Kiara duduk di sudut meja makan, menatap piring kosong di depannya. Pagi itu, seperti biasa, ibunya sudah pergi ke kantor lebih awal. Kiara tahu bahwa ibunya adalah wanita yang sangat sibuk, seorang eksekutif yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, Kiara semakin merasa bahwa ibunya hanya hadir dalam bentuk fisik saja, sementara perasaan dan perhatian ibu telah hilang entah ke mana.
Kiara melihat jam di dinding, sudah hampir pukul delapan pagi, dan ibunya belum juga muncul dari kamar tidur. Seperti biasa, Kiara yang harus menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan adiknya, Dimas, yang baru berusia delapan tahun. Setelah menyelesaikan sarapan, Kiara memeriksa tugas sekolahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai bergejolak.
Di sekolah, Kiara berusaha tampil seperti biasa. Meskipun teman-temannya sering mengajaknya berbicara atau mengajak makan siang bersama, Kiara merasa sepi. Ia merasa tak ada yang benar-benar mengerti bagaimana rasanya menjadi anak yang tinggal dengan ibu yang hampir tidak pernah di rumah.
Siang itu, setelah sekolah selesai, Kiara pulang ke rumah dan langsung menuju kamar Dimas. Ia memeriksa apakah adiknya sudah mengerjakan PR-nya atau belum. Dimas memang belum terlalu mengerti tentang tanggung jawab, jadi Kiara selalu memastikan bahwa ia yang mengawasi adiknya. Namun, suasana hati Kiara semakin buruk saat ia mendengar suara pintu depan yang terbuka.
"Ibu pulang," kata Kiara dalam hati, meski suaranya terdengar datar. Ibunya sudah pulang, tapi Kiara tahu, itu hanya untuk melemparkan tas di ruang tamu, kemudian bergegas kembali ke ruang kerjanya.
Seperti biasa, ibunya tidak memperhatikan Kiara atau adiknya. Bahkan, ketika Kiara sudah menyiapkan makan malam, ibunya hanya sekilas menatap dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Maaf, aku sibuk. Kita makan nanti saja," ujar ibunya tanpa melihat Kiara.
Kiara merasa hatinya hancur. Di dalam rumah yang penuh dengan barang-barang mewah dan perabotan yang bagus, Kiara merasa kesepian. Ibunya tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi dalam hidup Kiara. Bahkan ketika Kiara merasa cemas tentang ujian yang akan datang atau saat Dimas sakit, ibunya lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan pekerjaannya.
Pada malam hari, setelah Dimas tertidur, Kiara duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan dari ibunya. Tidak ada kata-kata penghiburan atau perhatian. Kiara merasakan perasaan yang semakin dalam—rasa terabaikan dan terlupakan. Ia mencoba menghubungi ibunya, tetapi selalu sama. Tidak ada yang menjawab.
Malam itu, Kiara berpikir tentang masa lalu, tentang bagaimana dulu ia merasa ibunya adalah sosok yang kuat dan penuh kasih. Namun, semuanya berubah sejak ibu mulai bekerja lebih banyak. Kiara tidak tahu apakah itu karena kesibukan ibu yang terus meningkat atau karena sesuatu yang lebih dalam. Yang jelas, hubungan mereka semakin jauh, dan Kiara merasa dirinya semakin sendiri.
Dengan langkah pelan, Kiara menuju ke kamar tidurnya, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Ia merindukan perhatian dan kasih sayang ibunya, tetapi semakin ia berharap, semakin jauh ibunya menjauh.
"Apakah aku tidak cukup penting untuk ibu?" pikir Kiara dengan suara bergetar. Ia merasa kelelahan, baik secara fisik maupun emosional. Namun, di dalam hatinya, Kiara tahu bahwa ia harus mencari cara untuk memahami ibunya, meskipun itu berarti ia harus mencari peran ibu yang hilang dalam hidupnya.
Kiara duduk di meja belajarnya, menatap lembaran tugas yang belum tersentuh. Matanya terasa lelah, namun pikirannya jauh melayang. Setelah ibunya pulang tadi malam, mereka hanya duduk bersama sebentar. Ibu Kiara tidak banyak bicara. Biasanya, Kiara merasa ada sedikit kehangatan di antara mereka saat mereka berbicara tentang kehidupan, tetapi malam itu, segala sesuatunya terasa dingin dan jauh.
Tugas sekolah yang ada di hadapannya tidak membantu. Kiara tidak bisa fokus. Setiap kali ia menulis, bayangan ibunya yang duduk di ruang kerjanya dengan laptop terbuka, menatap layar seolah-olah dunia di luar sana tidak ada artinya, menghantui pikirannya.
"Ibu, kenapa kamu begitu sibuk?" tanya Kiara dalam hati. Tidak ada jawaban, hanya sepi yang mengisi ruang itu.
Di sekolah, Kiara mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya. Ia berbicara dengan teman-temannya, tertawa dengan cara yang terdengar sedikit dipaksakan. Namun, saat bel istirahat berbunyi, Kiara menemukan dirinya sendirian, duduk di pojok lapangan sekolah, melihat teman-temannya berkelompok dengan keluarga mereka yang tampak hangat. Semua orang tampaknya memiliki sosok ibu yang peduli, sementara Kiara merasa seperti berada di dunia yang berbeda.
Setiap pulang sekolah, Kiara lebih memilih untuk pulang sendiri, menghindari keramaian. Ia tahu apa yang akan terjadi saat sampai di rumah: Ibunya akan sibuk di ruang kerjanya, tidak akan ada percakapan hangat seperti yang diinginkannya. Tidak ada yang akan menanyakan bagaimana harinya, atau apakah Kiara merasa baik-baik saja.
Hari itu, sesampainya di rumah, Kiara langsung menuju kamar Dimas. Adiknya, Dimas, sedang bermain dengan mainannya, tampak ceria meskipun tidak tahu apa yang terjadi di sekitar mereka. Kiara menghela napas dan memandang adiknya dengan lembut.
Dimas melihat Kiara dan tersenyum. "Kak, mau main?" tanyanya dengan mata yang bersinar cerah.
Kiara memaksakan senyum di wajahnya. "Kita bisa main nanti, Dimas. Ayo, kamu sudah makan?"
Dimas mengangguk dengan ceria. "Sudah, Kak. Ibu bilang makan malam nanti."
Kiara merasa perasaan hangat datang saat melihat senyum adiknya. Meskipun ibunya selalu sibuk, Dimas selalu bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik. Namun, Kiara juga tahu bahwa Dimas tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Meskipun ia sangat menyayangi adiknya, Kiara merasa dia harus menjaga dirinya sendiri, terutama saat ibu mereka tidak bisa memberikan perhatian yang diinginkan.
Malam itu, setelah Dimas tidur, Kiara duduk di meja belajarnya lagi. Ia membuka buku catatannya, tetapi matanya tidak bisa fokus. Semua yang ada di kepalanya hanya tentang ibunya. Ia tahu ibunya mencintainya, tetapi rasanya cinta itu terlupakan di balik tumpukan pekerjaan dan dunia yang seolah menguasai ibu. Kiara ingin merasa penting bagi ibunya, namun kenyataannya, ia lebih sering merasa seperti bayangan yang tak terlihat.
Kiara akhirnya mengirimkan pesan kepada ibunya di ponselnya: "Ibu, bisa kita bicara malam ini?"
Namun, setelah beberapa lama, tidak ada balasan. Kiara merasa hampa. Ini bukan pertama kalinya. Ibunya tidak akan punya waktu untuknya. Kiara merasa semakin kecil, semakin tak berarti.
"Ibu," bisiknya, "kenapa aku merasa begitu jauh darimu? Kenapa aku merasa seperti aku bukan bagian dari hidupmu?"
Di luar, suara hujan mulai terdengar, menambah kesunyian malam yang sudah terasa berat. Kiara menatap jendela kamar, melihat hujan yang turun dengan derasnya. Ia merasa seolah-olah hujan itu membawa kesedihan yang sama dalam hatinya. Namun, di balik kesedihan itu, ada satu harapan kecil: mungkin, suatu hari nanti, ibunya akan melihatnya, mendengar apa yang sebenarnya dirasakannya. Mungkin, suatu hari nanti, Kiara tidak perlu lagi mencari peran ibu yang hilang, karena ibunya akan benar-benar ada untuknya.