Kiara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang berat dan perasaan yang tak menentu. Sudah beberapa hari terakhir ini ia merasa sangat tertekan. Meskipun orang-orang di sekitarnya, termasuk ibunya dan Aksa, berusaha menunjukkan perhatian, Kiara merasa bahwa dirinya tetap terasing. Ia merasa seperti ada tembok besar yang memisahkannya dari dunia di sekelilingnya.
Pagi itu, saat Kiara duduk di meja makan dengan wajah yang kosong, ibunya yang sibuk seperti biasa berjalan masuk ke ruang makan. Ia memberi Kiara secangkir teh hangat, yang Kiara terima tanpa sepatah kata. Kiara tidak memandang ibunya, hanya menunduk menatap teh itu, seperti ia menatap hidupnya sendiri—tanpa arah, tanpa harapan.
"Ada apa, Kiara? Kamu kelihatan nggak enak badan," tanya ibunya dengan nada yang lembut, meskipun suara itu tidak sepenuhnya berhasil menutupi ketidakpeduliannya. Kiara merasa bahwa pertanyaan itu hanya sekadar formalitas.
"Kenapa kamu selalu sibuk?" Kiara akhirnya membuka suara, suara itu keluar dengan perasaan yang tertahan, seperti air yang tak tertampung di dalam bejana. "Aku nggak butuh teh atau perhatian yang cuma datang sesekali. Aku butuh kamu, butuh kamu di sini. Tapi kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kenapa, Bu?"
Ibunya terdiam sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kiara, aku tahu kamu merasa kesepian, tapi kamu harus mengerti, pekerjaan ini penting. Aku bekerja keras untuk kita semua, untuk keluarga ini."
Kiara menatap ibunya dengan tatapan kosong, perasaan marah dan kecewa bercampur menjadi satu. "Kalau kerjaan kamu lebih penting dari keluarga, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Apa gunanya uang yang kamu cari kalau aku nggak pernah merasakan kehadiranmu? Apa gunanya semua itu kalau aku nggak pernah merasa dicintai?"
Ibunya terdiam, tidak bisa menjawab. Ada kekosongan di antara mereka yang semakin membesar. Kiara merasa frustasi, ada perasaan seperti beban yang berat di dadanya.
Sementara itu, Aksa, yang berada di luar ruangan, mendengarkan percakapan itu dengan diam. Ia merasa tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin membantu, tapi kata-kata selalu terasa tidak cukup untuk memperbaiki keadaan.
Kiara berdiri dengan cepat, meletakkan cangkir tehnya dengan kasar, membuat suara yang membuat semua orang terkejut. "Aku nggak mau lagi mendengar alasanmu, Bu," kata Kiara, kemudian berjalan keluar dari rumah dengan langkah tergesa-gesa.
Ibunya hanya bisa menatap kepergian Kiara, hatinya terasa hancur. Ia tahu bahwa Kiara sedang terluka, dan ia merasa sangat bersalah. Namun, ia juga tahu bahwa kehidupannya tidak semudah itu. Ia merasa terjebak dalam pekerjaan yang memerlukan waktu dan perhatian, namun pada saat yang sama ia juga sadar bahwa keluarganya semakin jauh darinya.
Di luar rumah, Kiara berjalan tanpa tujuan. Ia merasa seperti ada jurang besar yang memisahkannya dengan semua orang yang seharusnya penting dalam hidupnya. Sejak lama, ia merasa kehilangan arah, dan setiap kali berusaha mendekat dengan ibunya, rasanya semakin sulit.
Langkahnya terhenti saat ia tiba di taman dekat rumah. Ia duduk di bangku, memandang langit yang mulai gelap. Perasaan kesepian itu semakin menggelayuti dirinya. Dalam keramaian yang ada, Kiara merasa seperti seorang asing. Dunia terus berputar, namun ia merasa tertinggal.
Tak lama, Aksa datang menghampirinya. "Kiara, aku tahu ini berat. Tapi kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada di sini."
Kiara memandangnya dengan tatapan kosong. "Aksa, aku nggak tahu lagi. Semua yang terjadi sepertinya nggak bisa diperbaiki. Aku lelah."
Aksa duduk di sampingnya dan memandangnya dengan prihatin. "Kamu nggak harus lewati ini sendirian. Aku ada untuk kamu, Kiara."
Namun, meskipun Aksa berkata demikian, Kiara merasa ada jurang yang begitu dalam antara dirinya dan semua orang. Bagaimana bisa ia merasa dipahami jika orang-orang terdekatnya justru terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri?
Kiara menghela napas panjang.
Kiara duduk diam di bangku taman, matanya kosong menatap ke depan. Ia merasa jauh dari siapa pun, meskipun Aksa ada di sampingnya. Aksa mencoba meraih tangannya, namun Kiara menarik tangannya cepat, seolah menghindari segala bentuk perhatian lebih dari siapapun. Ia merasa seperti hantu di antara orang-orang yang seharusnya peduli padanya.
"Kiara, kamu nggak sendirian," kata Aksa lagi dengan lembut, berusaha menenangkan Kiara yang tampak semakin terpuruk. "Kamu punya aku, punya keluarga."
Namun, Kiara merasa bahwa semuanya itu hanya kata-kata kosong. Keluarganya sudah terlalu jauh. Ibunya yang selalu sibuk bekerja, ayah yang entah kemana, dan dirinya yang merasa terkucilkan di tengah keramaian. Bahkan Aksa, yang kini duduk di sampingnya, tampak tidak bisa menjangkau perasaan yang semakin gelap dalam dirinya.
"Kenapa semuanya harus seperti ini?" Kiara berbicara perlahan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kenapa aku merasa seperti nggak punya siapa-siapa, Aksa?"
Aksa menatapnya dengan tatapan penuh perhatian, namun ia tahu bahwa kata-kata tidak akan cukup untuk mengatasi rasa sakit yang dirasakan Kiara. Ia bisa melihat betapa dalamnya luka yang ada, dan betapa Kiara berjuang untuk tetap bertahan.
"Kiara," Aksa akhirnya berbicara pelan, "kadang hidup itu memang nggak adil. Tapi kita nggak bisa terus terjebak dalam kesedihan. Kamu harus kuat."
Kiara menoleh, menatap Aksa dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku sudah terlalu lelah, Aksa. Aku nggak tahu lagi harus bagaimana."
"Jangan menyerah, Kiara," jawab Aksa dengan penuh keyakinan. "Aku di sini untuk kamu. Kita bisa lewati semua ini bersama."
Namun, dalam hatinya, Kiara masih merasa kosong. Meski Aksa mencoba meyakinkan dirinya, rasa kesepian itu terlalu dalam untuk bisa diatasi hanya dengan kata-kata. Ia merasakan suatu kehampaan yang begitu besar, seolah ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Hari-hari berlalu, namun Kiara tetap merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan kesedihan. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya, tetapi semakin lama, semakin jelas bahwa ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hidupnya jauh dari apa yang ia harapkan. Ia tidak bisa lagi menahan perasaan ini sendirian. Terkadang, dalam diamnya, ia merindukan sosok ibunya yang dulu ada, yang dulu menjadi pelindung dan penopang hidupnya.
Namun kini, ibunya lebih sibuk daripada sebelumnya, dan Kiara merasa dirinya semakin terabaikan. Apa yang seharusnya menjadi tempat berlindungnya kini justru menjadi sumber rasa sakit yang tak tertahankan.
Kiara menghela napas panjang, merasakan beratnya beban di pundaknya. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang tak lagi memberi kebahagiaan.