Dua hari telah berlalu sejak peristiwa itu, dan kini Aditya terlihat lebih tenang. Mungkin, perlahan-lahan dia mulai terbiasa dengan kekacauan yang terus mengintai hidupnya. Di tengah stasiun kereta yang sunyi, Aditya duduk santai di bangku besi berkarat, mengeluarkan ponselnya yang penuh goresan. Ia mulai mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan ekspresi serius, seakan benar-benar ada hal penting yang harus dikerjakan.
Khu, yang melayang di sebelahnya dengan tangan disilangkan, menatap ponsel itu dengan kening berkerut. "Apa yang kau pegang itu?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu, tetapi juga sedikit curiga.
"Ini?" Aditya mengangkat ponselnya, lalu memiringkan kepala sambil tersenyum. "Sumber kekuatan utama manusia modern, Khu. Namanya smartphone."
Khu menatapnya tajam. "Smart? Tapi kau terlihat bodoh setiap kali menyentuhnya."
Aditya memutar bola matanya, lalu kembali mengetik. "Gak semua orang paham soal teknologi tinggi, jadi wajar kalau lu gak ngerti."
"Aku bukan tidak paham, aku hanya penasaran. Di dunia yang kacau balau seperti ini, apa gunanya benda kecil itu? Apakah itu senjata?" Khu menyipitkan matanya, memindai ponsel itu seolah-olah mencoba mendeteksi sesuatu yang berbahaya.
Aditya terkekeh, lalu memperlihatkan layar ponselnya. "Liat nih, gua lagi nge-scroll berita lama sebelum dunia ini jadi kayak sekarang. Oh, dan juga..." Dia menunjuk sebuah aplikasi game di ponselnya. "Gua masih bisa main Snake Battle Royale."
Khu langsung memutar matanya. "Serius, Aditya? Dunia sedang di ambang kehancuran, dan kau sibuk bermain game ular? Kau bahkan baru saja hampir dimakan oleh capung raksasa dua hari lalu!"
Aditya hanya mengangkat bahu. "Ya terus gimana? Hidup ini penuh tekanan, Khu. Kadang, kita butuh hiburan. Kalau gua stress, malah jadi gak bisa mikir. Nah, dengan main game ini, gua bisa nyantai."
Khu mendesah panjang, melayang lebih dekat dan menatap ponsel itu dengan ekspresi serius. "Apa itu benar-benar membantu? Atau justru membuatmu semakin lamban?"
Aditya tersenyum kecil, lalu menunjuk skor di layar game. "Lamban? Liat ini, gua di peringkat 1 global. Siapa lagi yang bisa kayak gua?"
Khu menatap layar itu dengan ekspresi dingin, lalu dengan cepat mengulurkan tangan ke arah ponsel. Sebuah aura hitam keluar dari ujung jarinya. "Mungkin lebih baik aku menghapus 'hiburanmu' ini agar kau fokus pada tugasmu."
"Wah, wah! Jangan! Jangan sentuh ponsel gua, Khu! Ini satu-satunya hiburan gua di dunia yang kacau ini!" Aditya memeluk ponselnya erat-erat seperti anak kecil memeluk mainannya.
Khu memutar bola matanya lagi. "Kau manusia yang aneh, Aditya. Kau punya kekuatan besar, takdir besar, dan kau memilih fokus pada... ular digital?"
Aditya tertawa kecil. "Itulah keindahan manusia, Khu. Kita bisa menikmati hal-hal kecil di tengah kehancuran."
Khu hanya mendesah, melayang menjauh sambil bergumam, "Manusia memang makhluk yang membingungkan..."
Aditya berdiri dengan malas sambil meregangkan tubuhnya, mengeluarkan suara khas orang bangun tidur yang panjang. "Huaaah... Oke, oke. Yaudah deh, ayo lanjut. Jangan ngambek dong, nanti mukamu tambah tua." Dia melirik ke arah Khu yang sedang melayang dengan wajah dingin.
"Aku tidak punya wajah yang bisa menua, bodoh," balas Khu sambil melipat tangannya, menatap Aditya dengan tatapan tidak terkesan.
"Tapi beneran, wajah lu keliatan kayak orang yang kesel terus. Kalau senyum sekali-sekali, mungkin kita bisa jalan lebih santai." Aditya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Khu menghela napas panjang, tampak berusaha sabar. "Aku tidak dibuat untuk 'senyum-senyum'. Kalau kau ingin suasana santai, mungkin kau harus berhenti membuat komentar bodoh setiap lima menit."
Aditya mengangkat bahu, memasukkan tangannya ke saku celana, lalu berjalan santai keluar stasiun. "Oke, oke, tenang aja, Bos. Kalau gitu, gua janji nggak ngomong yang aneh-aneh lagi."
Namun, baru beberapa langkah keluar dari stasiun, Aditya tiba-tiba berhenti, menatap ke jalan yang kosong dan berdebu. Ia membungkuk, mengangkat sesuatu yang tampak seperti helm motor yang sudah penyok. "Weh, Khu, gua nemu benda peninggalan peradaban modern nih! Mungkin ini punya nilai sejarah, ya?"
Khu mendesah keras, menutup wajahnya dengan tangan. "Aditya, kita tidak punya waktu untuk bermain arkeolog."
Aditya memasang helm itu ke kepalanya dengan gaya konyol, meskipun ukurannya terlalu kecil. "Liat nih, gua udah siap perang. Gimana, keren kan?"
Khu menatapnya dengan ekspresi datar. "Kalau kau pikir itu akan melindungimu dari monster, kau salah besar. Helm itu bahkan mungkin tidak bisa melindungi otakmu yang setengah berfungsi."
Aditya tertawa sambil terus berjalan, masih memakai helm penyok itu. "Santai aja, Khu. Kadang, kita butuh aksesori untuk menaikkan moral. Gua yakin, kalau ada monster yang liat gua pake ini, mereka bakal kabur karena ngira gua orang gila."
Khu hanya menggelengkan kepalanya, melayang di samping Aditya dengan ekspresi pasrah. "Kadang aku merasa takdir memilih inang yang salah..."
"Ngomong-ngomong soal takdir," Aditya menyahut tanpa melepas helmnya, "lu yakin jalan ke Yogyakarta ini aman? Soalnya, kalau kita ketemu monster lagi, gua nggak janji bisa serius terus."
Khu menatapnya tajam. "Kalau kau tidak serius, aku akan mengambil alih tubuhmu dan memastikan kita selamat."
Aditya terdiam sejenak, lalu dengan tenang melepaskan helmnya. "Oke, noted. Jangan sentuh tubuh gua. Deal."
Dan dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta, dengan Khu yang terus melayang di belakangnya, masih setengah terganggu oleh kejenakaan Aditya, namun diam-diam menikmati kebodohan itu sebagai penghiburan di tengah kekacauan dunia.
Aditya tiba-tiba berhenti berjalan, lalu menatap ke belakang, matanya menyipit memperhatikan sesuatu. "Tunggu dulu..." ucapnya sambil mengamati deretan motor yang terparkir berantakan di sisi jalan. Wajahnya berubah cerah, seperti mendapat pencerahan ilahi. "Gua punya ide!"
"Ide apa lagi sekarang?" Khu melayang dengan raut wajah curiga.
Tanpa menjawab, Aditya langsung berlari menuju deretan motor itu. Dengan cepat, ia mulai mengecek motor satu per satu, memperhatikan kuncinya. Tangannya bergerak cepat seperti pencuri profesional, membuat Khu yang melayang di atasnya hanya bisa mendesah keras. "Kau ngapain sih!? Jangan bilang kau mau mencuri!"
"Ssst, diam dulu, nona. Gua sedang fokus di sini," balas Aditya sambil terus memeriksa.
Setelah beberapa menit, ia akhirnya berhenti di depan sebuah motor tua dengan kunci masih menggantung di kontak. Wajahnya langsung berseri-seri seperti menemukan harta karun. "Jackpot! Yang gua cari akhirnya ketemu!"
Dengan cepat, Aditya naik ke atas motor itu, menyalakannya dengan sekali putar kunci. Mesin motor itu menderu kasar, tapi tetap menyala. Aditya menoleh ke arah Khu dengan senyum kemenangan. "Ayo naik, sekarang lu nggak perlu capek-capek terbang lagi. Gua bonceng aja."
Khu hanya melayang di tempat, menatapnya dengan ekspresi datar yang penuh penolakan. "Pertama, aku tidak membutuhkan kendaraan manusia seperti ini. Kedua, kau sadar ini tindakan kriminal, kan?"
Aditya hanya mengangkat bahu. "Kau bilang sendiri kita harus sampai Yogyakarta secepatnya. Ini namanya inisiatif, Khu. Lagian, di situasi kayak gini, siapa yang peduli soal kriminal? Dunia udah hancur, oke?"
Khu masih melayang dengan ekspresi tidak percaya. "Aku rasa aku mulai mengerti kenapa kau sering kena masalah..."
Aditya menginjak pedal gas, membuat motor itu melaju sedikit tersentak. "Ayo dong, Khu. Kalau lu mau cepat sampai, ini adalah solusi. Kalau nggak mau ikut, ya terbang aja di belakang gua."
Khu menghela napas panjang, akhirnya menyerah. Ia melayang ke belakang Aditya, duduk dengan gaya seolah motor itu benar-benar bisa menopangnya. "Baiklah, tapi kalau ini membuat kita dikejar orang—atau monster—aku tidak akan menyelamatkanmu."
"Santai aja. Kalau monster liat kita, mereka pasti bakal mikir gua ini rider legendaris!" Aditya tertawa sambil menggeber motor tua itu, yang langsung melaju dengan kecepatan tidak seberapa tapi penuh getaran, membuat Aditya dan Khu bergoyang di atasnya.
Motor itu melaju perlahan di jalanan yang penuh dengan puing-puing dan reruntuhan, dengan Aditya bersiul riang dan Khu hanya bisa memutar bola matanya. "Kalau kita berhasil selamat sampai Yogyakarta dengan kendaraan ini, aku benar-benar akan mempertanyakan keadilan di dunia ini," gumam Khu pelan.
"Hei, tenang aja, ini namanya survival skill! Belajar dari yang terbaik, Khu!" Aditya menepuk-nepuk stang motor sambil tertawa. Suara deru motor tua itu menjadi iringan perjalanan mereka yang aneh namun penuh tekad, menuju Yogyakarta dengan cara paling absurd yang bisa dibayangkan.
Beberapa jam telah berlalu, dan jalanan semakin gelap seiring malam merayap. Aditya masih memacu motor tua itu dengan fokus penuh, matanya memandangi jalan yang sepi. Suasana hening di sekitar mereka, hanya terdengar suara mesin motor yang bergema pelan di malam yang sepi.
Khu yang biasanya ceria atau penuh bicara, kali ini terlihat diam. Kepala kecilnya bersandar di punggung Aditya, tubuhnya memeluk erat bagian belakang tubuhnya. Tangan kecil Khu secara perlahan mengelus punggung Aditya dengan gerakan lembut, seolah memberikan semacam kenyamanan yang tak terucap.
"Mhm..." Khu mendesah pelan, suaranya hampir tak terdengar di balik deru mesin motor.
Aditya, yang merasa ada yang aneh dengan suasana ini, melirik ke belakang sejenak. Khu tampak lebih tenang dari biasanya, bahkan lebih pasif. Ada yang berbeda dalam cara mereka berdua bersama malam itu.
"Khu... Lu kenapa?" Tanya Aditya, sedikit heran.
Khu tidak langsung menjawab. Ia hanya mendongak sebentar, matanya memandang ke langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang bersinar samar. Lalu, dia kembali menunduk, hampir seperti menyembunyikan ekspresi dalam dirinya.
"Aku hanya... merasa nyaman," Khu akhirnya berkata, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kadang-kadang, aku merasa... agak kesepian. Tapi sekarang... aku merasa sedikit lebih tenang."
Aditya terkejut dengan kata-kata itu. Khu, dewa kekosongan yang selama ini penuh dengan kekuatan dan tak terbendung, ternyata memiliki sisi yang lebih lembut. Untuk pertama kalinya, Aditya merasakan kedekatan yang berbeda—sesuatu yang lebih manusiawi, meskipun itu datang dari entitas yang sangat kuat dan misterius.
Aditya tersenyum tipis, tanpa mengatakan apa-apa. Ia melaju lebih hati-hati, memberi ruang bagi keduanya untuk menikmati ketenangan ini, bahkan jika hanya sejenak. Khu, meskipun jarang menunjukkan sisi emosionalnya, kini seperti membiarkan dirinya lepas, membiarkan kehadirannya di dunia ini menjadi sedikit lebih ringan.
Suasana malam yang tenang itu seolah menjadi saksi bisu bagi keduanya. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi—hanya kesenyapan yang terasa penuh makna di antara mereka.
Aditya kembali menatap jalanan, tetapi kali ini dengan rasa yang berbeda. Dalam petualangan yang penuh bahaya dan ketidakpastian, ada sedikit kehangatan yang tumbuh di antara mereka. Dan itu, meskipun tidak tampak jelas, adalah sebuah perubahan kecil yang besar artinya.
Aditya terdiam sejenak mendengar perkataan Khu yang cukup berat itu. Motor terus melaju di jalanan malam, dan meskipun hanya suara mesin yang terdengar, Aditya bisa merasakan perasaan Khu yang mendalam. Ia menoleh sejenak, mencoba menangkap ekspresi yang tersembunyi di balik kata-katanya.
"Kau tahu, Aditya," Khu melanjutkan, suara tangannya yang lembut seolah mengisi ruang kosong di dalam udara malam, "perasaan seperti ini... aku terakhir kali merasakannya sudah sangat lama sekali. Waktu aku masih bersama mereka—aspek-aspekku, anak buahku—mereka yang selalu ada di sisi ku, yang selalu melayani dan mengikuti perintahku, yang siap melakukan apapun demi namaku."
Ada kesedihan samar yang tersirat dalam suaranya. Khu, yang biasanya penuh dengan kekuatan dan aura tak terbendung, kini terdengar lebih rapuh. Suaranya pelan dan penuh kenangan, seolah menyiratkan seberkas penyesalan yang tersembunyi jauh di dalam hatinya yang abadi.
Aditya, yang tidak tahu harus berkata apa, merasakan ketegangan itu. Ia merasa seperti Khu sedang berbicara lebih dari sekadar kata-kata biasa. Seolah ada kisah lama yang kembali menggelayuti dirinya, sebuah cerita yang mungkin tak pernah terungkapkan sepenuhnya sebelumnya.
"Mereka selalu ada, menantikan perintahku, memberi semuanya hanya untuk melihatku berdiri di atas takhta kekuasaan," lanjut Khu, matanya kini seolah menerobos kegelapan malam, melihat jauh ke dalam dimensi yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa. "Mereka adalah bagian dari takdirku... dan aku adalah takdir mereka. Tanpa mereka, aku... merasa kosong."
Aditya terdiam, merenungkan kata-kata Khu. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Bagaimana bisa seseorang seperti Khu, yang begitu kuat dan luar biasa, merasakan kekosongan itu? Ia tidak tahu jawaban pasti, tapi ia merasa sedikit lebih dekat dengan pemahaman tentang Khu—tentang entitas yang selama ini menemani perjalanan hidupnya.
"Gua tidak tahu banyak tentang aspekmu atau anak buahmu," kata Aditya akhirnya, dengan nada lembut. "Tapi gua tahu satu hal... kau punya sesuatu yang lebih penting dari itu."
Khu menoleh, merasa ada sesuatu dalam nada suara Aditya yang berbeda. "Apa itu?" tanyanya, seolah penasaran.
"Lu punya kemampuan untuk membuat pilihan sendiri," jawab Aditya, dengan senyum tipis. "Dan lu tidak sendirian sekarang. Kita berdua ada di sini, berjuang bersama. Mungkin itu sudah cukup."
Khu terdiam sejenak, lalu suara lembutnya kembali terdengar. "Kau manusia memang tidak tahu malu, Aditya. Tapi... terima kasih."
Aditya tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega. Meskipun mereka berada di dunia yang penuh dengan ancaman dan ketidakpastian, ada sesuatu yang lebih manusiawi di antara mereka. Sebuah ikatan yang tak tergoyahkan oleh takdir, meskipun itu tampaknya terjalin begitu samar.
Motor itu terus melaju, melintasi malam yang gelap, dengan Khu dan Aditya berjalan dalam perjalanan yang lebih jauh dan penuh makna.