Chereads / Searching for home / Chapter 38 - pemakaman kiara

Chapter 38 - pemakaman kiara

Langit masih mendung, menyelimuti suasana di sekitar pemakaman. Hujan yang semula reda kini turun lagi dengan deras, membasahi tanah yang masih lembab dari hujan sebelumnya. Semua orang yang hadir di pemakaman tampak mengenakan pakaian serba hitam, wajah-wajah mereka dipenuhi dengan duka yang mendalam. Kiara, yang dulunya penuh semangat dan senyum, kini terbaring dalam sebuah peti yang ditutupi dengan bunga-bunga putih yang cantik.

Ayah Kiara, yang sebelumnya tampak tegar, kini tidak bisa menahan air matanya. Tangannya menggenggam erat tangan ibunya yang juga terisak. Mereka berdiri di samping makam Kiara, merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Hanya kesunyian yang menyelimuti, kecuali suara hujan yang semakin deras.

Dimas, adik Kiara, berdiri di belakang mereka, menatap makam kakaknya yang perlahan ditutupi tanah. Matanya merah karena terus menangis. "Kiara, kenapa kamu harus pergi? Kenapa aku tidak sempat bilang bahwa aku sangat mencintaimu?" suara Dimas pecah, hampir tak bisa diucapkan dengan jelas karena isak tangisnya.

Aksa berdiri sedikit lebih jauh dari mereka, tak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa hancur. Ia yang selama ini selalu ada untuk Kiara, tidak pernah membayangkan saat ini akan tiba begitu cepat. Ketika Kiara masih hidup, ia merasa ada harapan bahwa semuanya bisa sembuh, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, kini yang tersisa hanyalah kenangan dan rasa bersalah.

"Kiara, maafkan Mama… Mama seharusnya lebih peka. Mama terlalu sibuk dengan segala hal, Mama tidak pernah sadar bahwa kamu sedang menderita…" ujar ibunya, dengan suara lirih yang terdengar sangat patah. Tangannya menggenggam erat bunga yang dipegangnya, seolah itu adalah satu-satunya benda yang dapat menghubungkannya dengan anaknya.

Ayah Kiara menunduk, menahan isak yang semakin berat. "Kiara, aku ingin kita bersama lagi. Aku ingin kita bisa berbicara lebih banyak, lebih banyak waktu bersama. Tapi itu takkan terjadi lagi, kan?" Ayah Kiara menangis sejadi-jadinya, merasa sangat kehilangan.

Dimas yang berdiri di samping mereka akhirnya maju, meletakkan tangannya di atas tanah yang baru saja ditutupi. Ia merasakan keheningan yang mencekam, hanya suara detakan jantungnya yang terasa bergema di telinganya. Ia ingin berteriak, tapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar. "Kak Kiara, ini bukan akhir… aku tidak akan membiarkan kakak pergi begitu saja. Kakak akan tetap ada di hatiku selamanya," katanya pelan, namun dengan tekad yang dalam.

Aksa akhirnya mendekat, berdiri di belakang keluarga Kiara. Ia tidak bisa mengungkapkan betapa ia merasa kehilangan. Setiap detik bersama Kiara terasa terlalu singkat, setiap kata yang terlontar terasa begitu berharga. Kini semua sudah terlambat. Hanya kesedihan yang ada.

Tanah di atas makam Kiara semakin tinggi, menandakan bahwa Kiara kini benar-benar pergi meninggalkan dunia ini. Semua orang di sekitarnya menangis, merasa sangat kehilangan, tetapi di balik air mata itu, ada satu harapan: semoga Kiara menemukan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Hari-hari setelah pemakaman Kiara terasa begitu sunyi. Keluarga Kiara mencoba untuk melanjutkan hidup, namun kehilangan Kiara terlalu berat untuk mereka. Ayah dan ibunya masih sering terlihat terdiam dalam keheningan, sesekali menangis mengenang anak perempuan mereka yang dulu begitu ceria. Dimas, adiknya, sering menyendiri, terdiam di sudut kamar, memandangi foto Kiara yang terpasang di dinding. Setiap kali ia melihat gambar itu, ingatannya kembali pada senyum kakaknya, suara tawanya, dan semua kenangan manis yang mereka bagikan.

Aksa pun tidak bisa melupakan Kiara. Setiap kali ia melewati tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi bersama, seperti taman di dekat sekolah atau kedai kopi tempat Kiara selalu memesan minuman favoritnya, ia merasa kehilangan yang begitu dalam. Meskipun begitu, ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, di balik wajah tegar yang ia tunjukkan kepada dunia, hatinya hancur. Rasa bersalah yang mendalam terus menghantuinya, karena ia tahu bahwa ada banyak hal yang belum sempat ia ungkapkan kepada Kiara.

Satu minggu setelah pemakaman, Aksa duduk di bangku taman yang biasa mereka kunjungi. Hujan turun perlahan, membasahi tanah yang basah oleh air mata dan kenangan. Ia memegang bunga yang ia letakkan di atas makam Kiara beberapa hari lalu. Ia menunduk, berdoa dalam hatinya agar Kiara bisa tenang di tempat yang lebih baik.

"Aku tidak pernah bisa mengatakan betapa berartinya kamu buatku, Kiara. Aku sangat menyesal," bisiknya, meskipun tahu Kiara tak bisa mendengarnya lagi.

Dimas tiba-tiba muncul dari balik pepohonan, membawa seikat bunga. Dia duduk di samping Aksa, lalu menatap langit yang kelabu.

"Kami akan selalu mengenang Kiara, kan?" tanya Dimas dengan suara pelan, mencoba menahan tangis. "Aku ingin membuatnya bangga. Aku ingin menjadi lebih kuat."

Aksa mengangguk pelan, menatap jauh ke depan. "Kita akan selalu mengenangnya. Meskipun dia sudah pergi, dia tetap akan ada di hati kita. Kita harus kuat, Dimas. Itu yang Kiara inginkan."

Di rumah, ibu dan ayah Kiara mencoba untuk melanjutkan hidup mereka. Mereka kembali bekerja, meskipun hati mereka terasa kosong. Ayahnya, yang dulu sangat sibuk, kini lebih sering pulang lebih awal dan menghabiskan waktu di rumah. Namun, ada sesuatu yang hilang dalam hidup mereka yang tidak akan bisa tergantikan.

Kiara, meskipun sudah tidak ada, tetap hidup dalam kenangan mereka. Setiap kali mereka merasakan kesedihan, mereka mengingat kembali betapa pentingnya Kiara dalam hidup mereka. Mereka tahu, meskipun tubuhnya telah tiada, semangatnya tetap hidup di dalam hati mereka.

Hari-hari terus berlalu, tetapi bagi keluarga Kiara, hidup tanpa Kiara tetap terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak pernah berakhir.

Beberapa bulan telah berlalu sejak kepergian Kiara, namun luka itu masih sangat dalam. Setiap hari terasa seperti melangkah dalam bayang-bayang kenangan, dan seakan-akan setiap sudut rumah dipenuhi dengan hampa. Keluarga Kiara berusaha menjalani hari-hari mereka, tetapi tak bisa menahan rasa kehilangan yang menghantui.

Dimas, yang semakin pendiam, sering duduk di kamar Kiara, memandangi barang-barang miliknya yang kini tak terpakai. Gambar-gambar yang mereka ambil bersama, buku-buku yang selalu dibaca Kiara sebelum tidur, dan pakaian-pakaiannya yang tertata rapi. Dimas berusaha menahan air matanya, tetapi setiap kali ia melihat benda-benda itu, kenangan tentang kakaknya yang ceria dan penuh semangat datang menghantui.

Suatu sore, Dimas memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia dan Kiara sering menghabiskan waktu bersama. Dengan langkah pelan, ia duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang mereka tanam bersama. Hujan sudah mulai turun lagi, tetapi Dimas tidak peduli. Ia merasakan kehadiran Kiara, meski hanya dalam kenangan.

"Aku rindu kamu, Kiara," katanya pelan. "Aku berjanji akan menjadi lebih baik. Aku akan menjaga Mama dan Papa. Aku akan menjadi anak yang lebih kuat."

Sementara itu, Aksa masih berusaha menjalani kehidupan tanpa Kiara. Setiap kali ia melangkah di jalan yang biasa mereka lalui bersama, kenangan manis itu datang kembali. Namun, kini ia mulai belajar untuk menerima kenyataan. Meski Kiara sudah tidak ada, semangat dan kenangannya akan tetap hidup. Ia tahu bahwa Kiara selalu ingin yang terbaik untuk orang-orang yang dia cintai.

Di rumah, keluarga Kiara mulai beradaptasi dengan kehidupan mereka yang baru. Ayahnya masih sering termenung, seakan mencari-cari hal yang hilang, sementara ibunya mencoba untuk melanjutkan pekerjaannya, meski hatinya masih berat. Mereka tak lagi bisa duduk bersama di meja makan, seperti dulu. Suasana rumah yang dulu hangat, kini terasa sunyi.

Namun, meski kesedihan itu menyelimuti, mereka tahu bahwa Kiara selalu menginginkan mereka bahagia. Dan meskipun dia tak ada lagi di dunia ini, mereka berjanji untuk terus menghormati kenangannya. Dimas yang semula selalu terlihat rapuh, kini mulai belajar untuk lebih dewasa. Ia berusaha menjaga keluarganya dengan lebih baik, mencoba untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Kiara.

Aksa, meski tetap merasakan kehilangan yang dalam, mulai melangkah maju. Ia tahu bahwa hidup harus diteruskan, meskipun tanpa Kiara. Ia berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, sebagaimana yang selalu Kiara harapkan. Meski berat, ia mulai menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan.

Dan meskipun Kiara sudah tiada, dalam hati mereka semua, Kiara akan selalu hidup—sebagai kenangan yang tak akan pernah pudar.

Tamat.