Kiara berjalan keluar dari rumah, langkahnya terasa berat. Seperti biasa, ibunya sibuk dengan pekerjaan rumah dan telepon yang tidak pernah berhenti berdering. Keheningan yang menguasai rumah itu terasa semakin mencekam bagi Kiara, yang semakin merasa terisolasi. Meskipun ia tinggal dalam rumah yang sama dengan ibu dan ayahnya, ia merasa seperti seorang asing.
Saat langkahnya menapaki trotoar, perasaan kesepian itu semakin dalam. Aksa mencoba menghubunginya lewat pesan, tetapi Kiara tidak membalasnya. Ia merasa seperti dunia sedang meninggalkannya, dan tidak ada yang benar-benar peduli. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti ada tembok tak terlihat yang menghalangi komunikasi dengan semua orang di sekitarnya.
Kiara berencana untuk pergi ke taman, tempat yang selalu memberikan sedikit ketenangan, meskipun sementara. Tapi saat ia melewati gerbang sekolah, matanya bertemu dengan seseorang yang tidak pernah ia harapkan. Dimas, yang entah bagaimana, selalu ada saat ia merasa terjatuh.
Dimas tersenyum lebar dan melambaikan tangan kepadanya, tetapi Kiara hanya membalas dengan anggukan singkat. Perasaan bingung muncul dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang tidak beres. Dimas adalah teman lama, dan meskipun mereka tidak sering berbicara, Kiara tahu bahwa Dimas selalu peduli padanya, bahkan ketika ia tidak merasa membutuhkan perhatian dari siapa pun.
"Tunggu, Kiara!" Dimas berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kenapa kamu pergi tanpa bilang ke siapa pun? Ada yang bisa aku bantu?"
Kiara menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan Dimas yang penuh harap. "Aku cuma butuh waktu sendiri," jawabnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Dimas menatapnya dengan prihatin. "Aku tahu kamu sedang nggak enak badan, Kiara. Kamu nggak perlu merasa sendirian."
Kiara menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, Dimas. Semuanya terasa nggak beres. Aku nggak tahu harus ke mana."
Dimas menggenggam tangannya dengan lembut. "Kamu nggak sendirian. Aku ada di sini."
Namun, dalam hatinya, Kiara merasa semakin terpuruk. Meskipun Dimas ada, hatinya merasa kosong. Seolah, ada yang hilang, dan Kiara merasa bahwa apa yang ia butuhkan lebih dari sekadar perhatian.
Malamnya, Kiara kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Ibunya yang sibuk bekerja, dan ayahnya yang jarang pulang, hanya membuatnya merasa semakin terasing. Ia duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga di dinding yang sudah lama memudar. Dalam foto itu, semua terlihat bahagia. Tetapi kenyataannya berbeda. Kenyataan yang Kiara jalani adalah kenyataan yang jauh dari kebahagiaan itu.
Ia mencoba mengingat masa-masa kecilnya, ketika ibu dan ayahnya selalu ada, ketika mereka meluangkan waktu untuk bersama. Namun, semua itu terasa begitu jauh, seperti kenangan yang terkubur dalam debu.
Kiara akhirnya mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada ibunya.
"Bu, aku butuh kamu. Aku merasa sangat kesepian."
Namun, pesan itu hanya dibaca tanpa ada balasan. Seperti biasanya, ibunya sibuk dengan pekerjaannya. Kiara merasa hatinya semakin berat. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan rasa sakit yang ada di dalamnya. Tidak ada yang bisa membantunya kali ini.
Kiara merasakan kehampaan yang semakin dalam. Mungkin, tak ada yang bisa menggantikan kekosongan itu. Tetapi apakah ia harus terus berjuang dengan rasa sakit ini sendirian?
Hari itu terasa berat bagi Kiara. Sejak pagi, perutnya terasa nyeri, namun ia berusaha menahan rasa sakit itu. Ia merasa semakin lelah, tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Ketika lonceng sekolah berbunyi, Kiara memutuskan untuk pulang lebih awal. Langkahnya terasa semakin berat setiap kali ia melangkah.
Sesampainya di rumah, Kiara langsung pergi ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasa sakit di perutnya semakin parah, seolah menusuk-nusuk. Ia mencoba untuk tidur, berharap rasa sakit itu akan hilang, namun semakin lama, tubuhnya semakin lemah.
Pagi berikutnya, Kiara merasa tak sanggup untuk bangun. Tubuhnya terasa kaku dan pusing, dan perutnya nyeri sekali. Ia memutuskan untuk memberi tahu ayahnya, yang baru saja pulang kerja.
"Pa... aku nggak enak badan," Kiara berbicara dengan suara lemah.
Ayahnya yang mendengar itu langsung panik dan segera membawanya ke rumah sakit. Kiara merasa cemas, tetapi rasa sakit yang ia rasakan lebih besar daripada kekhawatirannya. Sesampainya di rumah sakit, Kiara langsung dibawa ke ruang UGD. Setelah beberapa pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa Kiara menderita maag akut yang dipicu oleh stres dan kelelahan.
Dokter memberinya obat untuk meredakan rasa sakit, dan Kiara diminta untuk menjalani rawat inap. Namun, yang paling mengejutkan adalah ketika dokter memberi tahu ayahnya bahwa Kiara perlu menjalani perawatan lebih lanjut untuk masalah psikologisnya. Dokter menyarankan agar Kiara diberikan perhatian lebih terkait dengan kondisi mental dan emosionalnya yang semakin tertekan.
Di rumah sakit, Kiara merasa semakin terasing. Rasanya dunia luar begitu jauh, dan bahkan Aksa yang selalu ada untuknya pun hanya bisa menghubunginya lewat pesan. "Semoga kamu cepat sembuh, Kiara," kata Aksa lewat pesan singkat, namun Kiara tidak bisa merasakan kenyamanan dari kata-kata itu.
Perasaan kesepian yang sudah lama menghantuinya semakin nyata di tengah ruang rumah sakit yang sepi. Kiara memandangi jendela kamar, menatap langit yang kelam, seolah bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir.
Di tengah semua kekacauan itu, ibu Kiara datang ke rumah sakit, tetapi dengan wajah yang terburu-buru dan penuh kecemasan. Namun, Kiara tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ibunya hanya bisa berjanji untuk lebih memperhatikan dirinya, namun janji itu selalu gagal terlaksana.
"Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi, Kiara," kata ibunya sambil menatapnya dengan tatapan kosong.
"Apa kamu benar-benar peduli, Bu?" Kiara menatapnya tajam, merasa kesal dengan sikap ibu yang tampak terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Ibunya terdiam. "Aku ingin bisa memberi lebih banyak perhatian padamu, Kiara. Tapi keadaan tidak mudah. Maafkan aku."
Kiara hanya terdiam, tidak bisa lagi menahan perasaan yang semakin terpendam. Ia merasa dunia seolah terbalik. Sebuah janji yang telah lama dilupakan oleh ibunya, dan kini ia hanya bisa merasa terjebak dalam kekecewaan yang tiada akhir.
Hari itu, Kiara menyadari bahwa kadang-kadang, bahkan ketika kita merasa paling membutuhkan, yang kita butuhkan hanya sedikit perhatian. Dan mungkin, itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia dapatkan, meskipun ia terus berharap.