninggalan dari entitas yang dulu ada di cosmos keempat. Aku tidak tahu pasti apa fungsinya, tapi tempat ini memancarkan energi yang sangat tua... dan berbahaya."

Aditya mendesah pelan. "Tua dan berbahaya? Pas banget sama gua sekarang, ya. Udah, ayo kita cek lebih jauh. Siapa tahu ada sesuatu yang berguna."

"Aditya, jangan sembrono!" tegur Khu. "Kalau ada sesuatu yang aktif di sini, kita bisa terjebak atau lebih buruk lagi..."

"Santai aja, gua cuma mau lihat-lihat, kok. Lagian, kalau ada apa-apa, gua kan ada lu," jawab Aditya sambil terkekeh, meskipun dia tahu ini bisa jadi langkah yang sangat berbahaya.

Aditya berjalan perlahan di lorong bangunan kuno itu, matanya terus meneliti ukiran di dinding yang terlihat seperti adegan-adegan pertempuran besar. Dia lalu membuka percakapan dalam pikirannya. "Khu, tadi lu bilang cosmos keempat hancur gara-gara perang entitas primordial, kan? Nah, bukannya lu dulu pernah bilang kalau lu itu Primordial Elder God? Jadi..."

Suara Khu terdengar lembut namun tegas di dalam pikirannya. "Biar aku tebak. Kamu mau nanya apa aku ikut perang itu atau enggak, kan?"

Aditya terkekeh kecil. "Uh... iya, hehe. Kepo aja gua."

Khu mendesah pelan, seolah tidak ingin mengingat masa itu. "Aku tidak ikut campur, Aditya. Aku hanya membiarkan aspek-aspek yang aku ciptakan untuk bertarung atas namaku. Mereka cukup kuat untuk memikul tanggung jawab itu."

Aditya melirik salah satu ukiran yang menunjukkan sosok raksasa melawan makhluk besar berbentuk naga dengan delapan kepala. "Jadi, yang ikut perang itu kayak... anak-anak lu?"

"Bisa dibilang begitu. Mereka bukan anak biologis, tapi mereka aspek dari keberadaanku. Wujud-wujud yang aku ciptakan untuk mewakili bagian-bagian diriku," jawab Khu.

Aditya mengangguk pelan, mencoba mencerna ucapan Khu. "Tapi, gua masih gak paham. Perang itu bisa terjadi gara-gara apa sih? Apa mereka semua gak bisa hidup damai aja?"

Khu terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh beban. "Perang itu terjadi karena keserakahan. Cosmos keempat dipenuhi entitas primordial yang masing-masing ingin menjadi penguasa tunggal. Mereka bertarung untuk dominasi, untuk memonopoli keberadaan, dan pada akhirnya... mereka menghancurkan semuanya, termasuk multiverse itu sendiri."

Aditya menghela napas panjang. "Jadi... ego mereka yang bikin segalanya hancur? Gila sih, gak kebayang betapa rusaknya perang itu kalau sampai multiverse-nya sendiri kena."

"Itu lebih dari sekadar ego, Aditya," lanjut Khu. "Di level mereka, perang bukan cuma soal kemenangan. Itu soal eksistensi. Kalau satu entitas menang, eksistensi lainnya akan dihapus dari realitas. Mereka tidak punya pilihan selain bertarung... atau musnah."

Aditya mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Dan lu cuma diem aja ngeliat itu semua?"

"Aku dewa kekosongan, Aditya. Aku tidak mencampuri urusan yang tidak perlu. Tugasku adalah menjaga siklus berjalan, bukan mencegahnya. Jika cosmos hancur, maka cosmos baru akan lahir. Begitulah hukum alam semesta ini."

Aditya mendengus. "Hukum yang kacau, kalau lu tanya gua."

Khu terkekeh lembut. "Mungkin memang begitu menurutmu. Tapi jika tidak ada kehancuran, tidak akan ada kelahiran. Alam semesta adalah siklus, Aditya. Dan siklus itu tidak akan pernah berhenti."

Aditya terdiam, pandangannya terpaku pada ukiran lain yang menunjukkan entitas-entitas besar berlumuran darah, jatuh satu per satu. Ia menggigil sedikit. "Gila... jadi lu ngeliat semua itu kayak nonton film aja? Apa gak ada rasa bersalah, Khu?"

"Bukan soal bersalah atau tidak, Aditya," jawab Khu dengan suara tenang. "Itu adalah keseimbangan. Sama seperti sekarang, kamu yang berjalan di jalan ini... kamu juga bagian dari siklus itu."

Aditya tidak menjawab. Pikirannya penuh dengan bayangan perang kosmik dan kehancuran besar-besaran. Dia hanya bisa berharap bahwa perang seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi—setidaknya selama dia masih hidup.

Langkah kaki Aditya melambat ketika suara mengerikan bergema di tembok bangunan kuno itu, seperti kuku tajam yang menggores batu. "Weh, apa itu!?" Aditya spontan berhenti, sementara Genta langsung berlindung di belakang punggungnya.

"Aku... aku takut, kak," bisik Genta sambil menggenggam kuat jaket Aditya.

Aditya menggertakkan giginya. "Wah, perasaan gua gak enak banget. Kita harus keluar dari sini sekarang juga, Genta!" Tanpa membuang waktu, Aditya menggendong Genta dan berlari menuju pintu keluar dengan cepat.

Namun, tepat sebelum mereka mencapai pintu, sesosok wanita muncul dari kegelapan. Rambutnya pirang keemasan, tanduk melengkung menghiasi kepalanya, dan matanya menyala merah seperti bara api. Udara di sekitar mereka menjadi panas, seperti tengah berada di mulut gunung berapi.

Aditya membeku. "Ya Tuhan..." Dengan refleks, dia menciptakan bola hitam keunguan di tangannya, siap menghadapi ancaman. "Khu, siapa dia!?"

Khu menghela napas dalam, suaranya tegang. "Dia... salah satu pemimpin Aberasi. The Corrupted Flame, sekaligus ratu para naga... Harlot."

Senyuman tipis muncul di wajah wanita bertanduk itu, senyuman yang tidak membawa kedamaian melainkan kehancuran. "Oh~ kalian mengenalku? Menarik sekali." Suaranya lembut tapi penuh ancaman, seperti api yang merayap sebelum meledak.

Mata Aditya melebar. "Khu! Dia bisa denger lu!?"

"Iya... dia bukan Aberasi biasa. Dia punya kesadaran yang sangat tinggi, setara dengan Primordial Aspect. Hati-hati, Aditya!" Khu memperingatkan.

Harlot melangkah maju dengan tenang, setiap gerakannya anggun namun membawa aura intimidasi yang luar biasa. "Kalian berdua... aroma kalian aneh. Kau..." Dia menatap Aditya tajam. "Kau seperti setitik kotoran di dunia ini, tapi kotoran yang menarik. Dan bocah itu..." Harlot mengarahkan pandangannya ke Genta yang gemetar. "Ah, dia mengingatkanku pada sesuatu... sesuatu yang hilang."

Aditya menggeram, melindungi Genta di belakangnya. "Lu gak bakal nyentuh dia, gua kasih tau."

Harlot tertawa kecil, api kecil berwarna merah keemasan mulai muncul di ujung jarinya. "Berani sekali. Tapi kau tidak tahu apa yang kau hadapi, anak manusia."

"Aditya, jangan sembarangan! Kalau kamu lawan dia, kita gak punya peluang besar untuk menang!" Khu memperingatkan lagi, suaranya terdengar lebih cemas dari sebelumnya.

"Gak ada pilihan, Khu. Kalau gua kabur, dia bakal ngejar kita. Gua gak akan biarin dia sentuh Genta!" Aditya memantapkan posisinya, bola hitam di tangannya mulai berputar, menimbulkan riak energi yang membuat udara bergetar.

Harlot tersenyum semakin lebar. "Kalau begitu, tunjukkan padaku... apakah kau layak mati dengan cara yang terhormat, anak manusia." Dia mengangkat tangannya, menciptakan pilar api raksasa yang membakar udara di sekitarnya.

Aditya menatap api itu tanpa gentar. "Lu pikir gua takut sama naga gede kayak lu? Bawa sini, gua siap!"