Chereads / Searching for home / Chapter 26 - keputusan yang sulit

Chapter 26 - keputusan yang sulit

Hari itu, Kiara merasa ada beban yang semakin berat di pundaknya. Kembali ke sekolah setelah beberapa hari istirahat membuatnya merasa canggung. Ia tahu bahwa beberapa teman mulai memperhatikan perubahan dirinya—baik itu fisik maupun emosional. Namun, tak ada yang lebih berat bagi Kiara selain kenyataan bahwa keluarganya masih berantakan.

Sesampainya di sekolah, Aksa sudah menunggunya di depan gerbang. "Kiara, gimana pagi ini? Sehat?" tanyanya penuh perhatian.

Kiara memaksakan senyum. "Sudah agak mendingan. Terima kasih sudah datang kemarin," jawabnya.

Aksa mengangguk, tapi wajahnya masih menunjukkan rasa khawatir. "Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini terus, Ki. Ada yang bisa aku bantu?"

Kiara terdiam. Semua yang ada di pikirannya rasanya begitu berat untuk diungkapkan. "Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin, Aksa," jawabnya pelan. "Kadang rasanya seperti nggak bisa keluar dari lingkaran ini. Aku nggak bisa lihat diri aku sendiri, karena terlalu banyak yang harus diurus."

Aksa menatapnya serius, lalu berkata, "Tapi kamu nggak sendirian, Ki. Kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada di sini."

Kata-kata Aksa seperti pelipur lara, namun Kiara masih merasa ada jurang pemisah yang sulit untuk dilalui. Ia ingin terbuka, tetapi semua masalah keluarganya yang rumit membuatnya takut untuk menggali lebih dalam.

---

Siang itu, Kiara pulang ke rumah lebih cepat. Ia merasa cemas, karena mendengar percakapan antara ayah dan ibunya tadi pagi. Ayahnya tampak sangat tegang, dan Kiara tahu pasti ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah pekerjaan. Saat ia tiba di rumah, ia menemukan ibunya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Mereka tampak serius, dan suasana ruangan menjadi sangat tegang.

"Kiara, kamu sudah pulang?" suara ibu memecah keheningan.

Kiara mengangguk, berusaha menunjukkan sikap biasa, meskipun hatinya cemas. "Iya, Bu. Ada apa? Kok, kayaknya serius banget."

Ibunya hanya tersenyum tipis, namun tidak menjawab. Kiara merasa ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh ibunya, dan ia merasa semakin terpinggirkan.

---

Beberapa hari berlalu, dan Kiara semakin merasa terbebani dengan situasi rumahnya. Ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan, meskipun itu sangat sulit. Namun, sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah keluarga mulai mempengaruhi pikirannya.

Di sekolah, Aksa semakin sering mendekatinya. Dia selalu memastikan Kiara makan dengan baik dan istirahat cukup. Namun, Kiara merasa malu jika terus mengandalkan Aksa. Di satu sisi, ia ingin mengakui bahwa ia membutuhkan dukungan, tetapi di sisi lain, ia takut menggantungkan terlalu banyak harapan pada orang lain.

---

Hari itu, Kiara duduk sendirian di taman sekolah, memandangi langit yang mendung. Ia merasa lelah—bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Tiba-tiba, Aksa muncul di sampingnya, membawa segelas air dan sepotong roti. "Makan dulu, Ki. Jangan dipaksain," katanya sambil duduk di samping Kiara.

Kiara menghela napas panjang. "Aku merasa nggak kuat, Aksa. Semua ini kayak beban yang nggak bisa aku pikul sendirian."

Aksa menatapnya dengan serius, lalu berkata, "Kiara, kamu nggak harus sendirian. Kalau kamu butuh bantuan, jangan takut untuk meminta. Semua orang punya beban, dan kita butuh orang lain untuk bisa bertahan."

Kiara menatapnya dalam-dalam. "Aku cuma nggak mau bikin semua orang kecewa. Terlalu banyak yang tergantung sama aku."

Aksa menaruh tangannya di bahu Kiara. "Kiara, kita semua saling tergantung. Kamu nggak harus selalu kuat, kok. Kalau kamu jatuh, kita semua akan ada buat kamu."

---

Malam itu, Kiara pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ia harus membuat keputusan besar. Menjadi kuat itu penting, tetapi bukan berarti ia harus menahan semuanya sendiri. Ia memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya malam ini. Ia ingin mengerti lebih banyak tentang apa yang terjadi di rumahnya, dan apakah masih ada kesempatan bagi keluarganya untuk kembali utuh.

Namun, perasaan takut dan cemas menguasainya. Apakah ia siap menghadapi kenyataan yang mungkin lebih pahit dari yang ia bayangkan?

---

Tiba-tiba, ayahnya masuk ke kamar Kiara. Wajahnya terlihat lelah, tetapi penuh kasih sayang. "Kiara, ada yang ingin ayah bicarakan denganmu."

Kiara menunduk, mengatur napasnya. "Aku dengar percakapan ayah tadi pagi. Aku tahu ada yang nggak beres di rumah. Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?"

Ayahnya duduk di samping Kiara. "Kiara, kamu sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa nggak semua hal bisa berjalan sesuai rencana. Terkadang, hidup memang penuh dengan tantangan yang sulit dihadapi. Tapi kita harus tetap bertahan, meskipun sulit."

Kiara menatap ayahnya dengan mata penuh pertanyaan. "Tapi kenapa semua ini terjadi? Kenapa ibu jadi lebih sibuk dan nggak pernah ada buat kita?"

Ayahnya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ibu kamu sedang melalui masa-masa sulit dalam pekerjaannya. Aku tahu itu bukan alasan yang baik, tapi itu kenyataannya. Kami berdua berusaha, Kiara, tapi terkadang kita juga lelah."

Kiara menunduk, perasaan kecewa dan kesepian kembali datang. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus kuat. Bukan hanya untuk ayahnya, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

---

Kiara tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Banyak tantangan yang harus ia hadapi, dan banyak keputusan yang harus ia buat. Namun, pada malam itu, ia memutuskan untuk tidak lagi menanggung semuanya sendiri. Ia tahu bahwa, meskipun berat, ia tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Kiara merasa seperti ada ruang hampa yang terus mengikutinya. Hari-harinya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban, dan setiap langkahnya terasa berat. Namun, kali ini, ada satu hal yang berbeda. Di tengah kerumunan teman-teman yang tampak sibuk dengan dunia mereka, Aksa tetap setia menemani, memberi ruang bagi Kiara untuk berbicara atau bahkan hanya diam, tanpa harus merasa canggung.

Seiring berjalannya waktu, perasaan Kiara mulai tercampur aduk. Aksa mulai menunjukkan perhatian yang lebih, tetapi Kiara tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa ia tanggapi dengan mudah. Bagaimana mungkin ia membuka hati, jika semua yang ada di pikirannya adalah keluarganya yang berantakan?

Pulang dari sekolah, Kiara mendapati rumahnya sepi. Ayahnya belum pulang, dan ibunya seperti biasa sibuk dengan pekerjaannya. Semua terasa seperti rutinitas yang tidak berujung. Kiara merasa seperti bayangan yang terabaikan di rumah sendiri.

Namun, malam itu, ada percakapan yang tak terduga antara Kiara dan ibunya. Saat Kiara sedang duduk di meja makan, ibunya tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya, seolah ingin berbicara setelah sekian lama.

"Kiara," suara ibunya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tahu aku sudah banyak mengabaikanmu belakangan ini. Aku hanya... terlalu fokus pada pekerjaan."

Kiara menatap ibunya, mencoba mencari jawaban atas semua kebingungannya. "Ibu, kenapa? Kenapa harus seperti ini? Aku merasa seperti nggak punya ibu lagi."

Ibunya terdiam sejenak. Mata Kiara melihat ibunya, dan untuk pertama kalinya, ia bisa melihat ketegangan di wajah ibu yang selalu tampak kuat dan tegar. "Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya, Kiara. Terkadang kita terjebak dalam hal-hal yang kita pikir penting, sampai kita lupa siapa yang kita tinggalkan di belakang."

Kiara menahan air matanya. Semua yang ia rasakan selama ini—kesepian, rasa ditinggalkan, semuanya seakan-akan terungkap begitu saja. "Aku butuh ibu, Bu. Aku butuh kamu ada di sini."

Ibunya menarik napas panjang. "Aku tahu, Kiara. Aku berjanji akan mencoba lebih banyak ada untukmu. Aku minta maaf."

Kiara merasa ada sedikit harapan yang muncul di dalam hatinya, meski ia tahu bahwa perubahan itu tidak akan instan. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa seperti ada secercah cahaya di ujung terowongan.

Di sekolah, Aksa tetap ada, memberikan dukungan tanpa mengharapkan balasan. Kiara merasa ada rasa nyaman saat bersama Aksa, tapi ia juga merasa terbebani dengan kenyataan bahwa ia belum siap membuka hatinya. Namun, seiring berjalannya waktu, Kiara mulai menyadari bahwa kadang-kadang, membuka hati adalah cara untuk menyembuhkan luka yang paling dalam.

Namun, Kiara harus menghadapi kenyataan pahit yang tak terduga. Masalah keluarganya belum selesai, dan ada hal-hal yang lebih besar yang harus ia hadapi.