Hari-hari terasa semakin gelap bagi Kiara. Meskipun kondisi tubuhnya yang semula lemah sudah mulai membaik, ada hal lain yang membuat hatinya semakin berat. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh orang-orang di sekitarnya, terutama keluarganya. Kiara sering merasakan ada tatapan cemas yang terlontar dari mata ayah dan ibu, namun mereka selalu berpura-pura baik-baik saja. Ia tidak tahu mengapa, tapi perasaan itu tidak bisa hilang begitu saja.
Namun, ada satu orang yang selalu ada untuknya—Aksa. Aksa, yang selama ini menjadi sahabatnya, semakin dekat dengannya. Dia selalu hadir ketika Kiara merasa lemah, mengingatkannya untuk makan, dan memastikan bahwa Kiara tidak terlalu banyak membebani dirinya. Kiara merasa nyaman, tapi juga aneh, karena Aksa tampak begitu serius dan perhatian.
Satu hari, Kiara merasa lebih lemas dari biasanya. Pagi itu, ia merasa tubuhnya seperti tidak bisa digerakkan, nafsu makannya menurun drastis, dan matanya terasa berat. Ketika ia bangun, Aksa sudah duduk di samping tempat tidur, menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Aksa, kenapa kamu nggak bilang kalau aku lagi sakit parah?" Kiara mencoba bercanda, meski suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya.
Aksa tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya. "Jangan khawatir, Kiara. Kamu hanya butuh istirahat lebih banyak. Aku di sini, kok."
Kiara menatap Aksa dengan tatapan yang penuh tanya. "Aksa, kamu tahu sesuatu, kan? Kenapa semua orang seperti menyembunyikan sesuatu dariku?"
Aksa terdiam. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu, jika Kiara mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, ia akan hancur. Ia tidak ingin Kiara merasakan sakit lebih dalam lagi. Namun, hati kecilnya terus berteriak agar ia mengungkapkan segalanya.
"Kiara, ada sesuatu yang perlu kamu tahu," kata Aksa akhirnya, suara berat, namun lembut.
"Apa itu?" tanya Kiara, suara sedikit bergetar.
"Aku..." Aksa menundukkan kepala, menghela napas panjang. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Kiara, kamu harus tahu bahwa... kamu sedang berjuang melawan penyakit yang sangat serius."
Kiara terdiam, menatap Aksa dengan tatapan bingung. "Apa maksud kamu? Aku... aku nggak mengerti."
Aksa menggenggam tangan Kiara, matanya penuh kecemasan. "Dokter Ayahku yang memberitahuku. Kamu... kamu mengidap penyakit yang sangat berat, Kiara. Penyakit yang bisa merenggut nyawamu jika tidak segera ditangani dengan tepat."
Kiara merasa dunia seakan berhenti berputar. Kata-kata Aksa seperti petir yang menyambar telinganya. Penyakit? Apa maksudnya? Mengapa tak ada yang memberitahunya? Mengapa ayah dan ibu tidak mengatakan apapun? Tubuhnya terasa semakin lemas, dan mulutnya terasa kering.
"A-Aksa, apa yang harus aku lakukan? Apa yang terjadi padaku?" Kiara berusaha berkata, namun suaranya hampir hilang.
"Ada banyak hal yang harus kamu lakukan, Kiara," jawab Aksa dengan suara serak. "Tapi yang terpenting, kamu harus tahu bahwa aku akan selalu ada di sini. Aku tidak akan membiarkan kamu melewati ini sendirian."
Kiara merasa cemas dan takut, namun Aksa tetap memegang tangannya erat, memberi kekuatan yang tidak dimilikinya. Dalam hatinya, Aksa berjanji bahwa ia akan melakukan apapun untuk melindungi Kiara, meskipun ia tahu hal itu tidak akan mudah.
"Aksa, aku... aku nggak bisa menerima ini," Kiara mulai menangis, air mata membasahi pipinya. "Kenapa aku harus menderita seperti ini? Aku ingin hidup biasa, aku ingin kembali ke sekolah, bermain dengan teman-teman, dan... dan merasakan kebahagiaan lagi."
Aksa merasa perih melihat Kiara yang begitu rapuh. Namun, ia tahu bahwa Kiara harus lebih kuat dari sebelumnya. "Aku tahu kamu merasa hancur sekarang, Kiara. Tapi percayalah, aku di sini. Aku akan menjaga kamu sampai akhir."
Dalam diam, Kiara merasakan betapa besar perhatian Aksa padanya. Meskipun hatinya penuh kebingungan dan ketakutan, ia merasa ada sedikit harapan dalam hati. Kiara tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Aksa, sahabat yang selalu ada untuknya, akan tetap menemani di setiap langkahnya, bahkan ketika dunia terasa begitu gelap.
Namun, rahasia ini tetap terkubur di dalam hati Aksa. Ia tahu ia harus melindungi Kiara dari kenyataan pahit yang akan menghancurkannya. Setiap detik berlalu, ia merasa semakin berat, namun ia tidak bisa berhenti. Kiara harus merasa dicintai dan dihargai, bahkan jika hidupnya hanya tersisa sedikit waktu lagi.
Dengan hati yang penuh kecemasan, Aksa memegang tangan Kiara lebih erat, berjanji dalam hati untuk menjaga setiap langkahnya, tak peduli apa yang akan terjadi.
Hari-hari semakin berat bagi Kiara. Meski ia berusaha menjalani hidup seperti biasa, rasa lemah di tubuhnya tak bisa disembunyikan. Aksa tetap di sisinya, memberikan dukungan yang ia butuhkan. Namun, di dalam hatinya, Aksa tahu bahwa waktu Kiara sangat terbatas. Hanya dia yang tahu kenyataan pahit itu, dan itu membuatnya merasa semakin hancur.
Kiara terus bertanya tentang penyakitnya, namun Aksa selalu menghindar, berusaha menjaga agar Kiara tidak terlalu banyak berpikir. Namun, semakin hari, Kiara semakin merasakan perubahan dalam dirinya. Ia merasa cepat lelah, sering merasa mual, dan terkadang pusing. Meski begitu, ia tetap berusaha beraktivitas normal, mengikuti sekolah dan berkumpul dengan teman-temannya.
"Kiara, kamu nggak boleh terlalu memaksakan diri," kata Aksa suatu hari, saat mereka berdua sedang duduk di taman sekolah. Kiara terlihat pucat dan lesu, namun tetap berusaha tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Aksa," jawab Kiara, mencoba terlihat tegar. "Aku nggak mau terlihat lemah di depan teman-temanku."
Aksa menatapnya dengan tatapan penuh kecemasan. "Kiara, aku tahu kamu ingin terlihat kuat, tapi tubuhmu nggak bisa bohong. Kalau kamu terus begini, nanti bisa semakin parah. Aku nggak bisa membiarkan itu terjadi."
Kiara terdiam. Kata-kata Aksa membuat hatinya semakin berat. Dia tahu Aksa hanya ingin yang terbaik untuknya, namun ia juga tidak ingin membuatnya khawatir lebih lagi.
"Aksa... aku nggak tahu harus gimana," ujar Kiara dengan suara serak. "Aku merasa takut... aku merasa dunia ini semakin gelap."
Aksa menggenggam tangannya erat. "Aku di sini, Kiara. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan hadapi ini bersama-sama."
Namun, meski Aksa berusaha sekuat tenaga untuk menjaga semangat Kiara, kenyataan tak bisa dihindari. Setiap malam, saat Kiara tertidur, Aksa akan pergi ke rumah sakit untuk mencari tahu lebih banyak tentang kondisi Kiara. Ia berusaha keras agar Kiara tidak tahu tentang penyakitnya yang semakin memburuk.
Di sisi lain, orangtua Kiara semakin bingung. Mereka merasa ada yang aneh dengan kondisi Kiara, namun mereka juga tidak bisa menghadapinya dengan baik. Ibu Kiara yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, akhirnya merasa sedikit bersalah karena tidak bisa mendampingi Kiara seperti seharusnya. Ayah Kiara juga merasa tertekan, namun ia berusaha tetap kuat agar keluarga tetap bisa berjalan normal.
Suatu malam, setelah acara makan malam yang canggung, Kiara duduk di kamarnya, menatap kosong keluar jendela. Aksa duduk di sampingnya, memberikan kenyamanan dalam kesunyian. Namun, pada saat yang sama, Aksa merasa ada beban yang semakin berat di dadanya.
Kiara memandang Aksa dengan mata yang penuh keputusasaan. "Aksa, apa yang akan terjadi kalau aku nggak sembuh? Apa yang akan terjadi pada keluarga aku? Mereka nggak akan bisa hidup tanpa aku, kan?"
Aksa menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir keluar. "Kiara, jangan berpikir begitu. Kamu masih punya banyak waktu. Kita akan berjuang bersama-sama."
Kiara menatap Aksa dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran dalam tatapan mata sahabatnya. "Tapi kenapa kamu nggak bilang kalau aku nggak punya banyak waktu?"
Aksa menelan ludah, lalu menggenggam tangan Kiara dengan lembut. "Aku nggak mau kamu tahu kenyataan yang pahit, Kiara. Aku hanya ingin kamu merasa bahwa kamu masih punya waktu, bahkan jika itu hanya sedikit. Aku ingin kamu merasa bahagia."
Kiara merasa hatinya semakin hancur mendengar kata-kata Aksa. Ia tahu, meskipun ia merasa kuat, ada yang lebih besar yang sedang mengancamnya. Namun, di balik itu semua, Aksa memberikan kenyamanan dan kasih sayang yang sangat dibutuhkannya.
"Aksa... aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu," Kiara berkata dengan suara bergetar. "Kamu sudah seperti keluarga buat aku."
"Aku akan selalu ada, Kiara," jawab Aksa dengan suara yang penuh keteguhan. "Kamu nggak akan pernah sendirian."
Namun, dalam hati Aksa, ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang lebih besar. Keputusan yang bisa menyelamatkan Kiara, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Keputusan itu sudah diambil Aksa dalam diam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.