Kiara terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa sangat lelah, dan meskipun dokter mengatakan bahwa ia harus banyak beristirahat, rasa khawatir dan kecemasan terus mengganggu pikirannya. Kiara memandang keluar jendela kamar rumah sakit, menyaksikan hujan yang perlahan turun. Udara dingin yang masuk lewat celah-celah jendela menambah kesan sunyi dan kosong yang kini ia rasakan.
Di tengah perasaan kesepiannya, Aksa datang dengan membawa sebuah kejutan. Ia membawa sebuah kotak kecil dengan pita merah di atasnya. Kiara, yang semula terlihat lelah, tiba-tiba terkejut dan sedikit tersenyum melihat Aksa datang ke kamar rumah sakit.
"Aksa? Apa ini?" Kiara bertanya dengan suara lemah, matanya sedikit menyipit karena kelelahan, namun tetap berusaha untuk terlihat ceria.
Aksa tersenyum tipis dan mendekatkan kotak kecil itu ke meja samping ranjang Kiara. "Ini untuk kamu, Kiara. Aku tahu kamu lagi butuh semangat. Meskipun nggak bisa banyak, aku harap hadiah ini bisa sedikit membantu kamu merasa lebih baik."
Kiara menatap kotak tersebut, lalu dengan hati-hati ia membuka pita dan membuka kotaknya. Di dalamnya, ada sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk bintang yang bercahaya lembut, seperti bintang di langit malam. Kiara mengamati kalung itu sejenak, lalu menatap Aksa yang sedang duduk di sampingnya.
"Kenapa bintang?" tanya Kiara, suara seraknya terhenti sejenak.
Aksa tersenyum dengan penuh arti. "Karena kamu adalah bintang yang bersinar dalam hidupku, Kiara. Dalam kegelapan dan kesulitan, kamu selalu memberi cahaya. Aku harap kalung ini bisa menjadi pengingat bahwa kamu adalah bintang yang selalu bersinar di hidupku, meski apapun yang terjadi."
Air mata Kiara mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa sangat tersentuh dengan kata-kata Aksa. Ia tahu bahwa Aksa tidak hanya memberikan hadiah fisik, tetapi juga sebuah makna yang mendalam. Kalung itu bukan sekadar perhiasan, tapi sebuah simbol harapan yang Aksa berikan untuknya.
Kiara menggenggam kalung itu dan memasangnya di lehernya. "Terima kasih, Aksa. Kamu benar-benar baik. Aku... aku nggak tahu harus bagaimana tanpa kamu."
Aksa menggenggam tangan Kiara dengan lembut, memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkannya. "Kiara, kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin kamu tahu, kamu nggak pernah sendirian. Aku akan selalu ada di sini untuk kamu."
Perasaan Kiara semakin berat. Ia merasa ada banyak hal yang belum ia sampaikan kepada Aksa, banyak hal yang ingin ia katakan sebelum semuanya terlambat. Namun, kata-kata itu terasa berat, seperti sebuah kenyataan yang tidak ingin ia terima.
Namun di tengah perasaan yang saling beririsan ini, Kiara merasakan satu hal yang lebih penting—ia merasa tidak sendirian. Meskipun tak ada jaminan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, Kiara tahu bahwa di saat-saat terberat dalam hidupnya, Aksa adalah orang yang akan selalu berada di sampingnya.
Aksa terus menemani Kiara sepanjang hari itu, berbicara tentang banyak hal yang ringan dan menyenangkan. Ia berusaha membuat Kiara tersenyum meski hatinya sendiri terasa hancur melihat sahabatnya semakin rapuh. Dalam diam, Aksa berharap semoga kalung itu bisa memberi Kiara sedikit kekuatan untuk bertahan, meski ia sendiri tidak tahu berapa lama waktu yang tersisa untuk Kiara.
Malam pun tiba, dan Kiara tertidur dengan tenang, mengenakan kalung pemberian Aksa. Sementara itu, Aksa duduk di sampingnya, memegang tangan Kiara dengan penuh kehangatan, berharap semoga besok akan membawa secercah harapan baru.
Kiara terbangun keesokan harinya dengan tubuh yang sedikit lebih baik, meskipun masih terasa lemah. Namun, matanya tetap tampak seperti ada beban yang tertinggal. Kalung bintang yang Aksa beri masih melingkar di lehernya, dan itu menjadi pengingat yang sangat berarti baginya. Tapi ada satu perasaan yang sulit untuk ia sembunyikan. Sebuah rasa takut yang semakin menggerogoti hatinya.
Sambil memandangi kalung itu, Kiara merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, dengan keadaan tubuhnya. Ia tahu, meski Aksa tidak mengatakan apapun, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Aksa melihatnya—seperti ada kekhawatiran yang begitu mendalam yang tidak ingin ia ungkapkan.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari pintu kamar. "Kiara, bagaimana perasaanmu hari ini?" Suara itu adalah suara Aksa, yang sudah menunggu di ambang pintu dengan senyum hangat di wajahnya. Namun, senyum itu tampak sedikit dipaksakan, seperti Aksa berusaha menyembunyikan kecemasannya.
Kiara berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Aku baik-baik saja, Aksa. Hanya sedikit lelah, tapi aku akan baik-baik saja."
Aksa mengangguk, namun matanya yang memancarkan kekhawatiran tidak bisa disembunyikan. Ia mendekat dan duduk di samping ranjang Kiara. "Kiara, kamu tahu, aku akan selalu ada untuk kamu. Tidak peduli apapun yang terjadi."
Kiara menatap Aksa lama. Ia ingin sekali menceritakan semuanya—tentang apa yang ia rasakan, tentang ketakutannya yang semakin besar, tentang penyakit yang semakin menghantuinya. Tetapi, ia tahu jika ia mengungkapkan semuanya, itu hanya akan membuat Aksa semakin khawatir. Aksa tidak tahu tentang kondisi sebenarnya. Dan Kiara bertekad untuk tidak memberitahunya.
"Aksa, aku..." Kiara berhenti, kata-katanya tersekat di tenggorokannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu berat, dan tiba-tiba mulutnya terasa kering. Aksa melihat perubahan ekspresi Kiara yang tiba-tiba murung, dan ia meraih tangan Kiara.
"Kiara, kamu tidak perlu menahan semuanya sendirian. Aku di sini, kita bisa melalui semua ini bersama."
Tapi Kiara hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Aksa, tapi aku tidak ingin kamu khawatir."
Aksa tahu, ada sesuatu yang lebih dalam yang Kiara sembunyikan. Namun, ia juga tahu bahwa Kiara adalah orang yang keras kepala dan selalu berusaha menjaga orang lain, bahkan jika dirinya sendiri terluka. Aksa menarik napas panjang, berusaha untuk tidak terlalu memaksakan Kiara membuka diri.
Beberapa jam berlalu, dan Kiara mulai merasakan sakit yang datang begitu mendalam. Itu bukan lagi sekadar rasa lelah. Kali ini, rasanya seperti ada yang menyiksa tubuhnya dari dalam. Kiara menahan sakitnya dengan berusaha tetap tenang, namun matanya mulai berkaca-kaca.
Aksa yang melihat perubahan itu dengan cepat berdiri dan memanggil perawat. "Perawat! Cepat, tolong!" serunya panik.
Perawat datang segera dan memeriksa Kiara. Namun, meskipun perawat berusaha secepat mungkin memberikan perawatan, Kiara merasakan dunia seakan mulai gelap. Sakit di perutnya semakin parah, dan ia tahu, waktunya semakin singkat.
Aksa berdiri di sampingnya, memegang tangan Kiara dengan erat, mencoba memberi kekuatan padanya. Namun, di dalam hati Aksa, rasa takut yang begitu mendalam semakin melanda. Ia tahu, bahwa kalung bintang yang ia berikan adalah simbol dari harapan, tapi Aksa juga tahu, terkadang harapan tidak selalu cukup.
"Kiara, kamu harus bertahan. Kamu tidak boleh menyerah," Aksa berkata dengan suara terbata-bata, meskipun hatinya hancur melihat Kiara semakin lemah.
Kiara hanya mengangguk lemah, menatap Aksa untuk terakhir kalinya dengan tatapan penuh terima kasih. "Aksa, terima kasih... sudah selalu ada untukku."
Sebelum Aksa sempat mengatakan apapun lagi, Kiara terkulai lemas. Matanya perlahan menutup, dan napasnya semakin pelan.
Aksa terpaku di tempatnya, jantungnya terasa berhenti. Ia merasa dunia seperti runtuh di hadapannya, dan semuanya terasa begitu sia-sia. Tangan Kiara yang masih digenggamnya kini terasa begitu dingin, seolah-olah harapan yang selama ini ia jaga telah menguap begitu saja.
Perasaan Aksa campur aduk antara kesedihan, kemarahan, dan rasa tidak berdaya. Kenapa semuanya harus seperti ini? Mengapa orang yang ia sayangi harus menanggung beban yang begitu besar? Aksa menundukkan kepalanya, menahan air mata yang ingin keluar. Namun, ia tahu satu hal: Kiara adalah orang yang kuat, dan ia akan selalu membawa semangat Kiara dalam hidupnya, meskipun tanpa Kiara di sampingnya.
Hari itu, hujan turun dengan deras di luar rumah sakit, seperti alam ikut merasakan kesedihan yang melanda. Dan Aksa tetap duduk di sana, memegang tangan Kiara, berharap pada suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi di tempat yang lebih baik.