Chereads / Games Into Reality / Chapter 4 - EPS-4 Malam yang dingin dan pagi yang cerah

Chapter 4 - EPS-4 Malam yang dingin dan pagi yang cerah

Aditya duduk di bangku halte bus yang sudah berkarat, kepalanya bersandar di tiang sambil menatap langit yang mulai memerah. Nafasnya terengah, menandakan betapa beratnya hari ini.

"Kita sekarang mau kemana, Khu?" tanya Aditya, suaranya pelan namun penuh kelelahan.

Khu muncul dalam bentuk bayangan samar di sisi halte, menyatu dengan gelap yang mulai menyelimuti. Suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Untuk sekarang, lupakan tujuan besar itu dulu. Hari sudah sore, dan malam segera datang. Kau perlu istirahat, Aditya."

Aditya menghela nafas, matanya menatap lantai halte yang dipenuhi debu. "Istirahat? Dengan dunia yang kacau kayak gini? Rasanya salah banget buat tenang."

Khu terkekeh pelan, seperti seorang guru yang tahu muridnya belum memahami pelajaran. "Aditya, seorang prajurit yang berperang tanpa henti akan lebih cepat mati daripada yang tahu kapan harus berhenti."

Aditya mendongak, menatap bayangan Khu dengan dahi berkerut. "Jadi maksud lu, gua harus ninggalin semua ini sebentar? Kayak nggak peduli gitu?"

Khu menghela nafas panjang, suaranya berubah lebih dalam. "Bukan soal tidak peduli. Kau manusia, Aditya, bukan mesin. Tubuhmu punya batas, dan pikiranmu juga. Dunia ini tidak akan peduli jika kau mati karena kelelahan. Tapi kalau kau ingin bertahan... kau harus bijak menggunakan energi dan waktumu."

Aditya terdiam, mencoba mencerna ucapan Khu. Ia mengusap wajahnya, lalu mengalihkan pandangan ke jalanan yang kosong.

"Lu tahu nggak," katanya setelah beberapa saat. "Gua nggak pernah mikir dunia bakal berubah secepat ini. Bahkan sekarang, rasanya kayak gua cuma numpang lewat di tempat yang bukan rumah gua."

Khu tidak langsung menjawab. Beberapa saat kemudian, ia berkata pelan, "Rumah, Aditya, bukan soal tempat. Itu soal keberadaanmu. Selama kau tetap melangkah, kau punya rumah. Dunia ini mungkin sudah berubah... tapi selama kau masih berjuang, kau adalah bagiannya."

Aditya menghela nafas lagi, namun kali ini terasa lebih ringan. Ia bersandar kembali ke tiang, pandangannya kosong namun tidak seputus asa sebelumnya.

"Oke deh, gua bakal istirahat bentar," katanya akhirnya. "Tapi cuma karena lu yang ngomong, Khu."

"Bijak juga akhirnya," jawab Khu sambil terkekeh. "Kita akan memulai perjalanan lagi besok pagi. Tapi malam ini, pelajari dunia ini melalui keheningan. Kau akan tahu lebih banyak daripada yang kau kira."

Langit mulai gelap, dan bintang-bintang kecil bermunculan, seolah ikut menyaksikan pertempuran batin Aditya yang perlahan mereda.

Aditya menyandarkan tubuhnya di bangku halte yang sudah berkarat, menatap langit malam yang perlahan dipenuhi bintang. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang gadis misterius yang tadi ditemuinya.

"Khu, menurutmu gadis yang tadi aneh gak sih?" tanya Aditya, memecah keheningan di antara mereka.

"Kalau dibilang aneh, jelas. Tapi menurutmu aneh dalam hal apa?" Khu menjawab, suaranya terdengar seperti bayangan yang berbisik di benak Aditya.

Aditya menghela nafas, mencoba mengingat momen tadi. "Dia itu... kayak udah tahu banyak tentang dunia ini. Cara dia bicara, sikapnya, semuanya kayak dia bukan cuma bagian dari kekacauan ini, tapi udah memahami apa yang terjadi sepenuhnya."

Khu tetap diam, membiarkan Aditya melanjutkan.

"Terus, ada yang bikin gua makin curiga. Pas kita sampai di area Monas, gak ada Aberasi ular yang muncul sampai beberapa menit kemudian, kan? Gue rasa dia yang menggiring ular itu ke tempat kita buat ngecoh gue." Aditya mengusap dagunya sambil menatap lantai. "Bisa jadi dia juga pemain Rogue Like And Darkness, sama kayak gua. Gimana menurut lu?"

Khu mengeluarkan suara seperti tawa kecil, namun tidak dengan nada meremehkan. "Teorimu cukup masuk akal, Aditya. Dia memang terlalu tenang untuk seseorang yang cuma penduduk biasa. Jika benar dia pemain, itu menjelaskan kenapa dia tahu tentang pancaran Mana di Monas dan berhasil menyerapnya lebih dulu."

"Tapi kenapa dia gak langsung nyerang gua? Kalau emang dia musuh, kenapa harus muter-muter dulu bikin gua sibuk sama ular itu?" Aditya menatap bayangan samar Khu di depannya.

"Mungkin dia sedang menguji kemampuanmu. Atau mungkin... dia belum yakin apakah kau akan jadi ancaman baginya. Kau harus ingat, Aditya, di dunia ini setiap tindakan memiliki tujuan yang tersembunyi. Tidak ada kebetulan, hanya strategi yang tidak kita pahami."

Aditya mengangguk pelan, tapi pikirannya masih berputar. "Kalau gitu, gua harus lebih waspada. Kalau dia pemain, berarti dia bisa jadi musuh atau malah sekutu, tergantung gimana cara gua ngadepin dia."

Khu kembali tertawa kecil. "Kau mulai belajar, Aditya. Dunia ini bukan soal siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang lebih pintar membaca situasi. Kalau kau berhasil memahami langkah orang lain, kau akan selalu selangkah lebih maju."

Aditya menatap langit sebentar, lalu bangkit berdiri. "Oke, kalau gitu gua bakal anggap dia teka-teki yang harus gua pecahkan. Kita gak bisa terlalu lama diam di sini. Yuk, kita cari tempat lebih aman buat malam ini."

"Keputusan yang tepat," jawab Khu. "Tapi ingat, Aditya, setiap langkah ke depan akan semakin sulit. Gadis itu mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar."

Aditya hanya mengangguk, pandangannya tajam dan penuh tekad.

Aditya melangkah santai di jalanan kosong, sesekali menendang kerikil kecil di depannya. Tiba-tiba, tanpa alasan jelas, wajahnya berubah menjadi senyum-senyum sendiri, membuat suasana yang tadinya tegang jadi agak aneh.

"Apa yang kau tertawakan?" suara Khu muncul di pikirannya, dengan nada yang terdengar sedikit terganggu.

Aditya terkekeh kecil. "Nggak kok, cuma mikir aja... Khu, sebelum ketemu gua, apa lu punya teman?" tanyanya santai, sambil melangkah tanpa arah.

Khu terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang datar. "Hmm... Aku biasanya sendiri, hidup di dimensi kekosongan. Tapi, kadang-kadang ada tamu yang datang—dewa-dewi lainnya. Walaupun jujur, itu lebih bikin risih daripada menyenangkan."

Aditya langsung tertawa, seolah baru mendengar sesuatu yang sangat lucu. "Hahaha! Jadi lu ini sebenarnya terkenal kesepian ya, sampai dewa-dewi lain merasa kasihan dan ngunjungin lu! Gila, tragis banget hidup lu, Khu!"

"Candaanmu itu bodoh, Aditya," balas Khu dengan nada datar, tapi terdengar sedikit geram. "Tapi setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kubanggakan darimu."

Aditya langsung penasaran. "Hah? Apaan tuh? Jangan-jangan lu mau bilang gua ini manusia paling jenius yang pernah lu temuin?" katanya, setengah bercanda.

Khu menghela napas pendek. "Jenius? Tidak. Tapi kau harus tahu sesuatu yang lebih besar dari ini semua. Kau sadar kan, para dewa-dewi di dunia ini nggak sama levelnya? Mereka punya kasta, dan itu menentukan kekuatan dan pengaruh mereka."

Aditya mengernyitkan dahi. "Kasta? Kayak... ranking gitu?"

"Ya, semacam itu. Biar kujelaskan," ucap Khu, suaranya menjadi lebih serius. "Ada empat tingkatan utama para dewa. Yang pertama, Low Elder God. Mereka adalah dewa-dewi yang masih terikat oleh ruang, waktu, dan takdir. Intinya, mereka belum benar-benar bebas. Tapi, mereka bisa naik takhta kalau salah satu posisi di atas mereka kosong atau salah satu dewa ada yang menghilang atau mati."

Aditya mengangguk pelan, mencoba mencerna penjelasan itu. "Oke, jadi mereka ini kayak anak magang yang nunggu promosi, gitu?"

"Analogimu memang kasar, tapi tidak salah," jawab Khu dengan nada datar. "Lalu yang kedua, High Elder God. Mereka sudah melampaui batasan ruang, waktu, dan takdir. Para dewa di kasta ini biasanya jauh lebih kuat dan sulit dipahami oleh makhluk fana seperti dirimu."

Aditya mulai tertarik. "Oke, itu keren. Terus yang lebih tinggi lagi apa?"

"Yang ketiga adalah Primordial Elder God. Mereka bukan hanya dewa, tapi perwujudan dari konsep abstrak yang membentuk realitas. Ada dewa waktu, dewa kematian, dan aku, dewa kekosongan," jelas Khu dengan nada bangga.

Aditya terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Jadi lu ini konsep abstrak, ya? Kayak... perasaan kosong pas akhir bulan? Wah, cocok sih sama gua, hahaha."

"Lelucon yang tidak lucu," balas Khu dengan dingin. "Dan terakhir, ada dua entitas yang bahkan melampaui Primordial Elder God, yaitu They Who Makes Dark and Light. Mereka adalah penyeimbang yang menciptakan sisi gelap dan terang. Tanpa mereka, keseimbangan akan hancur."

Aditya mengangkat alis. "Jadi mereka ini kayak... dewa yin-yang gitu?"

"Bisa dibilang begitu," jawab Khu. "Tapi mereka hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar. Yang tertinggi adalah The Divine Being, sang pencipta segalanya. Dia adalah asal mula, akhir, dan alasan mengapa segalanya ada."

Aditya terdiam, mencoba mencerna semuanya. "Wah, berarti gua ini semacam rekan kerjanya salah satu dewa paling tua di alam semesta. Nggak nyangka sih hidup gua bakal kayak gini."

"Rekan kerja?" tanya Khu, terdengar bingung.

"Ya, kan kita kerja sama buat selamat dari semua kekacauan ini," jawab Aditya sambil tersenyum kecil. "Meskipun kadang gua ngerasa lu lebih suka nyuruh-nyuruh doang."

"Lebih baik kau fokus saja pada langkah berikutnya, Aditya," balas Khu, berusaha mengakhiri pembicaraan.

Aditya tertawa kecil lagi, lalu melanjutkan perjalanan. "Santai aja, Khu. Kalau gua bisa selamat dari Aberasi ular raksasa tadi, gua yakin gua bisa ngelawan apapun yang bakal muncul."

Di dalam pikirannya, Khu hanya bisa menghela napas panjang.

Aditya melangkah masuk ke sebuah apartemen yang terlihat lebih baik dibandingkan reruntuhan lain di sekitarnya. Ia menatap bangunan itu dari bawah hingga ke atas, lalu menyeringai kecil. "Hey, lihat itu. Mungkin ada tempat buat istirahat di sini. Yuk, coba masuk aja, siapa tahu rejeki."

"Kalau kau menyebut rejeki adalah bangunan yang mungkin penuh dengan pecahan kaca dan Aberasi, silakan saja," sahut Khu, terdengar sarkastis seperti biasa.

"Santai, Khu. Kadang lu itu paranoid banget sih," jawab Aditya sambil mendorong pintu masuk apartemen itu, yang sudah terbuka setengah akibat kerusakan. Ia mulai mencari-cari kamar yang masih layak, membuka pintu satu per satu sambil bergumam. "Pffft, ini mah lebih kayak nyari kosan murah daripada tempat istirahat..."

"Dan seperti biasa, kau lambat sekali," komentar Khu dengan nada datar.

"Sabar, sabar. Kalau lu punya tangan, bantuin dong bukain pintu!" balas Aditya, mendengus kesal.

Setelah beberapa menit—yang menurut Khu terasa seperti berjam-jam—Aditya akhirnya menemukan sebuah kamar yang masih layak. Ia langsung melemparkan dirinya ke kasur tanpa ragu.

"Aaaah... surga dunia," ucapnya santai sambil menutup mata.

"Bodoh sekali," Khu langsung menyentil pikirannya. "Kalau ada pecahan kaca di kasur itu, kau sudah mati kehabisan darah sebelum sempat bangun."

Aditya hanya tertawa kecil sambil berguling malas. "Yah, risiko hidup. Kalau ada pecahan kaca, minimal gua udah dapet terapi refleksi gratis."

"Terapi refleksi? Dengan pecahan kaca? Kau benar-benar orang paling aneh yang pernah kutemui," balas Khu, terdengar frustasi.

Aditya membuka satu matanya, menyeringai kecil. "Ayo ngaku aja, Khu. Dari semua manusia di dunia ini, gua yang paling menghibur kan?"

"Menghibur? Tidak. Membuatku pusing? Ya," jawab Khu tanpa ragu.

Aditya tertawa terbahak-bahak sambil menendang-nendang udara. "Santai aja, Khu. Hidup udah ribet, masa mau tegang terus sih? Sekarang lu lihat nih, gua bakal tidur dengan damai tanpa peduli apapun."

"Kalau ada Aberasi tiba-tiba muncul, jangan salahkan aku," ucap Khu dengan nada dingin.

Aditya hanya mengangkat bahu, menutupi wajahnya dengan bantal. "Kalau Aberasi muncul, suruh aja mereka antre. Sekarang gua libur dulu."

Khu hanya mendesah panjang di dalam pikirannya. "Terkadang aku bertanya-tanya, kenapa aku memilih inang seperti dirimu..."

Beberapa jam berlalu, suara dengkuran halus Aditya mengisi kamar yang sunyi. Di sudut ruangan, Khu memisahkan dirinya dari tubuh Aditya. Wujudnya perlahan mengambil bentuk yang lebih nyata, tubuhnya tetap diselimuti kabut gelap yang terus bergerak seperti asap yang hidup. Ia berdiri di tengah kamar, menatap tubuh Aditya yang terlelap.

"Seharian bersamanya benar-benar menguras kesabaran," gumam Khu sambil meregangkan tangannya, seolah ingin melepaskan ketegangan yang menumpuk. "Aku, Dewa Kekosongan, terjebak dengan manusia paling tidak serius yang pernah ada..."

Ia berjalan ke arah jendela yang retak, menatap langit malam yang dipenuhi bintang dan bekas ledakan yang menciptakan pola bercahaya aneh di cakrawala. Dengan satu gerakan anggun, ia mengangkat tangannya. Perlahan, cahaya gelap muncul dari telapak tangannya, berkilauan seperti partikel bintang hitam.

"Aspek-aspekku yang setia... yang diciptakan dari kekuatan dan nama yang kuberikan sendiri. Apa kalian mendengar panggilanku?" suaranya bergema rendah, penuh otoritas, dan menggetarkan ruangan kecil itu.

Namun, hanya keheningan yang menjawab. Cahaya di tangannya perlahan memudar, meninggalkan jejak samar-samar di udara.

Khu mengepalkan tangannya dengan ekspresi dingin, matanya yang bercahaya gelap berkilat marah. "Tidak mungkin. Aspek-aspekku tidak mungkin selemah ini. Apakah mereka... benar-benar menghilang? Atau lebih buruk lagi... mati?"

Ia memalingkan pandangannya dari jendela, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak biasa. "Jika mereka hancur... itu berarti ada kekuatan lain yang cukup kuat untuk menghancurkan apa yang seharusnya abadi. Dunia ini memang semakin kacau."

Khu menoleh kembali ke arah Aditya yang masih terlelap di atas kasur, sesekali bergumam tidak jelas dalam tidurnya.

"Dan aku harus mengandalkan bocah ini... Bagaimana aku bisa memenangkan perang dengan manusia yang bahkan tertidur sambil memeluk mie instan?" ucapnya dengan nada sarkastik, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain—seberkas keyakinan yang enggan ia akui.

Khu menghela napas panjang, lalu menyelimuti dirinya kembali dalam kabut gelap dan menyatu ke dalam tubuh Aditya. "Kau adalah kartu terakhirku, Aditya. Jangan buat aku menyesal memilihmu."

Aditya bangun dengan malas, tubuhnya masih terasa pegal setelah perjalanan dan pertarungan kemarin. Dengan menguap panjang, ia meregangkan badannya lalu berjalan ke arah jendela yang penuh debu.

"Selamat pagi, neraka dunia!" serunya sambil membuka jendela dengan gaya dramatis. Namun, alih-alih udara segar, yang ia hirup adalah aroma campuran asap, debu, dan sesuatu yang entah apa. Ia langsung terbatuk.

"Ugh, gua lupa di sini udah kayak tempat pembuangan akhir..." Aditya menutup hidungnya sambil melambai-lambaikan tangan, berusaha mengusir bau itu. "Gila, ini pagi apa uji nyali?"

"Aku tidak mengerti kenapa kau selalu menyapa hari dengan cara yang aneh seperti itu," komentar Khu dengan nada dingin di dalam pikirannya.

"Khu, dengar deh, kalau gua gak menyapa hari dengan semangat kayak gitu, rasanya kayak gua udah kalah sebelum mulai, ngerti gak? Positive thinking itu penting."

"Positive thinking? Kau menyebut menyapa neraka dunia dengan teriakan 'selamat pagi' sebagai bentuk positive thinking? Kau benar-benar makhluk absurd." Khu terdengar seperti menahan tawa, meski ia mencoba tetap terdengar serius.

Aditya menatap keluar jendela, memperhatikan puing-puing kota yang berantakan. "Tapi gak nyangka juga ya, hari pertama gua di dunia kayak gini, gua bisa bertahan hidup. Gua kira gua bakal jadi snack Aberasi sebelum sempat makan malam pertama."

"Oh, aku juga terkejut kau berhasil," balas Khu dengan nada datar. "Mengingat kebiasaan cerobohmu, aku bahkan sudah hampir siap mengucapkan selamat tinggal."

Aditya mengerutkan dahi. "Wah, wah, Khu! Kau ini partner apa pengkritik, sih? Harusnya lu tuh bangga sama gua!"

"Aku bangga, Aditya. Tapi seperti bangga pada burung yang akhirnya bisa terbang setelah jatuh dari pohon dua puluh kali." Khu tertawa kecil, membuat Aditya makin sebal.

"Ah, sudahlah! Kalau begitu, hari ini gua buktikan kalau gua bukan burung jatuh. Lihat saja nanti!" Aditya melangkah keluar kamar dengan ekspresi penuh tekad.

"Baiklah, burung kecilku, ayo kita lihat apakah kau akhirnya bisa melampaui dirimu hari ini," sindir Khu sambil menahan tawa.

Aditya hanya mendengus, tapi senyum kecil muncul di wajahnya. Meski Khu suka mengoloknya, ia merasa ada sedikit kehangatan dalam kata-katanya.

"Oke, yang pertama, biarkan gua sarapan dulu. Perut kosong bikin gua gampang stress." Aditya menjatuhkan diri duduk di lantai sambil membuka tasnya yang hampir kosong. Ia menarik keluar sebungkus mie instan terakhir dengan ekspresi penuh harapan.

"Ah, mie instan... Kamu adalah kebahagiaan sederhana di dunia yang penuh kehancuran ini."

"Kau tahu, Aditya," komentar Khu sambil terdengar skeptis di dalam pikirannya, "mengingat situasi kita sekarang, apakah ini waktu yang tepat untuk romantisasi makanan manusia biasa?"

"Hei, Khu, mie instan itu bukan 'makanan biasa'. Ini adalah seni, tradisi, dan penyelamat hidup semua kaum kere sejak jaman dahulu kala," balas Aditya sambil menyiapkan kayu untuk membuat api. "Kalau di dunia ini masih ada ramen shop, gua pasti akan jadi pelanggan tetap."

Ia mulai menggesekkan dua potong kayu, mencoba menyalakan api. Tapi alih-alih percikan, yang keluar hanyalah bunyi gesekan pelan. Setelah lima menit, wajah Aditya mulai memerah karena capek.

"Aduh, ini kenapa gak nyala sih? Harusnya di film-film, kayu tuh langsung nyala kalau digesek begini. Apa kayu gua KW?"

"Mungkin karena kau tidak tahu cara melakukannya dengan benar," balas Khu santai.

"Tentu saja gua tahu! Lihat, gua gesek... gesek... dan... aduh tangan gua sakit." Aditya mengeluh sambil meniupkan nafas lelah ke tangannya.

"Kau tahu, di saat seperti ini, aku benar-benar menghargai keahlian para manusia gua zaman batu. Kau kalah dari nenek moyangmu, Aditya," sindir Khu.

Aditya mendengus. "Kalau lu punya ide lebih baik, bilang dong!"

"Aku dewa kekosongan, bukan dewa api. Tapi aku bisa memberimu satu solusi: gunakan kekuatanmu untuk menciptakan api."

"Hah? Serius?" Aditya menatap tangannya yang mengeluarkan aura hitam samar. "Tapi bukannya ini buat hal-hal besar kayak menghancurkan musuh, bukan nyalain api buat masak mie?"

"Kau yang bilang mie adalah penyelamat hidup, kan? Cobalah, dan kau akan melihat bahwa kekuatanmu juga bisa menyelamatkan makananmu."

Aditya menghela napas. "Baiklah, tapi kalau ini meledak, gua salahin lu, Khu!"

Dengan hati-hati, ia meletakkan panci di atas potongan kayu, kemudian mengarahkan tangannya yang sudah mengeluarkan aura hitam. Ia mencoba memfokuskan kekuatan itu seperti korek api.

"Pelan-pelan... Pelan... Jangan sampai--"

BOOM! Sebuah ledakan kecil terjadi, membuat mie dan kayu melayang ke udara. Wajah Aditya berubah menjadi penuh debu, dan mie instannya tergeletak di tanah dengan kondisi nyaris hangus.

Khu tertawa kecil. "Setidaknya kau berhasil membuat api... dan membunuh mie instanmu dalam prosesnya."

Aditya menatap mie yang gosong dengan ekspresi penuh kekalahan. "Sial, mie instan! Kau pantas mati sebagai martir. Jangan khawatir, aku akan mengenangmu dengan setiap mie yang gua makan nanti."

"Atau mungkin lain kali kau hanya perlu belajar menyalakan api seperti manusia normal."

Aditya menghela napas panjang, berdiri, dan memungut sisa mie gosongnya. "Fine, gua bakal cari makanan lain... Tapi gua gak bakal lupa tragedi mie pertama ini."

Ia berjalan menjauh dari tempat itu, dengan perut kosong tapi semangat yang masih membara—meski entah kenapa terasa sedikit malu karena sindiran Khu.

"Sekarang kita ngapain ya?" Aditya melangkah pelan di jalanan yang penuh puing-puing, perutnya berbunyi keras seperti sebuah orkestra kelaparan. "Kalau bisa, gua mau nyari warung makan, tapi gua yakin gak bakal ada, kan?"

"Ya, kecuali kau menemukan Aberasi yang tiba-tiba jadi koki dan membuka warung," ucap Khu dengan nada sarkastis di dalam kepalanya.

"Heh, lucu banget," balas Aditya sambil memutar matanya. Ia menendang sebuah kaleng kosong di depannya, melihatnya menggelinding jauh sebelum berhenti di bawah mobil yang terbalik. "Tapi serius, gua harus makan sesuatu. Kalau enggak, gua mati bukan karena Aberasi, tapi karena kelaparan."

"Kau manusia memang lemah. Tubuhmu bahkan tak sanggup bertahan sehari tanpa makanan. Kalau kau dewa seperti aku, kau tak perlu khawatir soal itu."

"Oh, iya? Dewa kekosongan? Apa kau juga kosong di bagian perut?" Aditya menyindir sambil terus berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan sunyi, hanya suara angin yang sesekali terdengar.

Tiba-tiba ia berhenti, mendongak, dan melihat sesuatu di kejauhan. "Hey, Khu. Lihat itu. Itu asap, kan? Ada kemungkinan makanan di sana."

"Atau itu tempat pembantaian baru oleh Aberasi," Khu menanggapi dingin.

Aditya menggigit bibirnya, berpikir sejenak. "Ya, tapi kita gak punya banyak pilihan, kan? Kalau itu Aberasi, gua bakal kabur. Kalau bukan, gua bisa makan. Win-win solution."

"Aku menghargai optimismemu, meskipun seringkali bodoh," jawab Khu, namun ia tetap membiarkan Aditya bergerak ke arah sumber asap.

Ketika Aditya semakin dekat, ia melihat bahwa asap itu berasal dari sebuah gedung kecil yang tampaknya pernah menjadi toko kelontong. Sebagian besar bangunannya hancur, tapi ada cahaya api yang menyala di dalamnya.

"Hey, ada orang di sana!" bisik Aditya, mencoba meredam suaranya.

"Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Bisa saja itu jebakan."

Aditya mendekat perlahan, menunduk di balik sebuah mobil yang terparkir miring. Ia mengintip melalui celah jendela gedung. Di dalamnya, ada seorang pria tua dengan rambut putih acak-acakan sedang duduk di dekat api unggun kecil. Di sebelahnya ada setumpuk makanan kaleng dan botol air.

"Yes! Gua beruntung! Orang itu punya stok makanan!" bisik Aditya dengan mata berbinar.

"Atau mungkin dia akan memukulmu dengan kaleng jika kau tiba-tiba menyerang," sindir Khu.

"Gua gak sebarbar itu. Kita coba cara baik-baik dulu," jawab Aditya. Ia berdiri perlahan, melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, dan mendekati pria tua itu dengan tangan diangkat.

"Pak, tenang, saya bukan musuh," ucap Aditya dengan nada seramah mungkin.

"Ssst... tenanglah, anak muda. Duduklah di sini," ucap pria tua itu dengan suara tenang sambil terus mengocok kartu di tangannya. Tangannya bergerak luwes, seolah sudah ribuan kali melakukannya.

Aditya mengernyit, tapi akhirnya duduk di seberang pria itu dengan raut wajah penuh kebingungan. "Khu, dia kenapa ya? Kok kayak gini?" bisiknya.

"Aku juga tidak tahu. Tapi... orang ini terasa berbeda. Aura kebijaksanaannya seperti selimut tipis yang menutupi kekuatan besar," jawab Khu dengan nada serius di dalam kepala Aditya.

Pria tua itu tersenyum tipis, seolah tahu mereka sedang membicarakannya. "Diam adalah emas, anak muda. Tapi pertanyaan yang terpendam di hatimu ibarat bara yang bisa membakar dirimu sendiri. Jadi, katakan saja—apa yang ingin kau tahu dariku?"

Aditya menggaruk kepalanya. "Err... sebenarnya saya cuma pengen makan, Pak. Tapi Bapak ini kayaknya misterius banget. Ngocok kartu, ngomong pakai peribahasa... Bapak siapa sih, sebenarnya?"

Pria tua itu berhenti mengocok kartunya. Ia menatap Aditya dalam-dalam, seolah menembus isi kepalanya. "Namaku tidak penting, tapi kau boleh memanggilku 'Pria tua dari antah berantah'. Aku hanyalah seseorang yang bertahan di dunia ini, sama sepertimu. Tapi ingatlah, 'setiap pohon yang tumbuh kokoh pernah bergoyang diterpa angin.' Kau juga, anak muda. Kau mungkin merasa lemah sekarang, tapi kekuatan sejati lahir dari badai, bukan ketenangan."

Aditya memiringkan kepalanya. "Oke... itu keren, sih. Tapi, apa hubungannya sama kartu itu?"

Pria itu mengangkat satu kartu, memperlihatkannya kepada Aditya. Itu adalah kartu bergambar api yang menyala di tengah kegelapan. "Kartu ini mewakili perjalananmu. Kau adalah percikan api kecil di dunia yang gelap ini. Namun, api kecil bisa membakar hutan besar, jika kau tahu cara mengarahkannya."

Aditya memutar matanya. "Wah, itu motivasi yang bagus, Pak. Tapi serius, saya lapar. Kalau Bapak gak mau ngasih makanan, saya balik aja."

Pria tua itu tertawa kecil. "Kesabaran adalah jalan yang lurus, tapi keinginan adalah batu yang menggelincirkan. Duduklah sedikit lebih lama, dan kau akan mendapatkan lebih dari sekadar makanan."

Aditya menatap pria itu dengan skeptis, tapi akhirnya bersandar. "Baiklah, terserah Bapak. Tapi kalau ini cuma ceramah panjang, saya cabut, ya."

Pria tua itu meletakkan kartunya di atas meja. "Anak muda, dunia ini tidak lagi sama seperti yang kau kenal. Kau pikir kau bermain permainan? Tidak. Kau sekarang adalah bidak dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa kau pahami. 'Ketika semut berjalan di atas daun, ia tak tahu angin sedang menggerakkan pohon.' Kau mengerti maksudku?"

Aditya mengerutkan dahi. "Jadi... maksud Bapak, saya cuma bagian kecil dari rencana besar?"

"Bukan hanya itu. Kau adalah bagian kecil, tapi kau punya potensi menjadi besar. Kau hanya perlu tahu kapan waktunya menyala dan kapan waktunya bertahan."

"Oke, oke. Jadi, Bapak ini kayak mentor bijak atau semacamnya?"

Pria itu mengangguk pelan. "Katakanlah begitu. Dan sebelum kau pergi, satu hal yang harus kau ingat: 'Air yang tenang menghanyutkan, tapi air yang deras bisa menenggelamkan.' Dalam dunia ini, kekuatanmu bisa menyelamatkanmu atau menghancurkanmu. Pilihlah dengan bijak."

Aditya menghela napas panjang. "Baik, Pak. Saya akan mengingat semua kata-kata motivasi ini. Tapi sekarang, saya tetap lapar. Jadi... gimana? Makanannya ada gak?"

Pria tua itu terkekeh, lalu menggeser satu kaleng makanan ke Aditya. "Ambillah. Tapi ingat, ini bukan sekadar tentang mengisi perutmu, anak muda. Ini adalah awal dari perjalananmu. Dan perjalanan panjang selalu dimulai dengan satu langkah kecil."

Aditya membuka kaleng itu dengan semangat, lalu melahapnya. "Terima kasih, orang tua dari antah berantah. Saya gak tahu kenapa, tapi makan ini jadi lebih enak setelah denger ceramah."

Khu terkekeh di dalam kepala Aditya. "Kurasa kita baru saja bertemu seseorang yang lebih aneh darimu."

Pria tua itu berdiri diam di tempatnya, memandang punggung Aditya yang semakin menjauh. "Anak muda itu... menarik," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Angin pagi yang lembut bertiup, menggerakkan ujung jubah lusuhnya.

Ia mengangkat tangannya, melihat telapak yang sudah penuh keriput, lalu mengepalkan jemarinya perlahan. "Percikan kecil yang bisa menjadi kobaran besar... tapi apa ia akan bertahan cukup lama di dunia ini?" gumamnya, kali ini dengan nada yang lebih berat.

Ia lalu menatap ke langit, di mana awan gelap mulai berkumpul, menggantung rendah seperti pertanda buruk. "Dunia ini semakin haus darah, kekuatan gelap mulai bergerak. Dan kau, anak muda... akankah kau menjadi api yang menerangi jalan, atau abu yang ditiup angin?"

Di tempat Aditya sebelumnya duduk, pria tua itu memungut kartu yang tertinggal di bawah meja kecil. Itu adalah kartu yang bergambar ular melingkar di sekitar pedang, simbol kekuatan yang tersembunyi dan pengkhianatan. "Kau meninggalkan ini, tapi aku yakin kau akan segera memahami artinya. Dunia tidak pernah berjalan tanpa tanda-tanda."

Sambil menatap kartu itu, ia merasakannya bergetar pelan di tangannya. "Oh? Apa yang kau tunjukkan padaku?" tanyanya pada kartu itu, seolah berbicara dengan makhluk hidup. Cahaya samar keluar dari gambar kartu, membentuk bayangan kecil ular yang melata sebelum menghilang. Pria tua itu terkekeh, matanya penuh arti.

"Baiklah, jika itu yang terjadi... aku akan mengamati dari kejauhan. Jangan membuatku kecewa, anak muda."

Suaranya menggema, meskipun ia tidak berteriak. Pria tua itu melangkah mundur, tubuhnya memudar seperti asap yang tertiup angin. Yang tertinggal hanyalah bisikannya yang samar, terdengar di udara sekitar.

"Ingatlah, Aditya. Dalam setiap perjalanan, selalu ada yang mengawasi. Bukan untuk menghentikanmu, tapi untuk melihat seberapa jauh kau bisa melangkah..."

Di kejauhan, Aditya yang masih berjalan berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. "Hmm... rasanya seperti ada yang memanggil," ucapnya lirih.

Khu, di dalam pikirannya, langsung menanggapi. "Lupakan itu, mungkin cuma angin atau firasat kosong. Fokus saja ke tujuanmu selanjutnya."

Aditya mengangguk, tapi tidak bisa menghilangkan rasa aneh yang mendadak menyelimuti hatinya. "Apa mungkin pria tua itu sebenarnya lebih dari sekadar orang aneh?" pikirnya, sebelum kembali melanjutkan langkah dengan wajah penuh tekad.

Sementara itu, di tempat pria tua tadi menghilang, seberkas cahaya biru kecil muncul sebentar, lalu lenyap begitu saja. Seolah menandakan sesuatu sedang bergerak... sesuatu yang lebih besar dari yang Aditya bayangkan.

Aditya melangkah perlahan, setiap gerakannya terasa berat. Pikirannya dipenuhi keraguan yang terus bergema di benaknya. Dia tiba-tiba berhenti, menatap jalan di depannya dengan mata penuh kecemasan. "Khu, gua perlu tahu sesuatu."

"Ada apa?" tanya Khu, suaranya terdengar tenang, tapi jelas dia menyadari perubahan nada Aditya.

Aditya menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saat pria tua itu ngomong 'dalam dunia ini, kekuatanmu bisa menyelamatkanmu atau menghancurkanmu,' gua jadi teringat sesuatu. Lu pernah bilang kalau waktu di game Rogue Like And Darkness, lu itu salah satu bos besar. Biasanya, bos itu selalu identik sama kejahatan. Jadi gua mau nanya langsung ke lu, Khu..."

Aditya mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya. "Apa sebenarnya tujuan lu di sini? Apa lu cuma manfaatin gua? Dan... apa pada akhirnya lu bakal mengkhianatin gua untuk kepentingan lu sendiri?" Suaranya terdengar dingin dan tegas, tak menyisakan ruang untuk basa-basi.

Khu terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak segera menjawab. Hening yang aneh memenuhi udara, membuat suasana semakin menegangkan.

"Aditya..." akhirnya Khu bersuara, dengan nada yang lebih pelan dan berat. "Aku mengerti kenapa kau mempertanyakan itu. Aku memang bos besar di game itu, sosok yang semua pemain ingin kalahkan. Aku adalah perwujudan kekosongan, dan kekosongan tidak memiliki moral. Aku tidak baik, tapi aku juga tidak jahat. Aku adalah... netral. Semua tindakanku bergantung pada perspektif."

Aditya mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap serius. "Itu belum jawab pertanyaan gua, Khu. Apa lu bakal ninggalin gua atau bahkan ngehancurin gua kalau itu demi tujuan lu?"

Khu menghela napas panjang, atau setidaknya itulah yang terdengar dalam pikiran Aditya. "Aku tidak bisa memberikanmu janji kosong, Aditya. Aku adalah makhluk yang hidup selama ribuan milenia tanpa ikatan. Tapi aku juga harus jujur... sejak aku bertemu denganmu, ada sesuatu yang berubah dalam diriku."

Aditya mengernyit. "Berubah gimana?"

"Aku tidak tahu pasti. Mungkin karena kau manusia yang keras kepala. Kau menantangku, mempertanyakan segalanya, bahkan mempertanyakan aku. Itu... mengganggu, tapi juga menarik." Suara Khu terdengar seperti ada tawa kecil yang tertahan.

Aditya menatap ke langit, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi lu sebenarnya belum tahu jawabannya, ya? Gua ini cuma eksperimen buat lu, gitu?"

"Bukan eksperimen," bantah Khu. "Aku lebih melihat ini sebagai... perjalanan. Dan kau adalah partnerku dalam perjalanan ini. Aditya, aku tidak bisa memanfaatkanmu seperti yang kau pikirkan. Kau dan aku terhubung. Jika kau hancur, aku juga hancur. Itu bukan sesuatu yang ingin kualami."

Aditya terdiam sejenak, menimbang jawaban itu. "Jadi kalau gua mati, lu juga mati? Tapi kalau gua selamat... apa lu bakal ninggalin gua setelahnya?"

Khu terdiam lagi, tapi kali ini hanya sebentar. "Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang, aku memilih untuk tetap bersamamu. Karena aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa melangkah, Aditya. Kau berbeda dari manusia lain. Mungkin kau akan mengecewakanku, atau mungkin kau akan menjadi sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa prediksi."

Aditya mengangguk pelan, meskipun rasa ragu itu belum sepenuhnya hilang. "Gua gak bakal ngasih lu kesempatan buat ngancurin gua, Khu. Kalau lu punya rencana aneh, gua bakal ngalahin lu duluan."

Khu terkekeh, suaranya terdengar lebih ringan dari sebelumnya. "Itu semangat yang kusuka dari dirimu, Aditya. Jangan berhenti mempertanyakan segalanya, termasuk aku. Itulah yang membuatmu kuat."

Aditya kembali berjalan, meskipun pikirannya masih penuh dengan pertanyaan. Namun, untuk sekarang, dia memutuskan untuk fokus pada tujuan berikutnya. Di dalam kepalanya, Khu tetap terdiam, seolah membiarkan Aditya merenung dalam keheningan. Tapi di balik itu, ada senyum samar di wajah sang Dewa Kekosongan. "Manusia yang menarik," pikir Khu. "Mungkin perjalanan ini tidak akan seburuk yang kupikirkan."