Keheningan malam terasa begitu mendalam. Kiara berdiri di balkon rumah, menatap ke arah langit yang mulai gelap. Bulan bersinar dengan lembut, sementara bintang-bintang mulai bermunculan. Semua terasa begitu tenang, seperti alam ini sedang berusaha memberi ruang bagi perubahan yang sedang mereka alami.
Kiara menarik napas dalam-dalam. Pagi yang cerah esok akan membawa babak baru bagi keluarganya. Walaupun perasaan ragu masih menyelubungi hatinya, dia merasa ada secercah harapan yang perlahan mulai tumbuh. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, namun Kiara tahu bahwa perjalanan ini adalah milik mereka untuk ditempuh bersama.
Kecelakaan yang menimpa Dimas, yang sempat membuat segalanya berantakan, juga menjadi titik balik bagi keluarga mereka. Kiara menyadari bahwa hubungan mereka yang sempat terabaikan ini membutuhkan waktu untuk dipulihkan, dan tidak ada jalan pintas untuk menuju kebahagiaan.
Ibunya kini mulai menunjukkan upaya untuk lebih hadir. Mereka mulai berbicara lebih banyak, saling mendengarkan, meskipun terkadang Kiara merasakan betapa sulitnya untuk melupakan kesalahan yang sudah terjadi. Namun, harapan itu tetap ada—harapan bahwa mereka bisa menemukan kembali kebahagiaan mereka sebagai keluarga.
---
Di ruang tamu, ibunya sedang sibuk menyiapkan makan malam. Kiara duduk di meja makan, melirik Dimas yang sedang menonton televisi di ruang sebelah. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Seminggu sudah berlalu sejak Dimas pulih dari kecelakaan, dan meskipun ada banyak ketegangan dalam keluarga mereka, mereka juga mulai merasakan kedamaian yang lebih dalam.
Ibunya duduk di samping Kiara dan menatap anak perempuannya dengan penuh perhatian. "Kiara," katanya lembut, "aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu berusaha lebih baik. Aku tahu kamu mungkin masih ragu, tapi aku ingin memperbaiki semuanya."
Kiara menoleh, dan matanya bertemu dengan mata ibunya. Ada kekhawatiran yang tersirat di sana, namun ada juga ketulusan yang tak bisa disangkal. "Aku tahu, Ibu. Aku hanya butuh waktu," jawab Kiara dengan suara pelan, menghindari tatapan ibunya yang penuh harap.
Dimas tiba-tiba masuk ke ruang makan, wajahnya terlihat ceria. "Kak Kiara, Ibu, makan malam sudah siap!" serunya dengan semangat.
Kiara tersenyum dan mengangguk. "Ayo, kita makan."
Makan malam itu terasa sederhana, namun penuh dengan kehangatan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Dimas berceloteh sepanjang makan, mencoba membuat suasana lebih ringan. Kiara pun ikut tersenyum mendengar cerita-cerita lucu dari adiknya. Ibunya hanya diam, sesekali tersenyum, tetapi jelas ada perasaan penuh di dalam hatinya—perasaan yang sudah lama ia pendam.
Setelah makan, mereka duduk bersama di ruang tamu. Ibunya mengambil kesempatan untuk berbicara lebih lanjut. "Kiara, Dimas, aku tahu selama ini aku telah mengecewakan kalian. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku dan tidak memberi perhatian yang cukup pada keluarga. Aku ingin berubah. Aku ingin kalian tahu bahwa kalian adalah prioritas utamaku sekarang."
Kiara mendengar setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Meskipun ada rasa ragu, ia tahu bahwa ibunya berbicara dengan hati yang tulus. Ini adalah pertama kalinya ibunya berbicara sejujur itu, dan itu cukup membuat Kiara terkejut. Namun, ia juga sadar bahwa kata-kata saja tidak cukup. Mereka semua harus saling berusaha untuk membuat perubahan itu nyata.
Dimas, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mengangguk pelan. "Aku ingin kita jadi keluarga yang selalu ada satu sama lain, Kak," ucapnya dengan suara lembut.
Kiara tersenyum pada Dimas, merasa haru mendengar kata-kata adiknya. "Kita akan coba, Dik. Kita semua akan coba," jawab Kiara, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.
Keluarga ini masih memiliki banyak tantangan untuk dihadapi. Namun, setelah malam itu, Kiara merasa lebih kuat. Mungkin memang tidak ada yang mudah, tetapi jika mereka bisa saling mendukung, mereka akan bisa melewati semuanya.
Pagi itu, Kiara merasa ada yang berbeda. Suasana rumahnya yang biasanya terasa sepi kini mulai terasa lebih hidup. Mungkin karena perubahan kecil yang mereka lakukan selama seminggu terakhir—percakapan lebih banyak, perhatian yang lebih tulus, dan waktu bersama yang lebih bermakna. Kiara sadar, walaupun perubahan ini tidak instan, sedikit demi sedikit, keluarganya mulai membaik.
Dimas masih duduk di meja makan, terlihat lebih ceria daripada sebelumnya. Meskipun masih ada kesulitan, terutama dengan masa pemulihan, semangatnya lebih terjaga. Kiara duduk di sebelahnya, menatap adiknya yang sedang sibuk dengan sarapan.
"Gimana, Dimas, sudah lebih baik?" tanya Kiara dengan lembut, menyentuh bahu adiknya.
Dimas tersenyum, sedikit malu-malu. "Iya, Kak. Aku merasa lebih kuat sekarang. Tapi Kak Kiara harus ingat, jangan terlalu khawatir sama aku. Aku bisa kok."
Kiara hanya mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada rasa khawatir yang besar. Sebagai kakak, wajar jika perasaan itu muncul. "Aku cuma ingin kamu sehat, Dik. Itu yang paling penting buat Kakak."
Ibunya yang sedang menyiapkan makanan di dapur mendengar percakapan mereka. Dengan senyum kecil, ia melangkah mendekat. "Kiara, Dimas, aku sudah membuatkan makanan kesukaan kalian. Ayo, makan dengan baik. Kita semua harus kuat bersama-sama."
Kiara menoleh, menatap ibunya yang kini lebih terbuka dan lebih peduli. Meskipun hatinya masih terasa penuh, ada rasa lega yang mulai tumbuh. Tidak ada yang mudah, tetapi sedikit demi sedikit, keluarganya mulai sembuh. Ibunya juga berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri dengan mereka.
---
Sehari setelah itu, Kiara menerima undangan dari teman-temannya untuk menghadiri sebuah acara sekolah. Meskipun ia merasa tidak sepenuhnya siap untuk bergaul, namun Kiara tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk melangkah keluar dari bayang-bayang masalah keluarganya. Dimas sedang bersama teman-temannya di rumah, jadi Kiara merasa cukup aman untuk meninggalkan rumah sejenak.
Di acara itu, Kiara bertemu dengan beberapa teman lama, yang semuanya menanyakan kabar dan bagaimana kondisinya setelah kecelakaan Dimas. Ia merasa lega bisa berbicara tanpa tekanan. Beberapa teman terlihat prihatin, tetapi juga ada yang ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Kiara merasa sedikit terhibur. "Aku baik-baik saja," jawab Kiara dengan senyuman. "Dimas juga semakin pulih."
Namun, saat acara berlangsung, Kiara tidak bisa menahan perasaan cemas yang datang begitu saja. Ia berusaha menikmati momen itu, tapi hatinya masih sering melayang kembali ke rumah. Ia memikirkan ibunya, Dimas, dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Ketika pulang, Kiara merasa sedikit lelah, tetapi juga sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa tidak ada yang instan dalam memperbaiki hubungan keluarga. Tetapi setidaknya, mereka sudah mulai bergerak maju.
Sesampainya di rumah, Kiara melihat ibunya sedang duduk di ruang tamu, menatapnya dengan penuh perhatian. "Kiara, bagaimana acara tadi? Apa kamu senang?" tanya ibunya.
Kiara tersenyum kecil. "Iya, Ibu. Cuma agak capek, tapi aku senang bisa keluar sebentar."
Ibunya mengangguk. "Aku senang kamu keluar dan mencoba hal baru. Itu penting untukmu."
Kiara terdiam sejenak, merasa sedikit lebih dihargai. "Terima kasih, Ibu. Aku akan coba lebih banyak lagi. Kita bisa berusaha menjadi keluarga yang lebih baik."
Ibunya mengangguk dengan wajah yang penuh harapan. "Aku akan terus berusaha, Kiara. Aku janji."
Dalam hati, Kiara merasa lebih tenang. Meskipun tidak mudah, ia tahu bahwa keluarganya, dengan segala perbaikan dan perubahan kecil, sedang menuju ke arah yang lebih baik. Ia hanya perlu percaya bahwa mereka akan melalui ini bersama-sama, langkah demi langkah.