Chereads / Searching for home / Chapter 30 - menanti cinta yang tak pernah datang

Chapter 30 - menanti cinta yang tak pernah datang

Kiara duduk di sudut kamarnya, matanya kosong menatap layar ponselnya. Meskipun banyak pesan yang masuk, ia tidak merasa ada yang benar-benar bisa mengisi kekosongan hatinya. Hari-hari berlalu tanpa ada perubahan besar, meskipun percakapan dengan ibunya beberapa waktu lalu telah sedikit memberikan harapan.

Namun, harapan itu sering kali terasa rapuh, seolah-olah terbang begitu saja setiap kali ia mencoba meraihnya. Ibunya, meskipun berusaha lebih dekat, tetap tampak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Kadang, Kiara merasa seperti seorang asing di dalam rumahnya sendiri, hanya tinggal di antara dinding yang sepi, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Aksa, yang selalu ada untuknya, kini tampak semakin jauh. Meskipun ia masih menyapa Kiara di sekolah, ada jarak yang mulai terbentuk. Aksa sibuk dengan teman-temannya, dengan dunianya sendiri, dan Kiara merasa seperti menjadi beban yang tak diinginkan. Setiap kali mereka berbicara, Kiara merasakan ada kekosongan yang sulit ia jelaskan, seperti ada sesuatu yang hilang dari persahabatan mereka.

Hari itu, Kiara memutuskan untuk pergi ke taman sendirian. Ia merasa kesepian, dan taman itu memberikan sedikit ketenangan yang ia butuhkan. Dedaunan yang berguguran, angin sepoi-sepoi yang berhembus, semuanya terasa seakan membawa Kiara ke dalam dunia lain, dunia yang jauh dari segala masalah.

Namun, meskipun ia berusaha menenangkan dirinya, perasaan kesepian itu tetap mengganggu. Kiara duduk di bangku taman, memandang ke arah langit yang mulai kelabu. Di sana, ia merasa seolah-olah tak ada tempat yang bisa ia tuju, tak ada seseorang yang benar-benar peduli. Ia menundukkan kepalanya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

"Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" Kiara bergumam, suara hatinya berbisik pelan. "Kenapa aku selalu merasa seperti ini?"

Di tengah keheningan taman itu, Kiara merasakan betapa beratnya beban yang ia tanggung. Ia merindukan perhatian dan kasih sayang yang dulu selalu ia rasakan dari ibunya. Namun, sekarang semuanya terasa begitu jauh, seperti bayangan yang memudar seiring berjalannya waktu.

Tiba-tiba, Kiara merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Ia menoleh dan melihat Aksa, yang tampaknya datang entah dari mana. Tanpa berkata apa-apa, Aksa duduk diam, memandang langit yang sama dengan Kiara.

Kiara menatap Aksa dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya, suaranya serak, seperti menahan tangis.

Aksa tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, "Aku nggak tahu, Kiara. Tapi aku merasa kamu butuh seseorang. Aku tahu kamu merasa sendirian."

Air mata Kiara mulai menetes, dan ia tak bisa lagi menahan rasa sakit yang sudah terlalu lama ia simpan. "Aku merasa seperti nggak punya siapa-siapa, Aksa. Ibu sibuk, ayah... Ayah juga nggak tahu apa yang aku rasakan. Aku merasa terabaikan, dan aku nggak tahu harus bagaimana lagi."

Aksa mengulurkan tangan, menggenggam tangan Kiara dengan lembut. "Kamu nggak sendirian, Kiara. Aku di sini. Aku nggak bisa mengubah semuanya, tapi aku janji, aku akan tetap ada buat kamu."

Kiara menatap Aksa dengan penuh haru, merasa sedikit lega dengan kata-katanya. Meskipun Aksa tidak bisa mengubah situasi keluarganya, kehadirannya memberikan sedikit kenyamanan.

Namun, meskipun ia tahu Aksa ada untuknya, rasa kosong di dalam hati Kiara tetap tidak bisa hilang. Ia merasa kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk mengembalikannya.

Malam itu, saat Kiara kembali ke rumah, ia merasa sangat lelah. Setelah berhari-hari mencoba untuk tetap tegar, ia akhirnya menyerah pada perasaannya. Begitu ia membuka pintu kamarnya, ia langsung terjatuh ke tempat tidurnya, menangis sepuasnya. Semua perasaan yang selama ini terkunci dalam hatinya kini meluap begitu saja.

Ibunya masuk ke kamar, mendengar suara isak tangis Kiara. "Kiara?" panggil ibunya, suaranya penuh kecemasan. "Ada apa?"

Kiara mengangkat wajahnya, matanya merah karena menangis. "Aku... aku hanya ingin ibu di sini, Bu. Aku hanya ingin sedikit perhatian. Kenapa semuanya terasa begitu sulit?"

Ibunya duduk di samping Kiara, merangkulnya dengan lembut. "Aku minta maaf, Kiara. Aku tahu aku sudah banyak mengabaikanmu, dan aku berjanji akan berusaha lebih baik. Aku tidak akan membiarkan kamu merasa sendirian."

Kiara menatap ibunya dengan air mata yang masih mengalir. "Aku cuma... aku cuma ingin kamu ada di sini, Bu," katanya dengan suara yang serak.

Ibunya mengusap rambut Kiara dengan lembut, mencoba menghiburnya. "Aku akan ada, Kiara. Aku janji."

Namun, meskipun ibunya berusaha menghiburnya, Kiara merasa bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang ada di dalam dirinya. Ia ingin lebih dari sekadar janji-janji yang belum bisa diwujudkan. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, tanpa harus menunggu lebih lama.

Dalam keheningan malam itu, Kiara hanya bisa terbaring di tempat tidurnya, berusaha mengatasi rasa sakit yang semakin dalam. Seolah-olah, meskipun ada orang yang peduli, ia tetap merasa sendirian dalam perjuangan hidupnya.

Kiara duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke layar ponsel yang ada di depannya. Seharian tadi, pikirannya terus berkecamuk antara rasa lelah, kecewa, dan kebingungan. Entah kenapa, perasaan itu semakin kuat hari ini. Ketegangan yang semakin terasa antara dia dan ibunya, serta hubungan yang makin renggang dengan Aksa, membuatnya merasa semakin terisolasi.

Ibunya, yang biasanya datang ke rumah dengan penuh kebahagiaan, kini tampak lebih sering pulang larut malam, wajahnya lelah dan tak banyak bicara. Kiara merasa dirinya semakin terabaikan. Ayahnya, meski selalu ada, juga tidak bisa mengubah kenyataan bahwa mereka semakin jauh, bahkan dalam hal komunikasi.

Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Kiara—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kecewa terhadap keluarganya. Sesuatu yang terpendam dalam hatinya, yang akhirnya meledak saat Dimas, adiknya, menghadapinya dengan wajah cemas.

"Dik, kenapa sih kamu nggak pernah mau cerita?" tanya Dimas, memandang Kiara dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku lihat kamu semakin sedih, kenapa nggak bilang ke aku aja?"

Kiara menatap adiknya, seolah baru sadar bahwa Dimas juga merasakan kesedihannya. "Aku nggak mau kamu khawatir, Dim. Aku cuma nggak ingin kita jadi beban buat orang lain."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Kamu bukan beban, Kak. Kamu itu orang yang paling kuat yang aku kenal. Tapi aku nggak bisa ngeliat kamu terus-terusan begini."

Tiba-tiba, suara pintu terbuka keras. Ibu Kiara masuk dengan wajah yang tampak lelah. "Ada apa ini? Kenapa kalian berdua ribut?" tanyanya, suaranya terdengar cemas namun juga sedikit terburu-buru.

Kiara menatap ibunya, sedikit kesal. "Kenapa ibu nggak pernah peduli dengan apa yang aku rasakan?" tanya Kiara, suara sedikit bergetar.

Ibunya terdiam sejenak, lalu mendekat. "Kiara, apa maksudmu? Aku selalu bekerja keras untuk kalian, bukan untuk menjauhkan diri dari kalian."

Kiara merasa hatinya semakin sakit. "Bekerja keras? Tapi kamu nggak pernah ada untuk aku! Kamu cuma ada kalau aku membutuhkan sesuatu, tapi nggak untuk hal-hal yang lebih penting, seperti perhatian. Apa kamu nggak lihat, Bu? Aku merasa sendirian di rumah ini!"

Dimas, yang melihat suasana semakin memanas, langsung berdiri. "Kak, jangan ngomong gitu. Ibu kan nggak mau kayak gitu. Jangan bikin suasana jadi lebih buruk," katanya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.

Kiara menatap adiknya dengan tatapan kesal. "Kamu nggak paham, Dim. Aku cuma nggak tahu harus gimana lagi."

Ibunya akhirnya duduk di sebelah Kiara, menatapnya dengan serius. "Kiara, aku nggak sempurna. Aku memang sibuk dengan pekerjaan, tapi aku tetap mencoba untuk memberikan yang terbaik. Aku akan berusaha lebih baik, aku janji."

Kiara menghela napas, merasa tak tahu lagi harus berkata apa. "Aku nggak tahu apa yang harus aku harapkan lagi. Setiap kali aku berharap, selalu berakhir dengan kekecewaan."

Aksa, yang sejak tadi menunggu di luar rumah Kiara, mendengar keributan itu. Ia merasa cemas dan sedikit bingung. Ia akhirnya memberanikan diri untuk masuk.

"Ada apa ini?" Aksa bertanya dengan lembut, melihat ketegangan yang terjadi di ruang tamu.

Kiara menoleh dan melihat Aksa berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan kebingungan, tetapi Kiara tidak bisa menahan perasaan kecewanya. "Aksa, kamu datang di saat yang salah," katanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

Aksa terdiam, tetapi kemudian melangkah mendekat. "Kiara, aku tahu ini semua sulit. Aku tahu kamu merasa nggak ada yang peduli. Tapi kamu harus tahu, aku peduli. Aku ada di sini buat kamu."

Namun, Kiara justru merasa semakin terpojok. "Kamu juga jauh, Aksa. Kamu sibuk dengan teman-temanmu, dan aku... aku cuma menjadi beban buat kamu."

Aksa terkejut mendengar itu. "Kiara, jangan bilang gitu. Aku nggak pernah menganggap kamu sebagai beban. Aku tahu aku nggak selalu ada, tapi aku berusaha."

Kiara menundukkan kepalanya, merasakan sebuah penyesalan dalam hatinya. "Aku cuma ingin merasa dihargai. Aku cuma ingin merasa kalau aku penting. Tapi kenapa rasanya seperti semuanya hilang?"

Ibunya yang duduk di samping Kiara mencoba merangkulnya, meskipun Kiara bisa merasakan betapa canggungnya suasana itu. "Kiara, aku minta maaf. Aku akan berusaha lebih baik. Aku janji, kita akan lebih dekat, kita akan lebih sering bicara."

Tapi kata-kata itu tetap terasa hampa di hati Kiara. Ia ingin percaya, ia ingin berharap, tetapi sudah terlalu sering ia kecewa. Semua yang ia rasakan, baik itu perasaan kesepian, kebingungan, atau rasa tidak dihargai, semakin terasa berat.

Dimas yang berdiri di samping mereka, hanya bisa terdiam. Ia tahu betapa kerasnya perasaan yang sedang dialami oleh kakaknya, dan meskipun ia berusaha menenangkan suasana, ia tidak tahu bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang begitu dalam.

Aksa, yang kini berdiri di samping Kiara, tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin menjadi penopang bagi Kiara, tapi ia merasa ada jarak yang semakin jauh antara mereka berdua.

Di tengah kebisuan itu, Kiara merasakan hatinya semakin kosong. Seolah-olah, meskipun ada orang-orang yang peduli, ia tetap merasa sendirian dalam perasaannya yang tidak bisa ia ungkapkan.

Semua yang ia inginkan hanyalah perhatian dan kasih sayang, tapi kenyataannya begitu berbeda.

Kiara terdiam dalam suasana penuh kebingungan. Meski ada orang-orang yang mengelilinginya, ia merasa jauh, terasing dari mereka. Semua yang ada di sekitarnya seperti tidak cukup untuk mengisi kehampaan yang ia rasakan. Ayahnya yang tak banyak bicara, ibunya yang terlalu sibuk, dan Aksa yang merasa tidak tahu harus berbuat apa—semua itu justru memperburuk keadaan. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, tanpa arah yang jelas.

Aksa, yang berdiri di sampingnya, akhirnya berusaha untuk lebih dekat. "Kiara, aku tahu ini berat. Kamu nggak sendiri. Aku di sini buat kamu, oke?" kata Aksa pelan, mencoba untuk memberi sedikit kenyamanan.

Namun, Kiara hanya mengangguk lemah, matanya kembali mengarah ke lantai. Kata-kata Aksa terdengar jauh di telinganya. Ia ingin merasa lega, ingin merasa diterima, tapi hatinya terasa terkunci rapat.

"Ibu, kamu janji kan akan lebih peduli?" Kiara mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang duduk di dekatnya. "Tapi kenapa rasanya kamu nggak ada?"

Ibunya terdiam, pandangannya jatuh ke tangan yang diam memegang cangkir teh. "Kiara, aku… aku minta maaf. Aku memang sering sibuk, dan aku tahu itu menyakitkan, tapi aku benar-benar berusaha."

Kiara menghela napas berat. "Aku nggak tahu lagi harus berharap apa. Setiap kali aku ingin kamu ada, kamu malah jauh. Kalau aku butuh, kamu nggak ada di sini. Bahkan ketika aku sakit, aku nggak bisa merasa nyaman karena kamu sibuk."

Dimas yang duduk di dekat pintu, menundukkan kepalanya, merasa sakit mendengar kata-kata kakaknya. Ia merasa tak tahu bagaimana cara membantunya. Semua yang mereka lakukan tampaknya tidak cukup untuk mengisi kesenjangan yang ada di antara mereka.

Suasana hening selama beberapa saat, hingga akhirnya ibu Kiara berdiri dan mendekat, memegang tangan Kiara dengan lembut. "Aku tahu aku nggak sempurna, Kiara. Tapi aku janji, aku akan berusaha. Aku akan lebih peduli, lebih ada untuk kalian."

Kiara menatap tangan ibunya, merasa kata-kata itu hanya sekedar janji yang tak bisa dipenuhi. Meski ibunya berusaha menjelaskan, Kiara merasa bahwa janjinya itu terlalu terlambat untuk menghapus luka yang sudah lama tergores.

Aksa yang melihat ketegangan itu, mencoba untuk memberi sedikit kehangatan. "Kiara, aku akan selalu ada. Mungkin aku nggak tahu segalanya, tapi aku bisa mendengarkanmu. Jangan terlalu menutup diri. Kalau kamu merasa nggak nyaman atau ada masalah, kamu bisa ceritakan ke aku."

Namun, Kiara tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama. Semua emosi yang ia pendam selama ini akhirnya meluap. "Kenapa nggak ada yang peduli dengan aku? Kenapa aku merasa sendirian di tengah orang-orang yang seharusnya jadi keluarga ku?" ujarnya dengan suara parau, hampir seperti menangis.

Ibunya terdiam, sedih melihat keadaan putrinya. Ia tahu betapa Kiara membutuhkan perhatian dan kasih sayang, dan ia merasa bersalah karena terlalu sering mengabaikannya. "Kiara, aku minta maaf. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku akan coba lebih baik lagi," ujar ibunya dengan suara yang dipenuhi penyesalan.

Namun, meskipun ibu Kiara berusaha untuk meyakinkannya, Kiara merasa kosong. Kata-kata itu terasa hampa. Apa artinya semua itu jika kenyataannya tidak berubah?

Dimas yang melihat kakaknya begitu terluka, merasa semakin sulit untuk membantu. Ia tahu bahwa Kiara tidak hanya kecewa pada ibu mereka, tetapi juga merasa sangat kesepian dalam hidupnya. Tak ada yang benar-benar ada untuknya—selalu ada jarak, selalu ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bisa dekat.

Di tengah keheningan itu, Aksa meraih tangan Kiara dengan lembut. "Kiara, aku tahu kamu merasa terpuruk, tapi kamu nggak sendiri. Aku akan tetap ada untuk kamu, meskipun aku nggak bisa menggantikan apa yang hilang."

Kiara menatap Aksa dengan tatapan kosong, tetapi ada sedikit rasa hangat yang muncul di dalam hatinya. Mungkin, hanya mungkin, ada orang yang masih peduli padanya, meskipun segalanya terasa sulit.