Malam itu, Kiara duduk di pinggir jendela kamarnya, menatap langit yang dihiasi bintang-bintang yang berkelip. Suara angin malam yang berhembus lembut seakan membawanya jauh dari segala masalah yang selama ini menghimpit. Meskipun hatinya masih dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan, ada rasa lega yang tak terucapkan setelah percakapan dengan ibunya beberapa hari lalu.
Di sekolah, Kiara mulai merasakan perubahan yang kecil, namun berarti. Aksa, yang kini semakin sering menemaninya, selalu memberikan dukungan, bahkan tanpa kata-kata. Kehadiran Aksa seperti sebuah pelipur lara yang tak ternilai harganya. Mereka berbicara lebih banyak, bercanda, dan sesekali berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.
Namun, perasaan kesepian masih terasa di dalam hatinya, terutama ketika ia berada di rumah. Meskipun ibunya berusaha menunjukkan perhatian lebih, ada kalanya Kiara merasa seperti anak yang belum sepenuhnya dipahami. Ia merindukan saat-saat dulu, ketika ibunya selalu ada di rumah dan mereka bisa berbicara dengan leluasa.
Suatu malam, Kiara terbangun mendengar suara gaduh di luar kamarnya. Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamarnya dan melihat ibunya sedang berbicara dengan ayah di ruang tamu. Suara percakapan mereka terdengar sedikit tinggi, seperti ada ketegangan di antara mereka.
"Kiara, ayo tidur," kata ibunya saat melihat Kiara berdiri di depan pintu ruang tamu. "Ada apa?" tanya ibunya dengan nada lembut, mencoba menyembunyikan kecemasan yang terlihat jelas di wajahnya.
Kiara hanya menggelengkan kepala. "Aku cuma nggak bisa tidur," jawabnya dengan suara pelan. "Apa yang sedang terjadi?"
Ayahnya memandang Kiara dengan tatapan serius, namun tidak menjawab pertanyaannya. Ia tahu, ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas hal-hal yang menyakitkan.
"Semua baik-baik saja," ujar ibunya, berusaha tersenyum. "Kamu harus tidur, besok sekolah."
Kiara menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dalam hatinya, ia merasa seperti ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan. "Aku cuma ingin semuanya menjadi lebih baik," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun ibunya tidak mendengarnya.
Keesokan harinya, Kiara pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Meskipun ada sedikit kedamaian di rumah, perasaan tidak pasti dan khawatir tetap menghantuinya. Di sekolah, Aksa mendekat dan duduk di sebelahnya, memberikan senyuman yang hangat.
"Kiara, kamu terlihat lebih tenang," kata Aksa, merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Kiara.
Kiara tersenyum tipis. "Mungkin sedikit," jawabnya, meskipun hatinya masih terombang-ambing. "Tapi, aku merasa ada yang masih kurang."
Aksa mengangguk, menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku ngerti kok. Tapi ingat, kamu nggak sendirian. Kita akan melalui ini bersama-sama."
Kiara hanya mengangguk, merasa sedikit lebih baik mendengar kata-kata Aksa. Namun, ada satu hal yang terus mengganggunya—perasaan bahwa ibunya belum sepenuhnya hadir dalam hidupnya.
Setelah sekolah, Kiara pulang dengan langkah pelan. Di rumah, ia mencoba berbicara lagi dengan ibunya. Kali ini, mereka duduk bersama di meja makan. Ibunya menatapnya dengan ekspresi yang penuh perhatian.
"Ada yang ingin kamu bicarakan, Kiara?" tanya ibunya dengan lembut.
Kiara mengangguk pelan, matanya menatap meja, mencari-cari kata-kata yang tepat. "Aku... aku ingin lebih dekat dengan ibu," ujarnya, suaranya bergetar. "Aku tahu ibu sibuk, tapi aku butuh ibu. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi."
Ibunya menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan, seakan menyadari betapa lama ia telah mengabaikan kebutuhan emosional Kiara. "Aku minta maaf, Kiara," kata ibunya dengan suara yang lembut. "Aku akan berusaha lebih banyak meluangkan waktu untukmu. Aku tahu aku sudah terlalu lama tidak ada untukmu."
Kiara menatap ibunya, merasakan bahwa ada sebuah perubahan yang perlahan terjadi. Meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki, ada sedikit harapan yang tumbuh di dalam hatinya. Ia tahu, meskipun ibunya tidak sempurna, ia masih bisa berharap untuk lebih banyak momen bersama, untuk lebih banyak cinta yang bisa mereka bagi.
Malam itu, Kiara tidur dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Meskipun masalah di luar masih ada, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian dalam menghadapi semuanya. Ia memiliki keluarga yang meskipun tidak sempurna, masih memiliki harapan untuk menjadi lebih baik.
Kiara memulai hari itu dengan perasaan campur aduk. Pagi yang cerah di luar jendela kamarnya terasa begitu kontras dengan pergulatan batin yang terus ia alami. Meskipun percakapan dengan ibunya beberapa hari lalu memberi sedikit harapan, Kiara masih merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Namun, di balik perasaan itu, ada satu hal yang mulai ia sadari: ia perlu memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk merasakan kedamaian.
Setelah beberapa hari menghindar, akhirnya Kiara memutuskan untuk berbicara lebih terbuka dengan Aksa. Meskipun ia tahu Aksa sudah banyak memberikan dukungan, Kiara merasa ada perasaan yang perlu ia sampaikan, sesuatu yang selama ini terpendam.
"Sebenarnya, aku... aku merasa bingung, Aksa," kata Kiara saat mereka duduk di bawah pohon rindang di halaman sekolah. "Aku tahu ibu mulai mencoba untuk lebih perhatian, tapi tetap saja ada banyak hal yang belum aku pahami."
Aksa menatap Kiara dengan lembut, memberinya waktu untuk melanjutkan. "Aku ngerti, Kiara. Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam semalam, tapi aku yakin kamu nggak harus melewatinya sendirian."
Kiara menundukkan kepala, mencoba menenangkan dirinya. "Aku cuma nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin ada perubahan yang nyata, tapi aku takut nggak bisa menghadapinya."
Aksa tersenyum, memberikan jari telunjuknya untuk menggenggam tangan Kiara dengan lembut. "Kadang, perubahan itu memang datang pelan-pelan, Kiara. Tapi setiap langkah kecil yang kamu ambil menuju kedamaian itu, itu sudah sebuah pencapaian. Nggak usah terburu-buru."
Mendengar kata-kata itu, Kiara merasakan sedikit kenyamanan. Meskipun perasaannya masih rumit, ada sesuatu yang mulai menyentuh hatinya—bahwa tidak ada masalah yang harus dihadapi sendirian, bahwa ada orang-orang yang peduli dan bersedia berjalan bersama.
Sepulang sekolah, Kiara merasa sedikit lebih ringan. Di rumah, ia melihat ibunya sedang memasak di dapur. Kali ini, tidak ada ketegangan, tidak ada rasa canggung. Kiara duduk di meja makan, menatap ibunya yang sibuk dengan tugasnya.
"Bu," Kiara memanggil lembut, "Aku ingin bicara."
Ibunya menoleh dan tersenyum, walaupun ada kelelahan yang tampak di wajahnya. "Ada apa, Kiara?"
Kiara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku tahu ibu sibuk, dan aku nggak ingin menambah beban ibu. Tapi aku merasa... aku merasa sedikit kesepian. Aku tahu kamu mencoba, tapi aku ingin kita lebih dekat lagi."
Ibunya terdiam sejenak, lalu meletakkan spatula yang sedang ia pegang. Ia berjalan mendekat, duduk di samping Kiara. "Kiara, aku sangat menyesal. Aku tahu aku banyak mengabaikanmu, dan itu salah. Aku akan berusaha lebih banyak meluangkan waktu untukmu. Aku janji."
Mendengar kata-kata ibunya, Kiara merasa ada sedikit beban yang terangkat dari bahunya. Meskipun ia tahu proses ini tidak mudah, ada harapan baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Saat malam tiba, Kiara merenung di kamarnya. Meskipun jalan menuju kedamaian keluarga mereka masih panjang, Kiara merasa bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah menuju perubahan yang lebih baik. Ia merasa sedikit lebih optimis tentang masa depan, meskipun perasaan kesepian dan kebingungan masih sering menghampirinya.
Namun, Kiara tahu satu hal dengan pasti: ia tidak lagi sendirian. Ada orang-orang yang peduli, dan itu memberi kekuatan lebih untuknya terus melangkah.