Aditya melangkah santai di sepanjang jalan yang dipenuhi reruntuhan, dengan satu tangan memegang sendok dan tangan lainnya menggenggam kaleng makanan. "Khu, lu tahu gak? Makanan kaleng ini rasanya lebih enak dari apa pun yang pernah gua makan selama ini," katanya sambil menyendok isi kaleng dengan lahap.
"Kau hanya lapar, Aditya. Itu alasan utamanya. Kalau kau makan ini saat dunia normal, aku yakin kau akan mengeluh soal rasanya," balas Khu dari dalam kepala Aditya.
Aditya terkekeh. "Mungkin lu benar, tapi tetap aja, gua harus berterima kasih sama kakek tua itu. Tanpa makanan ini, gua mungkin udah jadi fosil di tempat ini." Dia berhenti sejenak, mengangkat kalengnya, dan menatap langit. "Terima kasih, Kek! Lu penyelamat gua!" teriaknya dengan nada bercanda.
Khu mendesah panjang. "Tolong jangan membuat dirimu terlihat seperti orang gila yang bicara pada kaleng, Aditya. Kalau ada Aberasi yang mendengarmu, kita berdua dalam masalah besar."
"Ah, santai aja, Khu. Gua kan punya lu. Kalau ada Aberasi muncul, kita tinggal kasih mereka tamparan kekosongan lu yang keren itu."
"Tamparan kekosongan? Apa itu bahkan terdengar menakutkan?" Khu menggerutu.
Aditya mengabaikan komentar Khu dan terus berjalan. Ia menatap jalan di depannya yang penuh dengan mobil-mobil terbengkalai dan rumput liar yang tumbuh di sela-sela aspal yang retak. Udara dingin sore hari menyelimuti tempat itu, memberikan suasana yang sedikit mencekam.
Saat ia menyendokkan makanan terakhir ke mulutnya, ia memperhatikan bahwa kaleng itu kosong. "Ah, sudah habis. Khu, lu yakin gua gak bakal kelaparan di perjalanan kita berikutnya?" tanyanya sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan.
"Aku tidak bisa menjamin itu, Aditya. Tapi aku yakin kau akan menemukan cara untuk bertahan. Manusia seperti dirimu memang ahli dalam mengatasi kesulitan," jawab Khu dengan nada yang sedikit lebih lembut.
Aditya menatap kaleng kosong itu dengan raut wajah bingung, lalu mendekatkannya ke telinga. "Hmm, suara apa ini? Oh, ternyata suara kehampaan. Ini pasti kerjaan lu, Khu," katanya sambil tertawa kecil.
"Sungguh lelucon yang tidak lucu," balas Khu dengan nada datar. "Aku merasa malu memiliki kontraktor yang pikirannya dipenuhi candaan bodoh."
Aditya hanya mengangkat bahu dan melemparkan kaleng itu ke tumpukan sampah di pinggir jalan. "Sudahlah, Khu. Hidup ini terlalu singkat untuk tidak menikmati momen kecil seperti ini. Sekarang, ayo cari tempat lain untuk istirahat atau sumber makanan berikutnya. Gua gak mau mati gara-gara perut kosong."
Dia melanjutkan langkahnya dengan semangat, meskipun jalan di depan penuh dengan ketidakpastian. Di dalam kepalanya, Khu hanya terdiam, diam-diam menyadari bahwa manusia ini—meskipun terlihat konyol—punya tekad yang luar biasa untuk bertahan hidup, bahkan di tengah dunia yang sudah hancur. "Mungkin aku memilih inang yang tepat," pikir Khu sambil tersenyum kecil dalam kegelapan kekosongan.
Aditya menghentikan langkahnya, menatap lurus ke depan dengan alis yang sedikit berkerut. "Oke, sekarang kita punya dua pilihan. Yogyakarta atau Bali. Cepat pilih," suara Khu terdengar lebih tegas dari biasanya, hampir memerintah.
Aditya mengernyitkan dahi, jelas bingung. "Hah? Yogyakarta atau Bali? Emang kenapa tiba-tiba nanya gitu? Apa lu mau liburan? Kalau iya, gua pilih Bali, setidaknya masih ada pantai!" jawabnya santai sambil melipat tangan di belakang kepala.
"Aditya, ini bukan soal liburan. Kau tahu seberapa serius dunia ini sekarang, kan?" balas Khu dengan nada datar, hampir kesal. "Yogyakarta dan Bali adalah dua titik besar yang terhubung dengan energi purba. Kau harus memilih salah satu. Keduanya punya kelebihan dan risiko masing-masing."
Aditya mengangkat satu alis. "Energi purba? Lu baru ngomong soal ini sekarang? Dari kemarin kayaknya kita cuma lari dari Aberasi dan kelaparan!"
"Karena kau terlalu sibuk makan dan membuat lelucon murahan, makanya aku menunggu momen yang tepat," sindir Khu. "Energi purba itu seperti landasan dari kekuatan dunia ini. Yogyakarta adalah pusat energi spiritual yang bisa memperkuat jiwa dan mentalmu. Sementara Bali adalah tempat dengan energi alam yang liar, cocok untuk memperkuat fisik dan kemampuanmu."
Aditya menghela napas panjang. "Jadi, intinya gua harus memilih mau jadi lebih kuat secara batin atau jadi lebih kuat fisik, gitu? Kenapa rasanya kayak lagi pilih job di game?"
"Ini bukan game, Aditya. Pilihanmu akan menentukan nasib kita ke depan. Dan jangan asal pilih, karena perjalanan menuju keduanya penuh bahaya. Aberasi di sekitar Bali jauh lebih brutal, sementara Yogyakarta memiliki makhluk gaib yang lebih tricky."
Aditya terdiam sejenak, memandangi jalanan kosong di depannya yang dikelilingi reruntuhan. "Hmm… Kalau gua pilih Bali, berarti gua bakal jadi lebih tahan banting. Tapi kalau gua pilih Yogyakarta, gua bisa belajar buat tetap waras di tengah semua ini. Dilematis juga, ya."
"Waktu tidak berpihak pada kita, Aditya. Keputusan harus segera diambil," desak Khu.
Aditya menggaruk kepala, merasa sedikit tertekan. "Oke, gua pilih..." Dia berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil. "Eh, tapi sebelum gua kasih jawaban, lu jawab dulu pertanyaan gua, Khu. Kalau lu di posisi gua, lu bakal pilih mana?"
"Aku? Aku tidak terikat oleh pilihan-pilihan ini. Tapi kalau kau memaksa, aku akan memilih Yogyakarta. Karena, meskipun aku adalah kekosongan, aku butuh inang yang pikirannya tidak mudah hancur," jawab Khu dengan jujur.
Aditya tertawa kecil. "Hah, jadi menurut lu mental gua gak kuat, gitu?"
"Aku tidak bilang begitu, tapi..." Khu terdiam sejenak, mencari kata yang tepat. "... Kau mudah sekali kehilangan fokus. Jadi ya, kau butuh lebih banyak stabilitas daripada sekadar kekuatan fisik."
Aditya menghela napas panjang sambil memandang langit yang sudah mulai memerah karena senja. "Oke, kalau gitu, Yogyakarta. Tapi gua gak janji bakal jadi orang serius kayak biksu, ya. Kalau ada kesempatan, gua tetap mau becanda, Khu."
"Tentu saja. Itu bagian dari kepribadianmu yang unik, Aditya. Tapi jangan lupa, perjalanan ke sana akan penuh tantangan. Jadi bersiaplah," jawab Khu, nadanya kembali serius.
Khu hanya terdiam dalam pikirannya, mengamati tekad Aditya yang, meskipun konyol, memiliki semacam keyakinan yang tidak bisa diabaikan. "Mari kita lihat, apakah kau benar-benar bisa menanggung beban pilihan ini, Aditya."
Beberapa jam berlalu setelah ia berjalan.
Aditya duduk bersila di tengah jalanan aspal yang retak dan berdebu, mengelap keringat di dahinya. "Kayaknya gua perlu istirahat nih. Kaki gua udah gak mau kompromi."
"Baru beberapa jam berjalan dan kau sudah menyerah? Kau ini memang tidak bisa diharapkan," balas Khu dengan nada penuh sindiran dari dalam pikirannya.
Aditya mendengus, menatap jalanan kosong di depannya. "Oh, ayolah, Khu. Kalau lu punya tubuh, gua jamin lu juga bakal capek. Ngomong-ngomong, energi purba yang lu sebut-sebut itu, apa ini mirip kayak energi kuno di game Rogue Like And Darkness? Apa energi itu kebawa ke sini juga?"
"Hmph, akhirnya pertanyaanmu menunjukkan sedikit kepintaran," jawab Khu dengan nada sedikit menghina. "Ya, energi purba yang ada di dunia ini memang mirip dengan yang ada di game. Tapi kau harus paham, energi ini bukan buatan manusia seperti di permainanmu. Ini adalah fondasi dari realitas di dunia yang sekarang kau tinggali."
Aditya mengangkat alis, tertarik. "Fondasi? Jadi, kayak... energi ini yang bikin dunia ini tetap stabil, gitu?"
"Benar. Tanpa energi purba ini, dunia akan runtuh ke dalam kekosongan, menjadi kehampaan mutlak. Tapi, seperti biasa, manusia selalu serakah. Ketika mereka menemukan energi ini, mereka memanfaatkannya untuk kekuasaan, menciptakan teknologi atau bahkan senjata. Itulah yang menyebabkan ketidakseimbangan di dunia ini."
Aditya menghela napas panjang, menggoyangkan kakinya yang pegal. "Oke, oke. Jadi intinya, energi purba ini tuh penting banget. Tapi lu gak pernah cerita, Khu. Apa lu pernah pakai energi ini waktu lu jadi bos di game?"
Khu terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya sedikit lebih berat. "Energi purba itu mengalir di setiap Elder God, termasuk aku. Tapi aku tidak pernah menggunakannya sembarangan. Aku hanya menggunakannya ketika harus mempertahankan dimensi kekosongan. Mengendalikan energi purba bukanlah hal yang mudah, Aditya. Jika kau salah langkah, energi itu bisa menghancurkanmu lebih cepat daripada musuh manapun."
Aditya tersenyum kecil, lalu tertawa kecil. "Wah, jadi lu juga main aman ya, Khu? Pantesan lu hidup lebih lama daripada dewa-dewa lain."
"Itu bukan 'main aman,' tapi kehati-hatian, bodoh. Ada perbedaan besar," jawab Khu dengan nada tegas. "Jika kau benar-benar ingin bertahan di dunia ini, kau harus belajar menghormati kekuatan yang ada di sekitarmu. Energi purba tidak peduli apakah kau adalah dewa, manusia, atau bahkan makhluk Aberasi. Itu hanya akan menelanmu jika kau tidak memahaminya."
Aditya menggaruk kepalanya, wajahnya sedikit kesal. "Kenapa semua yang lu jelasin selalu terdengar seperti ancaman hidup, sih? Lu gak pernah kasih gua semangat, Khu."
"Itu karena kau harus memahami kenyataan, Aditya. Aku tidak di sini untuk menjadi teman yang manis. Aku di sini untuk memastikan kau tidak mati sia-sia."
Aditya menghela napas panjang dan berdiri. "Baiklah, baiklah. Kalau gitu, gua bakal buktikan kalau gua bisa mengendalikan energi purba itu. Tapi sebelum itu, gua butuh makan lagi. Gak ada energi, bro. Udah, jalan lagi aja deh."
Ia melanjutkan perjalanan dengan langkah berat, sementara Khu diam-diam memperhatikan, masih bertanya-tanya apakah manusia ini benar-benar bisa menanggung beban takdir yang telah mereka ambil.
Aditya menghela napas panjang, menggaruk kepala dengan kesal sambil terus melangkah. "Haduh... Udah capek-capek ke Monas gak dapet apa-apa. Sekarang malah disuruh ke Yogyakarta. Kalau nasib gua sama kayak tadi—ketemu ular raksasa atau apa lagi entar—gua mending loncat dari tebing aja!"
"Kau ini benar-benar drama, ya," sahut Khu dengan nada datar di kepalanya. "Aku tidak tahu apakah harus terhibur atau merasa malu telah memilihmu."
Aditya menoleh dengan wajah kesal, meskipun dia tahu Khu tidak punya wajah yang bisa ditatap. "Serius deh, Khu. Tadi gua hampir digigit, dibanting, dilempar, bahkan jatuh dari puncak Monas! Kalau ini game, gua udah rage quit, uninstall, terus kasih bintang satu di reviewnya!"
"Tapi sayangnya, ini bukan game," Khu membalas dengan nada menyindir. "Dan kau tidak bisa meng-uninstall hidupmu, Aditya. Kau harus bertahan, apa pun yang terjadi. Lagipula, kalau kau mati, aku harus cari inang baru. Itu melelahkan, tahu."
Aditya berhenti sejenak, meletakkan tangan di pinggangnya. "Oh, ya? Jadi lu lebih peduli soal ribetnya cari inang baru daripada gua mati? Teman yang sangat pengertian."
"Aku ini Dewa Kekosongan, bukan motivator pribadi," jawab Khu dingin. "Tugas utamaku adalah memastikan tujuan kita tercapai. Kalau itu berarti kau harus jatuh, terpukul, atau bahkan hampir mati, ya itu konsekuensinya. Tapi, hei, kau masih hidup, kan? Jadi nikmati saja."
Aditya mendengus, lalu menendang kerikil kecil di jalan. "Lu ngomongnya gampang. Yang ngerasain semua sakitnya gua, bukan lu. Mending gua nulis surat aja buat diri gua di masa lalu, bilang jangan main game sialan ini. Udah jelas gua nggak hoki."
"Kau tahu, semakin kau mengeluh, semakin kau terdengar seperti manusia biasa yang putus asa," Khu berkata sambil mendesah. "Tapi kau tidak boleh lupa, Aditya, kau bukan hanya manusia biasa lagi. Kau adalah inangku. Dan itu artinya, kau punya peluang untuk melakukan hal-hal luar biasa, selama kau berhenti bersikap seperti anak kecil."
Aditya terdiam sebentar, menatap ke arah jalan panjang yang membentang di depannya. "Hmm... Jadi kalau gua berhenti ngeluh, gua bisa jadi luar biasa?"
"Tidak," jawab Khu singkat. "Tapi setidaknya aku tidak perlu mendengarmu mengomel sepanjang jalan."
Aditya mendengus, lalu melanjutkan langkahnya sambil tersenyum tipis. "Baiklah, baiklah. Tapi kalau di Yogyakarta nanti gua ketemu monster yang lebih parah dari ular itu, gua serius bakal nyalahin lu seumur hidup!"
"Seumur hidup yang mungkin tidak akan terlalu panjang kalau kau terus bicara seperti itu," Khu membalas dingin, membuat Aditya terkekeh kecil di tengah suasana yang semakin hening.
Aditya menghela napas panjang, menghentikan langkahnya sejenak untuk mengatur nafas. "Khu, serius deh, ini perjalanan rasanya kayak nggak ada ujungnya. Udah berjam-jam, tapi kita masih muter-muter di Jakarta! Ini mau ke Yogyakarta atau mau nyari Jakarta versi lain?"
"Keluhan lagi," Khu mendesah pelan di dalam pikirannya. "Kau tidak pernah berhenti, ya? Kalau mau sampai lebih cepat, kenapa tidak mencoba teleportasi saja?"
Aditya melotot, jelas-jelas kesal. "Teleportasi? Kalau gua bisa teleportasi, gua nggak bakal ngeluh dari tadi, Khu. Gua cuma punya kaki, tau! Yang ada cuma jalan, aspal, dan rasa capek. Jangan ngomong seolah gua punya pilihan lain."
"Tenang," Khu menimpali, nada suaranya nyaris seperti sedang menahan tawa. "Aku hanya bercanda. Lagipula, perjalanan panjang ini adalah bagian dari ujianmu sebagai inangku. Kau tahu, bukan hanya kekuatan fisik yang diuji di sini, tapi juga mentalmu."
Aditya mendengus sambil mengangkat bahu. "Ujian mental, ya? Kalau ujian fisik masih mending, Khu. Tapi kalau ujian mental, gua udah dapet nilai F dari tadi."
Khu terkekeh, nadanya dingin namun menghibur. "Kau tahu, Aditya, kadang aku bertanya-tanya kenapa aku memilihmu. Tapi di saat-saat seperti ini, aku jadi sadar... kau adalah hiburan yang tidak pernah berhenti."
Aditya memutar bola matanya. "Oh, terima kasih, Khu. Aku jadi semacam badut pribadi buat Dewa Kekosongan, ya?"
"Kau yang bilang, bukan aku," Khu membalas dengan nada datar. "Tapi serius, Yogyakarta itu jauh, Aditya. Perjalanan ini akan memakan waktu lebih lama kalau kau terus berhenti untuk mengeluh. Jadi, saran dariku: jalan saja, diam, dan fokus."
Aditya mendengus lagi, namun melanjutkan langkahnya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka mulut lagi. "Tapi ngomong-ngomong, Khu, kalau gua mati sebelum sampai Yogyakarta, apa yang bakal lu lakuin? Nyari inang baru?"
"Mungkin," jawab Khu ringan. "Tapi kalau kau mati karena kebodohanmu sendiri, aku mungkin akan memberi tahu seluruh dewa lain betapa tidak bergunanya kau sebagai inang."
Aditya tertawa kecil, meskipun ia tahu Khu serius. "Lu emang gak ada simpati, ya. Gua jalan jauh kayak gini, capek, nggak ada kendaraan, terus lu malah ngancam gua bakal jadi bahan gosip para dewa kalau gua mati. Terima kasih, partner terbaik."
"Sama-sama," Khu membalas dingin. "Lagipula, perjalanan panjang seperti ini bagus untukmu. Siapa tahu, kau menemukan sesuatu di sepanjang jalan yang membuatmu lebih berguna."
Aditya mengangkat bahu, lalu memandang langit senja yang mulai meredup. "Iya, iya, gua jalan. Tapi kalau gua ketemu monster gede lagi di jalan, itu salah lu, Khu. Jadi jangan salahin gua kalau gua bakal nyalahin lu seumur hidup."
Khu tertawa tipis di pikirannya. "Kalau kau selamat, kau bisa menyalahkanku sesukamu, Aditya. Kalau tidak, yah... mungkin aku akan cari inang yang lebih pintar."
Aditya hanya bisa menghela napas panjang, melanjutkan perjalanan dengan langkah berat namun senyuman kecil di wajahnya. "Dewa kekosongan, partner terbaik sepanjang sejarah..." gumamnya, mencoba menahan tawa.
Langit malam menggantung gelap tanpa bintang, hanya diterangi bulan pucat yang sinarnya terasa dingin. Aditya menghela napas panjang, bahunya terasa berat setelah berjalan tanpa henti selama enam jam. "Oke, Khu, ini sudah cukup. Sekarang gua harus cari tempat buat tidur. Kalau nggak, kaki gua mungkin bakal mogok kerja besok pagi."
"Kau manusia memang lemah," ujar Khu dengan nada yang terdengar mencemooh namun tetap datar. "Tapi aku setuju. Tubuhmu yang ringkih ini membutuhkan istirahat. Jangan sampai kau pingsan di tengah jalan. Aku tidak ingin membawa inang yang tidak sadar sepanjang perjalanan."
Aditya melirik kanan dan kiri, matanya mencari bangunan yang masih cukup kokoh untuk digunakan sebagai tempat istirahat. Akhirnya, ia menemukan sebuah apartemen tua yang tampak setengah hancur di ujung jalan. "Itu dia. Pasti ada ruang kosong di sana yang masih layak buat tidur."
Ia berjalan mendekati apartemen itu, memasuki lobi yang gelap dan penuh puing-puing. Tangga dan lift sudah tidak berfungsi lagi, dan suasana di dalam apartemen itu terasa seperti ruang hampa yang penuh dengan gema keheningan. "Oke, ini agak menyeramkan. Tapi selama nggak ada Aberasi, gua bakal baik-baik aja."
"Jangan terlalu yakin," Khu memperingatkan. "Kegelapan seperti ini adalah tempat favorit makhluk-makhluk mengerikan. Siapkan dirimu untuk kemungkinan terburuk."
Aditya memutar bola matanya, meski dalam hati sedikit was-was. "Lu tuh emang selalu bikin suasana makin tegang, ya? Ini cuma apartemen kosong, Khu. Santai aja."
Ia mulai menaiki tangga dengan hati-hati, kakinya menendang beberapa puing kecil yang berguling di lantai. Setelah mencapai lantai tiga, ia menemukan sebuah pintu kamar yang masih utuh. "Nah, ini dia! Kalau gua ketok-ketok dan nggak ada yang jawab, berarti kosong, kan?"
"Logika yang bodoh, tapi silakan," jawab Khu dingin.
Aditya mengetuk pintu dengan ragu. "Permisi! Kalau ada orang, kasih tahu gua ya! Kalau nggak ada... berarti gua tidur di sini malam ini!" Tidak ada jawaban, hanya gema ketukannya yang memantul di lorong gelap.
"Sepertinya kosong," Khu akhirnya berkata. "Masuklah, sebelum kau berubah pikiran."
Aditya membuka pintu dan mendapati kamar itu cukup bersih, hanya sedikit debu di sana-sini. Ada sofa tua yang masih layak, bahkan meja kecil dengan beberapa buku yang sudah usang. "Lihat, Khu! Tempat ini kayak surga kecil dibandingkan neraka jalanan tadi."
Ia melempar tubuhnya ke sofa dengan gaya dramatis, menghempaskan dirinya seolah dunia telah selesai menghajarnya hari ini. "Ini dia! Tempat istirahat terbaik abad ini!"
"Hati-hati," Khu mengingatkan. "Kau belum tahu apa yang mungkin bersembunyi di tempat ini."
Aditya mendengus sambil memejamkan mata. "Kalau ada yang sembunyi di sini, gua bakal ajak ngobrol sambil minum kopi kaleng. Gua capek, Khu. Sekarang biarkan gua istirahat."
"Baiklah," Khu akhirnya menyerah, suaranya sedikit melembut. "Tidurlah, Aditya. Tapi jangan lupa, perjalananmu masih panjang. Dan dunia ini tidak pernah benar-benar aman, bahkan saat kau bermimpi."
Aditya tertawa kecil sambil menarik jaketnya untuk menutupi tubuh. "Iya, iya, lu nggak usah jadi alarm malam gua, Khu. Selamat malam, neraka dunia."
Di luar, angin malam berdesir, membawa suara samar yang entah berasal dari mana. Tapi Aditya sudah terlalu lelah untuk peduli. Hari esok adalah urusan nanti.
Aditya membuka matanya perlahan, namun yang ia lihat bukan langit-langit apartemen. Sekelilingnya hanya kegelapan pekat, tanpa batas. Rasanya seperti terapung di ruang hampa, tanpa suara, tanpa arah. "Aku di mana? Apa aku bermimpi?" gumamnya sambil melangkah perlahan, kakinya menyentuh sesuatu yang terasa seperti lantai, tetapi tanpa tekstur nyata.
Ketika ia terus berjalan, matanya menangkap sosok seseorang berdiri dalam kegelapan. Sosok itu mengenakan tudung, tubuhnya diselimuti bayangan yang terus bergelombang, seperti asap hitam. "Khu! Itu kau, kan? Akhirnya!"
Tanpa berpikir panjang, Aditya berlari ke arah sosok itu. Senyumnya lebar, penuh rasa lega, karena terakhir kali ia melihat wujud ini adalah saat Khu menyelamatkan hidupnya dari Aberasi. "Gua nggak nyangka bakal ketemu lu di sini lagi! Serius, ini keren banget!"
Aditya melompat ke arahnya, bermaksud memberi tepukan di bahunya—atau sekadar menyentuh wujud Khu. Tapi tubuhnya malah menembus sosok itu seperti kabut, membuatnya jatuh terduduk. "Eh? Tunggu! Kok gua nembus? Apa ini efek tubuh lu yang nggak terikat fisik?"
Sosok itu berbalik perlahan, matanya, dua cahaya redup berwarna ungu gelap, menatap langsung ke dalam jiwa Aditya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Khu dengan nada rendah, hampir berbisik, tapi ada gema dalam suaranya yang membuat udara di sekitar terasa berat.
"Di sini? Maksud lu apa? Gua cuma tidur terus tiba-tiba ada di tempat aneh ini," jawab Aditya sambil berdiri, mencoba mengabaikan perasaan merinding di tulang punggungnya. "Ini... tempat lu tinggal, ya?"
Khu tidak langsung menjawab. Ia melangkah perlahan mendekati Aditya, bayangannya seperti cairan hitam yang menyatu dengan lantai. "Ini adalah dimensi kekosongan. Rumahku. Hanya mereka yang punya ikatan dengan kekuatan kekosongan yang bisa menginjakkan kaki di sini. Tapi... kau, Aditya. Kau seharusnya tidak bisa masuk ke sini."
"Mungkin gua istimewa?" Aditya mencoba bercanda, tapi senyumannya perlahan memudar ketika Khu terus menatapnya dengan intens.
"Tidak ada hal seperti 'kebetulan' di dalam dimensi ini," lanjut Khu, suaranya semakin dalam. "Kehadiranmu di sini... bisa berarti dua hal. Entah aku telah melemahkan penghalangku, atau kau mulai menyatu dengan aspek kekosongan yang kuberikan padamu."
Aditya menelan ludah, merasa sedikit gugup. "Menyatu? Maksudnya... gua bakal jadi kayak lu? Tubuh nggak terikat fisik, mata bercahaya ungu, terus suara gua jadi kayak ada efek gema gitu?"
"Itu hanya permulaan," jawab Khu sambil melipat tangannya. "Semakin kau menggunakan kekuatanku, semakin besar kekosongan itu akan memakanmu. Kau akan menjadi lebih kuat, ya, tapi..."
"Tapi apa?" Aditya memotong, wajahnya sekarang penuh dengan rasa ingin tahu bercampur takut.
"Tapi kau akan kehilangan sesuatu yang mendefinisikan dirimu sebagai manusia. Entah itu emosi, ingatan, atau bahkan keinginanmu sendiri. Kekosongan tidak pernah memberi tanpa mengambil."
Aditya terdiam, memikirkan kata-kata itu. Tapi seperti biasa, ia mencoba mengusir kecanggungan dengan nada santai. "Hmm... yaudahlah, hidup gua juga nggak sempurna-sempurna amat. Kalau itu harga yang harus gua bayar buat tetap hidup di dunia yang udah kacau ini, gua sih nggak keberatan."
Khu menghela napas panjang, bayangan di sekelilingnya berputar pelan. "Kau berkata demikian sekarang, Aditya. Tapi suatu saat nanti, ketika kau benar-benar menghadapi konsekuensinya, aku hanya berharap kau tidak menyesal."
"Dengerin deh, Khu," Aditya menatap langsung ke mata ungu itu, dengan senyum kecil tapi penuh tekad. "Sejak awal gua tahu gua nggak bakal bisa balik ke hidup yang normal. Jadi, daripada gua mikirin hal-hal yang belum pasti, mending gua fokus bertahan hidup dulu, kan?"
Khu terdiam sejenak, lalu ia tertawa kecil. "Kau memang manusia yang aneh, Aditya. Tapi aku menghormati keteguhanmu. Jangan lupa, aku ada di sini untuk membimbingmu—dan, kalau perlu, menyelamatkanmu dari kebodohanmu sendiri."
"Kita lihat aja siapa yang lebih banyak nyelametin siapa!" Aditya tertawa, merasa lebih santai meski ruangan itu masih dipenuhi dengan kegelapan yang terasa menekan.
Aditya duduk bersila di lantai, menatap kegelapan yang menyelimuti wujud Khu. Wajahnya menyeringai usil. "Ngomong-ngomong, bisa gak sih lu ganti wujud? Itu gak sopan banget ngobrol sama gua dalam bentuk cuma hitam gitu doang! Kayak gua ngobrol sama asap bakaran sampah."
Khu terdiam sejenak. Hembusan udara dingin tiba-tiba terasa, seolah atmosfer di ruangan itu berubah. "Gak sopan? Justru kau yang gak sopan, Aditya," balas Khu dengan suara berat, namun penuh rasa lelah. "Tahu gak, aku ini salah satu eksistensi tertinggi dalam alam semesta, tapi kau memperlakukanku seperti tukang sulap jalanan."
Aditya mengangkat bahu, ekspresinya polos tapi provokatif. "Iya sih, tapi masa dewa sekelas lu gak bisa bikin wujud yang lebih keren? Gua bahkan bisa bikin karakter custom lebih keren di game RPG."
Khu menghela napas panjang, suara desahannya bergema di ruangan itu. "Baiklah, manusia. Kalau itu yang kau inginkan..." Cahaya ungu samar menyelimuti bayangan tubuh Khu, bentuknya mulai berubah. "Kau mau wujud seperti apa? Wanita? Pria? Atau mungkin... hewan?" Nada suaranya terdengar pasrah, seperti sudah menyerah menghadapi Aditya yang tak pernah serius.
Aditya mengusap dagunya, berpura-pura berpikir dalam-dalam. "Hmm, kalau gua pilih hewan, lu bakal jadi apa? Ular? Serigala? Atau... ayam jago!?" Tawanya meledak setelah menyebutkan pilihan terakhir.
Khu memejamkan mata (atau setidaknya seolah begitu). "Aku serius, Aditya. Pilihlah. Kalau tidak, aku akan tetap seperti ini selamanya."
Aditya mencoba menahan tawanya, lalu menyahut, "Oke, oke. Gua pengen lu jadi... seorang wanita."
Khu menatap Aditya dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan, seakan mengukur maksud di balik permintaan itu. "Wanita, ya? Kau yakin?"
Aditya mengangguk cepat, senyumnya semakin lebar. "Yakin banget. Tapi jangan cuma cantik doang, harus ada aura dingin biar lu kelihatan kayak bos beneran."
Khu mendesah, tangannya terangkat, dan tubuhnya mulai berubah lagi. Kali ini, bayangannya memadat, membentuk siluet tubuh manusia. Rambut panjang berwarna hitam pekat muncul, jatuh menjuntai sampai pinggang. Matanya berubah menjadi dua cahaya ungu yang bersinar tajam, menatap Aditya dengan pandangan menusuk. Tubuhnya ramping tapi penuh dengan aura otoritas, mengenakan pakaian yang tampak seperti kombinasi baju perang dan jubah elegan.
"Begini? Apakah ini cukup memenuhi ekspektasimu?" tanya Khu dengan nada dingin, tapi memancarkan kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh.
Aditya membeku sejenak, lalu mengangguk cepat sambil mengangkat jempol. "Sempurna! Lu kayak ratu dari game Rogue Like And Darkness! Gua bahkan takut untuk ngomong macam-macam sekarang."
"Bagus," sahut Khu sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Kalau begitu, berhenti mengeluh dan fokus pada tujuan kita. Kau ingin aku terlihat seperti ini, maka aku akan bertindak layaknya pemimpin yang memerintahmu."
Aditya langsung menyadari kesalahannya. "Eh, tunggu! Gua bercanda tadi! Jangan jadi galak gitu dong!"
Khu tersenyum tipis, sebuah senyum yang dingin tapi mengancam. "Terlambat, manusia. Kau yang memilih ini."
Aditya hanya bisa tertawa canggung, sementara di dalam hatinya ia berdoa agar keputusan ini tidak berujung bencana. "Oke, gua harus lebih hati-hati kalau minta sesuatu ke dewa. Pelajaran hari ini!" gumamnya pelan.
Aditya meregangkan tubuhnya dengan santai, lalu menatap Khu yang kini berdiri di depannya dengan wujud manusia penuh wibawa. "Oke, Ratu Khu, apakah ada yang ingin kau bicarain?" ucapnya dengan nada menggoda, mencoba mencairkan suasana.
Khu menatapnya dengan tajam, sorot matanya seperti menusuk langsung ke dalam jiwa. "Jangan panggil aku ratu, Aditya," jawabnya dingin, meskipun ada sedikit nada kesal di ujung kalimatnya.
Aditya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. "Baiklah, Yang Mulia."
Khu mengabaikan leluconnya dan menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku serius. Ada sesuatu yang harus kita bahas."
Melihat ekspresi serius Khu, Aditya ikut memasang wajah serius, meskipun hatinya masih separuh bercanda. "Oke, apa itu? Tentang masa depan kita? Atau mungkin tentang masa lalu lu yang misterius itu?"
"Bukan itu," balas Khu, nada suaranya semakin tegas. "Aku ingin kau menjadi lebih kuat, Aditya. Lebih siap untuk menghadapi dunia ini. Kalau kau bertemu dengan pemain-pemain lain seperti dirimu—contohnya gadis kemarin yang kita temui di Monas—kau tidak akan hanya mengandalkan keberuntungan untuk bertahan hidup."
Ucapan Khu membuat Aditya terdiam sejenak. Ia menggaruk kepalanya sambil menatap Khu dengan ekspresi bingung. "Tunggu, tunggu. Gadis itu benar-benar selevel sama gua? Maksudnya, dia juga pemain game ini?"
Khu mengangguk perlahan. "Kemungkinan besar. Gadis itu punya cara untuk menyerap Mana di Monas tanpa meninggalkan jejak. Itu menunjukkan tingkat penguasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dirimu. Selain itu, tidak ada Aberasi di sana saat dia tiba, tetapi ular raksasa itu muncul setelahnya. Aku curiga itu disengaja untuk mengalihkan perhatianmu."
Aditya mengepalkan tinjunya, mencoba mencerna informasi tersebut. "Jadi, intinya dia nggak cuma lebih kuat, tapi juga lebih pintar dari gua. Hebat."
"Itu sebabnya aku ingin kau berhenti bersikap ceroboh," lanjut Khu, nada suaranya penuh tekanan. "Kekuatan yang kau miliki sekarang hanyalah sebagian kecil dari potensimu. Dunia ini tidak akan memberimu waktu untuk bersantai. Semakin cepat kau belajar, semakin baik peluangmu untuk bertahan hidup."
Aditya menghela napas panjang dan duduk di atas pecahan beton. "Ya, gua ngerti sih. Tapi, jujur aja, gua nggak tahu harus mulai dari mana. Lu cuma bilang gua harus jadi kuat, tapi gua nggak punya buku manualnya, Khu."
"Aku di sini sebagai panduanmu," balas Khu, kali ini nada suaranya sedikit melunak. "Kita akan memulai pelatihan serius mulai sekarang sembari ke Yogyakarta. Aku akan membantumu memahami bagaimana caramu mengontrol kekuatan ini—bukan hanya memanfaatkannya, tetapi juga menyempurnakannya. Kau akan menjadi senjata paling tajam di dunia ini."
Aditya mengangkat sebelah alis. "Senjata paling tajam? Wah, itu terdengar keren, tapi agak menakutkan juga. Apa gua perlu latihan kayak karakter anime? Lari keliling sambil bawa beban di punggung?"
"Tentu saja tidak bo-" Secara tiba-tiba tubuh Aditya perlahan menjadi debu. "Seperti nya ini sudah pagi, kamu sebentar lagi bangun" Ucap Khu dengan nada dingin. "Eh!? Apa!!" Aditya menghilang dan ia bangun di kasur apartemen. "Mimpi yang panjang."