Hari-hari berlalu dengan perlahan di rumah sakit. Kiara masih terbaring di ranjang, merasa lelah meskipun tubuhnya tidak bergerak banyak. Perutnya sudah agak membaik, tetapi rasa lelah emosionalnya tetap terasa begitu berat. Setiap kali ia mencoba tidur, pikirannya malah semakin berlarian, memikirkan semua yang terjadi dalam hidupnya.
Ibunya memang datang berkunjung, namun setelah beberapa jam, ia kembali ke kantor, meninggalkan Kiara dalam keheningan rumah sakit. Ayahnya juga mulai lebih jarang datang, terjebak dalam rutinitas kerja yang sepertinya tidak ada habisnya. Kiara merasa seperti seorang anak yang terbuang, meskipun ia tahu mereka tidak bermaksud seperti itu. Tetapi, perasaan itu tetap muncul, semakin kuat setiap harinya.
Saat itu, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Aksa datang, membawa senyum cerah di wajahnya. "Hei, gimana kamu? Sudah mendingan?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum lebar.
Kiara menatapnya kosong. "Lebih baik sedikit. Tapi, aku nggak tahu… aku merasa semuanya makin berat aja, Aksa."
Aksa duduk di samping tempat tidur Kiara, mengambil tangan Kiara dan menggenggamnya dengan lembut. "Aku di sini. Aku tahu kamu merasa kesepian, tapi kamu nggak sendiri. Aku akan terus ada buat kamu."
Kiara menunduk, air matanya mulai menggenang. "Kadang aku merasa nggak ada yang benar-benar peduli, Aksa. Aku merasa… terabaikan."
Aksa menatap Kiara dengan tatapan lembut dan penuh perhatian. "Kiara, kamu tahu kalau aku peduli sama kamu, kan? Kamu bukan orang yang terabaikan. Kamu sangat berharga, lebih dari apa yang kamu pikirkan."
Kiara memejamkan matanya, berusaha menahan tangis yang sudah hampir tak terbendung. Rasa sakit di dadanya bukan hanya karena penyakit fisiknya, tetapi juga karena ketidakpastian dalam hidupnya. Semua yang dia inginkan hanyalah merasa diterima dan dihargai, tetapi itu terasa sangat sulit dicapainya.
Sejak kecil, Kiara selalu merasakan kekosongan dalam dirinya. Ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan ayahnya terlalu terbebani dengan segala tanggung jawab. Bahkan saat ia sakit seperti sekarang, perhatian yang ia harapkan seolah jauh darinya.
Namun, Aksa berbeda. Aksa selalu ada, meskipun tidak ada yang bisa menggantikan peran orang tua dalam hidupnya. Kiara mulai merasakan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
"Aksa…" Kiara mulai berbicara dengan suara bergetar. "Aku merasa seperti aku nggak punya tempat lagi, nggak ada yang benar-benar mengerti aku."
Aksa menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. "Kiara, kadang-kadang hidup memang terasa berat, dan kita merasa terjebak. Tapi, jangan lupa kalau kamu selalu punya aku. Kita bisa menghadapi semuanya bersama."
Kiara hanya bisa terdiam, matanya masih berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. Perasaan kesepian dan kecewa itu tidak bisa hilang begitu saja. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Kiara merasakan sedikit harapan. Mungkin, meskipun ibunya terlalu sibuk, meskipun ayahnya selalu pergi bekerja, ada satu orang yang tetap peduli, yang tetap berada di sisinya, tak peduli seberapa besar kesulitan yang ia hadapi.
Kiara menatap Aksa dengan tatapan penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi terima kasih sudah selalu ada, Aksa."
Aksa tersenyum dan mengecup lembut puncak kepala Kiara. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada. Kamu nggak akan pernah sendirian."
Di malam itu, Kiara merasa sedikit lebih tenang. Meskipun hidupnya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, setidaknya ia tahu bahwa ada seseorang yang peduli padanya. Dan terkadang, itu sudah cukup untuk membuat segala sesuatu terasa sedikit lebih ringan.
Hari-hari berlalu dan Kiara semakin merasa terbebani oleh perasaan tidak pasti. Setiap kali ia terbangun, rasa sakit di tubuhnya selalu datang kembali, meskipun bukan hanya fisik yang menyakitkan, tetapi juga rasa kosong yang ia bawa di dalam hati. Ibunya yang sibuk dengan pekerjaan dan ayahnya yang terus terfokus pada urusan di luar rumah membuatnya merasa terabaikan. Namun, kehadiran Aksa di sisinya memberikan sedikit rasa tenang, walau perasaan itu kadang masih sulit diterima.
Kiara merasakan bagaimana perhatian Aksa semakin menguat. Aksa selalu datang, selalu memberi dukungan meskipun dirinya tidak tahu apa yang sebenarnya Kiara rasakan. Namun, Kiara tidak bisa menghindari perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya. Perasaan itu datang begitu saja, dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Pagi itu, Kiara kembali bangun di ruang rumah sakit, merasakan beban yang lebih ringan di tubuhnya, meskipun hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia memandang jendela rumah sakit yang terbuka, melihat langit yang mulai gelap dengan awan hitam menggelantung. Rasa takut dan cemas kembali datang, seiring dengan perasaan sepi yang menghantui hatinya.
"Aksa…" Kiara memanggil dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Aksa, yang kebetulan datang membawa makanan, langsung menghampiri tempat tidur Kiara. "Ada apa, Kiara? Kamu terlihat masih cemas."
Kiara menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan yang telah ia pendam begitu lama terasa begitu memuncak. "Aksa, aku... aku merasa kalau aku tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan ibu dan ayahku… mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri, dan aku merasa… terabaikan."
Aksa duduk di samping Kiara, memegang tangan Kiara dengan lembut. "Kiara, aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Kamu nggak sendirian. Aku selalu ada di sini buat kamu. Mungkin kita nggak bisa mengubah keadaan, tapi kita bisa berusaha melewatinya bersama."
Aksa menyentuh pipi Kiara dengan lembut, memberi kenyamanan meski hanya sejenak. Kiara menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku berharap bisa merasakan sedikit lebih banyak perhatian, sedikit lebih banyak kasih sayang dari orang tuaku. Aku tahu mereka bekerja keras, tapi terkadang aku merasa seperti tak dihargai."
Aksa menghela napas, memandang Kiara dengan wajah penuh pengertian. "Kiara, aku tahu kamu sangat menginginkan perhatian itu. Kamu pantas mendapatkannya. Tapi kadang, orang-orang yang kita cintai tak selalu tahu bagaimana memberikan apa yang kita butuhkan. Itu bukan salahmu. Jangan biarkan perasaan itu menghancurkanmu."
Kiara hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. Rasa kecewa itu sudah lama ia pendam, dan kini rasa sakitnya semakin memuncak.
Sejenak, Kiara terdiam, merasakan bagaimana Aksa duduk di sampingnya dengan penuh perhatian. Mungkin ia belum bisa sepenuhnya mengubah hidupnya, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kiara merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Tiba-tiba, Kiara merasa ada ketenangan di dalam hatinya. Aksa mungkin tidak bisa menggantikan orang tuanya, tapi kehadirannya memberi sedikit cahaya di tengah gelapnya dunia Kiara.
"Aksa, terima kasih… karena kamu selalu ada," ucap Kiara dengan suara yang sedikit pecah.
Aksa hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa, hanya menggenggam tangan Kiara dengan erat. Keheningan itu tidak terasa canggung. Mungkin, ini adalah saat yang tepat bagi Kiara untuk meresapi bahwa terkadang, dalam kehidupan yang penuh dengan kekecewaan, ada hal-hal kecil yang bisa memberi harapan. Dan hari itu, harapan itu datang dari seseorang yang bernama Aksa.
Meskipun Kiara tahu perjalanannya tidak akan mudah, ia merasa sedikit lebih kuat. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi Kiara tahu satu hal—ia tidak akan pernah berhenti berjuang.