Kiara merasa dunia seakan terhenti saat ia melangkah masuk ke rumah. Pintu yang biasanya terbuka dengan suara ceria, kini hanya terdiam, tak ada yang menyambut. Semua terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak pagi tadi, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang kekosongan yang semakin mendalam. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Setiap kali ia mencoba mencari perhatian ibu, ia justru merasa semakin jauh.
Malam itu, setelah pulang sekolah, Kiara duduk sendiri di ruang tamu. Dimas sudah bermain video game di kamarnya, sibuk dengan dunia maya yang tak pernah ia tinggalkan. Kiara tahu, dalam dunia Dimas, ibu tidak ada. Dunia itu adalah dunia di mana Dimas bisa melupakan semuanya, sementara Kiara terjebak dalam pikirannya yang terus berputar. Semua yang ada hanyalah harapan kosong yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Ibunya? Tidak ada. Sekali lagi, Kiara berusaha menghubunginya, mencoba menyelipkan pesan singkat di ponsel, berharap mendapatkan balasan. Tetapi pesan itu tetap tidak terbaca. Hanya ada satu kata yang muncul di layar: "Sibuk."
Kiara menatap layar ponselnya dengan kosong. Kata itu begitu sering muncul, namun semakin lama semakin terasa seperti jarak yang menghalangi dirinya dari ibunya. Sebuah jarak yang bukan hanya fisik, tetapi lebih kepada perasaan. Apa yang seharusnya mereka miliki sebagai ibu dan anak, perlahan-lahan menghilang begitu saja.
Kiara tahu bahwa ibunya bekerja keras, berjuang untuk memberikan kehidupan yang lebih baik. Namun, itu tidak pernah cukup. Apa gunanya memiliki segalanya jika tidak ada orang yang peduli tentangmu? Apa gunanya memiliki rumah besar dan segala fasilitas jika rumah itu tidak lagi penuh dengan cinta dan perhatian?
Malam itu, Kiara duduk di meja makan sendirian, menghadap makanan yang sudah disiapkan, namun terasa sangat hambar. Ia ingin menangis, tetapi air matanya terlalu berat untuk jatuh. Semua perasaan itu menumpuk dalam hatinya, menjadi beban yang semakin sulit untuk ia bawa. Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Kenapa harus ada jarak yang begitu besar di antara mereka?
Lama kelamaan, Kiara merasa semakin hilang. Ia merasa seolah-olah tidak ada tempat baginya di dunia ini. Keluarganya semakin jauh, dan ia tidak tahu harus pergi kemana. Semua perasaan itu begitu menggerogoti dirinya, mengganggu setiap langkah yang ia ambil. Seperti ada yang hilang dalam dirinya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk mendapatkannya kembali.
Akhirnya, Kiara memutuskan untuk pergi keluar. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin melarikan diri dari perasaan yang semakin mengikis dirinya. Malam itu, langit gelap dan bulan hanya tampak samar-samar di balik awan. Kiara melangkah, merasakan angin yang dingin menyentuh wajahnya, tetapi tak ada rasa hangat yang ia cari.
Sesekali, Kiara berhenti di jalanan yang sepi. Ia duduk di tepi trotoar, memandangi bintang yang tampak begitu jauh, dan merasakan keheningan yang sangat mendalam. Ia ingin berteriak, ingin meluapkan semua perasaan yang terpendam, tetapi suara itu seakan terbungkam oleh keheningan malam.
"Ibu..." Kiara berbisik pelan, "kenapa kamu tidak pernah ada untukku?"
Pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Kiara tahu bahwa ibunya tidak akan pernah bisa mendengarnya, karena jarak yang ada terlalu besar. Sebuah jarak yang tidak hanya menghalangi fisik mereka, tetapi juga perasaan yang semakin merenggang.
Akhirnya, Kiara kembali ke rumah dengan langkah yang lelah. Ia tidak berharap banyak. Namun, saat ia sampai di depan pintu rumah, ia melihat sosok ibu yang baru saja pulang. Kiara berdiri di sana, menatap ibunya tanpa kata. Ibunya hanya meliriknya sebentar, lalu masuk ke dalam rumah, mengabaikan Kiara yang berdiri di pintu. Tanpa suara, Kiara melangkah masuk dan kembali ke kamarnya, merasa semakin jauh, semakin terasing.
Kiara terjaga lagi di tengah malam. Malam ini, rumah terasa lebih sepi dari biasanya, meskipun suara mesin ketik ibunya terdengar dari ruang kerja, seperti biasa. Namun, suara itu hanya semakin mengingatkannya pada kenyataan yang begitu pahit: ibunya terlalu sibuk untuk peduli.
Selama beberapa hari terakhir, Kiara mencoba mencari cara untuk merasa dekat dengan ibunya, mencoba berbicara lebih banyak, mengirim pesan singkat, bahkan mencoba menawarkan bantuan. Namun, setiap kali ia mendekat, ibunya tampak lebih menjauh. Mungkin ibunya tidak lagi melihatnya sebagai anak yang membutuhkan perhatian. Semua usaha Kiara terasa sia-sia, dan ia semakin merasa terjebak dalam dunia yang hampa.
"Kenapa aku merasa sendirian, padahal aku punya ibu?" Kiara bertanya pada dirinya sendiri dalam keheningan malam itu.
Sudah beberapa bulan sejak ibunya mulai bekerja lebih keras, dan semakin lama, Kiara merasa semakin terasing. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa bersama, dan tidak ada kasih sayang yang ia harapkan. Ibu hanya datang dan pergi, meninggalkan Kiara dan Dimas dalam kesendirian.
Malam itu, Kiara kembali teringat akan masa kecilnya. Ketika ia masih kecil, ibu selalu ada untuknya. Mereka akan bermain bersama, bercerita sebelum tidur, dan ibu akan mengelus rambutnya dengan lembut setiap kali ia merasa takut. Namun, semua itu kini hanya kenangan yang semakin buram. Ibu yang dulu penuh perhatian dan kasih sayang kini berubah menjadi sosok yang tidak pernah bisa dijangkau. Kiara merasa seperti bayangan dari masa lalu.
Kiara menatap ponselnya, mencari pesan dari ibunya, namun hanya ada pesan otomatis yang memberitahukan bahwa ibunya sedang sibuk di kantor. Kiara menekan ponselnya, merasa sakit hati. Ia tahu bahwa ibunya melakukan semua itu demi mereka, tapi itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Apa gunanya bekerja keras jika keluarga yang diinginkan tidak pernah ada?
Dimas, yang kini sudah remaja, tampak lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan dengan teman-temannya. Ia tidak pernah terlalu memikirkan absennya ibu mereka. Dimas bisa menikmati kebebasannya. Namun, Kiara tidak bisa. Ia merasa terperangkap dalam perasaan yang terus menghantui setiap langkahnya.
Malam itu, Kiara merasa lelah. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Rasa rindu yang begitu besar untuk perhatian ibu semakin mencekik hatinya. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan, semua perasaan yang ingin ia bagi, terasa seperti terbungkam dalam dirinya.
Kiara mengambil foto lama dari ibunya, sebuah foto ketika mereka berlibur bersama di pantai. Di foto itu, ibunya tersenyum lebar, penuh kebahagiaan, dan Kiara mengenang bagaimana ia merasa aman dalam pelukan ibu. Kiara merindukan sosok itu—ibu yang dulu selalu ada.
Air mata mulai mengalir tanpa terkendali, meskipun ia berusaha untuk menahannya. Rasa kecewa dan rindu yang begitu dalam membuatnya merasa hancur. "Kenapa kamu berubah, Bu? Kenapa kamu tidak lagi ada untukku?" Kiara berbisik pelan, berharap ibu mendengarnya, meskipun ia tahu jawabannya tidak akan datang.
Pagi itu, Kiara bangun dengan perasaan yang tidak jauh berbeda. Ia tahu bahwa ibunya akan pergi lagi. Meski demikian, ia tetap berusaha untuk tetap kuat. Ia harus belajar untuk hidup dengan perasaan ini—perasaan yang tidak pernah bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tetapi Kiara tahu satu hal: ia membutuhkan ibunya lebih dari apapun, dan ia berharap suatu hari nanti, ibunya akan kembali menyadari betapa pentingnya mereka bagi satu sama lain.
Namun, harapan itu semakin terkubur dalam kesunyian yang terus mendalam.