Hari-hari berlalu begitu saja, dan Kiara semakin merasa tertekan. Setiap pagi, ia berangkat ke sekolah dengan wajah yang menyembunyikan segala perasaan, berusaha menunjukkan pada dunia bahwa ia baik-baik saja. Namun, semakin ia berusaha untuk kuat, semakin berat bebannya. Tanggung jawab yang terus menumpuk, perasaan yang tak terucapkan, dan kekosongan dalam hati yang seakan tak bisa diisi oleh siapa pun.
Di sekolah, Kiara bertemu Aksa lagi di kantin, yang langsung memperhatikan ekspresi wajahnya yang muram. "Kiara, kamu nggak terlihat baik-baik saja," ucap Aksa dengan nada cemas. "Ada apa?"
Kiara hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan apa yang ada di hatinya. "Aku baik-baik saja, kok. Cuma sedikit lelah."
Namun Aksa tahu itu bukan hanya kelelahan fisik. "Kiara, kamu nggak bisa terus-terusan memendam perasaan seperti ini. Apa kamu nggak merasa ingin berbicara lebih banyak? Mungkin dengan ibu?"
Kiara menggelengkan kepala, meskipun hatinya terasa perih mendengar kata-kata Aksa. Ia ingin sekali bisa berbicara dengan ibunya, tapi setiap kali ia mencoba, ibunya selalu sibuk, atau bahkan tidak peduli dengan apa yang ia rasakan. "Aku sudah mencoba, Aksa," kata Kiara pelan. "Tapi ibu terlalu sibuk. Aku... Aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri."
Aksa terdiam, menatap Kiara dengan wajah penuh empati. Ia ingin membantu, tapi ia tahu bahwa terkadang, kata-kata saja tidak cukup. Kiara harus menemukan cara untuk mengatasi perasaannya sendiri.
Setelah sekolah, Kiara pulang ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Ia tahu bahwa masalah SPP adiknya masih belum terpecahkan. Namun kali ini, ia tidak bisa hanya diam. Kiara merasa sudah terlalu lama menunggu, terlalu lama menahan segala perasaan ini.
Di rumah, ia menemukan ibunya sedang duduk di meja makan, bekerja dengan laptop terbuka di depannya. Kiara mendekat dengan langkah pasti, meskipun hatinya berdebar kencang.
"Ibu," Kiara mulai dengan suara yang tegas. "Aku ingin bicara."
Ibunya mengangkat wajahnya, tampak sedikit terkejut mendengar suara Kiara. "Ada apa, Kiara?"
"Kenapa ibu nggak pernah peduli dengan masalah keluarga?" tanya Kiara tanpa bisa menahan diri. "Aku harus bertanggung jawab atas semuanya, ibu. Aku yang menangani adikku, aku yang memikirkan biaya SPP-nya. Kenapa ibu nggak pernah ada buat kita?"
Ibunya terdiam, dan Kiara bisa melihat ekspresi yang sulit dijelaskan di wajahnya—ada perasaan bersalah, tapi juga kebingungan. "Kiara, ibu hanya berusaha agar kalian bisa hidup lebih baik. Aku bekerja keras untuk kalian, kamu tahu itu kan?" jawab ibunya, suaranya penuh penyesalan.
"Tapi itu nggak cukup, Bu!" Kiara berteriak, suaranya penuh emosi yang akhirnya tak bisa dibendung lagi. "Aku butuh ibu! Adikku juga butuh ibu. Kami nggak hanya butuh uang, tapi perhatian dan kasih sayangmu. Kenapa ibu nggak pernah ada buat kami?"
Ibunya menunduk, tampak tertekan. Beberapa saat yang terasa panjang berlalu, hingga akhirnya ibunya mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku tahu aku sudah banyak melupakan kalian, Kiara. Aku minta maaf. Aku hanya takut kehilangan semuanya. Aku takut kalau aku tidak bekerja keras, kita tidak bisa bertahan."
Kiara terdiam, merasa sedikit lega mendengar pengakuan ibunya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa cemas. Apakah ibu bisa berubah? Apakah semuanya bisa kembali seperti dulu, saat mereka masih merasa sebagai sebuah keluarga yang utuh?
Di malam yang hening itu, Kiara merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, meskipun segala sesuatu belum sepenuhnya berubah, setidaknya mereka telah mulai berbicara. Dan itu adalah langkah pertama yang penting.
Kiara berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang gelap. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya ia sudah mulai mencoba untuk mengubah keadaan. Satu hal yang pasti, meskipun semuanya terasa berat, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Kiara duduk di bangku taman sekolah, matahari sore menyinari wajahnya dengan lembut. Selama beberapa hari terakhir, ia merasa ada sedikit perubahan dalam dirinya. Percakapan dengan ibunya, meskipun masih terasa canggung, memberi harapan baru. Kiara tahu bahwa hubungan mereka tidak akan bisa berubah dalam semalam, tetapi setidaknya ada sedikit ruang untuk perbaikan.
Namun, beban yang ia tanggung masih belum berkurang. Biaya SPP adiknya yang tertunda, tuntutan sekolah, dan perasaan kesepian yang terus mengikutinya, semuanya masih menghimpitnya. Di samping itu, hubungan dengan Aksa yang semakin dekat seakan memberikan sedikit pelipur lara, meskipun ia tidak ingin terlalu berharap.
Aksa duduk di samping Kiara, membawa segelas jus jeruk yang baru saja ia beli. "Kamu kelihatan sedikit lebih baik hari ini," ujarnya, sambil memberikan jus itu ke Kiara.
Kiara menerima dengan senyuman kecil. "Mungkin sedikit lebih baik. Tapi, masih banyak yang harus aku selesaikan."
Aksa mengangguk, matanya penuh perhatian. "Aku tahu kamu sedang banyak masalah, Kiara. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian. Aku ada di sini, dan aku yakin kamu bisa melalui ini."
Kiara menundukkan kepala, meresapi kata-kata Aksa. Ia tahu Aksa benar, tapi terkadang, semuanya terasa begitu berat untuk dihadapi sendirian. "Terima kasih, Aksa. Aku... aku nggak tahu harus bagaimana lagi."
Sementara itu, di rumah, ibunya mulai menunjukkan perubahan. Meski tidak banyak, ada usaha yang lebih besar untuk berada di rumah lebih sering, untuk berbicara lebih banyak dengan Kiara dan adiknya. Kiara merasa ada sedikit kehangatan yang kembali terbentuk di antara mereka, meskipun ia tahu perjalanan itu masih panjang.
Satu malam, ketika Kiara sedang mengerjakan tugas sekolah di ruang tamu, ibunya datang dan duduk di sebelahnya. "Kiara, aku ingin minta maaf atas semuanya," kata ibunya pelan. "Aku tahu aku sering mengabaikanmu, dan itu salah. Aku berjanji akan mencoba lebih baik."
Kiara merasa sesak di dadanya, tetapi ia mencoba tersenyum. "Aku nggak ingin ibu merasa tertekan. Tapi aku... aku juga butuh ibu, Bu. Kami semua butuh perhatian dari ibu."
Ibunya mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Aku tahu, Kiara. Aku akan berusaha lebih baik, untuk kalian."
Kali ini, Kiara merasa sedikit lebih lega. Mungkin ini adalah awal dari perubahan kecil yang dibutuhkan keluarga mereka. Meskipun ia tahu masalah-masalahnya belum selesai, setidaknya ada harapan baru yang tumbuh.
Di luar jendela, malam semakin gelap, tetapi Kiara merasa sedikit lebih terang dalam hatinya. Sambil menatap bintang-bintang di langit, ia berbisik dalam hati, "Semoga ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik."