Kiara terjaga di tengah malam, mendengar suara pelan dari luar kamar. Suara pintu yang dibuka sedikit, lalu tertutup kembali. Mungkin itu hanya Dimas yang kembali ke kamarnya, atau mungkin ibunya yang pulang larut malam, seperti biasa. Namun, tak ada suara langkah kaki, tak ada ucapan selamat malam, yang biasanya terdengar meski hanya sekadar formalitas.
Kiara menatap langit-langit kamarnya, mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, beban yang semakin berat seiring berjalannya waktu. Meskipun ia sudah terbiasa dengan sepinya malam ini, perasaan kesepian yang datang tak pernah bisa hilang. Hati Kiara bergetar ketika ia teringat saat-saat kecil dulu, saat ibunya selalu ada untuknya, saat mereka bisa berbicara tentang apa saja, berpelukan tanpa perlu berpikir tentang waktu.
Namun itu semua sudah berubah. Seiring berjalannya waktu, ibunya semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Kiara sering merasa seperti tidak ada lagi tempat untuk dirinya di dalam rumah ini, seolah ia hanya menjadi pengisi ruang yang tak lagi dibutuhkan. Ibunya datang dan pergi sesuka hati, tak pernah ada percakapan panjang yang penuh perhatian.
Hari itu, Kiara kembali pulang dari sekolah, merasa lelah dan kosong. Ia tidak berharap banyak, tetapi ketika ia memasuki rumah, ia berharap sedikit kehangatan, sedikit perhatian, setidaknya ada ucapan selamat datang. Tetapi rumah itu tetap sunyi. Dimas, seperti biasa, sudah di kamar, tenggelam dalam dunia video gamenya.
Kiara berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sepi, di mana biasanya mereka bertiga—ibunya, Dimas, dan dirinya—akan makan bersama. Tetapi malam itu, hanya ada dirinya sendiri. Hanya ada kenyataan yang semakin nyata bahwa rumah ini semakin terasa asing.
Malam itu, ibunya akhirnya pulang. Namun, Kiara tak merasa kegembiraan. Hanya ada rasa kosong yang menanti. Ia ingin berbicara, tapi kata-kata itu seperti terhenti di tenggorokannya, tidak tahu harus dimulai dari mana. Kiara menunggu ibunya untuk menghampiri, memberikan sedikit perhatian, tetapi ibunya hanya meletakkan tas kerja di atas meja dan melangkah pergi menuju kamarnya.
"Ibu…" Kiara akhirnya mencoba membuka pembicaraan. Suaranya hampir terdengar ragu. Ibunya hanya menoleh, menatap Kiara dengan lelah, lalu mengangguk. "Ada apa, Kiara?"
"Aku cuma… cuma ingin bicara." Kiara merasa lidahnya kelu. "Kenapa kita semakin jarang berbicara? Kenapa semuanya terasa jauh?"
Ibunya menarik napas panjang, lalu duduk di kursi. "Kiara, aku tahu kamu merasa seperti itu, tapi… kamu tahu kan, aku bekerja keras untuk kalian berdua. Semua ini untuk masa depanmu."
Kiara menunduk. "Tapi aku tidak ingin masa depan kalau itu membuat aku kehilangan semuanya sekarang. Aku tidak ingin hidup di dunia yang sunyi ini. Aku ingin merasa dihargai, dirindukan."
Ibunya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Kiara tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan, atau bahkan sekadar pengertian yang ia harapkan. Sebelum ibunya meninggalkan ruang makan itu, Kiara menghela napas dalam-dalam, menahan air matanya yang hampir jatuh.
Ibunya memang bekerja keras, tapi entah kenapa itu tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang Kiara rasakan. Meskipun mereka tinggal di rumah yang sama, rasanya seperti hidup dalam dua dunia yang terpisah. Kiara merasa semakin asing dengan ibunya. Setiap kali mencoba berbicara, selalu saja ada jarak yang menghalangi.
Di malam yang sunyi itu, Kiara kembali ke kamarnya, berbaring di ranjang yang terasa begitu besar dan kosong. Ia menatap langit-langit kamar, berusaha mencari jawaban yang tidak pernah datang. Jika saja ibunya bisa melihat lebih dalam, memahami betapa ia ingin dibutuhkan, betapa ia ingin merasakan kasih sayang yang selama ini hilang.
Namun untuk saat ini, Kiara harus menerima kenyataan bahwa ia harus belajar bertahan sendiri. Meskipun itu terasa berat, Kiara tahu tidak ada yang bisa mengubah semuanya. Ia harus menjadi lebih kuat, meskipun ia merasa semakin kehilangan bagian dari dirinya.
Kiara menghabiskan hari itu di sekolah dengan perasaan kosong. Di tengah keramaian kelas, ia merasa seolah berada dalam ruang yang sepenuhnya sunyi. Teman-temannya berbicara, tertawa, saling berbagi cerita, namun Kiara merasa terasing, tidak mampu untuk ikut serta dalam kegembiraan mereka. Semua itu terasa seperti dunia lain, dunia yang tidak pernah bisa ia masuki dengan penuh. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkannya.
Hari itu, Kiara merasa sangat lelah. Tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Pagi tadi, saat ia hendak pergi ke sekolah, ibunya hanya memberikan sebuah senyuman cepat, tanpa berkata sepatah kata pun. Itu adalah hal yang paling mendekati percakapan yang mereka miliki akhir-akhir ini. Namun, senyuman itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa kesepian yang terus tumbuh dalam diri Kiara.
Selama pelajaran, Kiara tidak fokus. Matanya seringkali menatap kosong ke luar jendela, memikirkan rumah yang kini terasa begitu asing. Ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ibunya, tetapi setiap kali ia melihat teman-temannya berbicara tentang keluarga mereka, berbicara tentang ibu mereka yang selalu ada untuk mereka, perasaan itu datang lagi, menyusup dalam-dalam ke dalam hati. Keinginan untuk merasa diterima, dihargai, dan dicintai oleh ibunya begitu kuat. Namun, kenyataannya jauh dari harapan itu.
Saat bel sekolah berbunyi, Kiara segera menuju rumah. Perjalanan pulang kali ini terasa sangat panjang, seperti berjalan melewati jalan yang tidak pernah ada ujungnya. Saat ia sampai di rumah, suasana yang sama seperti biasa menyambutnya—sunyi dan hampa. Kiara tidak terkejut lagi. Ia tahu ibunya pasti sudah kembali ke pekerjaannya. Ia tahu rumah ini hanya akan penuh dengan keheningan.
Tiba-tiba, Dimas keluar dari kamarnya, tampak ceria seperti biasanya. "Kak, ada snack di meja. Mau ikut makan?" katanya dengan semangat. Kiara memaksakan senyum tipis. Ia ingin menikmati momen kecil ini bersama Dimas, tetapi di dalam hati, perasaan itu tetap ada—rasa kesepian yang tidak bisa ia hilangkan begitu saja.
"Dimas, bagaimana kalau kita bicara sebentar?" Kiara mencoba membuka percakapan. Dimas menoleh, sedikit bingung, namun duduk di sebelah Kiara.
"Mau ngobrol tentang apa, Kak?" Dimas bertanya polos.
Kiara menghela napas panjang, memandang adiknya dengan penuh kasih. "Tentang ibu," kata Kiara akhirnya. "Kenapa ibu semakin sibuk? Kenapa dia tidak pernah ada untuk kita lagi?"
Dimas terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Aku juga gak tahu, Kak. Tapi ibu bilang kalau dia bekerja keras supaya kita bisa hidup lebih baik. Aku percaya itu."
Kiara menatap adiknya dengan hati yang berat. "Tapi Dimas, apakah kamu tidak merasa kalau kita mulai jauh dari ibu? Aku hanya ingin merasakan kasih sayangnya lagi."
Dimas menggigit bibir, tampak berpikir sejenak. "Aku ngerti, Kak. Tapi... aku merasa ibu masih peduli kok. Mungkin dia cuma sibuk."
Kiara mengangguk pelan. Meskipun Dimas berusaha meyakinkan, ia tahu jawabannya tidak bisa membuatnya merasa lebih baik. Adiknya masih terlalu muda untuk mengerti perasaan yang ia rasakan—perasaan yang telah menguasai dirinya selama ini. Kiara kembali ke kamarnya setelah itu, merasa semakin jauh dari keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan penuh kasih.
Di dalam kamar yang sepi itu, Kiara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap sekeliling. Semua barang di sini terasa asing. Ia ingin sekali merasakan pelukan ibu, atau setidaknya kata-kata penghiburan yang bisa membuatnya merasa bahwa ia tidak sendirian. Tetapi itu semua hanya mimpi yang semakin jauh dari jangkauan.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Kiara terbaring di ranjangnya, menatap langit-langit yang gelap. Ia mendengar suara ketikan dari kamar ibunya yang menandakan ibunya kembali sibuk dengan pekerjaannya. Kiara menutup matanya, berusaha tidur meskipun hatinya terasa penuh dengan kesedihan yang tidak bisa ia ungkapkan.
Kiara hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ibunya akan melihatnya, menyadari bahwa ia membutuhkan kasih sayang yang tulus, bukan hanya materi atau perhatian sesaat. Namun untuk saat ini, harapan itu terasa sangat jauh, seperti bintang yang tak pernah bisa dijangkau.