Malam itu, suasana yang awalnya tenang berubah menjadi sedikit tegang. Kiara sedang duduk di kamar, mencoba mengerjakan tugas sekolahnya, ketika suara ayah dan ibu terdengar dari ruang tamu. Suaranya tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat Kiara menghentikan aktivitasnya.
"Jadi, sekarang kamu mau jadi ibu yang peduli? Setelah bertahun-tahun meninggalkan anak-anak?!" suara ayah terdengar tajam, meski ia mencoba merendahkan nada bicara.
"Aku sudah bilang, aku minta maaf. Aku berusaha memperbaiki semuanya, tapi kamu tidak perlu terus mengungkit masa lalu!" jawab ibu dengan nada defensif.
"Kamu minta maaf, tapi tahukah kamu apa yang sudah mereka alami? Aku yang selalu ada untuk mereka saat kamu sibuk mengejar kariermu!"
Kiara mendengar ibu menghela napas berat. "Aku tahu aku salah, tapi aku juga tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Haruskah kamu terus menyalahkan aku, bahkan saat aku mencoba untuk kembali?"
Ayah tertawa kecil, tapi bukan karena senang. "Coba? Kamu pikir ini cukup? Mereka butuh lebih dari sekadar usaha setengah hati."
Kiara bangkit dari kursinya, hatinya terasa berat. Ia berjalan perlahan menuju ruang tamu, ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Dari balik pintu, ia melihat ibu dan ayah berdiri, saling memandang dengan emosi yang meluap.
"Aku mencintai mereka, sama seperti kamu," kata ibu, suaranya terdengar bergetar. "Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku ingin memperbaikinya."
Ayah menggeleng. "Tapi kamu tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisi mereka. Mereka kehilangan sosok ibu yang seharusnya ada untuk mereka."
Kiara tidak tahan lagi. Ia membuka pintu dan melangkah masuk. "Berhenti, tolong," katanya dengan suara pelan, tetapi cukup jelas untuk membuat kedua orang tuanya menoleh.
Ayah dan ibu terlihat terkejut. Mereka tidak menyangka Kiara mendengar percakapan itu.
"Kita baru mulai mencoba memperbaiki semuanya," lanjut Kiara, menahan air mata yang sudah menggenang. "Kalau kalian terus seperti ini, bagaimana kita bisa maju?"
Ibu mendekati Kiara, ingin menyentuh bahunya, tetapi Kiara mundur selangkah. "Aku tahu kalian punya masalah, tapi aku mohon... jangan biarkan aku dan Dimas jadi korban lagi."
Suasana mendadak sunyi. Ayah menunduk, tampak menyesal. Sementara itu, ibu menghapus air matanya dan mencoba mengatur napas.
"Maafkan kami, Kiara," kata ayah akhirnya. "Kami tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini."
Kiara hanya mengangguk kecil. "Aku tidak peduli siapa yang salah. Aku hanya ingin kita menjadi keluarga yang utuh."
Kata-kata Kiara membuat kedua orang tuanya terdiam. Malam itu, meskipun tidak ada penyelesaian yang jelas, mereka semua menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang. Namun, untuk pertama kalinya, mereka tahu bahwa mereka harus berjalan bersama.
Keesokan harinya, suasana rumah terasa canggung. Kiara masih teringat dengan cekcok semalam. Hatinya kacau, tetapi ia mencoba terlihat biasa saja, terutama di depan Dimas. Namun, pagi itu, ibu dan ayah tampaknya saling menjaga jarak. Kiara memperhatikan saat mereka menghindari kontak mata satu sama lain.
Di meja makan, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu. Ayah, yang biasanya berbicara untuk mencairkan suasana, hanya sibuk dengan korannya. Sementara itu, ibu terlihat fokus mengaduk teh yang sudah dingin.
"Kiara," akhirnya ibu membuka suara, meski dengan nada hati-hati. "Kamu ada kegiatan apa di sekolah hari ini?"
"Latihan basket, Bu," jawab Kiara tanpa menoleh.
Ayah melirik sekilas, lalu menghela napas. "Ibu akan antar kamu," katanya tiba-tiba. Suaranya terdengar tegas, seperti mencoba memberikan kesempatan kepada ibu untuk memperbaiki diri.
Kiara hanya mengangguk. Setelah sarapan, ia segera bersiap. Sepanjang perjalanan ke sekolah, ibu berusaha mencairkan suasana dengan bertanya tentang teman-teman Kiara atau aktivitasnya di ekskul. Meski Kiara merespons, pembicaraan mereka terasa kaku.
Sesampainya di sekolah, ibu tiba-tiba menggenggam tangan Kiara sebelum ia keluar dari mobil. "Kiara," katanya, suaranya terdengar tulus. "Ibu tahu kamu masih marah. Ibu tahu butuh waktu untuk semuanya membaik. Tapi ibu benar-benar ingin mencoba."
Kiara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku tahu, Bu. Tapi beri aku waktu juga."
Setelah Kiara keluar dari mobil, ibu menghela napas panjang. Rasanya ada dinding besar yang masih memisahkan mereka. Ia tahu bahwa perjuangan ini belum selesai, dan itu membuatnya takut. Namun, ia juga sadar bahwa menyerah bukanlah pilihan.
---
Sementara itu, di rumah, ayah mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tetapi pikirannya terus-menerus kembali ke percakapan semalam. Ia tahu bahwa ia juga bersalah. Terlalu sering ia membiarkan kemarahan menguasai dirinya, tanpa memikirkan dampaknya pada anak-anak.
Dimas yang sedang bermain di ruang tamu, memperhatikan ayahnya yang terlihat termenung. "Ayah, kenapa diam saja?" tanyanya polos.
Ayah tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Dimas. "Tidak apa-apa, Nak. Ayah hanya sedang berpikir."
"Pikirin apa?" Dimas memiringkan kepalanya, mencoba mencari tahu.
"Pikirin bagaimana caranya bikin semuanya lebih baik," jawab ayah akhirnya.
Dimas, meski masih kecil, tampak mengerti. Ia memeluk ayahnya erat. "Aku sayang Ayah," katanya dengan tulus.
"Ayah juga sayang kamu," jawab ayah, suaranya bergetar. Dalam pelukan itu, ia merasa ada harapan, meski kecil.
---
Di sekolah, Kiara berusaha mengalihkan pikirannya dengan latihan basket. Namun, pikirannya terus kembali ke keluarganya. Ia rindu dengan masa-masa di mana mereka bisa tertawa bersama tanpa ada rasa canggung atau amarah yang terpendam.
Sore itu, saat kembali ke rumah, Kiara menemukan ayah dan ibu sedang duduk bersama di ruang tamu. Mereka terlihat berbicara serius, tetapi kali ini nadanya lebih tenang. Saat Kiara masuk, mereka langsung menoleh.
"Kiara, sini sebentar," panggil ayah.
Kiara mendekat dengan sedikit ragu. Ia duduk di sofa, di antara keduanya.
"Kami sudah bicara," kata ayah pelan. "Kami tahu ini tidak mudah untuk kamu dan Dimas. Tapi kami ingin kamu tahu bahwa kami akan berusaha. Demi kalian."
Ibu mengangguk, matanya terlihat berkaca-kaca. "Ibu tidak mau kehilangan kalian lagi, Kiara. Ibu tahu ibu banyak salah, tapi ibu akan memperbaikinya."
Kiara menatap kedua orang tuanya. Ia ingin percaya, tetapi luka di hatinya masih terasa. "Aku butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi aku mau kita coba," katanya akhirnya.
Kedua orang tuanya mengangguk. Malam itu, meski tidak ada janji besar yang diucapkan, ada perasaan bahwa semuanya akan membaik. Sedikit demi sedikit.