Chereads / Searching for home / Chapter 13 - perjalanan yang masih panjang

Chapter 13 - perjalanan yang masih panjang

Hari demi hari berlalu, dan meskipun Kiara merasa sedikit lebih dekat dengan ibunya, luka lama yang tersembunyi tetap ada. Ia tahu bahwa perbaikan hubungan mereka memerlukan waktu dan usaha dari kedua belah pihak. Tapi meski ibunya berusaha untuk lebih hadir dalam hidupnya, Kiara merasakan bahwa ada saat-saat di mana kedekatan itu terasa semu.

Suatu sore, Kiara sedang belajar di meja makan, dikelilingi oleh tumpukan buku. Suasana di rumah tampak lebih tenang dari biasanya, tanpa suara berisik atau kegiatan lain yang mengalihkan perhatian. Kiara berusaha keras untuk fokus, namun pikirannya teralihkan ketika ia mendengar langkah kaki mendekat.

"Ibu, aku bisa bantu?" Kiara bertanya tanpa menoleh.

Ibunya, yang baru saja pulang kerja, meletakkan tasnya di meja dan duduk di sebelah Kiara. "Aku baru saja selesai dengan pekerjaan," jawab ibunya, masih sedikit lelah. "Mau aku bantu apa?"

Kiara menatap wajah ibunya dengan penuh perhatian. Ia ingin mengatakan banyak hal, ingin mengungkapkan betapa ia merasa masih ada sesuatu yang hilang antara mereka. Namun, kata-kata itu terasa berat di lidahnya. Ia hanya mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya sedikit bergejolak.

"Kiara, aku ingin... kita makan malam bersama nanti, hanya kita berdua. Aku ingin mendengarkan lebih banyak tentang apa yang kamu rasakan," kata ibunya, mencoba membuka percakapan yang lebih mendalam.

Kiara terkejut mendengar itu. Biasanya, ibunya selalu terlalu sibuk untuk duduk dan berbicara dengan santai, apalagi hanya berdua. Tetapi, kali ini, ada sesuatu dalam cara ibunya berbicara yang membuat Kiara merasa ada harapan.

"Ibu serius?" Kiara bertanya dengan ragu. "Maksudnya, cuma kita berdua?"

"Iya," jawab ibunya dengan senyum yang lembut. "Aku tahu aku sering terlalu sibuk. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Aku sadar aku belum menjadi ibu yang baik."

Kiara merasa seolah dunia berhenti sejenak. Ada sesuatu dalam kata-kata ibunya yang membuatnya merasa dihargai, meskipun perasaan itu datang terlambat. Namun, perasaan itu tetap membuatnya terharu. "Terima kasih, Bu. Aku senang mendengarnya," Kiara berkata pelan, merasakan haru yang mulai menggenang di matanya.

Malam itu, mereka makan bersama di ruang makan yang lebih sunyi daripada biasanya. Kiara bercerita tentang sekolah, tentang teman-temannya, dan tentang bagaimana ia merasa tidak yakin dengan masa depannya. Ibunya mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak ada gangguan dari pekerjaan atau hal lainnya.

"Sama seperti kamu, aku juga kadang merasa bingung dengan hidup," kata ibunya, setelah mendengarkan Kiara. "Pekerjaan memang penting, tapi itu bukan segalanya. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa kamu tetap yang utama bagiku."

Kiara menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku hanya ingin merasa diperhatikan, Bu. Aku merasa kesepian setiap kali ibu sibuk dengan pekerjaan," ujar Kiara, suara pelan namun penuh perasaan.

Ibunya menghela napas, tampak menyadari betapa besar perasaan Kiara yang selama ini terkubur. "Aku sangat menyesal, Kiara. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku dan tidak cukup memberi perhatian kepada kamu. Aku janji, aku akan berubah. Aku akan mencoba lebih sering meluangkan waktu untukmu."

Kiara merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Meskipun perubahan itu tidak akan datang secara instan, setidaknya ada usaha dari ibunya untuk memperbaiki hubungan mereka. "Terima kasih, Bu. Aku tahu ibu sayang aku," jawab Kiara dengan senyuman yang tulus.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama lebih lama dari biasanya. Kiara merasa seolah ada ikatan yang mulai terjalin kembali, meskipun perlahan. Ia tahu perjalanan untuk menyembuhkan luka-luka lama ini masih panjang, tetapi setidaknya mereka sudah memulai langkah pertama.

Hari-hari yang berlalu setelah makan malam itu terasa lebih tenang. Kiara bisa merasakan perubahan kecil dalam hubungan mereka. Meskipun ibunya tidak bisa hadir setiap saat, tetapi ada upaya yang lebih besar untuk mendengarkan dan berinteraksi. Namun, Kiara merasa bahwa masih ada hal yang belum selesai dalam dirinya—sesuatu yang harus ia sampaikan agar ia bisa benar-benar merasa bebas dari rasa sesak yang selama ini menghantui.

Malam itu, Kiara kembali duduk bersama ibunya di ruang tamu, di mana mereka biasa menghabiskan waktu setelah hari panjang. Namun, kali ini suasananya sedikit berbeda. Tidak ada tawa riang atau pembicaraan ringan. Kiara tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibicarakan, meskipun itu sulit.

"Ibu," Kiara memulai dengan suara yang terdengar lebih berat dari biasanya. "Aku... aku merasa seperti kita belum benar-benar menyelesaikan semua masalah kita."

Ibunya menoleh ke Kiara, dengan tatapan yang penuh perhatian. "Apa maksudmu?" Ibunya bertanya, tidak ingin mengganggu pembicaraan ini.

Kiara menarik napas panjang. "Aku tahu ibu sudah berusaha untuk lebih hadir, tapi kadang aku merasa ibu masih terlalu sibuk untuk benar-benar melihat aku. Aku merasa kita... masih terpisah, Bu. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."

Ibunya diam, seakan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Kiara. Setelah beberapa saat, ibunya akhirnya berkata, "Kiara, aku tahu aku tidak bisa membalikkan waktu, dan aku tahu aku telah gagal memberi perhatian yang kamu butuhkan. Tapi aku ingin kamu tahu, itu bukan berarti aku tidak mencintaimu."

Kiara menatap ibunya, merasakan berat di dadanya. "Aku tahu ibu mencintai aku, Bu. Tapi kadang, cinta itu tidak cukup. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata, aku butuh ibu yang ada untuk aku, bukan hanya di saat-saat tertentu."

Ibunya menundukkan kepala, jelas terlihat kecewa pada dirinya sendiri. "Aku sangat menyesal jika kamu merasa begitu. Aku tidak pernah ingin membuatmu merasa terabaikan."

Ada keheningan yang berat antara mereka. Kiara merasa sakit melihat ibunya seperti itu, tetapi ia tahu bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mereka berdua jujur satu sama lain. Kiara ingin ibunya tahu bahwa meskipun ia mencintainya, ia juga butuh perhatian yang nyata, bukan hanya sekadar janji atau kata-kata yang kosong.

"Kiara, aku tidak bisa menjanjikan bahwa aku akan selalu ada, tapi aku akan berusaha lebih baik. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini lagi," ibunya berkata dengan penuh penyesalan.

Kiara mengangguk, walaupun hatinya masih terasa berat. "Aku ingin ibu tahu, aku tidak pernah membenci ibu, Bu. Aku hanya... aku hanya merasa kehilangan."

Ibunya meraih tangan Kiara dengan lembut, menggenggamnya erat. "Aku akan berusaha untuk tidak membuatmu merasa sendirian lagi, Kiara. Aku janji."

Kiara menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Meskipun ia merasa teramat sulit untuk mempercayai bahwa semua ini bisa berubah begitu saja, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk memperbaiki hubungan mereka adalah dengan memberi kesempatan—kesempatan untuk mencoba, meskipun ada ketakutan yang mengintai di baliknya.