Kiara terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya semakin terlihat rapuh. Meski matanya tampak begitu sayu, ada satu sinar yang masih tersisa—sebuah keinginan untuk berbicara, meskipun rasanya seperti kata-kata itu akan menjadi beban yang lebih berat daripada yang bisa ia angkat.
Aksa duduk di sampingnya, menatap wajah Kiara yang semakin pucat. Ia menggenggam tangan Kiara dengan lembut, berusaha memberi kekuatan yang ia bisa. Namun, Aksa tahu, kekuatan itu tidak akan cukup untuk membuat Kiara bertahan lebih lama. Dalam hati, Aksa berdoa, berharap ada keajaiban yang bisa membuat semuanya berubah.
Tiba-tiba, Kiara membuka matanya dan menoleh ke Aksa dengan susah payah. "Aksa…" suara Kiara terdengar lemah, hampir tak terdengar. Namun Aksa bisa merasakannya, getaran itu sangat jelas dalam kata-katanya. Ia menunduk lebih dekat, berusaha mendengar setiap kata Kiara.
"Aksa, aku… aku ingin mengatakan sesuatu," Kiara melanjutkan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku sangat berterima kasih padamu. Selama ini, kamu selalu ada, bahkan saat aku merasa tak berharga. Kamu selalu membuatku merasa istimewa, meskipun aku hanya seorang gadis biasa."
Aksa menahan napas. Hatinya terasa sesak mendengar kata-kata itu. "Kiara, jangan bilang begitu. Kamu lebih dari istimewa bagi aku. Kamu adalah segalanya…"
Kiara tersenyum lemah, namun senyumnya itu justru semakin membuat Aksa merasa hancur. "Aku tahu, Aksa. Aku tahu kalau kamu peduli. Tapi, aku… aku nggak akan bisa bertahan lebih lama. Aku rasa aku sudah sampai di akhir jalanku."
Aksa ingin berkata sesuatu, tetapi kata-katanya terkunci di tenggorokan. Ia merasa sesak, terlalu banyak yang ingin ia katakan, tapi tidak ada kata yang cukup untuk mewakili perasaannya saat itu.
"Aksa," Kiara melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar, namun setiap kata yang keluar terasa begitu berat. "Aku ingin kamu tahu… aku sangat menyesal karena tidak bisa membahagiakanmu. Kamu layak mendapatkan lebih banyak dari apa yang aku berikan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini."
Aksa menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak bisa menahan semuanya lagi. Semua rasa takut, cemas, dan keputusasaan yang sudah lama ia pendam kini tumpah. "Kiara, jangan bicara seperti itu. Kamu nggak boleh pergi. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
Kiara memejamkan mata sejenak, menghela napas. "Aku ingin kamu selalu ingat, Aksa. Kamu adalah orang yang membuat hidupku lebih berarti, meskipun hanya untuk sementara waktu."
Tangan Kiara menggenggam tangan Aksa dengan sedikit kekuatan, tapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit yang sudah menyelimuti tubuhnya. Matanya mulai menutup perlahan. "Aksa… tolong… jaga diri kamu baik-baik…" Kiara berbisik, "Aku akan selalu ada di hatimu…"
Dengan itu, napas Kiara perlahan berhenti. Aksa merasakan dunia seakan berhenti berputar. Segala sesuatunya menjadi hampa, dan dalam kesunyian yang mencekam itu, Aksa hanya bisa berdoa agar ini bukanlah kenyataan.
Namun, saat matanya terpejam dan air mata menetes di pipinya, Aksa tahu, meskipun tubuh Kiara telah pergi, hatinya akan selalu bersama Aksa. Mereka mungkin tak akan bertemu lagi di dunia ini, tapi kenangan mereka, cinta mereka, akan selalu abadi dalam setiap detak jantung Aksa.
Dan di luar sana, hujan masih turun, seolah alam ikut merasakan kehilangan yang begitu besar.
Pagi itu, hujan turun dengan deras, menambah kesedihan yang menggelayuti hati setiap orang yang ada di rumah sakit. Setelah Kiara menghembuskan napas terakhirnya, suasana rumah sakit seolah terhenti sejenak. Keheningan menyelimuti setiap sudut ruangan. Aksa masih duduk di samping ranjang Kiara, tangannya masih menggenggam tangan Kiara yang kini sudah dingin.
Keluarga Kiara akhirnya tiba di rumah sakit. Ayahnya, dengan wajah pucat pasi, langkahnya tergesa-gesa, namun begitu melihat sosok Kiara yang terbaring kaku di ranjang rumah sakit, kakinya terasa goyah. Ibunya, yang biasanya tampak tegar, kini tampak rapuh, matanya sembab, wajahnya pucat, seolah tak percaya dengan kenyataan yang baru saja mereka terima.
Dimas, yang selalu menjadi adik yang ceria dan penuh semangat, kini terdiam. Ia berdiri di depan pintu kamar rumah sakit, menatap Kiara dengan mata yang tak bisa lagi menahan air mata. Air matanya jatuh satu per satu, namun ia tidak bisa bergerak, seakan terjebak dalam kesedihan yang begitu dalam.
Ayah Kiara akhirnya memecah keheningan, suaranya serak. "Kiara... anakku... apa yang terjadi padamu?" Ia mendekat, memegang tangan Kiara yang sudah tak lagi bergerak. Tangannya bergetar hebat, wajahnya penuh penyesalan. "Kenapa kita tidak tahu lebih cepat? Kenapa kita tak bisa menyelamatkanmu?" Suaranya pecah, dan ia jatuh berlutut di samping ranjang, menangis dengan keras.
Ibu Kiara, yang sejak awal terlihat cemas, kini terduduk di kursi, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Kiara, maafkan Mama… Mama… Mama terlalu sibuk… terlalu egois sampai tidak tahu kamu sakit. Mama salah, Kiara... Mama sangat salah," ujar ibunya dalam isak tangisnya. Setiap kata yang keluar hanya memperburuk rasa sakit di hatinya. Ia merasa tak pantas menjadi ibu bagi Kiara setelah semuanya terlambat.
Dimas berjalan mendekat, mencoba mengusap air mata ibunya, tetapi ia sendiri tak bisa menahan tangisnya. "Kenapa kak Kiara harus pergi? Kenapa?" tanyanya dengan suara tercekat, tidak mengerti mengapa nasib bisa sekejam ini.
Aksa yang masih berada di samping Kiara, memandang keluarga Kiara dengan hati yang berat. Ia tahu betul betapa dalamnya rasa kehilangan ini bagi mereka. Namun, ia juga tahu bahwa semua kata-kata yang diucapkan tak akan mengembalikan Kiara. Ia ingin sekali memberi penghiburan, namun ia hanya bisa diam. Hatinya hancur melihat keluarga Kiara yang begitu terpukul.
"Kak Aksa..." Suara Dimas terdengar pelan, namun cukup untuk memecah keheningan. Dimas menatap Aksa dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami tentang keadaan Kiara? Kenapa diam saja? Seharusnya kamu bilang… seharusnya ada yang memberitahuku," ucap Dimas dengan suara bergetar, kebingungannya berubah menjadi amarah yang tak tertahankan.
Aksa menunduk, merasakan perasaan bersalah yang sangat besar. "Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahukan kalian… Aku hanya ingin melindungi Kiara. Aku tahu dia akan sangat terluka kalau tahu bahwa waktunya terbatas," jawab Aksa dengan suara pelan.
"Apa gunanya melindungi jika kita justru kehilangan dia tanpa kesempatan untuk mengatakan selamat tinggal?" ujar ayah Kiara, menatap Aksa dengan perasaan yang campur aduk.
Semua orang di ruangan itu menangis, merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Kiara yang dulu penuh senyuman dan semangat kini telah pergi. Semua penyesalan, kesedihan, dan ketidakberdayaan bercampur menjadi satu, menciptakan luka yang sulit untuk disembuhkan.
Di luar ruangan, hujan masih turun, menyelimuti kota dalam kesunyian yang menghantui. Hanya kesedihan yang tinggal, mengisi ruang yang kosong tanpa Kiara.