Kedekatan antara Kiara dan Aksa perlahan menjadi bahan perbincangan di sekolah. Teman-teman mereka mulai memperhatikan bagaimana Aksa selalu meluangkan waktu untuk berada di dekat Kiara. Di sisi lain, Nadira semakin tidak tahan dengan situasi itu. Ia mulai berusaha membuat Kiara terlihat buruk di depan Aksa.
---
Pagi itu, Kiara sedang mengobrol dengan Rena di depan kelas ketika Nadira tiba-tiba mendekatinya.
"Kiara, boleh ngomong sebentar?" tanya Nadira, nadanya terdengar formal tapi tegang.
Kiara mengangguk, meskipun dalam hati ia merasa waspada. "Ada apa?"
Nadira melirik Rena, seolah meminta mereka berbicara secara pribadi. Kiara memberikan isyarat pada Rena untuk meninggalkan mereka sebentar.
"Aku cuma mau bilang," Nadira memulai dengan nada rendah, "jangan terlalu dekat sama Aksa."
Kiara menatap Nadira dengan alis terangkat. "Kenapa? Apa masalahnya?"
"Aksa itu bukan orang sembarangan," lanjut Nadira, nadanya lebih tajam. "Banyak yang suka sama dia. Kalau kamu terus-terusan sama dia, itu bisa bikin masalah."
Kiara mendengus kecil, merasa tuduhan itu tidak masuk akal. "Kalau ada yang suka, kenapa nggak langsung ngomong ke Aksa aja? Aku nggak punya kendali atas perasaan dia."
"Tapi kamu sadar kan, kedekatan kalian itu bikin orang lain nggak nyaman?" Nadira menekankan, wajahnya mulai memerah.
Kiara menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. "Kalau ada yang nggak nyaman, itu urusan mereka, bukan urusan aku."
Nadira tidak menjawab lagi, hanya berbalik dengan wajah kesal. Kiara menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin memulai konflik, tapi ia juga tidak akan mundur hanya karena seseorang merasa terganggu.
---
Siang itu, Aksa menghampiri Kiara di kantin seperti biasa. Namun, ia langsung menyadari perubahan raut wajah Kiara.
"Kamu kenapa? Kelihatan nggak enak hati," tanya Aksa sambil duduk di seberangnya.
Kiara menggeleng, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Nggak ada apa-apa kok."
Aksa tidak percaya begitu saja. "Serius? Kalau ada masalah, cerita aja. Aku di sini buat dengerin."
Kiara akhirnya mendesah. "Cuma… ada yang bilang aku harus jaga jarak dari kamu."
Aksa mengerutkan kening. "Siapa yang bilang begitu?"
Kiara ragu sejenak, lalu menjawab pelan. "Nadira."
Wajah Aksa berubah serius. "Aku tahu dia. Nadira emang kadang suka terlalu ikut campur. Tapi, kamu nggak perlu dengar apa kata dia. Aku yang memutuskan siapa yang aku mau dekat."
Kata-kata Aksa membuat hati Kiara bergetar. Ia tahu Aksa tulus, tapi tetap saja, ia tidak ingin memperkeruh keadaan.
"Tapi aku juga nggak mau bikin masalah untuk kamu, Aksa," kata Kiara pelan.
"Dengerin aku, Kiara," Aksa menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Aku dekat sama kamu karena aku mau. Bukan karena orang lain. Jadi, biar mereka bilang apa, itu nggak akan mengubah apa-apa."
Kiara hanya bisa terdiam. Ia tidak tahu harus merasa senang atau khawatir. Perasaan yang semakin tumbuh untuk Aksa membuat hatinya dipenuhi kebimbangan.
---
Namun, konflik tidak berhenti di situ. Nadira yang merasa diremehkan oleh Kiara memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh. Ia mulai menyebarkan gosip di kalangan siswa, mengatakan bahwa Kiara hanya memanfaatkan Aksa demi popularitas.
Kabar itu sampai ke telinga Kiara beberapa hari kemudian. Ia merasa marah dan kecewa, tetapi memilih untuk tidak menanggapinya secara langsung.
Namun, saat ia bertemu Aksa di lapangan basket, ia memutuskan untuk memberitahunya.
"Aksa, aku mau bilang sesuatu," kata Kiara dengan nada serius.
Aksa mengangguk, memperhatikan. "Apa itu?"
"Kayaknya aku harus mulai menjaga jarak," kata Kiara pelan. "Aku nggak mau kamu kena masalah gara-gara aku."
Aksa mengerutkan kening. "Apa ini karena gosip yang beredar? Jangan peduliin mereka, Kiara."
"Tapi aku nggak bisa," Kiara menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak mau kamu diserang karena aku."
Aksa menggenggam tangan Kiara dengan lembut, membuat Kiara terkejut. "Dengar, Kiara. Aku nggak peduli apa kata orang. Aku cuma peduli sama kamu. Jadi, jangan pernah merasa kamu harus menjauh karena mereka."
Kiara terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak pernah merasa begitu dihargai oleh seseorang sebelumnya. Namun, di balik semua itu, ia tetap merasa takut. Perasaan ini, sekuat apa pun, tidak akan mudah dihadapi.
Malam itu, Kiara tidak bisa tidur. Perkataan Aksa terus terngiang di benaknya, begitu juga dengan gosip yang menyebar di sekolah. Ia memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi jika ia tetap berada di sisi Aksa. Apa yang akan mereka hadapi? Akankah Aksa benar-benar sanggup menanggung semuanya?
Di lain sisi, Kiara merasa hatinya terus terpaut pada Aksa. Namun, ia tidak ingin menjadi alasan seseorang tersakiti, terutama Aksa.
---
Pagi harinya, Kiara masuk kelas dengan langkah berat. Ia berusaha menghindari tatapan orang-orang, tapi jelas sekali bahwa gosip itu sudah meluas. Beberapa siswa menatapnya dengan pandangan penuh selidik, sementara yang lain berbisik-bisik di belakangnya.
Rena, yang sejak awal selalu menjadi pendukung Kiara, menghampirinya.
"Kiara, kamu baik-baik aja?" tanya Rena, suaranya penuh kekhawatiran.
Kiara tersenyum tipis, meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. "Aku nggak apa-apa. Cuma capek aja."
Rena mengangguk, tapi ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Kalau kamu butuh tempat cerita, aku selalu ada."
Kiara merasa terharu mendengar kata-kata itu, tetapi ia tidak ingin membebani Rena lebih jauh.
---
Di jam istirahat, Aksa menghampiri Kiara di perpustakaan. Wajahnya terlihat tegang, tetapi sorot matanya tetap tenang.
"Kita perlu bicara," kata Aksa sambil menarik kursi di depannya.
Kiara mengangguk, meskipun ia merasa canggung.
"Aku tahu kamu merasa berat dengan semua ini," kata Aksa. "Tapi aku nggak mau kamu menyerah."
Kiara menatap Aksa, matanya penuh kebimbangan. "Aku nggak tahu, Aksa. Semua ini terlalu berat. Aku nggak mau orang-orang menyakitimu gara-gara aku."
"Kiara," Aksa menatapnya dalam-dalam, "hidup nggak selalu tentang menyenangkan semua orang. Kadang kita harus berjuang untuk apa yang kita inginkan."
Kiara terdiam. Kata-kata Aksa benar, tetapi itu tidak menghilangkan rasa takut yang ia rasakan.
"Aku cuma nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk ini," katanya pelan.
Aksa menggenggam tangan Kiara, membuat Kiara terkejut. "Kamu kuat, Kiara. Lebih dari yang kamu kira. Aku percaya sama kamu."
Kiara tidak bisa menahan air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa lega, tapi juga terbebani.
---
Namun, keadaan menjadi semakin rumit saat Nadira memutuskan untuk berbicara langsung dengan Aksa.
Sore itu, Nadira menemui Aksa di lapangan basket. Ia menunggu sampai Aksa selesai bermain, lalu mendekatinya dengan wajah serius.
"Aksa, aku nggak mau basa-basi. Aku nggak suka lihat kamu sama Kiara," kata Nadira tanpa ragu.
Aksa mengerutkan kening. "Kenapa? Apa salah Kiara?"
"Dia nggak cocok sama kamu," jawab Nadira dengan nada tajam. "Dia cuma bikin masalah buat kamu."
Aksa menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Nadira, aku tahu kamu nggak suka sama Kiara. Tapi itu nggak berarti kamu bisa mengatur hidup aku."
"Aku cuma nggak mau kamu tersakiti," kata Nadira, suaranya melembut sedikit.
Aksa menatap Nadira dengan tegas. "Aku yang memilih Kiara. Aku yang tanggung risiko. Jadi, kalau kamu peduli sama aku, berhenti buat masalah buat dia."
Nadira terdiam, merasa malu tapi juga marah. Ia tahu Aksa tidak akan berubah pikiran, tetapi ia juga tidak ingin menyerah.
---
Di rumah, Kiara kembali menghadapi konflik yang berbeda. Ayahnya melihat perubahan sikap Kiara dan mulai khawatir.
"Kamu kelihatan murung akhir-akhir ini. Ada apa?" tanya ayahnya saat makan malam.
Kiara ragu untuk menjawab, tetapi ia tahu ayahnya hanya ingin membantu.
"Cuma ada masalah di sekolah, Yah," jawabnya singkat.
Ayahnya mengangguk pelan, tetapi ia tahu ada sesuatu yang lebih besar. "Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Ayah selalu ada buat kamu."
Kiara merasa terharu mendengar kata-kata itu. Ia tahu ayahnya sudah cukup banyak menghadapi masalah dalam hidup, tetapi ia tetap memprioritaskan anak-anaknya.
---
Di malam hari, Kiara menerima pesan dari Aksa:
"Aku gak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu. Jangan pernah ragu tentang itu."
Kiara membaca pesan itu berulang kali, merasa hangat di tengah dinginnya malam. Namun, ia tahu perjalanannya bersama Aksa masih panjang dan penuh tantangan.
Ia hanya bisa berharap bahwa kekuatan hati mereka cukup untuk menghadapi semuanya.