Aditya menguap panjang sambil berdiri, lalu meregangkan tubuhnya seperti orang yang baru bangun tidur di pagi hari, padahal mereka sedang berada di reruntuhan. "Obrolan yang menyenangkan, Khu. Serius deh, nggak nyangka punya partner kayak kamu itu bisa seseru ini."
Khu, yang melayang dalam wujudnya yang seperti kabut gelap, menghela napas panjang dengan nada datar. "Itu karena aku membiarkanmu bicara tanpa batas. Kalau aku menyela setiap kali kau membuat lelucon bodoh, kita tidak akan pernah menyelesaikan apa pun."
Aditya menatap Khu dengan senyum licik. "Wah, wah. Mulai ada nada kesal ya? Jangan-jangan lu mulai terbiasa sama gua? Jangan-jangan lu kangen kalau gua nggak ada?"
"Jangan terlalu percaya diri, Aditya," balas Khu dengan nada dingin, meskipun ada sedikit kehangatan tersembunyi di baliknya. "Aku bertahan karena terpaksa. Kalau ada pilihan lain, aku pasti memilih pejuang yang lebih layak."
Aditya tertawa kecil, lalu meregangkan bahunya lagi. "Yah, nasib lu aja buruk, Khu. Tapi serius deh, gua nggak keberatan. Punya kau di kepala gua itu kayak punya asisten pribadi. Gua tinggal ngomong, dan lu langsung kasih solusi."
Khu melayang lebih dekat, lalu menatap Aditya dengan intens. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau mulai mendengarkan saranku lebih sering? Kau selalu mengabaikan strategi yang kuberikan, dan itu membuat kita hampir mati berkali-kali."
Aditya mengangkat tangan seolah menyerah. "Oke, oke. Gua bakal dengerin lebih sering, bos besar. Tapi ngomong-ngomong, lu sadar nggak? Kita udah ngobrol begini terus dari tadi, tapi gua belum tahu lu pernah punya teman sebelumnya atau nggak. Atau... gua satu-satunya yang cukup spesial buat lu?"
Khu menggeram pelan, seperti mencoba menahan amarah. "Kau adalah salah satu manusia paling menyebalkan yang pernah kutemui, Aditya. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa terlalu menyesal memilihmu."
Aditya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi penuh kemenangan. "Ha! Liat kan? Akhirnya lu ngaku juga kalau gua itu hebat!"
Khu mendesah panjang, seperti sudah menyerah berdebat. "Ayo jalan lagi, Aditya. Jika terus seperti ini, kau hanya akan membuang waktu. Dunia ini tidak akan menunggu orang yang suka bercanda."
Aditya tersenyum sambil menyesuaikan tasnya, lalu mulai berjalan. "Santai, Khu. Kalau gua mati, gua pasti mati dengan gaya. Tapi, tenang aja, gua bakal bikin lu bangga."
"Itu harapanku," gumam Khu, lalu kembali masuk ke dalam tubuh Aditya. "Tapi ingat, gaya tidak akan menyelamatkanmu dari pedang lawan."
Aditya berjalan sambil bersenandung dengan semangat, suaranya bergetar tidak jelas mengikuti nada yang dia ciptakan sendiri. "Lala~ hidup di dunia aneh~ penuh monster~ makan mie instan~ terus jalan tanpa tujuan~!"
Khu menghela napas panjang dari dalam kepala Aditya, suaranya penuh kelelahan. "Aditya... serius, kalau kau ingin bernyanyi, setidaknya pilih lagu yang punya nada."
Aditya tertawa kecil sambil terus bersenandung. "Eh, gua ini penyanyi alami, tahu! Ini suara emas, Khu! Kalau ada audisi di dunia ini, gua pasti menang telak."
Khu tidak tahan lagi dan langsung menyela. "Kalau kau terus bernyanyi seperti itu, monster yang bahkan tidak peduli dengan manusia mungkin akan datang hanya untuk menghentikan suaramu!"
Aditya berhenti sejenak, menatap ke kejauhan dengan ekspresi pura-pura serius. "Hmm, berarti suara gua punya efek area ya? Bisa mengusir Aberasi juga gak kira-kira?"
"Tidak, suara itu lebih mungkin mengundang mereka karena mereka mengira kau adalah makhluk terluka yang butuh dihabisi," balas Khu tajam.
Aditya tertawa keras, lalu melanjutkan nyanyiannya dengan lirik konyol. "Lihatlah, si Khu~ dia pendiam tapi cerewet~. Khu si dewa besar~ ternyata gak tahan sama suara manusia!"
Khu mendesah keras, mencoba tetap sabar. "Jika aku masih memiliki tubuh fisik sekarang, aku sudah menamparmu sejak tadi."
Aditya berhenti. "Sayang banget ya, lu gak punya tubuh? Kalau lu punya, mungkin kita bisa bikin grup duo terkenal. Nama grupnya apa ya? 'Aditya & The Shadow King'?"
Khu menahan diri dari meledak marah. "Nama itu terlalu buruk untuk disebutkan. Sekarang diamlah, manusia. Kau benar-benar membuatku ingin kembali ke dimensi kekosongan."
Aditya tertawa lagi sambil melanjutkan langkahnya. "Ayolah, Khu. Lu tahu, perjalanan ini bakal ngebosenin banget kalau gua gak nyanyi. Jadi, terima aja lu punya teman yang multitalenta!"
Aditya terus bernyanyi tanpa henti, bahkan menambahkan tarian kecil sambil berjalan. "Oh, si Khu~ dewa misterius~ yang cerewet tapi nggak punya fisik~!"
Tiba-tiba, tubuh Aditya terasa dingin. Aura gelap muncul di sekitarnya, dan sebelum dia sempat bereaksi, Khu keluar dari tubuhnya. Kali ini, dia muncul dalam wujud seorang gadis cantik dengan rambut panjang hitam yang berkilau seperti malam tanpa bintang, mengenakan jubah hitam megah yang tampak berkibar meskipun angin tidak bertiup. Wajahnya penuh dengan ketenangan menyeramkan.
Tanpa sepatah kata, Khu melangkah mendekat, tangan kanannya terangkat perlahan, lalu—PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Aditya. Suaranya bergema di jalanan yang kosong.
Aditya terpaku di tempatnya, memegang pipinya dengan ekspresi kaget campur tidak percaya. "K-Khu!? Lu serius!?"
Khu, dengan ekspresi dingin dan tanpa emosi, mengusap tangannya seolah-olah baru saja membersihkan kotoran. "Akhirnya. Aku sudah lama menunggu momen ini." Suaranya tenang tapi penuh dengan ancaman tersembunyi.
Aditya masih terkejut, matanya berkedip cepat. "Lu keluar dari tubuh gua... hanya untuk nampar gua? Apa gua sebegitu nyebelinnya?"
Khu menatapnya dengan tatapan tajam seperti bilah pedang. "Tidak. Kamu lebih dari itu. Aku hanya tidak tahan lagi dengan nyanyianmu yang terdengar seperti kombinasi monster yang sekarat dan angin berisik di malam hari."
Aditya memutar bola matanya, mencoba mengubah situasi. "Eh, tapi gua kan cuma bikin suasana jadi lebih hidup. Lagian, gak ada musik di sini!"
Khu melipat tangannya, suaranya tetap dingin. "Lebih baik keheningan daripada suara yang bisa membangunkan Aberasi dari radius satu kilometer."
Aditya menyipitkan mata, pura-pura kesal. "Wah, jadi lu segitu sensitifnya sama suara emas gua? Lagian, gua pikir lu gak bisa pegang fisik di dunia ini."
Khu mendekatkan wajahnya dengan senyum tipis, tapi ada kegelapan di matanya. "Aku tidak bisa menyentuh dunia fisik... kecuali aku benar-benar muak. Dan tadi, Aditya, aku mencapai batasku."
Aditya menelan ludah, mundur selangkah. "Oke, oke, gua salah. Gak ada nyanyi lagi, puas? Tapi lu tahu gak, tamparan lu tadi kayak dewa yang bener-bener ngamuk, loh."
Khu menghela napas, kembali ke dalam tubuh Aditya tanpa berkata apa-apa lagi. Namun sebelum benar-benar menghilang, suaranya terdengar pelan di kepala Aditya. "Dan kalau kau bernyanyi lagi, Aditya, aku akan keluar lagi. Tapi kali ini, aku akan menendangmu."
Aditya berdiri diam beberapa detik sebelum akhirnya mendesah. "Hidup dengan dewa kekosongan ternyata lebih ribet dari yang gua kira..."
Aditya terus melangkah di tengah jalan yang mulai sunyi. Angin malam menerpa wajahnya, membawa sesuatu yang membuatnya berhenti mendadak. Ia mengernyit, mengendus udara. "Ugh... Bau apa ini? Kok kayak bau bangkai?" gumamnya sambil menutup hidung.
Khu, yang selalu tenang, merespons dengan nada serius. "Aditya, hati-hati. Bau seperti ini biasanya menandakan sesuatu yang buruk."
Aditya melanjutkan langkahnya, rasa penasaran bercampur waspada. Bau itu semakin menyengat, menusuk hingga ke tenggorokannya. Matanya membelalak saat ia melihat genangan cairan gelap yang mengilap di bawah sinar bulan. "Itu... Darah!? Banyak banget!"
"Diam, bodoh! Jangan berteriak! Kau mau menarik perhatian sesuatu?" gertak Khu dengan nada tegas.
Langkah Aditya melambat, dan setiap pijakannya terasa semakin berat. Genangan darah itu terus bertambah besar, membentuk jejak menyeramkan di jalanan. "Khu... Ini darah siapa? Apa yang bisa bikin begini?" bisiknya pelan, namun kegelisahan mulai merayap di suaranya.
Lalu, di depannya, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya membeku. Potongan tubuh manusia berserakan di jalan, seolah baru saja dikoyak-koyak oleh sesuatu yang tidak manusiawi. Lengan, kaki, dan potongan tubuh lainnya tersebar tanpa ampun, dilumuri darah segar. Wajah Aditya memucat. "A-apa ini...!? Ini pembantaian!?"
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sesuatu di atas menarik perhatiannya. Suara berdengung rendah, berat, dan menyeramkan terdengar. Ia mengangkat kepala dan melihat sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti.
Hinggap di gedung tinggi di depannya, seekor capung raksasa menatap ke arah jalanan dengan mata majemuk yang memancarkan cahaya merah menyala. Tubuhnya sebesar truk kontainer, dengan sayap transparan berkilauan yang memantulkan cahaya bulan seperti kaca retak. Rahang besar di bawah kepalanya terbuka, meneteskan cairan kehijauan yang berasap, seolah bisa melelehkan apapun yang disentuhnya.
Aditya mundur perlahan, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. "Khu... Apa-apaan itu!? Capung!? Tapi... kok gede banget!?"
Khu menjawab dengan nada serius dan waspada. "Itu bukan capung biasa. Itu Aberasi kelas predator. Makhluk seperti itu tidak hanya memburu manusia, tetapi juga menghancurkan apapun di sekitarnya. Kau harus segera pergi, Aditya. Ini di luar kemampuanmu sekarang."
Namun, suara dengung sayap capung itu berubah, semakin cepat, dan semakin keras. Getaran di udara membuat jendela-jendela di gedung sekitar mulai bergetar dan pecah. Aditya terpaku di tempatnya, melihat makhluk itu perlahan memutar kepalanya ke arahnya. Mata merah itu menatap langsung padanya, penuh dengan insting membunuh.
"Oh tidak... Dia melihat kita!" bisik Aditya dengan suara bergetar.
Khu berseru tegas. "LARI, SEKARANG! JANGAN BERDIAM DIRI, BODOH!"
Aditya langsung berbalik dan berlari secepat yang ia bisa, suara langkah kakinya teredam oleh dengungan sayap capung itu yang kini semakin mendekat.
"Oh sial, sial, sial, sial!" Aditya berlari sekuat tenaga, napasnya memburu saat ia menyelip ke gang sempit di antara dua bangunan tua yang hampir runtuh. Bayangan capung raksasa itu membayanginya dari atas, sayapnya menciptakan dengungan yang memekakkan telinga. Serpihan debu dan pecahan genting berjatuhan akibat getaran kuat yang dihasilkan makhluk itu.
"Khu! Kita harus apa!? Ini capung atau helikopter sialan!?" teriak Aditya panik, matanya liar mencari jalan keluar.
"Tenang, bodoh! Panik hanya akan membuatmu mati lebih cepat!" bentak Khu dengan nada tajam. "Cari tempat untuk bersembunyi atau menyerangnya dengan sesuatu! Jangan hanya berlari seperti tikus dikejar kucing!"
Aditya berbelok lagi, kali ini ke gang yang lebih gelap, hanya diterangi samar-samar oleh cahaya bulan. Dengungan itu semakin mendekat, dan dengan satu hentakan, capung raksasa itu menukik ke tanah, menghantam jalan di belakangnya dengan rahangnya yang besar. Ledakan suara dan pecahan aspal menghujani punggung Aditya. "GILA! Itu hampir mengenai gue!" jeritnya, nyaris kehilangan keseimbangan.
Capung itu berputar cepat, sayapnya bergetar seperti pisau blender. Sekali lagi, ia mengejar Aditya, rahangnya terbuka, mengeluarkan cairan kehijauan yang jatuh dan melubangi jalanan seperti asam. "Khu, kau bilang apa tadi? Menyerangnya? Lu pikir gue punya bazoka di kantong, hah!?"
Khu mendengus, suaranya terdengar jelas di kepala Aditya meski situasi semakin kacau. "Aku punya ide. Gunakan lampu jalan di depan sana!"
Aditya menoleh cepat ke arah yang dimaksud Khu, melihat tiang lampu jalan tua yang masih berdiri kokoh di ujung gang. Sebuah ide gila terlintas di pikirannya. "Lu bercanda? Apa aku harus menjatuhkan tiang itu!?"
"Ya, itulah rencananya! Pancing dia ke sana dan robohkan tiangnya. Itu akan memperlambatnya—mungkin." Nada Khu penuh percaya diri, tapi Aditya tahu bahwa rencana ini hanya setipis harapan.
"Baiklah, kalau gua mati, gua bakal nyalahin lu di akhirat!" Aditya mempercepat langkahnya, berlari menuju tiang lampu itu. Dengungan capung raksasa semakin dekat, suaranya seperti gong besar yang dipukul berulang-ulang di telinganya.
Begitu mencapai tiang, Aditya langsung melompat dan meraih batangnya. Dengan segala tenaga yang ia miliki, ia mulai menggoyangkan tiang lampu itu. "Ayo dong, roboh! Jangan bikin gua tambah sial malam ini!"
Capung raksasa itu menukik lagi, rahangnya terbuka lebar, siap mencabik Aditya. Tiang itu mulai berderit, tapi tidak cukup cepat. "Khu! Gimana kalau ini gak berhasil!?"
"Maka kau akan jadi camilan malamnya. Jadi jangan berhenti, manusia bodoh!"
Dengan satu hentakan terakhir, tiang itu akhirnya roboh. Aditya melompat mundur dengan teriakan panik, saat tiang lampu itu jatuh menghantam sayap capung raksasa yang sudah berada terlalu dekat. Suara logam yang remuk bercampur dengan dengusan marah makhluk itu menggema di gang. Sayapnya terjepit, membuatnya kehilangan keseimbangan dan menghantam dinding gedung dengan keras, menciptakan retakan besar di tembok.
Aditya terhuyung, menatap makhluk itu yang berjuang untuk melepaskan diri. "Ha... ha... Gila, gua berhasil! Gua berhasil!" Ia tertawa terengah-engah, wajahnya penuh keringat dan debu.
Namun, Khu memotong euforia itu dengan peringatan dingin. "Jangan terlalu cepat senang, Aditya. Aberasi seperti itu tidak akan mati hanya karena tiang lampu. Kita harus kabur sekarang juga sebelum dia pulih."
Aditya mengangguk cepat, lututnya masih gemetar, lalu berlari meninggalkan gang itu. Dari belakang, ia bisa mendengar capung raksasa itu mengeluarkan suara meraung, memekik dengan penuh amarah, seolah berjanji untuk memburu dan membalas dendam. "Ya Tuhan... Ini hari terburuk dalam hidupku."
Saat Aditya berlari, suara gemuruh di belakangnya semakin keras. Ia melirik ke belakang dan matanya membelalak. "Sialan! Dia lepas lagi!" teriaknya, saat capung raksasa itu melepaskan diri dari puing-puing tiang lampu dan menukik ke arahnya seperti rudal hidup.
Makhluk itu menerjang dengan rahangnya terbuka, siap mencabik Aditya. Dengan reflek cepat, Aditya melompat ke samping, hampir terguling ke tanah. "Hampir aja gua jadi makanan serangga sialan ini!" napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan kencang.
"Aditya, dengarkan aku!" Suara Khu menggelegar di kepalanya, penuh urgensi. "Kita tidak punya pilihan lain. Kalau kamu terus lari, makhluk ini akan terus mengejar dan akhirnya membunuhmu. Kamu harus melawannya!"
Aditya menoleh dengan wajah tegang, matanya menyipit. "Melawan? Apa kau gila!? Itu capung raksasa, bukan nyamuk biasa yang bisa gua teplak pakai sandal!"
"Berhenti mengeluh, manusia! Ingat siapa kamu sekarang. Kamu bukan hanya Aditya, seorang siswa SMA biasa. Kamu adalah orang yang terpilih untuk menggunakan kekuatanku. Waktunya untuk membuktikan dirimu!"
Aditya menggerutu, keringat mengalir di pelipisnya. Tapi dia tahu, Khu benar. Kalau dia terus menghindar, dia hanya menunda kematian. Ia berdiri tegak, merasakan darahnya mendidih. "Baiklah, kalau ini memang maumu... Ayo kita coba!"
Tubuh Aditya mulai memancarkan aura gelap yang berputar seperti pusaran angin di sekelilingnya. "Aura ini... selalu bikin merinding," gumamnya. Tangannya mengepal kuat, energi purba yang ia warisi dari Khu mengalir deras ke dalam tubuhnya. "Khu, ini kekuatanmu, kan? Ayo kita pastikan ini berguna!"
Capung raksasa itu mengeluarkan raungan menggelegar, matanya yang besar berkilauan merah menyala, seolah mengejek keberanian Aditya. Makhluk itu kembali menerjang, sayapnya bergetar kencang seperti gergaji mesin yang siap merobek apapun di depannya.
Aditya tidak lari. Kali ini, dia berdiri kokoh, menunggu dengan tatapan dingin. Tepat sebelum makhluk itu mencapai dirinya, Aditya melompat tinggi, memanfaatkan aura gelapnya untuk mendorongnya ke udara. Ia mendarat di punggung makhluk itu dengan kecepatan luar biasa. "Hah! Dapat juga, dasar serangga sialan!"
Makhluk itu berontak liar, mengayunkan tubuhnya untuk melempar Aditya. Tapi Aditya menancapkan tangannya yang berlumur aura gelap ke punggung makhluk itu, mencengkeram erat seperti jangkar. "Kau pikir gua bakal jatuh segampang itu!?" teriaknya sambil memukul tubuh capung itu dengan energi gelap.
Serangga itu melesat ke udara, mencoba menjatuhkan Aditya dari ketinggian. Angin kencang menerpa wajahnya, tapi Aditya hanya menggigit bibirnya, menahan terjangan angin dan gravitasi. "Oke, sekarang atau tidak sama sekali!"
Capung raksasa itu melesat dengan kecepatan luar biasa, memiringkan tubuhnya dan menghantam Aditya ke sisi gedung. Benturan keras itu mengguncang seluruh bangunan, kaca-kaca pecah berhamburan, dan Aditya terlempar masuk ke dalam gedung seperti boneka kain. Ia berguling beberapa kali di lantai penuh debu sebelum akhirnya berhenti, tubuhnya terasa remuk.
"Ugh, sial! Makhluk itu melarikan diri!" Aditya mengerang sambil bangkit berdiri, menggertakkan gigi.
"Biarkan saja, Aditya!" Suara Khu bergema di pikirannya, terdengar tegas namun mendesak. "Kamu masih hidup, itu sudah cukup. Jangan cari mati hanya karena egomu!"
Namun Aditya mengabaikannya. Matanya menyala dengan determinasi, kemarahan bercampur adrenalin. "Gua nggak bisa biarin makhluk itu kabur, Khu. Kalau gua nggak menghentikannya sekarang, siapa tahu apa yang bakal dia hancurkan berikutnya!"
Aditya mulai berlari, meskipun rasa sakit menusuk setiap sendinya. Debu dan pecahan kaca di lantai menggores sepatunya saat dia menembus lorong-lorong gelap gedung itu. Langkahnya semakin cepat ketika dia mendengar suara gemuruh dari luar—capung raksasa itu kembali terbang, sayapnya bergetar seperti badai kecil.
"Aditya, kau gila!" teriak Khu di kepalanya. Tapi Aditya hanya tersenyum tipis, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. "Ya, mungkin gua emang gila."
Tanpa ragu, ia mencapai jendela yang pecah dan melompat keluar. Dalam sekejap, angin sore yang dingin menerpa wajahnya. Tubuhnya meluncur ke bawah dengan gravitasi yang mencekam, tetapi matanya tetap terkunci pada satu target: sayap capung itu yang berkilauan di bawah sinar bulan.
"Sekarang atau nggak sama sekali!" Aditya berteriak, mengaktifkan aura hitam yang melingkupi tubuhnya, memperlambat jatuhnya dan memberikan dorongan ekstra. Dia mengulurkan tangan, dan dengan reflek yang hampir mustahil, ia berhasil mencengkeram salah satu sayap capung itu.
"Hah! Dapat kau!" teriaknya dengan penuh kemenangan, meskipun tubuhnya langsung terasa terguncang hebat karena makhluk itu berontak, mencoba melepaskannya. Sayap capung itu terasa kasar dan bergetar, hampir membuat tangannya mati rasa.
Makhluk itu mulai terbang liar, berputar-putar di udara untuk mengguncang Aditya lepas. Setiap gerakan terasa seperti badai, angin kencang menerpa wajah dan tubuhnya. Namun Aditya tidak menyerah. Dengan satu tangan mencengkeram erat sayap, tangan lainnya mulai memadatkan aura hitam menjadi senjata improvisasi.
Aditya mengerahkan seluruh kekuatan aura hitam di tangannya, menciptakan pisau tajam berwarna pekat yang berdenyut seperti makhluk hidup. "Mati kau, serangga raksasa sialan!" teriaknya penuh amarah, sementara tangannya yang lain tetap mencengkeram erat sayap capung yang bergetar hebat, hampir membuat tubuhnya terlempar.
Makhluk itu berontak semakin liar, menerjang ke udara dengan gerakan yang memusingkan, mencoba menyingkirkan Aditya. Angin dari kepakan sayapnya menciptakan badai kecil, menghancurkan kaca-kaca gedung di sekitar.
Namun, Aditya tidak goyah. Ia menancapkan pisau aura hitamnya tepat ke bagian punggung capung itu, di antara sayapnya. Pisau itu menembus keras, memercikkan cairan hijau pekat yang menyembur keluar seperti ledakan minyak. Makhluk itu mengeluarkan suara menggelegar—seperti teriakan kemarahan bercampur rasa sakit yang mengguncang telinga.
"Kena kau!" teriak Aditya, meskipun tangannya terasa gemetar akibat getaran tubuh makhluk itu. Ia memutar pisau itu lebih dalam, memastikan serangan itu menghantam titik vitalnya. "Merasa sakit, hah? Rasakan!"
Capung raksasa itu mulai kehilangan keseimbangan. Sayapnya yang sebelumnya berputar kencang kini bergerak tidak stabil, dan tubuhnya mulai melayang turun ke arah gedung-gedung di bawah. Aditya terseret bersama makhluk itu, tangannya masih mencengkeram erat pisau aura di punggungnya.
"Aditya, kau gila!" Khu berseru dalam kepalanya. "Kalau dia jatuh, kau juga akan ikut mati!"
"Setidaknya gua nggak mati tanpa melawan!" jawab Aditya dengan suara yang bercampur antara keberanian dan nekat. Ia menarik pisau itu dan menikamnya lagi, kali ini ke bagian kepala capung. Setiap serangan membuat cairan hijau lebih banyak menyembur, membasahi tubuh Aditya.
Dengan teriakan terakhirnya, Aditya mengerahkan seluruh kekuatan untuk satu tusukan pamungkas, langsung ke inti tubuh makhluk itu. "MATI KAU!" serunya, pisau aura hitamnya memancarkan kilauan tajam sebelum menghilang ke dalam tubuh capung.
Makhluk itu mengeluarkan suara melengking mengerikan, tubuhnya melengkung ke belakang, lalu sayapnya berhenti bergerak. Tubuh raksasanya kehilangan tenaga sepenuhnya, dan ia mulai jatuh bebas ke tanah.
Aditya, masih mencengkeram punggung makhluk itu, merasakan angin kencang menghantam wajahnya. "Khu! Sekarang bantu gua! Kalau nggak kita berdua tamat!"
Tubuh Aditya tergeletak di atas puing-puing beton, napasnya tersengal-sengal. "Ugh... Sial! Rasanya kayak dilempar ke truk lalu digiling ulang," keluhnya, mencoba bangkit meski seluruh badannya terasa remuk.
Tiba-tiba, Khu keluar dari tubuhnya dalam wujud fisik. Aura gelap yang menyelimutinya seperti kabut hitam yang bergerak hidup. Dengan sekali sentakan tangan, Aditya merasakan tubuhnya terangkat ke udara.
"Oi, oi, tunggu sebentar! Apa-apaan ini!?" Aditya berteriak panik saat tubuhnya melayang tanpa dia bisa menggerakkannya. "Gila! Apa lu punya kekuatan telekinesis atau apa!?"
Khu hanya mendengus dingin, melayang di udara dengan tenang. "Bukan telekinesis, bodoh. Aku hanya bosan melihatmu merangkak seperti cacing yang hampir mati." Dengan satu gerakan tangannya, Khu mengayunkan tubuh Aditya seperti boneka, membuatnya hampir terjatuh.
"WOI, JANGAN MAIN-MAIN GITU!" teriak Aditya dengan nada marah, meskipun suaranya sedikit bergetar karena ngeri.
Namun, Khu tidak menjawab. Dengan satu lompatan anggun, dia melayang turun ke daratan sambil membawa Aditya seperti balon yang diikat tali. Saat mencapai tanah, Khu menjentikkan jarinya, dan Aditya langsung terlempar ke atas tumpukan puing dengan bunyi "thud!" keras.
"Aduh, gua nggak diletakkan, gua dilempar!" gerutu Aditya, mengusap punggungnya yang sakit.
"Diam," balas Khu dengan suara tajam. Dia berdiri di hadapan Aditya dengan tatapan tajam seperti es. "Kau pikir bisa terus bertindak seperti idiot dan berharap aku selalu menyelamatkanmu? Kalau kau tidak mulai belajar menggunakan kekuatanmu dengan benar, kau akan mati lebih cepat daripada kau bisa menghitungnya."
Aditya mengangkat tangannya, memberi isyarat menghentikan omelan Khu. "Oke, oke, gua ngerti. Tapi serius, apa tadi lu sengaja mau bikin gua trauma?"
Khu hanya memutar matanya. "Kalau aku ingin melukaimu, kau sudah menjadi abu saat ini. Bersyukurlah aku masih membuang waktu untuk menyelamatkanmu."
Aditya hanya mendengus kecil, lalu berdiri sambil meregangkan tubuhnya. "Ya, ya, terima kasih atas bantuan lu yang luar biasa halus tadi."
Saat itu, suara gemuruh terdengar dari kejauhan, membuat keduanya langsung berhenti. Tanah di bawah mereka mulai bergetar pelan. Khu memutar kepalanya ke arah sumber suara, wajahnya berubah menjadi marah dan jengkel.
"Apa itu?" tanya Aditya, mulai siaga.
Khu melayang di udara, tubuhnya memancarkan aura yang menyesakkan. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa berat, dan ruang di belakangnya perlahan berubah menjadi gelap gulita, seperti dimensi kosong yang keluar untuk melahap segalanya. Cahaya seakan terserap ke dalam kehampaan itu, meninggalkan bayangan pekat yang bergerak seperti makhluk hidup.
"Beraninya ada yang mengganggu ketika aku sedang menasihati inangku!" suara Khu menggema, bukan hanya di udara, tetapi juga di dalam kepala Aditya. Setiap kata yang ia ucapkan membawa tekanan yang membuat tubuh Aditya gemetar tanpa sadar.
Aditya melirik ke arahnya, wajahnya pucat. "Weh buset, apaan tuh!? Dimensi apa yang baru saja keluar!? Khu, jangan sampai gua ikut kena ya!" Dengan panik, dia berlari mencari perlindungan di balik reruntuhan bangunan terdekat, gemetaran sambil mengintip dari celah kecil.
Di udara, Khu mengangkat satu tangan, dan energi hitam pekat berputar di sekelilingnya seperti badai. "Kau pikir dunia ini milikmu untuk diterobos begitu saja? Aku adalah Void Primordial Elder, perwujudan kehampaan itu sendiri! Suaranya dingin, namun penuh wibawa yang tidak bisa dibantah.
Makhluk besar yang muncul dari kegelapan, menyerupai monster berkaki banyak dengan tubuh berlumuran darah, berhenti sejenak di tengah serangan. Mata merah menyala monster itu berkedip-kedip, tampak ragu untuk maju.
Khu mengayunkan tangannya ke depan, dan bayangan dari belakangnya langsung menyergap ke arah makhluk itu seperti cambuk raksasa. "Aku akan menunjukkan kepada dunia ini kenapa aku ditakuti, bahkan oleh mereka yang menguasai cahaya dan kegelapan!"
Makhluk itu mencoba melawan, mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga, tapi sia-sia. Bayangan itu menembus tubuhnya, menyedot energi dari dalamnya seperti spons menyerap air. Monster itu menjerit, tubuhnya bergetar hebat sebelum mulai terpecah menjadi partikel kecil yang terhisap ke dalam kehampaan Khu.
Aditya, yang mengintip dari balik reruntuhan, hanya bisa menelan ludah. "Gila... itu apa barusan? Dia nggak pake tenaga, cuma nyuruh bayangan itu kerja! Ini bukan lagi game, ini udah level 'dewa pembantai'!"
Khu perlahan menoleh ke arah Aditya, matanya bersinar dalam kegelapan seperti dua titik api putih yang dingin. "Aditya, keluar dari tempatmu bersembunyi. Aku tidak akan mengulang perintah dua kali."
"Eh, gua aman kan kalau keluar? Lu nggak bakal bikin gua jadi abu, kan?" Aditya mengangkat tangannya dengan gemetar sambil keluar dari persembunyiannya.
"Bodoh." Khu melayang turun, dimensi hitam di belakangnya perlahan memudar. "Kalau aku ingin menghabisimu, kau sudah tidak akan ada di sini untuk bercanda."
Aditya hanya tertawa kering sambil mengusap lehernya. "Noted, jangan ganggu Khu kalau dia lagi ngamuk. Dan gua harus inget ini pelajaran hidup penting."
"Tunggu, kalau lu sekuat itu, kenapa dari tadi nggak bantu gua!?" Aditya menunjuk ke arah Khu dengan wajah kesal, napasnya masih tersengal-sengal.
Khu hanya melayang di udara, menatapnya dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus membantu? Kau kan yang ingin menjadi kuat, bukan?" jawabnya dingin, sambil mengibaskan tangannya seolah pertanyaan itu tidak penting.
"Ya tapi kan beda cerita kalau gua harus lawan monster yang ukurannya sepuluh kali lipat dari gua! Lu tega banget sih!?" Aditya melambaikan kedua tangannya dengan frustasi.
Khu menghela napas panjang. "Aditya, kau tahu apa yang kupelajari dari mengamati makhluk seperti dirimu selama ribuan tahun?"
"Apa!? Bahwa manusia itu lemah?"
"Tidak. Bahwa manusia selalu menyalahkan orang lain untuk masalah mereka sendiri," jawab Khu dengan nada tajam, lalu ia menyilangkan tangannya. "Kau ingin melawan capung raksasa itu sendiri tadi, kan? Jadi, aku hanya menghormati keputusanmu."
Aditya menganga, tidak percaya dengan jawaban itu. "Lu serius!? Itu tadi lu bilang gua harus melawan karena gak ada pilihan lain! Kalau gua tahu ending-nya lu bakal bantu, gua udah dari awal nggak bakal sok jago!"
Khu akhirnya turun ke tanah, berjalan mendekatinya sambil menyilangkan tangan di belakang punggung. "Kalau aku turun tangan dari awal, kau tidak akan belajar apa pun. Lagipula, kau harus terbiasa menghadapi bahaya sendirian. Aku tidak selalu bisa ada untuk menutupi ketidakbecusanmu."
Aditya menatapnya dengan mata menyipit. "Jadi, lu ngajarin gua dengan cara hampir bikin gua mati!? Lu tahu nggak, tadi gua udah mikir 'ini akhir hidup gua' minimal tiga kali!"
Khu memutar matanya. "Drama lagi... Kalau aku tidak yakin kau akan bertahan, aku tidak akan diam saja. Percayalah, aku lebih menghargai waktuku daripada menyelamatkan seseorang yang bahkan tidak bisa mengontrol napasnya setelah lari dua menit."
Aditya mencengkeram rambutnya sendiri sambil mendesah keras. "Ya Tuhan, gua dapet dewa pelindung atau pelatih militer sih sebenarnya!?"
Khu menoleh ke arahnya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Itu terserah bagaimana kau melihatnya, Aditya. Tapi ingat, aku tidak di sini untuk membuatmu nyaman. Aku di sini untuk memastikan kau tidak mati konyol."
"Ah iya, tidak mati konyol katanya. Padahal kalau gua jatuh dari capung tadi, lu pasti cuma bakal bilang, 'tuh kan, bodoh'. Lu tuh luar biasa... bikin kesel." Aditya memunggungi Khu sambil berjalan pergi, tangannya masih mengusap-usap kepalanya yang pening.
Khu hanya menatapnya sambil menghela napas lagi. "Kenapa aku harus terjebak dengan inang paling banyak mengeluh seumur hidupku...?" gumamnya sambil melayang mengikutinya dari belakang.
"Loh kok lu nggak masuk tubuh gua lagi?" tanya Aditya sambil menoleh ke belakang, melihat Khu yang tetap melayang di udara dengan santai.
Khu mendengus, matanya masih terfokus pada Aditya. "Aku lagi mikir. Biasanya kan, kalau aku masuk ke tubuhmu, aku harus ikut merasakan segala kekonyolanmu. Pikiranku bisa jadi rusak hanya dengan mendengarkan ocehanmu."
"Hah!? Jadi lu ngelakuin semua ini karena takut denger gua ngomong!? Udah tau gua lagi butuh bantuan, lu malah jadi... kayak gini?" Aditya menunjuk ke Khu dengan frustrasi.
Khu mengangkat bahunya sambil melayang lebih dekat. "Bukan takut. Aku hanya sedang mencari cara untuk membuatmu lebih mandiri. Kau harusnya belajar menyelesaikan masalah tanpa bergantung padaku."
"Ya, tapi kalau gua gini-gini terus, gue bisa mati! Lu nggak kasihan sama gua, ya?" Aditya berguling di tanah, pura-pura merengek.
Khu menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Ya, kalau kamu mati, siapa yang akan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran, huh?"
Aditya bangkit dari tanah, menatapnya dengan mata berbinar. "Wah, akhirnya ada juga yang bilang gua penting! Jadi, kalau gua mati, dunia bakal hancur ya?"
Khu mendecak ringan, menyilangkan tangan di dada. "Oh, kamu jadi pede sekarang? Tentu saja, dunia akan hancur. Kamu kan yang punya takdir terkutuk itu. Jadi, lebih baik kamu berhenti ngeluh dan mulai mikir gimana caranya bertahan hidup."
Aditya tertawa canggung. "Duh, jadi gua harus jadi pahlawan ya? Gua pikir dulu gua cuma pemain game doang."
Khu menggelengkan kepalanya. "Kau memang pahlawan, tapi dengan cara yang sangat... tidak biasa. Tapi nggak masalah, asal kamu masih hidup, semuanya masih bisa diperbaiki."
Aditya mengangkat tangan, seolah menyerah. "Oke deh, dewa! Kalau lu nggak mau masuk tubuh gua, gua coba jalanin sendiri dulu."
"Itu baru ngomong! Sekarang coba kamu jadi lebih berani, jangan cengeng terus!" Khu melayang lebih tinggi, masih memandang Aditya dengan ekspresi yang sulit diartikan.