Chereads / Searching for home / Chapter 23 - perasaan yang mulai tumbuh

Chapter 23 - perasaan yang mulai tumbuh

Hari-hari Kiara di sekolah mulai berjalan seperti biasa. Setelah semua drama di rumah, ia merasa sekolah adalah tempat di mana ia bisa sedikit melupakan masalahnya. Namun, ada satu hal yang baru: perhatian dari seorang teman laki-laki yang diam-diam mulai mendekatinya.

Namanya Aksa, seorang siswa kelas sebelas yang terkenal ramah dan pintar. Aksa sering terlihat membantu teman-temannya di ekskul basket, meski ia sendiri tidak ikut bermain. Ia sudah lama memperhatikan Kiara dari jauh, tetapi baru berani mendekatinya belakangan ini.

---

Siang itu, Kiara sedang duduk di bangku taman sekolah, menunggu latihan basket dimulai. Ia membaca catatan pelajaran yang ia bawa sambil sesekali menghela napas. Aksa yang kebetulan lewat melihatnya sendirian dan memutuskan untuk menghampiri.

"Belajar di taman? Serius banget," katanya sambil tersenyum.

Kiara mendongak, sedikit terkejut, tetapi ia balas tersenyum tipis. "Cuma mengulang materi. Lagi nggak mood di kelas."

Aksa duduk di bangku yang sama, menjaga jarak agar Kiara tidak merasa terganggu. "Kamu selalu kelihatan sibuk. Kayak nggak pernah punya waktu buat santai."

Kiara mengangkat bahu. "Banyak yang harus dipikirin."

Mendengar itu, Aksa terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Kiara bukan tipe orang yang suka berbagi masalah, tapi ia ingin menunjukkan bahwa ia peduli. "Kalau ada yang bisa dibantu, bilang aja. Kadang cerita sama orang bisa bikin lega."

Kiara menatap Aksa, mencoba menebak apakah kata-katanya tulus. "Kenapa kamu peduli?" tanyanya, setengah bercanda.

Aksa tertawa kecil. "Kenapa nggak? Teman harus saling peduli, kan?"

Kiara hanya tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tulus. Ia tidak menjawab, tetapi di dalam hatinya, ia merasa sedikit tersentuh.

---

Hari-hari berikutnya, Aksa terus mencari cara untuk mendekati Kiara. Ia tidak pernah terlalu agresif, hanya sesekali muncul di saat-saat yang tepat. Saat Kiara kesulitan membawa bola basket, Aksa akan membantunya. Saat Kiara terlihat murung, ia akan melontarkan lelucon ringan untuk menghibur.

Kiara, meski awalnya cuek, mulai menyadari keberadaan Aksa. Ia merasa nyaman dengan cara Aksa berbicara dan bagaimana laki-laki itu tidak pernah memaksakan diri.

Namun, di sisi lain, Kiara juga merasa bingung. Dengan semua masalah di rumah, ia tidak yakin apakah ia siap untuk membuka hatinya pada siapa pun. Ia takut perasaan itu hanya akan membuatnya semakin rumit.

---

Suatu hari, setelah latihan basket selesai, Aksa menunggu di luar lapangan. Saat Kiara keluar, ia menghampirinya dengan senyuman khasnya.

"Mau pulang bareng? Aku lagi nggak bawa motor, jadi kita jalan kaki aja. Lumayan olahraga," katanya, mencoba bercanda.

Kiara tertawa kecil. "Kamu selalu ada alasan buat ngobrol, ya?"

Aksa mengangkat bahu. "Mungkin. Atau mungkin aku cuma suka ngobrol sama kamu."

Kiara terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi saat Aksa mulai melangkah pergi, ia mengikuti tanpa berkata apa-apa. Hati kecilnya berkata bahwa mungkin, hanya mungkin, Aksa bisa menjadi seseorang yang membuat hidupnya sedikit lebih ringan.

Namun, ia juga sadar bahwa perjalanannya masih panjang. Perasaan ini, jika memang ada, tidak akan mudah untuk diungkapkan.

Kiara masih memikirkan apa yang terjadi kemarin. Aksa selalu berhasil membuatnya tersenyum, sesuatu yang terasa langka akhir-akhir ini. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tidak adil jika membiarkan Aksa semakin mendekat, sementara hatinya masih dipenuhi kekacauan.

---

Di rumah, suasana tidak banyak berubah. Ayah dan ibu masih sering berbicara dengan nada tegang meski berusaha tidak melibatkan Kiara dan Dimas. Hati Kiara serasa terjepit di antara konflik mereka. Setelah selesai membantu Dimas dengan PR-nya, ia mengurung diri di kamar, mencoba menenangkan pikirannya.

Namun, suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatian Kiara. Pesan dari Aksa muncul di layar.

Aksa: "Hei, Kiara. Kamu udah pulang kan? Lagi sibuk?"

Kiara tersenyum kecil, tapi ia ragu apakah harus membalas. Akhirnya, setelah beberapa menit, ia mengetik balasan.

Kiara: "Udah. Kenapa?"

Tidak lama kemudian, balasan datang.

Aksa: "Nggak kenapa-kenapa sih. Cuma pengen tahu, kalau besok pagi aku bawain sarapan ke sekolah, kamu mau nggak?"

Kiara mengerutkan kening, tapi ada sedikit rasa geli di hatinya.

Kiara: "Apa nggak ribet? Lagian aku nggak suka merepotkan orang."

Aksa: "Nggak kok. Aku udah biasa bawa lebih. Anggap aja ini bentuk perhatian kecil."

Kiara tidak bisa menahan senyum lagi. Ia mengetik balasan singkat.

Kiara: "Oke, besok bawain aja."

---

Keesokan paginya, Aksa benar-benar menepati janjinya. Ia membawa dua bungkus nasi uduk dan menyerahkannya pada Kiara saat mereka bertemu di depan gerbang sekolah.

"Aku nggak tahu selera kamu, jadi pilih aja mau yang pake telur dadar atau ayam goreng," kata Aksa dengan senyuman lebar.

Kiara tertawa kecil sambil menerima bungkusan itu. "Kamu serius banget, ya?"

"Seriuslah. Masa setengah-setengah," jawab Aksa santai.

Kiara tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi di dalam hatinya ia merasa sedikit lebih bahagia. Kehadiran Aksa seperti memberikan warna baru dalam hidupnya yang belakangan terasa suram.

---

Namun, tidak semua orang di sekolah senang melihat kedekatan mereka. Nadira, teman sekelas Aksa yang diam-diam menyukainya, mulai merasa terganggu. Ia sudah lama menyimpan perasaan pada Aksa, tetapi tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Melihat perhatian Aksa yang begitu besar pada Kiara membuat hatinya panas.

Siang itu, Nadira mendekati Kiara saat istirahat. Ia berpura-pura ramah, tetapi nadanya terdengar sedikit sinis.

"Kiara, kamu deket banget ya sama Aksa?" tanyanya tiba-tiba.

Kiara yang sedang mengobrol dengan teman-temannya menoleh. "Kenapa emang?"

Nadira tersenyum tipis. "Nggak apa-apa sih. Cuma kasihan aja sama yang lain. Kamu tahu kan, banyak yang suka sama dia?"

Kiara menatap Nadira dengan alis terangkat. Ia bisa merasakan nada sindiran dalam kata-kata itu, tetapi ia memilih untuk tidak membalas.

"Kalau ada yang suka, ya bilang aja langsung ke Aksa. Aku nggak ada urusan," jawab Kiara santai, meski dalam hati ia merasa sedikit terganggu.

---

Sepulang sekolah, Kiara merenungkan kejadian itu. Ia tidak pernah berpikir bahwa kedekatannya dengan Aksa akan menjadi masalah bagi orang lain. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri. Aksa membuatnya merasa diperhatikan, sesuatu yang jarang ia dapatkan bahkan dari keluarganya. Tapi apakah ia benar-benar siap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar teman?

Pertanyaan itu terus menghantui Kiara sepanjang perjalanan pulang. Satu hal yang ia tahu, perasaannya terhadap Aksa semakin sulit untuk diabaikan.