Chereads / Searching for home / Chapter 34 - ketika keluarga kembali bersatu

Chapter 34 - ketika keluarga kembali bersatu

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Kiara mulai merasa sedikit lebih baik. Meski rasa sakit di tubuhnya masih terasa, kini hatinya sedikit lebih ringan berkat perhatian yang ia terima dari Aksa. Namun, di sisi lain, ia juga merindukan kehadiran keluarganya yang terasa semakin jauh.

Hari itu, Kiara sedang duduk di ranjang rumah sakit, merenung sendirian. Hanya suara mesin-mesin rumah sakit yang terdengar di sekitarnya. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang anak laki-laki masuk. Itu adalah Dimas, adiknya.

Kiara terkejut melihat Dimas berdiri di depan pintu, dengan wajah yang sedikit lelah. Ia langsung duduk dengan cepat, meskipun tubuhnya terasa masih lemah.

"Dimas! Kenapa kamu di sini?" Kiara bertanya dengan suara yang sedikit gemetar. Dimas tersenyum, meskipun terlihat jelas bahwa dia juga kelelahan.

"Aku nggak bisa tidur, Kak. Jadi aku bilang ke Ayah dan Ibu kalau aku mau lihat Kak Kiara. Kamu nggak apa-apa kan?" jawab Dimas sambil duduk di sisi ranjang Kiara.

Kiara tersenyum lemah. "Aku nggak apa-apa, Dim. Cuma capek aja."

Dimas menatap Kiara dengan mata penuh perhatian. "Kak, kamu harus sembuh cepat. Aku butuh kamu. Jangan bikin aku khawatir terus."

Kiara terdiam, merasa hangat di dadanya mendengar kata-kata Dimas. Sejak kecil, ia selalu berusaha untuk menjadi kakak yang baik bagi Dimas. Namun, belakangan ini, ia merasa gagal menjadi figur yang bisa diandalkan oleh adiknya.

Dimas tiba-tiba mengambil tangan Kiara dan menggenggamnya dengan erat. "Kak, aku janji akan selalu ada buat kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Air mata mulai menggenang di mata Kiara. Ia merasa terharu mendengar kata-kata adiknya. "Terima kasih, Dim. Aku juga nggak mau jauh dari kamu."

Dimas hanya tersenyum dan memeluk Kiara dengan pelukan yang erat, seolah mencoba memberi kekuatan untuk Kiara yang sedang merasa rapuh.

Di momen itu, Kiara merasa seolah ada harapan yang kembali menyala dalam dirinya. Mungkin dunia di luar sana sedang tidak berpihak padanya, dan keluarganya juga terkadang sulit untuk memahami perasaannya. Namun, Dimas adalah satu-satunya yang selalu ada di sampingnya, yang tidak pernah menyerah meskipun mereka berdua sering kali berada di tengah-tengah kesulitan.

Kiara mendekap Dimas dengan lembut, merasa takjub dengan betapa besar kasih sayang adiknya. "Aku janji, Dim. Aku akan berusaha sembuh, untuk kamu."

Dimas melepaskan pelukan itu dan menatap Kiara dengan mata yang penuh harap. "Aku percaya sama Kak Kiara. Kamu pasti bisa."

Kiara hanya bisa tersenyum dan mengelus rambut adiknya. Meskipun masalah yang ia hadapi masih jauh dari selesai, momen itu memberi Kiara sedikit kekuatan untuk terus berjuang. Dengan adanya Dimas di sisinya, ia merasa lebih tegar untuk menghadapi segala yang akan datang.

Hari-hari berikutnya berjalan cukup berat bagi Kiara. Meski tubuhnya mulai pulih, pikirannya masih diliputi rasa bingung dan kesedihan. Ia kembali ke rumah, namun perasaan kosong itu tak hilang begitu saja. Ibu masih sibuk dengan pekerjaannya yang menuntut, dan Ayah seolah tidak bisa melihat apa yang dirasakannya. Kiara merasa sendiri meskipun keluarga masih ada di sekitarnya. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya bertahan: Dimas.

Dimas, yang sering kali menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup Kiara, kini semakin terlihat dewasa. Ia tahu adiknya itu sangat mengandalkan dirinya. Di tengah rasa khawatirnya, Dimas selalu berusaha menjadi sosok yang bisa memberi Kiara semangat, meski ia sendiri tidak tahu bagaimana cara melakukannya.

Suatu pagi, ketika Kiara duduk di meja makan, Dimas datang dengan wajah serius, membawa sepucuk surat. Kiara menatapnya bingung.

"Ada apa, Dim?" tanya Kiara, sambil mengambil surat yang diberikan Dimas.

Dimas duduk di samping Kiara, menatapnya dengan serius. "Ini surat dari sekolah. Katanya ada perubahan jadwal SPP. Ayah belum kasih tahu Kak Kiara, kan?"

Kiara mengernyitkan dahi. "Jadwal SPP? Aku nggak tahu."

Dimas menghela napas. "Maksudnya, Kak. Kita harus bayar SPP bulan depan. Tapi Ayah bilang, mungkin belum ada uang. Dan aku juga tahu kalau Kak Kiara sedang nggak baik-baik saja, jadi aku nggak mau Kak Kiara bingung." Dimas mengusap rambutnya yang berantakan. "Aku bakal bantu, Kak. Aku tahu ini berat, tapi kita harus cari cara. Nggak bisa terus-terusan begini."

Kiara menatap Dimas dengan mata berkaca-kaca. Betapa besar perhatian adiknya padanya, meskipun ia sendiri masih merasa tak berdaya. "Dimas, jangan khawatir. Aku nggak mau kamu merasa terbebani sama masalahku."

Dimas tersenyum, meskipun di matanya terlihat kelelahan. "Aku nggak merasa terbebani, Kak. Kita keluarga. Aku akan bantu apa saja yang aku bisa."

Kiara merasa berat mendengar kata-kata itu. Ia tahu Dimas tidak seharusnya dibebani dengan masalah yang lebih besar. Namun, ia juga tahu bahwa, dalam banyak hal, adiknya adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan.

Sementara itu, di luar rumah, suasana semakin menegangkan. Ibu Kiara masih jarang pulang dan jarang memberi kabar. Ayah yang semakin sibuk dengan pekerjaan juga tidak bisa menyelesaikan masalah yang ada. Kiara merasa semakin jauh dari mereka, meskipun mereka masih ada di dalam rumah yang sama.

Pada suatu sore, ketika Kiara sedang duduk di depan jendela rumah, ia melihat Dimas sedang duduk di halaman depan, memainkan bola yang sudah lama tergeletak. Kiara merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Ia tahu Dimas lebih banyak mengorbankan waktunya untuk mengurus hal-hal yang seharusnya tidak ia tanggung. Kiara merasa bersalah karena tidak bisa berbuat lebih banyak untuk adiknya.

Tiba-tiba, Dimas berjalan masuk ke rumah dengan wajah serius, membawa bola basket di tangan. "Kak, kita harus bicara."

Kiara menatap adiknya dengan bingung. "Ada apa, Dim?"

"Aku merasa semakin lama semakin sulit untuk menghadapinya. Tapi aku nggak mau kita kehilangan harapan," jawab Dimas dengan suara yang serius, tapi ada sedikit kecemasan di matanya.

Kiara menatap Dimas dengan hati yang mulai terasa sesak. "Kamu terlalu banyak mikir, Dim. Ini bukan salah kamu."

"Tapi aku kan adikmu, Kak. Aku harus bantu. Aku nggak bisa terus-terusan lihat Kak Kiara merasa seperti ini. Kalau nggak ada yang bantu, aku nggak tahu apa yang bakal terjadi."

Kiara menunduk, merasa sangat berat. "Aku juga nggak tahu harus bagaimana. Tapi aku janji, aku akan berusaha. Mungkin ini ujian buat kita semua, Dim."

Dimas mendekati Kiara dan memeluknya dengan erat. "Aku percaya sama Kak Kiara. Kita pasti bisa lewat ini semua bersama."

Kiara merasa perasaan yang selama ini terpendam mulai terobati sedikit demi sedikit. Meskipun tantangan di depan masih sangat berat, ada satu hal yang pasti—keluarga ini masih bisa bertahan bersama, saling mendukung dalam setiap langkah.

Dengan tekad baru, Kiara memutuskan untuk berusaha lebih keras. Ia tahu perjalanannya tidak akan mudah, tetapi dengan dukungan adiknya, Dimas, dan sedikit harapan yang mulai muncul dari dalam dirinya, ia merasa lebih siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Dan hari itu, di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam, Kiara berjanji dalam hati bahwa tidak ada yang lebih berharga dari keluarga yang saling mendukung—dan ia tidak akan menyerah.