Aditya melangkah keluar dari gang kecil, kini berada di jalan raya yang penuh dengan pemandangan mengerikan—mobil-mobil terguling, motor-motor terbakar, dan reruntuhan bangunan yang berserakan di mana-mana. Jalanan yang dulunya sibuk kini terasa seperti kuburan bagi kota yang tak berdaya. Ia berjalan hati-hati di antara kendaraan yang rusak, sesekali menghindari serpihan kaca atau kabel yang terjulur.
"Kalau perkiraan gua sih, kita bakal sampai ke Monas dalam 20 menit... kalau nggak ada hambatan, ya," ucap Aditya sambil menyeka keringat di dahinya.
Khu, dengan suara yang tenang namun bergema dalam pikirannya, menjawab datar. "Itu kalau kau tidak bertemu dengan makhluk seperti sebelumnya. Jalanan ini mungkin terlihat kosong, tapi kau harus tetap waspada. Dunia ini bukan seperti yang kau kenal lagi."
Aditya menelan ludah, mencoba meredam kegelisahan yang mulai menggerogoti dirinya. Sambil berjalan, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan pertanyaan yang sudah lama ingin ia tanyakan. "Jadi... Khu, lo ini sebenarnya dewa dari game Rogue Like And Darkness, ya? Kayak boss tersembunyi atau semacamnya?"
Khu terdiam sejenak sebelum menjawab. "Ya, bisa dibilang begitu. Aku adalah salah satu entitas yang mewakili kekosongan dalam dunia itu. Namun, sebutan 'dewa' yang kau gunakan terlalu sederhana. Aku bukan sekadar makhluk yang disembah; aku adalah kehampaan itu sendiri. Dalam game itu, aku sengaja dibuat sulit ditemukan karena eksistensiku tidak cocok untuk pemain biasa."
Aditya mendongak, melihat langit yang kelabu dengan sesekali kilatan petir yang menari di antara awan-awan gelap. "Kalau begitu... gimana lo bisa ada di sini? Maksud gua, kenapa lo tiba-tiba nyari inang di dunia nyata kayak sekarang?"
Khu terkekeh, suara tawanya seperti gema yang berasal dari jurang tak berdasar. "Karena batas antara realitas dan dunia game telah hancur. Tidak ada lagi yang memisahkan keduanya. Aku tidak memilih untuk datang ke sini—aku terseret bersama dengan semua entitas lain dari game itu. Tapi berbeda dari mereka, aku membutuhkan inang untuk bertahan di dunia ini."
Aditya mengerutkan kening. "Jadi... gua cuma kebetulan aja? Orang yang sial karena lo milih gua?"
"Kebetulan?" Khu terdengar hampir tersinggung. "Tidak ada yang namanya kebetulan, Aditya. Aku memilihmu karena kau memiliki sesuatu yang unik. Kau tidak hanya bertahan dalam kekacauan ini, tetapi juga menunjukkan keberanian dan keinginan untuk bertahan hidup. Itulah yang kubutuhkan."
Aditya mendengus, setengah percaya setengah tidak. "Unik, ya? Kalau itu artinya gua bakal terus diseret ke pertarungan maut kayak tadi, gua nggak yakin pengen jadi 'unik'."
Khu hanya terkekeh lagi. "Kau akan segera memahami bahwa peranmu lebih besar dari yang kau kira. Dunia ini telah berubah, dan kau adalah salah satu dari sedikit yang bisa menyesuaikan diri. Percayalah, Aditya, kekuatan yang kuberikan akan membawamu lebih jauh dari yang pernah kau bayangkan."
Saat mereka terus berjalan, Aditya melihat sesuatu dari kejauhan—bayangan besar bergerak di antara gedung-gedung yang setengah runtuh. Ia memperlambat langkahnya, menatap tajam ke arah itu. "Khu, lo liat itu? Apa gua bakal ketemu lagi sama makhluk kayak tadi?"
"Mungkin," jawab Khu tanpa rasa gentar. "Tapi kau harus mengingat ini, Aditya. Dunia ini sekarang dipenuhi dengan Aberasi—entitas yang tidak pernah dirancang untuk eksis di sini. Beberapa mungkin seperti monster yang kau lawan tadi, tetapi ada juga yang jauh lebih berbahaya."
Aditya merasa bulu kuduknya meremang. "Aberasi? Kayak glitchnya dunia ini, gitu?"
"Tepat. Mereka adalah hasil dari tabrakan antara dimensi. Dunia ini tidak siap menerima keberadaan mereka, dan itu membuat mereka semakin tidak stabil. Kau harus berhati-hati, Aditya. Tidak semua Aberasi bisa dihadapi dengan kekuatan belaka."
Aditya mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia masih merasa gentar. Ia terus berjalan, kali ini lebih waspada. Di depannya, Monas berdiri tegak di kejauhan, menjadi satu-satunya penanda bahwa mereka masih berada di Jakarta, meski kota ini sudah berubah menjadi neraka.
"Oke, Khu," gumam Aditya. "Gua nggak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya, tapi gua harap gua nggak mati sebelum nyampe Monas."
Khu menjawab dengan nada penuh keyakinan. "Selama aku ada di sini, Aditya, kematianmu tidak akan datang dengan mudah. Namun, jangan pernah lengah. Dunia ini sekarang bukan hanya milikmu."
Aditya mendongak, melihat pancaran cahaya yang mengalir dari puncak Monas seperti aurora bercampur warna ungu, biru, dan emas. Cahaya itu menembus awan kelabu yang bergulung di langit, menciptakan pemandangan yang begitu megah sekaligus menyeramkan.
"Itu dia pancaran Mana-nya, Aditya," ucap Khu dengan nada penuh keyakinan. "Kita sudah hampir sampai."
Aditya terdiam beberapa detik, terpukau oleh keindahan pemandangan yang seolah tidak berasal dari dunia ini. "Wow... Jadi itu Mana? Bener-bener kayak yang di game."
"Jangan terlalu terpesona," balas Khu dengan nada memperingatkan. "Energi sebesar itu akan menarik perhatian makhluk-makhluk kuat. Aku yakin kita bukan satu-satunya yang menuju ke sana."
Aditya langsung merinding, kewaspadaannya kembali meningkat. Ia mempercepat langkahnya, kini berjalan melewati lebih banyak reruntuhan dan kendaraan yang berserakan di sepanjang jalan. Sisa-sisa kehidupan manusia terasa makin jauh dari jangkauan. Beberapa kali ia melihat kerangka kendaraan tempur seperti tank yang sudah meleleh setengah, seolah pernah dihantam sesuatu yang jauh lebih kuat dari senjata biasa.
"Kalau energi itu sebesar itu, kenapa kita nggak langsung aja ke sana? Kenapa malah jalan kaki kayak gini? Kan bahaya kalau kelamaan di jalan," keluh Aditya sambil menghindari serpihan besi di tanah.
"Energi seperti itu bisa menghancurkanmu dalam sekejap jika kau mendekatinya tanpa persiapan," jelas Khu. "Aku sedang menyesuaikan tubuhmu agar mampu menahan konsentrasi Mana itu. Kalau kau mencoba menyerapnya sekarang, tubuhmu akan meledak menjadi debu."
"Debu? Oke, noted. Gua bakal sabar," gumam Aditya sambil menelan ludah.
Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia mendengar suara gemeretak di kejauhan. Suara itu seperti dentingan logam yang saling beradu, disertai dengan langkah berat yang semakin mendekat.
"Eh, lo dengar itu, Khu? Apa lagi tuh?" Aditya mulai melangkah mundur, matanya bergerak liar mencari sumber suara.
Khu menjawab dengan tenang, tetapi nada suaranya penuh kewaspadaan. "Itu adalah Guardian. Mereka adalah penjaga alam ini, diciptakan untuk melindungi sumber energi seperti Mana. Jika mereka mendeteksimu sebagai ancaman, mereka tidak akan ragu untuk menghancurkanmu."
"Apa?! Penjaga? Kok gua nggak pernah denger tentang mereka di game?" Aditya bertanya panik, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"Guardian tidak muncul dalam game. Mereka adalah mekanisme alami dunia ini, tercipta akibat tabrakan antara dimensi. Dan sayangnya, mereka tidak peduli kau manusia atau bukan—semua dianggap ancaman."
Aditya menelan ludah, mencoba mengendalikan ketakutannya. Ia melangkah perlahan mundur, sampai akhirnya bayangan besar muncul dari balik gedung runtuh di depannya. Sebuah makhluk raksasa setinggi 5 meter, berbentuk humanoid dengan tubuh yang terbuat dari logam hitam berkilauan, muncul. Mata makhluk itu memancarkan cahaya merah menyala, dan setiap gerakannya mengeluarkan suara gemeretak mekanis.
"Itu Guardian-nya?" bisik Aditya.
"Ya. Jangan lakukan gerakan tiba-tiba," perintah Khu. "Guardian ini sensitif terhadap perubahan energi. Selama kau tenang, dia mungkin tidak akan menyerang."
Aditya mengangguk pelan, tetapi tiba-tiba salah satu serpihan logam yang diinjaknya jatuh dan menghasilkan suara berisik. Guardian itu langsung menoleh ke arah Aditya, mata merahnya menyala lebih terang.
"Oh, sial!" seru Aditya, jantungnya seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Guardian itu mengeluarkan suara menggelegar, seperti teriakan perang, sebelum menyiapkan tombak energi besar yang tiba-tiba muncul di tangannya.
"Lari, Aditya! Sekarang!" bentak Khu.
Aditya langsung berlari secepat yang ia bisa, napasnya memburu. Guardian itu mengejar, setiap langkahnya menghancurkan aspal jalanan dan meninggalkan bekas seperti kawah kecil. Tombak energi di tangannya dilemparkan dengan kecepatan kilat ke arah Aditya, hampir saja mengenainya jika Aditya tidak melompat ke samping.
Tombak itu menghantam sebuah bangunan di depan, menyebabkan ledakan besar yang menggetarkan tanah di bawah kaki Aditya. "Ini gila, ini gila! Apa-apaan ini?! Kok makin kayak neraka?!"
"Fokus, Aditya!" seru Khu. "Gunakan kekuatanmu! Ciptakan penghalang! Kalau tidak, kau tidak akan selamat!"
Aditya, meskipun panik, mulai mengangkat tangannya. Energi hitam berputar di sekitar tubuhnya, membentuk sebuah perisai berbentuk kubah. Tepat ketika Guardian itu melemparkan serangan berikutnya, serangan itu membentur perisai dan meledak, tetapi Aditya tetap terlontar ke belakang akibat dampaknya.
"Aku nggak bisa terus kayak gini, Khu!" teriak Aditya, tubuhnya terasa lemah.
"Tenang! Aku akan membimbingmu. Kau harus percaya padaku. Fokuslah pada kehampaan di sekitarmu—itulah sumber kekuatan kita!"
Aditya memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa takutnya. Energi hitam di sekitarnya semakin intens, dan ia bisa merasakan kekuatannya meningkat. Ketika Guardian itu mendekat untuk serangan berikutnya, Aditya membuka matanya dengan tatapan penuh tekad.
"Baiklah, Guardian. Kalau ini yang kau mau, ayo kita coba siapa yang lebih kuat!" teriaknya, melontarkan bola kehampaan besar ke arah Guardian, menciptakan ledakan yang mengguncang seluruh area.
"Apa dia masih bertahan dari serangan itu?" gumam Aditya dengan napas terengah-engah. Matanya terpaku pada kabut tebal yang perlahan menghilang di hadapannya.
Ketika asap mulai sirna, tubuh besar Guardian itu terlihat berdiri tegak tanpa satu goresan pun. Mata merahnya bersinar semakin terang, seperti menyatakan rasa superioritasnya atas perlawanan Aditya yang tak berarti.
"Weh… Khu! Dia nggak kena apa-apa! Kita harus apa sekarang?!" suara Aditya bergetar di antara keputusasaan dan panik. Ia melangkah mundur, tangannya gemetar hebat, energi yang baru saja ia gunakan mulai melemah.
"Tetap tenang, Aditya," ucap Khu dengan nada serius, meskipun ada sedikit kekhawatiran di balik ketenangannya. "Guardian ini terbuat dari materi yang tidak bisa dihancurkan dengan kekuatan biasa. Serangan frontal seperti tadi hanya membuang-buang energi."
"Jadi, apa gue harus lari aja?! Kalau dia bisa ngelacak gue terus, ini percuma!"
Guardian itu mulai bergerak, langkah beratnya membuat tanah di sekitar Aditya bergetar seperti gempa kecil. Di tangannya, tombak energi kembali terbentuk, memancarkan percikan listrik yang menari-nari di udara.
"Lari tidak akan menyelamatkanmu kali ini," ujar Khu tajam. "Kita harus menggunakan strategi. Ingat, Aditya, kau adalah Void Vessel. Kehampaan adalah senjatamu, dan Guardian ini juga memiliki kelemahan—dia sangat tergantung pada energinya."
Aditya menelan ludah, matanya terus memperhatikan Guardian yang sekarang semakin mendekat. "Oke, gue ngerti. Tapi gimana caranya gue ngalahin sesuatu yang nggak bisa dihancurin?"
Khu menghela napas, suaranya lebih tenang sekarang. "Kau tidak perlu menghancurkannya. Kau hanya perlu memutus sumber energinya. Fokus pada inti di dadanya—lihat itu? Cahaya merah itu adalah pusat kekuatannya. Serap itu, dan dia akan kehilangan fungsinya."
"Inti di dada?!" Aditya memicingkan mata, dan sekarang ia bisa melihat dengan lebih jelas. Di tengah tubuh Guardian yang besar dan mengilap, sebuah cahaya merah berdenyut seperti jantung, tersembunyi di balik lapisan armor tebal.
"Tapi itu... terlalu kecil! Gimana gue bisa mendekat kalau tiap serangan dia bisa ngeledakin gue?!"
Guardian itu tidak memberi Aditya waktu untuk berpikir lebih lama. Tombaknya dilemparkan ke arahnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan kilatan terang di udara. Aditya melompat ke samping tepat waktu, tetapi ledakan dari dampaknya melontarkan tubuhnya ke udara, menghantam reruntuhan dinding di belakangnya.
"Aaargh!" Aditya mengerang kesakitan, darah merembes dari pelipisnya, tubuhnya terasa remuk. Ia mencoba bangkit dengan terhuyung, tapi tubuh Guardian itu sudah semakin dekat.
"Bangun, Aditya! Jangan biarkan rasa takut menguasaimu!" Khu berseru keras. "Ingat, kau bukan lagi manusia biasa. Tubuhmu mungkin merasa sakit, tapi kehampaan yang mengalir di dalam dirimu tidak akan pernah hancur. Gunakan itu!"
Dengan gigi terkatup rapat, Aditya memaksakan dirinya berdiri. Ia mengangkat tangannya, energi hitam mulai berkumpul di sekitarnya, berputar seperti badai kecil.
"Oke, Khu... Kita coba cara lo," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Guardian itu mengangkat salah satu tangannya, memunculkan gelombang listrik besar yang mengarah ke Aditya. Namun, kali ini, Aditya tidak menghindar. Sebuah kubah hitam muncul di sekitarnya, menyerap serangan listrik itu ke dalam kegelapan seperti air yang mengalir ke lubang tanpa dasar.
"Apa itu?!" pikir Aditya, kaget dengan kekuatan barunya.
"Itu adalah Void Absorption," jelas Khu cepat. "Kau bisa menyerap energi lawan dan menggunakannya untuk memperkuat dirimu sendiri. Jangan berhenti—serap semuanya!"
Guardian itu tampak ragu untuk sesaat, melihat serangannya diserap tanpa bekas. Aditya mengambil kesempatan itu. Dengan kekuatan baru yang mengalir di tubuhnya, ia melompat ke arah Guardian dengan kecepatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Ayo, sedikit lagi!" teriak Aditya, memusatkan energi hitam di tangannya. Tapi Guardian dengan cepat mengangkat tangannya, menyiapkan pukulan besar untuk menghancurkannya.
Aditya menangkis pukulan itu dengan perisai energi hitam, meskipun dampaknya masih cukup kuat untuk mendorongnya mundur. Namun, ia tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga, ia menyerang inti merah di dada Guardian menggunakan bola kehampaan, menciptakan ledakan kecil tapi sangat terfokus.
Guardian itu mengeluarkan raungan mekanis, tubuhnya mulai retak. Cahaya merah di dadanya bergetar hebat sebelum akhirnya meredup. Tubuh Guardian membeku, sebelum akhirnya roboh ke tanah, menciptakan dentuman keras yang mengguncang jalanan.
Aditya berdiri terengah-engah di atas reruntuhan, menatap tubuh Guardian yang kini tak bergerak. "Gue... gue berhasil?" gumamnya, masih belum percaya.
"Ya, kau berhasil," jawab Khu dengan nada puas. "Tapi ini baru permulaan, Aditya. Banyak Guardian lain di luar sana yang akan mencoba menghentikan kita. Ini adalah langkah pertamamu untuk menjadi Vessel yang sejati."
Aditya terdiam, memandang ke arah Monas yang sekarang terlihat semakin dekat. Cahaya aurora di atasnya tampak lebih terang dari sebelumnya, seperti menyambut kedatangannya. "Kalau ini baru awal, gue nggak yakin bisa bertahan sampai akhir..." pikirnya. Tapi di balik rasa takutnya, ada juga percikan semangat yang mulai tumbuh dalam dirinya.
"Ayo kita masuk…" ucap Aditya dengan nada pelan, menahan rasa gugup di dadanya. Ia melangkah ke dalam Monas yang kini terlihat seperti reruntuhan kuno. Dinding-dindingnya penuh retakan, puing-puing berserakan, dan debu beterbangan di udara.
"Padahal kejadiannya cuma semalam, tapi tempat ini udah kayak dihantam meteor. Hancur banget, ya?" komentar Aditya sambil melangkah hati-hati di atas pecahan keramik lantai.
"Ini bukan meteor," jawab Khu dengan nada datar. "Lebih seperti jejak amukan entitas berkekuatan dahsyat. Tapi kalau kau mau menyalahkan meteor, silakan saja."
Aditya mendengus. "Huh, nyalahin meteor kayaknya lebih gampang diterima otak gue."
Ia akhirnya sampai di depan lift yang pintunya sudah penyok di beberapa bagian. Dengan penuh harapan, ia mulai menekan tombol lift. Tidak ada reaksi. Ia menekan lagi. Tetap tidak ada suara.
"Apa kau yakin ini masih berfungsi, Aditya?" tanya Khu dengan nada yang mencerminkan ketidakpercayaan mendalam.
"Entahlah, tapi gue kan optimis!" Aditya terus memencet tombol itu dengan semangat, bahkan menambahkan ketukan-ketukan kecil di samping tombol seolah itu akan membantu.
"Optimis?" Khu mengulang sambil terkekeh kecil. "Kau optimis terhadap mesin tua yang jelas-jelas sudah mati. Hebat, manusia memang unik."
"Hei, lu nggak ngerti budaya orang Indonesia!" balas Aditya sambil terus menekan tombol itu. "Kadang, kalau sesuatu nggak jalan, kita pencet terus sampai berhasil. Kalau nggak berhasil juga, ya kita tambahin doa!"
Khu terdengar seperti menahan tawa. "Doa pada mesin? Itu konsep yang… menarik."
Aditya menggerutu sambil memukul tombol lift dengan telapak tangan. Tetap tidak ada reaksi. Akhirnya, rasa frustrasi mencapai puncaknya. "Sialan! Ini udah gak bisa! Mati total! Percuma gue berharap!" Aditya menendang pintu lift dengan keras, menyebabkan dentuman menggema di lorong.
Khu mendesah panjang. "Sungguh, inangku ini sangat impulsif. Kalau pintu itu bisa bicara, pasti dia akan menangis minta ampun."
Aditya menghela napas, menenangkan dirinya sambil menatap pintu lift yang penyok lebih parah karena ulahnya. "Yaudah, gue nyerah. Sekarang gimana? Jalan tangga?"
"Aku rasa itu ide yang lebih realistis sejak awal," jawab Khu santai. "Tapi hei, kau mendapatkan olahraga tambahan dengan marah-marah tadi. Itu bagus untuk kesehatanmu."
Aditya melotot ke arah udara kosong. "Dewa apaan sih lu, komentar mulu, kerjaan nggak ada yang bantuin."
"Kerjaanku adalah mengawasi dan memberi nasihat. Tugas fisiknya tetap tugasmu, Aditya." Khu terdengar puas. "Lagipula, kau yang butuh kekuatanku, bukan sebaliknya."
Aditya memutar bola matanya sambil berjalan mencari tangga darurat. Ia melihat sebuah pintu dengan tanda "Tangga" yang pintunya setengah terlepas dari engselnya. Ia mendorong pintu itu dengan hati-hati, melihat tangga yang gelap dan penuh debu.
"Ah, tangga darurat. Tempat nostalgia kalau lift rusak. Gimana kalau ini gue sebut jalur nostalgia aja, biar keren?" Aditya mencoba melucu sambil menyenter tangga dengan ponselnya.
"Kau menyebut gelap, debu, dan puing-puing sebagai nostalgia? Kreativitasmu mengagumkan," sindir Khu. "Namun, berhati-hatilah. Tempat ini terlihat rapuh. Aku tidak ingin kau jatuh dan menyalahkanku lagi."
"Iya, iya, Mr. Void Sarcastic." Aditya mulai menaiki tangga dengan perlahan, mencoba menjaga keseimbangan di atas puing-puing. "Tapi kalau gue jatuh, setidaknya lu bakal bantu gue lagi, kan?"
"Tentu saja. Aku akan menyelamatkanmu… setelah aku selesai menertawakan kebodohanmu."
Aditya menghela napas panjang, tidak yakin apakah kehadiran Khu membuat perjalanannya lebih aman atau hanya lebih menyebalkan. "Dasar dewa nggak punya hati."
"Aku adalah Dewa Kekosongan, Aditya. Hatiku memang kosong—itu fakta, bukan penghinaan," balas Khu dengan nada datar tapi menyindir.
Aditya terkekeh kecil meski napasnya mulai terengah-engah. "Oke, fine. Tapi kalau kita sampai atas dan ternyata ada musuh gede lagi, gue minta lu yang maju duluan."
"Sepertinya kau belum memahami konsep kerja sama kita…" jawab Khu sambil terkekeh kecil.
Aditya mulai melangkah menaiki anak tangga satu per satu dengan napas yang sudah terasa berat. Tangga darurat Monas memang tidak dirancang untuk kenyamanan, terutama di tengah kekacauan seperti ini. "Ngomong-ngomong," Aditya membuka pembicaraan, "bukannya Monas itu tingginya 132 meter ya?"
"Benar," jawab Khu dengan nada santai. "Itu fakta umum yang bahkan anak SD pun tahu. Kenapa, kau baru tahu sekarang?"
Aditya mendengus sambil terus melangkah. "Bukan itu poinnya, Khu. Kalau tingginya 132 meter, berarti gue harus naik banyak banget anak tangga, dong! Ini bakal lama banget! Males banget gua!"
"Hah, manusia memang selalu mengeluh," Khu terkekeh kecil. "132 meter itu tidak seberapa dibandingkan dengan menara di dunia asalku. Ada menara yang tingginya sampai menyentuh awan, dan pendakiannya membutuhkan waktu berminggu-minggu."
Aditya memutar bola matanya. "Ya, bedanya, di dunia lu orang-orang mungkin punya sayap, atau setidaknya bisa teleportasi. Gue? Gue cuma punya kaki yang udah pegel dari tadi!"
Khu menjawab dengan nada serius, tetapi tetap menyindir. "Bukankah ini saatnya kau bersyukur memiliki tubuh yang masih berfungsi? Bayangkan jika kau menjadi hantu tanpa kaki. Kau tidak akan bisa naik tangga sama sekali."
"Gue lebih baik jadi hantu terus nunggu orang lain naik ke atas buat bantuin gue, daripada capek kayak gini," balas Aditya sambil mendesah keras.
Ketika Aditya berhenti sejenak untuk mengatur napas, ia menatap anak tangga yang seakan tidak ada habisnya. "Serius deh, ini tangga gak ada ujungnya atau gimana? Monas tinggi banget ternyata. Kok gue kayak nggak pernah sadar waktu masih hidup normal dulu, ya?"
"Karena waktu itu kau naik lift, kau tidak peduli dengan betapa melelahkannya mendaki," jawab Khu dengan nada menggurui. "Ini adalah pelajaran hidup, Aditya. Ketika fasilitas modern tidak ada, kau akan menghargai betapa pentingnya setiap langkah."
Aditya menatap ke udara kosong, wajahnya penuh kelelahan. "Khu, serius deh, kalau lu manusia, gue yakin lu jadi guru motivasi. Tapi motivasi lu cuma bikin orang tambah stres."
"Aku mengambil itu sebagai pujian," Khu terkekeh. "Anggap saja mendaki ini adalah latihan. Dengan tubuhmu yang telah diperbaiki oleh kekuatanku, kau seharusnya merasa lebih kuat dan lebih tahan lama, bukan?"
Aditya menatap kakinya sendiri yang sudah gemetar. "Kuat? Tahan lama? Itu kata-kata marketing gym, bro. Realitanya, kaki gue udah mau protes dari tadi!"
Saat ia mengeluh, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di bawah. Aditya berhenti dan menoleh ke belakang dengan wajah pucat. "Eh, suara apa itu?"
"Mungkin bagian bawah Monas yang runtuh karena usiamu yang lambat," jawab Khu dengan nada bercanda.
Aditya panik. "Khu, itu nggak lucu! Apa itu monster lagi? Jangan-jangan Guardian tadi punya temen!"
Khu tetap tenang. "Kalau ada musuh, anggap saja itu kesempatan untuk berlatih lebih jauh. Bukankah kau ingin menjadi lebih kuat?"
Aditya menghela napas panjang sambil mulai mempercepat langkahnya. "Gila, lu emang dewa paling ngeselin. Kalau gue sampai pingsan di sini, lu tanggung jawab ya!"
"Tentu saja," jawab Khu dengan nada datar. "Aku akan memastikan kau tidak pingsan. Kalau kau pingsan, aku yang akan membangunkanmu… dengan ledakan kecil di otakmu."
Aditya berhenti sebentar, menatap udara kosong dengan ekspresi horor. "Lu tuh bukan cuma ngeselin. Lu psikopat juga, ya!"
Khu tertawa kecil. "Ayo, terus melangkah, Aditya. Kita belum sampai. Kau tidak mau membuat Guardian lain menunggumu terlalu lama, kan?"
"Guardian lagi? Seriusan!?" Aditya mulai berlari kecil menaiki tangga, kali ini dengan semangat ketakutan, bukan motivasi. "Gila, gua jadi kangen sama hidup normal. Naik lift, ngopi di warung, nggak usah mikirin monster—itu hidup impian banget ternyata!"
"Hidup normal membosankan, Aditya," jawab Khu. "Petualangan ini adalah peluangmu untuk menjadi legenda. Atau, setidaknya, kesempatan untuk bertahan hidup dengan sedikit gaya."
"Legenda apaan, sih? Legenda capek iya," Aditya terus menggerutu sambil menaiki tangga dengan napas tersengal-sengal, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.
Aditya terus berjalan menyusuri tangga gelap itu, napasnya masih sedikit terengah setelah perjuangan sebelumnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat diam—meskipun hanya ada Khu di benaknya.
"Entah ini perasaan gua doang apa gimana," bisik Aditya dengan suara pelan, "lu denger suara kayak sesuatu yang bergerak gak sih? Suaranya... kayak ular besar yang nyeret tubuhnya."
Khu menjawab dengan nada tenang, meskipun ada kesan kewaspadaan dalam suaranya. "Aku juga mendengarnya. Tapi itu bukan ular biasa, Aditya. Suaranya... terlalu berat, terlalu dalam. Ini pasti sesuatu yang lebih besar."
Aditya menelan ludah, pandangannya tertuju ke dinding tangga yang terbuat dari beton tebal, namun suara itu terasa begitu dekat, seperti hanya terpisah beberapa meter darinya.
"Lu pikir apa ini?" Aditya berbisik lagi, matanya terus memandang ke atas dan bawah, mencoba mencari sumber suara meski tahu itu di luar.
"Jika kau ingin dugaan," jawab Khu dengan nada serius, "kemungkinan itu adalah Aberasi. Tapi..."
"Tapi apa, Khu?" desak Aditya, kini ia mulai bergerak lebih cepat menaiki tangga, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Suaranya terlalu berat untuk Aberasi biasa. Jika ini benar-benar Aberasi, maka ukurannya pasti... luar biasa besar. Mungkin lebih besar dari Guardian yang kau lawan tadi."
Aditya berhenti sejenak, mengerutkan kening. "Hah? Lebih besar? Yang tadi aja hampir bikin gua mati berkali-kali! Terus ini... apa mau makan gua hidup-hidup atau gimana?"
"Ketenangan, Aditya," Khu berkata lembut namun tegas. "Ketakutan hanya membuatmu lengah. Kau sudah bertahan sejauh ini, bukan?"
Namun sebelum Khu bisa melanjutkan, suara itu tiba-tiba berhenti. Keheningan yang mendadak justru membuat suasana lebih mencekam.
"Eh... suara itu berhenti, Khu. Ini lebih menakutkan daripada tadi. Jangan-jangan dia sadar kita di sini?" Aditya berbisik dengan nada panik.
Khu terdiam sejenak, lalu berbicara dengan nada yang lebih tenang tapi juga lebih mendesak. "Jika itu makhluk besar, maka inderanya mungkin sangat tajam. Berhenti bicara dan teruslah bergerak. Jangan membuat suara sedikit pun. Kita harus mencapai puncak sebelum dia menemukan kita."
Aditya mengangguk meski tahu Khu tidak bisa melihatnya. Dengan perlahan, ia melanjutkan langkahnya menaiki tangga, kali ini dengan lebih hati-hati, menahan napas tiap kali kakinya menyentuh anak tangga yang berderit pelan.
Namun tak lama, sebuah suara keras menggema dari luar dinding beton, seperti sesuatu yang besar menghantam bangunan dengan kekuatan luar biasa. Debu-debu kecil jatuh dari langit-langit tangga.
"KHU! Itu apaan!?" bisik Aditya dengan nada lebih panik, tubuhnya membeku di tempat.
"Tenang! Itu hanya suara, mungkin makhluk itu sedang mencari sesuatu. Atau mungkin..." Khu berhenti bicara.
"Mungkin apa!? Jangan diem gitu dong, bikin deg-degan!"
"...Mungkin dia sedang mencoba masuk ke dalam."
Aditya langsung terdiam, wajahnya pucat seketika. "Lu serius!? Monas ini bisa ditembus nggak sih? Kan beton ini tebel banget?"
"Tidak ada yang mustahil untuk makhluk yang selevel ini, Aditya. Tapi jika dia benar-benar besar seperti dugaanku, maka ruang dalam tangga ini terlalu sempit untuknya. Dia hanya bisa mencapaimu jika dia menghancurkan struktur ini. Jadi..."
"JADI APA!?" Aditya kini setengah berteriak, meski masih berusaha menekan suaranya.
"Jadi, kau harus lebih cepat sebelum seluruh bangunan ini runtuh," jawab Khu dengan nada datar.
Tanpa berpikir panjang, Aditya mulai menaiki tangga dengan kecepatan gila, melupakan kelelahan yang dirasakannya sebelumnya. Tangannya meraba dinding untuk keseimbangan, sementara suara-suara menghantam semakin keras dari luar, seperti makhluk itu sedang mencoba meruntuhkan tembok Monas.
"Gua nggak mau mati kayak begini, Khu! Lu harus kasih gua rencana yang lebih jelas!" teriak Aditya di tengah larinya.
"Rencananya sederhana, Aditya," jawab Khu, suaranya tetap tenang meskipun situasi semakin kacau. "Lari lebih cepat. Sampai di puncak. Dapatkan Mana itu. Dan setelah itu..."
"Setelah itu apa!?" Aditya terus berlari, kini hampir sampai di ujung tangga.
"Setelah itu... kita lawan dia," jawab Khu dengan nada penuh keyakinan.
Aditya mendadak terdiam beberapa saat, menoleh sedikit ke atas, lalu mendesis. "Serius, Khu? Lawan? Lu yakin nggak ada opsi lain kayak, uh... teleportasi keluar dari sini?"
Khu tertawa pelan. "Percayalah, Aditya. Kau sudah lebih kuat dari yang kau pikirkan."
Aditya mendengus, kini hanya bisa fokus pada satu hal: sampai ke puncak sebelum makhluk itu benar-benar menghancurkan Monas di atas kepalanya.
Aditya terus berlari menaiki tangga yang semakin terasa sempit, napasnya semakin berat, kakinya terasa nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya. Suara retakan keras dari dinding beton di belakangnya terdengar jelas, seperti peringatan akan datangnya kehancuran.
Tiba-tiba, suara gemuruh menggema, dan dinding beton di belakangnya akhirnya runtuh. Sebuah kepala besar, bersisik gelap dengan mata merah menyala, muncul dari reruntuhan. Ular raksasa itu menatap Aditya, lidah bercabangnya menjulur keluar, seolah-olah mencium keberadaan mangsanya.
"Aditya, LARI!" teriak Khu di dalam benaknya.
"GUA UDAH LARI, KHU!" teriak Aditya panik sambil melesat menaiki anak tangga.
Ular itu meraung, suara menggelegarnya mengguncang tangga, membuat debu dan serpihan kecil jatuh dari langit-langit. Dengan kecepatan yang tak masuk akal untuk tubuh sebesar itu, makhluk itu melesat mengejar Aditya, tubuhnya yang panjang menghancurkan dinding beton seiring pergerakannya.
"Cepat sekali, sialan!" Aditya mendesis, matanya melirik ke belakang hanya untuk melihat tubuh raksasa ular itu semakin mendekat. Angin deras yang dihasilkan dari pergerakannya membuat rambut Aditya berkibar, sementara serpihan beton beterbangan di sekitarnya.
"Aditya, fokus pada tangga! Jangan lihat ke belakang!" Khu memperingatkan dengan suara tegas.
Namun, sulit untuk tidak melirik ketika raungan memekakkan telinga ular itu kembali terdengar, kali ini diiringi percikan cairan hijau dari mulutnya yang menggerogoti dinding beton seperti asam.
"APA!? DIA NGELUARIN ASAM JUGA!?" Aditya berteriak, kepanikannya makin memuncak.
"Itu bukan asam biasa, Aditya," jelas Khu dengan nada mendesak. "Itu adalah Venomflux—racun magis yang bisa membuat tubuh mu terbakar. Jangan sampai terkena!"
"BAGUS! KENAPA BARU NGASIH TAHU SEKARANG!?" Aditya berteriak, kakinya berusaha menaiki anak tangga lebih cepat lagi. Namun ular itu, seolah mengejek, mengayunkan ekor raksasanya, menghantam struktur tangga di atas Aditya.
Tangga yang hancur membuat Aditya tersandung dan jatuh berguling ke bawah beberapa anak tangga. Kepalanya hampir membentur dinding sebelum dia berhenti dengan tangan gemetar.
"Khu! Gua nggak bisa terus kayak gini! Ini ular gila banget!" Aditya bangkit, meskipun tubuhnya mulai terasa lemah akibat rasa takut yang terus menggerogoti pikirannya.
"Kuatkan dirimu, Aditya. Kau tak boleh menyerah sekarang!" Khu membalas dengan tegas.
Ular itu kini menyeringai, seolah tahu bahwa mangsanya mulai kelelahan. Dengan satu gerakan cepat, makhluk itu melesat ke arah Aditya, mulutnya terbuka lebar, siap menelan pemuda itu bulat-bulat.
Namun Aditya, didorong oleh insting bertahan hidupnya, melompat ke samping tepat sebelum kepala ular itu menghantam tangga, menghancurkan bagian di mana Aditya berdiri beberapa detik sebelumnya.
"GUA NGGAK MAU MATI DI SINI!" teriak Aditya, kini melesat ke atas dengan langkah secepat mungkin.
"Kau tidak akan mati jika mendengarkanku!" balas Khu dengan nada mendesak. "Gunakan Voidstep! Fokuskan pikiranmu untuk melompat tanpa terikat ruang. Ini satu-satunya cara agar kau bisa selamat dari serangan itu!"
Aditya, meski panik, memejamkan matanya sejenak sambil terus berlari. Ia mencoba merasakan energi gelap yang kini mengalir di tubuhnya. "Voidstep, ya? AYO LAH, BERHASIL!"
Saat ular itu kembali menerjang dengan kecepatan kilat, Aditya memfokuskan pikirannya. Dan tiba-tiba, tubuhnya menghilang dalam bayangan gelap hanya sepersekian detik sebelum serangan itu mengenai.
Ia muncul kembali beberapa meter di atas tangga yang lebih tinggi, napasnya terengah-engah tapi matanya terbuka lebar. "BERHASIL! GUA BERHASIL!"
Namun, Khu memotong euforia kecil itu dengan nada dingin. "Jangan terlalu senang dulu, Aditya. Ular itu semakin marah. Dan kalau kau lengah, kau akan menjadi makan malamnya."
Di bawah, ular itu meraung lebih keras lagi, tubuhnya menggeliat liar, menghancurkan lebih banyak struktur tangga. Aditya tahu, ini belum selesai. Dengan tenaga yang tersisa, ia terus berlari, berharap mencapai puncak sebelum Monas benar-benar runtuh. "Monas ini tempat gue cari harapan atau tempat gue mati konyol sih!?" gerutunya sambil memacu dirinya lebih keras.
Aditya terus berlari dengan napas terengah-engah, tubuhnya nyaris menyerah, tapi matanya tetap terfokus pada tujuan utamanya. Cahaya terang dari lidah api Monas kini semakin jelas terlihat, pancaran Mana yang berputar-putar seperti pusaran angin menyelimuti bagian puncaknya.
"Itu dia! Aku bisa melihatnya, Khu!" teriak Aditya dengan semangat, meski tubuhnya terasa seperti akan runtuh kapan saja.
"Jangan berhenti sekarang, Aditya! Kau hanya perlu memanjat ke lidah api itu dan menyerap Mana-nya," ucap Khu tegas, suaranya penuh keyakinan.
Aditya mencapai puncak tangga, matanya menyapu pandangan sekeliling yang penuh reruntuhan. Namun, harapannya hancur seketika saat suara gemuruh kembali terdengar. Ia berbalik, dan di sana, ular raksasa itu muncul dari celah besar di dinding, tubuhnya memanjang hingga memenuhi ruang sempit di bawah lidah api. Mata merahnya menyala, penuh kebencian.
"Sialan, dia nggak mau menyerah juga, ya!?" Aditya menggerutu, matanya membelalak melihat makhluk itu semakin mendekat.
"Makhluk ini terobsesi padamu karena energi Mana di atas, Aditya. Kalau kau lengah, dia akan menghentikanmu sebelum kau sempat menyentuhnya," ucap Khu mengingatkan.
"Nggak ada pilihan lain, gua harus naik sekarang!"
Aditya berlari menuju pilar emas besar yang menopang lidah api. Ia mulai memanjatnya, tangannya meraih setiap celah yang ada dengan susah payah. Peluh membanjiri wajahnya, tapi ia terus memaksakan tubuhnya naik.
Di bawah, ular raksasa itu meraung dengan kemarahan yang mengguncang puncak Monas. Dengan gerakan yang mengejutkan, makhluk itu melilitkan tubuhnya di sekitar pilar, menghancurkan sebagian dari strukturnya sambil terus mendaki mendekati Aditya.
"Cepat, Aditya! Jangan berhenti!" Khu mendesak, nadanya mulai serius.
Aditya terus memanjat, kakinya gemetar, tangannya hampir tak mampu lagi mencengkeram logam dingin yang licin. Napasnya semakin berat, tapi ia berhasil mencapai hampir tiga perempat bagian pilar.
Namun, saat ia meraih lebih tinggi, ular itu melancarkan serangan. Dengan ekor besarnya, ia menghantam pilar, menciptakan getaran hebat yang membuat Aditya kehilangan keseimbangan.
"WOAH! SIAL!" teriak Aditya, tangannya tergelincir sesaat sebelum ia berhasil mencengkeram kembali, tubuhnya menggantung.
"Aditya, fokus! Jangan biarkan dirimu jatuh!" Khu berteriak, tapi suaranya terdengar seperti gema jauh di kepala Aditya yang kini mulai dipenuhi kepanikan.
Ular itu membuka mulutnya, memuntahkan cairan hijau ke arah pilar. Racun tersebut mulai menggerogoti logam, membuat pegangan Aditya semakin licin. Dengan usaha terakhirnya, Aditya mencoba memanjat lebih cepat, tapi racun itu terlalu cepat menghancurkan pijakannya.
"KHU! GUA NGGAK BISA TAHAN LAMA LAGI!" Aditya berteriak, tapi pada saat itu ular tersebut mengayunkan ekornya sekali lagi, menghantam pilar dengan kekuatan penuh.
Pilar itu retak, dan Aditya kehilangan pegangan sepenuhnya. "TIDAAAAK!" Ia jatuh dari ketinggian, tubuhnya meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mematikan. Angin menghantam wajahnya, dan ia hanya bisa menatap puncak Monas yang semakin menjauh.
"Aditya!" Khu berteriak, suaranya kini penuh emosi.
Aditya menutup matanya, tubuhnya terasa ringan seiring gravitasi menariknya ke bawah. Dalam pikirannya, ia hanya bisa mengingat bagaimana ia nyaris berhasil. Tapi ini tampaknya adalah akhir baginya.
Saat tubuhnya mendekati tanah, tiba-tiba bayangan hitam menyelimuti tubuhnya. Sebuah portal gelap terbuka di bawahnya, menghisapnya tepat sebelum tubuhnya menghantam tanah. Suasana menjadi hening, seolah waktu terhenti.
"Aditya... kau belum boleh mati di sini," suara Khu terdengar samar, penuh dengan nada keputusasaan. "Aku akan memberimu satu kesempatan lagi."
Aditya membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa dingin, seperti melayang di dalam kegelapan tanpa akhir. "Apa... apa aku masih hidup?" tanyanya dengan suara gemetar, dan Khu menjawab, "Belum waktumu untuk mati, Aditya. Tapi kali ini, kau harus lebih kuat, atau dunia ini akan menjadi milik mereka."
Kegelapan itu mulai memudar, dan tubuh Aditya tiba-tiba meluncur kembali ke realitas. Ia mendapati dirinya terjatuh di reruntuhan bawah Monas, tubuhnya penuh luka, tapi ia masih bernapas. Namun, di atas, ular raksasa itu masih menunggu, dengan tatapan yang lebih buas dari sebelumnya.
Aditya berdiri tegak, tubuhnya terasa nyeri dan lelah, namun matanya kini menyala dengan tekad yang baru. Suasana di sekelilingnya terasa semakin mencekam, dan suara raungan ular yang semakin dekat hanya menambah intensitas ketegangan yang melingkupi.
"Maaf, Khu. Gua udah bikin lu kecewa," ucap Aditya, suaranya tenang, namun penuh dengan rasa penyesalan. Ia menatap ular raksasa yang semakin mendekat dengan wajah yang kini tak lagi dipenuhi keraguan, hanya ada satu tujuan di benaknya: kemenangan.
Dengan satu gerakan cepat, Aditya mengangkat tangannya, dan aura hitam yang memancar dari tubuhnya seperti energi gelap yang menakutkan, menyelimuti sekitarnya. Udara di sekelilingnya menjadi berat, penuh dengan kekuatan yang terpendam, siap untuk meledak.
"Sejak kapan kau menjadi serius seperti ini, Aditya?" tanya Khu, suaranya lebih terkejut daripada sebelumnya.
"Entahlah... rasanya seperti adrenalin yang memuncak." Jawaban Aditya keluar dengan ketenangan yang hampir menakutkan, suaranya serasa terbawa angin malam yang dingin. Tidak ada rasa takut di sana. Yang ada hanya fokus dan kebekuan.
Aditya perlahan melangkah maju, kakinya menginjak tanah dengan kekuatan yang tak tertandingi. Setiap langkahnya diiringi dengan hembusan napas yang terdengar berat, tetapi penuh dengan keyakinan. Di depannya, ular itu meluncurkan serangan ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa, tubuhnya bergerak seperti badai yang siap menelan apapun yang ada di depannya.
"Kemarilah kau! Dasar Aberasi ular sialan!" teriak Aditya, suaranya bergaung di tengah kegaduhan.
Ular itu meraung, giginya tajam dan siap menghancurkan siapa saja yang berani menghalanginya. Ia meluncurkan serangan ganas dengan lidah api yang menyala, bergerak cepat seperti kilat menuju tubuh Aditya. Tetapi kali ini, Aditya tidak mundur. Ia berdiri tegak, pandangannya dingin, tanpa keraguan sedikit pun.
Saat ular itu semakin mendekat, Aditya menutup jarak dengan tubuh yang bergerak cepat dan terkoordinasi. Ia mengangkat tangan kanannya, menciptakan bola energi hitam yang berputar di antara jari-jarinya. "Kau sudah salah memilih lawan, Aberasi."
Dengan kecepatan yang luar biasa, Aditya melemparkan bola energi itu ke arah tubuh ular yang besar. Saat bola itu mengenai ular, ledakan hebat terjadi, mengeluarkan kekuatan yang mengguncang seluruh bangunan Monas. Tubuh ular itu terlempar beberapa meter ke belakang, menabrak dinding dengan keras, membuat retakan besar muncul di sekitarnya.
Namun, ular itu tidak berhenti. Dengan raungan yang lebih menggila, ia kembali bangkit, darah hitam mengalir dari tubuhnya yang terluka, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan mundur. Aditya tidak gentar, ekspresinya tetap dingin, penuh perhitungan.
"Kuharap ini cukup untuk menghentikanmu."
Aditya mengerahkan lebih banyak energi, tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terakumulasi di dalamnya. Bola energi hitam lainnya muncul, lebih besar dan lebih kuat dari sebelumnya.
Ular itu menyeringai, merangkak maju dengan kecepatan yang lebih tinggi, siap untuk menyerang lagi. Namun, kali ini, Aditya sudah menyiapkan jurus pamungkas. Dalam satu gerakan cepat, ia melompat, tubuhnya meluncur ke udara seperti terbang, sementara bola hitam besar yang ia ciptakan meluncur dengan kecepatan yang lebih dahsyat.
"Perhatian! Ini adalah akhir dari permainan!" teriak Aditya dalam hati, matanya tetap dingin dan penuh tekad.
Bola energi hitam itu meledak tepat di tengah kepala ular raksasa. Ledakan itu menghilangkan keberadaan ular dalam sekejap, tubuhnya hancur berkeping-keping, dan sisa-sisa energi gelap mulai menyebar di udara.
Khu terdiam, terkejut dengan kekuatan yang baru saja dikeluarkan Aditya. "Kau... benar-benar berbeda sekarang, Aditya."
Aditya mendarat dengan tenang, kaki menyentuh tanah tanpa suara. Ia menatap sisa-sisa ular yang hancur itu dengan tatapan kosong, tubuhnya dipenuhi energi yang belum sepenuhnya dilepaskan. "Aku sudah bilang, ini belum berakhir."
Aditya melangkah perlahan ke dalam Monas, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertempuran barusan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara perempuan tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Aditya langsung menoleh, wajahnya berubah waspada. Di hadapannya berdiri seorang gadis misterius dengan mata tajam yang memancarkan aura dingin. Pakaiannya tampak lusuh, tetapi auranya jelas jauh dari biasa.
"Lu siapa? Apa yang lu inginkan!?" tanya Aditya dengan nada tegang, sementara tangannya mulai bersiap mengumpulkan energi hitam.
Khu, yang biasanya tenang, tiba-tiba berbicara dengan nada serius. "Hati-hati, Aditya. Gadis ini... auranya berbeda. Dia bukan orang biasa."
Aditya menatap gadis itu dengan penuh kehati-hatian. Namun, gadis itu hanya menyeringai kecil, lalu dengan santai mengangkat jarinya ke arah atas.
"Kau lihat ke atas deh, coba," katanya ringan, seolah mengabaikan ancaman dari Aditya.
Aditya, meskipun curiga, perlahan mengalihkan pandangannya ke atas. Matanya membelalak lebar saat menyadari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Pancaran Mana yang menjadi tujuannya—yang ia perjuangkan mati-matian—kini telah menghilang sepenuhnya.
"Huh!? Apa!? Kemana pancaran itu!?" teriak Aditya dengan nada panik, tubuhnya gemetar oleh kejutan.
Gadis itu hanya tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada tenang namun penuh tantangan. "Aku sudah menyerapnya duluan."
Aditya menatapnya dengan ekspresi terkejut dan tak percaya, rahangnya mengatup rapat. "A-Apa...?" suaranya hampir tak terdengar.
Di tengah keheningan itu, gadis misterius itu menyeringai lagi, lalu berbalik dengan langkah ringan, meninggalkan Aditya yang masih terpaku di tempat.
"Sampai jumpa. Aku yakin kita akan bertemu lagi," ucap gadis itu sebelum menghilang di balik kegelapan, menyisakan Aditya yang kini dipenuhi pertanyaan dan rasa kalah yang mendalam.
Suara Khu terdengar pelan. "Lebih baik kita pergi saja, Aditya."
"Apa? Tapi kenapa? Itu Mana yang kau idamkan!" Aditya bicara dengan nada sedikit kesal. "Tidak apa-apa. Kita akan mendapatkan nya lain kali."
Aditya terdiam dan jalan meninggalkan area Monas.