Jakarta Utara-2025-Indonesia
09:00
"Oi, Aditya! Lama banget lu!" seru seorang temannya dari meja kantin yang sudah penuh dengan suara obrolan riuh.
"Iya, iya, sabar. Ini gue datang," jawab Aditya santai, menenteng semangkuk bakso yang mengepul dan segelas es teh. Ia menarik kursi dan duduk bersama teman-temannya.
"Weh, makan bakso? Tumben amat. Biasanya kan lu mie instan sama air putih doang?" celetuk Bagas, teman dekatnya, sambil nyengir lebar.
Aditya membalas dengan senyum bangga. "Yoi, bro. Baru aja kelar ngejokiin game buat orang. Bayarannya lumayan gede, jadi gue traktir diri sendiri nih."
"Joki lagi? Lu tuh emang gamer hardcore sejati, Dit. Tapi jadi penasaran, game apaan yang bikin lu dapet duit banyak?" sela Reza, sambil mengangkat alis penasaran.
Aditya mengangkat bahu sambil menyeruput es tehnya. "Ah, biasa aja sih. Game RPG lama, klien gue males grind level. Gampang banget."
"Lah, ngomongin game, lu udah tahu belum soal game baru yang lagi ngehype banget?" potong Rio tiba-tiba, suaranya terdengar lebih semangat dari biasanya.
"Game apa lagi, nih?" tanya Aditya sembari mengunyah baksonya dengan santai.
"Wah, parah lu kalau belum tahu! *Rogue Like And Darkness* gitu loh! Lagi booming abis!" Rio menatap Aditya dengan ekspresi dramatis, seakan tidak percaya temannya ketinggalan info.
Aditya menyipitkan mata, pura-pura bingung. "Nama gamenya edgy banget, apaan sih itu?"
"Edgy? Lu serius, Dit?" Rio menggebrak meja, membuat mangkuk bakso Aditya sedikit terguncang. "Game ini tuh kombinasi roguelike sama dunia gelap penuh monster. Grafiknya gila, gameplay-nya brutal, dan katanya sih, tiap keputusan lu bakal menentukan hidup-mati lu di game!"
Reza menambahkan, "Bener, Dit. Gue lihat gameplay-nya di streaming semalam. Orang-orang mati terus di level pertama. Satu langkah salah aja, langsung game over. Tapi justru itu serunya!"
Aditya mengernyit, penasaran tapi berusaha terlihat cuek. "Hah, game kayak gitu? Kayaknya biasa aja deh. Gak beda jauh sama game survival lain."
Rio menyeringai. "Yakin? Katanya, game ini punya rahasia yang belum ada yang berhasil pecahin. Plus, lu gamer sejati, kan? Masa takut coba?"
Aditya terdiam sejenak, lalu memasang ekspresi menantang. "Hah, gue takut? Nggak mungkin. Udah, kirim link-nya ke gue sekarang. Ntar malem gue coba!"
Rio menatapnya penuh kemenangan. "Gitu dong! Siap-siap aja, Dit. Siapa tahu, kali ini bukan cuma game-nya yang bikin lu merinding."
Mereka berbincang bincang sampai jam istirahat selesai.
Ring!!!
09:40
"Anak-anak, bel sudah berbunyi. Silakan naik dan masuk ke kelas masing-masing," suara dari speaker sekolah menggema, memecah suasana kantin yang riuh.
"Anjir, gue pelajaran PKN lagi abis ini," keluh Rio sambil menepuk dahinya. "Gurunya galak, Cok! Mana ada hapalan pasal lagi. Kampret banget."
Aditya terkekeh sambil meneguk sisa es tehnya. "Derita lu, bro. Untung gue Bahasa Indonesia abis ini. Gurunya santai, materinya juga tinggal nulis cerita cinta-cintaan. Easy banget."
"Monyet lu, Dit," balas Rio, mendelik kesal.
Mereka tertawa serempak sebelum akhirnya berdiri, berpisah menuju kelas masing-masing. Namun, di tengah perjalanan, Aditya mendadak teringat sesuatu. "Rogue Like And Darkness, ya?" gumamnya, matanya menerawang. "Kayaknya game itu beneran menarik..."
"Dor!"
Aditya terlonjak kaget, hampir menjatuhkan buku catatannya. Dengan jantung yang masih berdebar, ia menoleh ke belakang. "Anjir, lu ngagetin gue aja!" serunya, menemukan sosok Rika, temannya yang selalu penuh energi.
Rika tertawa puas sambil menutup mulutnya. "Hahaha! Lagian lu diam aja kayak orang linglung. Lagi mikirin apa sih? Jangan-jangan mikirin cewek, ya?" godanya dengan senyum jail.
Aditya mendengus, memasang wajah datar. "Cewek apaan, Rik? Gua aja nggak laku. Ini... Gue lagi mikirin game baru yang rame itu."
"Oh! Rogue Like And Darkness, ya?" tebak Rika, nadanya penuh percaya diri.
Mata Aditya langsung berbinar. "Nah iya, itu! Kata kawan gue game-nya lagi booming banget."
Rika mengangguk kecil. "Emang rame sih, gue juga lihat trailernya keren banget. Tapi... ya gitu, nggak ada waktu buat nyobain."
Aditya terkekeh pelan. "Ya wajar, lu kan OSIS. Aktivitas segudang, mana sempet nge-game. Hidup lu udah kayak jadwal presiden, Rik."
"Eh, jangan lebay gitu dong," Rika menepuk bahu Aditya sambil tersenyum. Namun, tiba-tiba ekspresinya berubah serius, matanya menyipit. "Ngomong-ngomong..." nada suaranya mulai mengancam. "Lu udah bayar kas hari ini, belum?"
Aditya langsung mundur setengah langkah. "Eh, tunggu, Rik. Baru aja ketemu udah nagih-nagih aja. Santai dong."
"Bayar gak lu? Kalau nggak, gue catat nama lu gede-gede di papan pengumuman, terus gue kasih tahu Bu Sri!" ancam Rika, tangan sudah memegang buku kas.
"Anjay, basa-basi lu cuma buat nagih duit gue doang, ya?" Aditya mendengus kesal, sambil merogoh saku celananya. Dengan berat hati, ia mengeluarkan uang lima ribuan. "Tuh, nih! Ambil!"
"Nah, gitu dong. Jangan bikin ribet hidup gue," balas Rika santai sambil merebut uang itu dan mencatat di buku kas. "Oh iya, Dit, makasih ya." Ia melambai sambil berbalik pergi.
Aditya menggeleng pelan, menatap punggung temannya itu. "Dasar bendahara kelas berhati pedagang." Dia tersenyum kecil, lalu bergegas masuk kelas, pikirannya kembali dipenuhi oleh game misterius yang terus menghantuinya. "Rogue Like And Darkness. Apa beneran sekeren itu?"
Aditya memasuki kelas dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih terngiang-ngiang soal Rogue Like And Darkness. Setelah tiba di kursinya, ia menjatuhkan tubuhnya ke bangku kayu yang sudah agak reyot dan mulai membuka buku catatan. Tangannya tergerak untuk menulis, namun fokusnya buyar lagi.
"Game itu bener-bener gila sih, katanya tiap langkah bisa bikin lu mati. Tapi…" gumamnya dalam hati, mencoba mengingat detail obrolan tadi di kantin.
"Dit!" sebuah tepukan di punggungnya membuat Aditya terlonjak. Ia menoleh, mendapati Yuda, temannya yang terkenal selalu panik menjelang pelajaran.
"Lu tugas Bahasa Indonesia halaman 98 udah, gak?" tanya Yuda dengan nada memelas.
Aditya mengangkat alis, mencoba menahan senyum. "Udah sih. Emang kenapa?"
"Yoi, bagi dong. Gue belum ngerjain!" Yuda menepuk-nepuk bahu Aditya lagi seperti mengemis.
"Belum ngerjain? Lah bukannya tugas ini udah dikasih dari minggu lalu?" Aditya melipat tangan di dada, mencoba terlihat seperti guru killer. "Ngapain aja lu minggu kemarin?"
Yuda memasang ekspresi tak berdosa. "Kan gua sibuk…"
Aditya memutar matanya. "Sibuk apa? Nyusahin diri sendiri?"
"Eh, jangan salah, Dit. Gue sibuk cari inspirasi buat bikin tugas ini lebih berbobot."
"Terus inspirasi lu apa?"
"Ya inspirasi lu, makanya gue pinjam!" Yuda tertawa sambil menunjuk buku di meja Aditya.
Aditya akhirnya menyerah sambil mendengus. "Ya udah, nih. Tapi jangan nyontek plek ketiplek, ya. Ganti dikit biar nggak ketahuan." Ia menyerahkan buku catatannya ke Yuda.
Yuda langsung berseri-seri. "Tenang, Dit. Gue ini kreatif. Lihat aja, bakal beda total sama punya lu."
Aditya menatapnya skeptis. "Beda total gimana? Lu cuma ganti kata 'dan' jadi 'serta', kan?"
Yuda terkekeh, tapi tidak menyangkal. Ia langsung duduk di bangkunya sambil mulai menyalin.
Sementara itu, Aditya termenung lagi, pandangannya menerawang ke luar jendela. "Game itu kayaknya bakal susah banget, ya. Kalau gue main, apa gue bisa survive?" pikirnya.
Tiba-tiba, suara Yuda memotong lamunannya. "Eh, Dit."
"Apa lagi?"
"Ini kan tugas bikin cerita pendek, ya?"
"Ya, terus?"
"Lu kok nulisnya kayak soal Matematika?" Yuda mengangkat buku Aditya sambil menunjuk bagian catatan yang penuh coretan rumus.
Aditya melotot, langsung menarik bukunya. "Itu catatan minggu lalu, Tolol! Yang bagian tugas ada di halaman belakang!"
Yuda tertawa terbahak-bahak, nyaris terjungkal dari kursinya. "Hahaha! Yaelah, Dit, fokus dong! Jangan mikirin game mulu, lu!"
Aditya tersipu, tapi langsung membalas dengan santai. "Daripada lu? Fokus aja ke nyontek!"
"Eh, gue bukan nyontek, tapi belajar dari yang terbaik," balas Yuda sambil mengedipkan mata.
Mereka berdua tertawa bersama. Namun, jauh di dalam hati Aditya, rasa penasaran akan game itu semakin kuat. Ada sesuatu yang menariknya ke sana seperti magnet yang tidak bisa ia abaikan. "Ntar malem gue harus coba game itu," pikirnya sambil tersenyum kecil.
Beberapa jam telah berlalu. Pelajaran terakhir yang membosankan akhirnya selesai, dan Aditya berjalan lesu menuju parkiran sekolah sambil membawa tas ranselnya yang penuh dengan buku. Langkahnya terasa lambat, seperti tak ada energi tersisa setelah melewati hari yang melelahkan.
"Ah, akhirnya pulang juga…" gumamnya sambil mendesah lega. Ia melirik ke arah motornya yang terparkir di pojok parkiran. Sebuah motor matic tua yang sudah setia menemaninya ke mana-mana, meski beberapa bagiannya mulai rewel.
Aditya mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan memasukkannya ke kontak motor. Namun sebelum menyalakan mesin, ia berhenti sejenak, memandang langit yang sudah mulai berubah jingga. "Ntar malem gue harus coba game itu," pikirnya, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya lagi.
Ketika ia duduk di atas jok motor dan siap menyalakan mesin, suara familiar terdengar dari belakang.
"Dit, tungguin gue dong!" teriak Yuda sambil berlari kecil menuju motornya sendiri yang diparkir tak jauh dari Aditya.
Aditya memutar kepalanya, menatap Yuda dengan malas. "Cepet, Yud. Gue udah capek banget, pengen buru-buru pulang."
"Eh, sabar napa. Tadi gue nyontek tugas lu aja lu sabar, masa sekarang buru-buru," balas Yuda sambil terkekeh, lalu memasang helmnya.
Aditya memutar bola matanya. "Lain kali, tugas gue bayar pake bensin motor lu, biar adil."
"Ah, dasar kapitalis! Gue cuma minta bantuan kecil aja!" balas Yuda pura-pura kesal.
Sambil bercanda, mereka akhirnya menyalakan motor masing-masing dan berjalan beriringan keluar dari gerbang sekolah. Jalanan sore yang mulai padat dengan siswa-siswa lain yang pulang sekolah membuat perjalanan terasa sedikit lambat.
"Eh, Dit," sapa Yuda, mengimbangi motor Aditya di sisi kanannya.
"Apa lagi, Yud?" jawab Aditya, setengah mengantuk sambil memegang setang motor.
"Game yang tadi lu bilang, Rogue Like And Darkness... itu gamenya berat gak sih? Komputer gue tua, takut nge-lag, bro."
Aditya terkekeh kecil. "Makanya nabung, beli laptop baru. Katanya lu gamer?"
"Gamer sih, tapi gamer miskin. Tau sendiri duit gue abis buat bayar kas kelas terus gara-gara bendahara galak itu."
Mereka tertawa bersama, membayangkan wajah galak Rika yang selalu mengawasi siapa saja yang belum bayar kas.
"Ntar aja gue kasih review setelah gue main malam ini," kata Aditya sambil mengubah topik. "Katanya sih game itu susah banget, tapi gue belum tahu pasti. Baru semalam dengar dari anak-anak."
"Nah, kalau seru, kasih tahu gue, ya. Kalau nggak seru... kasih tahu juga, biar gue nggak buang waktu download!" balas Yuda dengan tawa kecil.
Setelah beberapa menit, jalanan mulai bercabang. Yuda memberi isyarat belok kanan. "Gue lewat sini ya, Dit. Hati-hati di jalan!"
Aditya mengangguk. "Oke, bro. Ntar kita bahas lagi soal game itu."
Setelah berpisah, Aditya melanjutkan perjalanan ke kosannya. Pikiran tentang game Rogue Like And Darkness kembali memenuhi kepalanya. Sesekali, ia melirik langit yang mulai gelap, seolah-olah dunia sedang memberikan tanda. "Gila, gue penasaran banget. Kayak ada sesuatu yang nungguin gue di game itu."
Sesampainya di kos, ia memarkir motor, melepas helmnya, lalu berjalan ke pintu kamar. Setelah membuka pintu, ia langsung terjun ke kasur tanpa melepas sepatu. "Huh, akhirnya sampai juga." Tapi bukannya istirahat, pikirannya terus melayang ke satu hal malam ini akan menjadi malam yang berbeda. "Gue harus coba sekarang. Apa pun yang terjadi, ini pasti worth it."
Setelah akhirnya merebahkan diri sejenak di kasur, Aditya merasa dorongan kuat untuk segera mencoba game yang membuatnya penasaran sejak siang tadi. Ia bangkit dengan enggan, berjalan menuju meja kecil di pojok kamar kosnya. Di sana, sebuah laptop yang usianya hampir menyamai motornya menunggu dengan layar yang berdebu.
Aditya menyalakan laptopnya. Suara kipas pendingin yang berisik seperti pesawat mau lepas landas langsung terdengar. "Astaga, laptop gue ini bener-bener butuh pensiun," gumamnya sambil mengetik Rogue Like And Darkness di mesin pencari.
Tak butuh waktu lama untuk menemukan halaman resmi game itu. Tampilan situsnya keren, dengan latar belakang gelap dan ilustrasi monster yang terlihat sangat detail. Aditya menatap takjub sejenak. "Gila, grafiknya gila sih. Tapi... ini laptop gue kuat nggak, ya?"
Ia menggulir ke bawah hingga menemukan tombol download. Begitu melihat ukuran file-nya, ia langsung melotot. "Anjing, 76 GB? Seriusan?! Tai lah."
Aditya menepuk dahinya sambil mengeluh, tapi rasa penasarannya terlalu besar untuk mundur. "Ya udah deh, bodo amat. Gue download aja. Kalau nggak kuat ya udah, tidur aja." Dengan keputusan nekat, ia menekan tombol download. Bar notifikasi mulai berjalan pelan, menunjukkan bahwa proses unduhan dimulai.
Sembari menunggu, Aditya kembali bersandar di kursi. Tapi pikirannya masih belum tenang. "76 GB itu gila, sih. Kalau cuma buat game doang, pasti ada sesuatu yang beda di sini." Dengan rasa penasaran yang makin memuncak, ia membuka tab baru di browsernya dan mulai mencari tips untuk pemula.
Ketika mengetik "Rogue Like And Darkness beginner guide", ia menemukan berbagai artikel dan forum diskusi. Sebuah thread menarik perhatian matanya: "PERINGATAN: Jangan main game ini tanpa persiapan!"
Aditya mengerutkan dahi. "Lah, apaan nih? Peringatan segala. Main game aja mesti persiapan?" Kliknya membawa dia ke sebuah diskusi panjang di forum gamer hardcore.
Isi thread itu penuh dengan komentar seperti:
- "Game ini bukan buat orang yang gampang nyerah."
- "Persiapkan mental, terutama kalau kamu benci kehilangan progres."
- "Satu langkah salah aja, bisa bikin kamu mulai dari awal."
Aditya menelan ludah, tapi bukannya gentar, ia malah semakin tertarik. "Kayaknya ini tipe game yang bikin frustrasi, tapi nagih. Cocok lah buat gue!" pikirnya dengan senyum penuh percaya diri.
Ia melanjutkan membaca, mencari strategi dasar. Sebagian besar artikel menyarankan untuk memahami mekanisme permadeath dan pentingnya setiap keputusan kecil dalam game. Ada juga banyak peringatan tentang monster yang tidak terlihat di awal permainan, jebakan tersembunyi, dan teka-teki yang mematikan.
Namun, satu komentar di forum itu benar-benar membuat bulu kuduknya berdiri:
"Hati-hati saat mulai main. Game ini terasa terlalu nyata."
Aditya menatap layar dengan mata menyipit. "Terlalu nyata? Apaan sih maksudnya? Palingan cuma gimmick marketing doang." Ia mengabaikannya, memilih untuk fokus pada tips tentang cara bertahan hidup di level pertama.
Waktu berjalan lambat, unduhan game itu masih di angka 50%. Aditya berdiri, meregangkan tubuhnya yang mulai pegal. Ia melirik jam dinding, sudah menunjukkan pukul 22:30. "Oke, sebentar lagi selesai. Gue harus siap-siap buat malam panjang."
Di benaknya, hanya ada satu pikiran: "Malam ini, bakal seru nih.
Aditya meraih cangkir kopinya yang masih mengepulkan asap tipis. Aroma kopi instan memenuhi kamar kosnya yang kecil dan pengap. Ia meneguknya perlahan, berharap kafein dapat mengusir kantuk yang mulai menyerang. Matanya tak lepas dari layar laptop yang menampilkan bar progres unduhan. Setelah berjam-jam menunggu, akhirnya bar itu menunjukkan angka 100%.
"Oke, sudah selesai!" serunya dengan semangat, hampir melompat dari kursinya. Aditya tersenyum lebar, membayangkan petualangan yang akan segera dimulai. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, muncul notifikasi yang membuat senyumnya seketika hilang.
"Ekstrak file untuk melanjutkan instalasi."
Aditya mematung sejenak. "Yaelah, ekstrak file... Ini apalagi?" Ia mendesah sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pasti lama nih. Apalagi file-nya 76 GB."
Ia membuka folder unduhan, mengklik kanan file yang baru selesai, dan memilih opsi Extract Here. Sebuah kotak dialog muncul, menunjukkan estimasi waktu ekstraksi. "Estimasi waktu: 1 jam 24 menit."
"Seriusan?!" Aditya hampir membanting kopinya ke meja. "Ini ekstrak file atau nyeduh kopi buat satu kampung?!" Ia menutup kotak dialog itu dengan enggan dan mencoba mencari cara untuk mengisi waktu.
Aditya berdiri, meregangkan tubuhnya yang pegal setelah duduk terlalu lama. Ia berjalan ke dapur kecil di pojokan kamarnya, mengambil camilan seadanya—sebungkus keripik yang sudah terbuka dan mulai melempem. Kembali ke kursinya, ia menggigit keripik itu sambil memperhatikan layar laptopnya yang tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Untuk mengusir bosan, ia membuka tab browser dan mengetikkan kata kunci, "Tips ekstrak file besar lebih cepat." Namun, hasil pencariannya tidak membantu. Kebanyakan artikel hanya menyarankan hal-hal seperti "gunakan SSD" atau "pastikan laptop Anda memiliki spesifikasi tinggi."
"Ya ampun, laptop gue aja udah kayak nenek-nenek jalan pake tongkat. Mana ada SSD!" gerutunya sambil menutup tab browser dengan frustrasi.
Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membuka video di platform streaming. Salah satu streamer favoritnya sedang bermain game Rogue Like And Darkness, dan Aditya tak sengaja masuk ke momen paling seru: sang streamer sedang melawan monster raksasa.
"Ayo, lawan dong! Jangan cuma kabur!" seru Aditya sambil menonton streamer itu panik dan akhirnya kalah. "Hahaha! Gitu aja takut. Kayaknya game ini nggak sesusah itu deh."
Namun, saat menonton lebih lanjut, ia menyadari bahwa setiap langkah dalam game ini seperti dipenuhi jebakan mematikan. "Oke... mungkin ini bakal lebih sulit dari yang gue kira," gumamnya, mulai merasa sedikit tegang.
Setelah beberapa menit, Aditya melirik kembali ke layar ekstraksi file. Progresnya baru mencapai 12%. Ia menghela napas panjang. "Kalau tahu bakal begini, tadi gue langsung tidur aja dulu."
Namun, alih-alih tidur, ia memutuskan untuk membuka ponsel dan mencari forum-forum diskusi tentang game tersebut. Beberapa komentar membuatnya kembali tertarik:
"Game ini punya rahasia. Ada level tersembunyi yang cuma bisa diakses kalau kamu mati lebih dari 100 kali."
"Hati-hati, game ini punya elemen horor yang nggak biasa. Kadang, ada hal yang nggak sesuai dengan yang kamu lihat."
"Rogue Like And Darkness bukan cuma game, tapi pengalaman yang bikin kamu mikir ulang tentang hidup."
Aditya membaca komentar-komentar itu dengan penuh rasa ingin tahu. Meski proses ekstrak masih lama, ia merasa semakin tak sabar untuk memulai petualangannya sendiri. Kopinya yang sudah hampir habis membuat semangatnya tetap terjaga.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak sambil bergumam, "Satu langkah lagi, Dit. Setelah ini, petualangan dimulai. Gue bakal buktiin kalau gue bisa jago di game ini."
Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sedikit rasa ragu. Seakan-akan game ini menyimpan sesuatu yang lebih besar dari sekadar level dan musuh biasa. Aditya membuka matanya, menatap layar laptopnya lagi, dan tersenyum kecil. "Nggak peduli sesusah apa, gue siap."
Setelah bermenit-menit menunggu, rasa kantuk akhirnya mengambil alih tubuh Aditya. Ia menyandarkan kepala ke kursi, matanya perlahan-lahan terpejam sambil masih memegang keripik yang nyaris habis di tangannya. Laptopnya terus bekerja, menyelesaikan proses ekstraksi file tanpa seorang pun memperhatikannya.
Ketika keripik di tangannya terjatuh ke lantai dengan suara kresek, Aditya tersentak bangun. "Eh?!" serunya, menoleh ke sekeliling kamar yang remang-remang. Ia mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. "Gue ketiduran..." gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun.
Ia melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Jarumnya menunjukkan pukul 23:58. "Ya ampun, udah malem banget!" katanya dengan nada setengah panik, menyadari waktu berlalu begitu cepat. "Tapi... ekstrak file gue udah selesai belum, ya?" pikirnya sambil buru-buru menoleh ke layar laptop.
Benar saja, di layar laptopnya kini muncul ikon game Rogue Like And Darkness yang siap dimainkan. Tulisan Extraction Complete terpampang di layar sebelumnya. Aditya langsung tersenyum puas, rasa kantuknya mendadak hilang.
"Oke! Akhirnya selesai juga," serunya dengan semangat. Ia memegang mouse dan segera mengklik ikon game tersebut. Tapi sebelum memulai, ia menyadari bahwa ia perlu mengatur setelan grafis agar sesuai dengan spesifikasi laptop tuanya.
"Eh iya, hampir lupa. Kalau gue langsung main, laptop gue bisa nge-lag abis ini," gumamnya sambil masuk ke menu pengaturan grafis. Mata Aditya menyapu semua pilihan yang tersedia, mulai dari Ultra hingga Low. Setelah mempertimbangkan sebentar, ia memilih pengaturan Very Low.
"Yaelah, grafik seadanya juga nggak masalah, yang penting gameplay-nya seru," katanya sambil tertawa kecil, mencoba menyemangati dirinya sendiri. Ia juga mematikan fitur-fitur tambahan seperti bayangan dinamis, efek kabut, dan anti-aliasing.
Prosesnya tidak berhenti di situ. Aditya juga mengutak-atik pengaturan kontrol. Ia memastikan tombol-tombol yang digunakan untuk bermain sesuai dengan kebiasaannya. "Oke, WASD standar, tombol serang di klik kiri, lompat di spasi... Sip, aman," katanya sambil mengetes keyboardnya.
Setelah semuanya selesai, Aditya memandang layar laptopnya dengan penuh antusias. Latar belakang game itu menampilkan dunia gelap dengan cahaya merah samar di kejauhan, seperti obor yang berkobar di tengah kegelapan. Musik latar yang misterius mulai terdengar, memberikan nuansa tegang yang menyelimuti kamar kosnya.
Ia meneguk sisa kopinya yang sudah dingin, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Oke, sekarang waktunya. Nggak peduli apa kata orang, gue bakal lihat sendiri seberapa keren game ini." Dengan semangat, ia mengklik tombol Start Game.
Namun, begitu ia memulai, sebuah peringatan aneh muncul di layar:
"Peringatan: Dalam game ini, setiap pilihan yang Anda buat tidak dapat diulang. Pastikan Anda siap untuk menghadapi konsekuensinya."
Aditya mengerutkan kening, sedikit bingung. "Ih, lebay banget. Kok kayak peringatan buat hidup gue? Ini cuma game, bro." Ia mengklik tombol Lanjutkan tanpa berpikir panjang, dan layar laptopnya mulai memudar ke warna hitam.
Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari headset-nya, seperti bisikan yang menggema:
"Selamat datang... Apakah kamu siap menghadapi kegelapan?"
Bulu kuduk Aditya sedikit meremang, tapi ia mengabaikannya dan berkata dengan nada santai, "Hah, drama banget! Ayo lah, mulai aja!" Namun di dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa game ini mungkin bukan game biasa.
Aditya menatap layar laptopnya yang kembali menyala dengan cepat, menampilkan sebuah adegan pembukaan yang membuatnya terpaku. Layar itu memperlihatkan dunia yang gelap dan penuh kehancuran. Langitnya dipenuhi awan hitam yang menggulung, dan suara dentuman seperti gemuruh perang terdengar di latar belakang. Sebuah narasi mulai berbunyi, suara berat yang sama seperti tadi.
"Dunia ini telah tenggelam dalam kehancuran. Kegelapan mengambil alih setiap sudut, menghancurkan apa yang pernah menjadi cahaya. Di sini, hanya yang terkuat yang akan bertahan. Apakah kamu siap untuk menjadi bagian dari mimpi buruk ini?"
Aditya menelan ludah. "Wah, intro-nya keren banget," gumamnya, merasa sedikit tegang tapi semakin penasaran. Ia menggerakkan mouse untuk memilih mode permainan. Pilihannya ada dua: Survival atau Story Mode.
Tanpa pikir panjang, ia memilih Story Mode, berpikir itu akan lebih santai. Namun, sebuah pesan lain muncul:
"Tidak ada mode yang mudah. Setiap pilihan adalah perjalanan tanpa kembali."
"Lah, apa-apaan sih? Santai aja kali!" gerutunya, meski jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia mengklik tombol Confirm, dan tiba-tiba layar berubah lagi, menampilkan karakter utama yang bisa ia sesuaikan.
Aditya menghabiskan beberapa menit membuat karakternya—seorang pendekar dengan pedang panjang dan mantel hitam yang tampak keren. Ia memastikan untuk memberikan nama, tentu saja: "AdityaTheGreat".
"Yah, nama standar, tapi ya udah lah. Yang penting keren."
Setelah itu, game benar-benar dimulai. Karakternya terbangun di sebuah desa yang sudah hancur. Puing-puing bangunan berserakan, dan mayat-mayat terlihat di mana-mana. Suara langkah kaki pelan terdengar dari headset-nya, membuat suasana semakin tegang.
"Aduh, gila ini detail banget. Tapi serem juga ya," gumam Aditya sambil mulai menggerakkan karakternya menyusuri jalan. Ia berhenti sejenak saat melihat sebuah objek bercahaya di depan, lalu mendekat dan mengambilnya. Tulisan di layar menunjukkan: "Rusty Sword Acquired".
"Senjata pertama nih, oke!" serunya sambil mencoba mengayunkan pedang itu ke udara. Namun, sebelum sempat bergerak lebih jauh, suara langkah kaki lain terdengar di dekatnya. Dari kegelapan, sosok monster muncul.
Monster itu memiliki tubuh besar dengan kulit yang penuh luka seperti terbakar, dan mata merah menyala. Namanya muncul di atas kepala monster itu: "Low-Level Abomination".
"Low-level? Hah, kecil ini mah," kata Aditya dengan percaya diri. Ia menekan tombol serang, mencoba melancarkan serangan pertama. Namun, sebelum pedangnya sempat mengenai monster itu, makhluk tersebut bergerak cepat dan menyerangnya lebih dulu.
"DUAR!" Suara pukulan terdengar, dan layar menunjukkan tulisan besar -50 HP. Aditya langsung panik. "Lah?! Damage-nya gede amat!" Ia mencoba menyerang balik, tetapi serangannya terlalu lambat. Monster itu menyerangnya lagi, dan layar kembali berkedip merah dengan tulisan -70 HP.
Aditya buru-buru menggerakkan karakternya menjauh, mencoba mempelajari pola serangan musuh. Namun, monster itu terus mengejarnya tanpa henti. Dengan sisa nyawa yang hanya tinggal beberapa poin, Aditya akhirnya berhasil mendaratkan serangan terakhir, menghabisi monster tersebut.
Monster itu runtuh, dan layar menunjukkan +20 XP. Namun, Aditya tidak sempat merasa lega. Karakter utamanya sudah hampir mati, dan suara berat kembali terdengar.
"Ini baru permulaan. Kematian akan selalu mengintai di setiap sudut."
Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengusap wajahnya yang mulai berkeringat. "Gila, ini baru level pertama, tapi tegang banget!" katanya sambil mengambil camilan yang masih tersisa.
Namun, matanya mulai terasa berat. Ia melirik ke jam laptop, yang menunjukkan pukul 02:17. "Ya ampun, udah pagi aja," gumamnya. "Kalau dilanjutin, gue bisa nggak tidur semalaman."
Ia menyimpan progres gamenya, lalu menutup laptopnya sambil menguap lebar. "Udah lah, istirahat dulu. Besok gue lanjut lagi."
Aditya merebahkan tubuhnya di kasur, matanya terpejam sambil memikirkan apa yang akan ia hadapi di game itu nanti. Namun, ia tidak tahu bahwa keputusannya untuk memainkan game ini akan mengubah segalanya baik di dunia game, maupun dunia nyata yang ia kenal.
Aditya terbangun dengan mata yang masih berat dan tubuh yang terasa pegal. Ia menyipitkan matanya, mengerang pelan karena merasa cahaya matahari pagi yang menyusup ke kamarnya terlalu menyilaukan. "Duh… kenapa matahari pagi rasanya sesilau ini, ya?" gumamnya sambil memutar tubuh, mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di sebelah kasur.
Ketika akhirnya ia berhasil menghidupkan layar ponsel, ia terkesiap. 08:42. "Wah, kesiangan gue! Mati gue, ada kelas pagi hari ini!" serunya panik, langsung duduk tegak sambil menggosok-gosok matanya yang masih terasa lengket. Namun, saat ia membuka mata sepenuhnya, pemandangan di hadapannya membuat tubuhnya langsung membeku.
Kamar kosnya tempat ia biasa tidur dan menghabiskan waktu bermain game tidak lagi utuh. Sebagian besar dinding kamar itu hancur, seperti habis dihantam sesuatu yang sangat besar. Sebuah lubang menganga di sisi tembok, memperlihatkan pemandangan luar yang membuat jantung Aditya berdetak kencang.
"Loh… kok bisa gini?" gumamnya dengan suara pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia berdiri perlahan, kakinya gemetar saat mendekati lubang besar itu. Angin dingin berembus masuk, membawa bau hangus dan debu.
Ketika ia mengintip ke luar dari lubang itu, matanya membelalak lebar, mulutnya terbuka tanpa suara. Pemandangan yang ia kenal perkotaan Jakarta yang biasanya ramai dengan kendaraan dan suara klakson sudah berubah menjadi tempat yang kacau balau dan asing. Gedung-gedung tinggi terlihat runtuh, beberapa terbakar dengan api yang menyala-nyala. Jalanan dipenuhi reruntuhan, dan di kejauhan, Aditya bisa melihat makhluk-makhluk raksasa berkeliaran.
Seekor wyvern, dengan tubuh bersisik hitam dan sayap besar yang mengeluarkan suara gemuruh setiap kali mengepak, melayang rendah di atas kota. Nafasnya mengeluarkan api, melalap sisa-sisa gedung yang masih berdiri. Di bawahnya, seekor ogre raksasa dengan tubuh penuh luka berdarah sedang menyeret mobil-mobil yang hancur, melemparkannya seperti mainan. Monster itu mengeluarkan raungan keras, membuat Aditya refleks menutup telinganya.
"Ini… ini nggak nyata…" bisiknya, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya mimpi buruk. Namun, rasa dingin dari angin yang menerpa wajahnya terasa terlalu nyata.
Ketika Aditya mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia melihat sesuatu yang membuat lututnya hampir lemas. Di antara reruntuhan, ada sosok monster yang lebih kecil, tetapi tak kalah mengerikan hound berkepala dua, dengan tubuh seperti anjing besar yang dipenuhi duri-duri tajam di punggungnya. Makhluk itu tampak mencabik-cabik sesuatu yang dulunya mungkin adalah manusia, meninggalkan genangan darah di bawahnya.
"Gila… gila ini!" serunya dengan suara serak. Ia mundur beberapa langkah dari lubang itu, hampir tersandung meja kecil di belakangnya. Tangan kanannya gemetaran saat meraih ponsel, berharap bisa menelepon seseorang siapa saja yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Namun, layar ponselnya menunjukkan "No Signal".
Aditya mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengendalikan napasnya yang tersengal-sengal. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang saling tumpang tindih. "Apa ini karena game tadi malam? Apa gue masih bermimpi? Kenapa ini kayak dunia game itu?!"
Sebuah suara keras tiba-tiba menggema dari kejauhan, seperti suara gedung besar yang runtuh. Aditya memaksa dirinya mengintip lagi ke luar, meskipun kakinya terasa lemas. Kali ini, ia melihat sosok yang lebih mengerikan titan raksasa dengan tubuh seperti baja, berdiri di tengah kota. Setiap langkahnya membuat tanah berguncang, dan dari mulutnya keluar raungan yang begitu keras hingga memecahkan kaca-kaca yang masih tersisa di gedung-gedung sekitarnya.
Aditya memegangi dinding untuk menjaga keseimbangan, tetapi getaran dari langkah titan itu membuat beberapa barang di kamar kosnya jatuh berantakan. "Gue harus keluar dari sini! Gue nggak bisa diem aja!" teriaknya pada dirinya sendiri, mencoba memotivasi dirinya untuk bergerak.
Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa melangkah keluar dari kamar ini sama saja dengan bunuh diri. Dunia di luar sana penuh dengan monster yang tampaknya lebih kuat daripada apa pun yang pernah ia hadapi, bahkan di game sekalipun. "Tapi kalau gue diem di sini, gue juga bisa mati!" pikirnya, frustrasi.
Aditya menjatuhkan dirinya ke lantai, mencoba menenangkan diri. Dadanya naik-turun cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Oke, Dit, pikir… pikir…" Ia mencoba mengingat-ingat apa pun yang bisa membantunya. Namun, yang terlintas di pikirannya hanyalah tutorial game tadi malam.
"Wyvern, ogre, titan... semua ini dari game Rogue Like And Darkness," gumamnya dengan suara pelan, akhirnya menyadari bahwa dunia yang ia lihat saat ini adalah dunia dari game itu. Tapi bagaimana ini bisa terjadi?
Aditya memegangi kepalanya, merasa kebingungan bercampur panik. Dalam hatinya, ia hanya memiliki satu pertanyaan yang terus berulang: "Bagaimana gue bisa bertahan di sini… dengan cuma pengalaman main satu malam?"