Kiara terdiam di bangkunya saat melihat layar ponsel. Teks yang masuk dari ayahnya membuat hatinya serasa terhimpit. Dia baru saja membaca pesan singkat tentang biaya SPP adiknya yang belum terbayar. Sementara itu, di rumah, ibunya sudah sibuk dengan urusan pekerjaan, dan Kiara tahu bahwa tanggung jawab ini kembali jatuh padanya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Terkadang, rasanya seperti ia yang harus menjadi penopang keluarga ini, meskipun usianya baru menginjak 17 tahun.
"Aksa..." Kiara bergumam, sambil menatap layar ponselnya, mencoba menghubungi Aksa. Rasanya, dia ingin melampiaskan perasaan ini pada seseorang, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.
Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Aksa membalas dengan cepat.
"Ada apa, Kiara?" balas Aksa.
Kiara menarik napas panjang, merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. "Adikku, Aksa. Biaya SPP-nya belum dibayar lagi. Ayah nggak punya uang untuk itu, dan ibuku nggak peduli. Aku nggak tahu harus bagaimana."
Setelah membaca pesan Kiara, Aksa membalas dengan lebih hati-hati. "Kiara, aku paham perasaanmu. Tapi kamu nggak bisa terus menyimpan semuanya sendirian, kamu perlu ngomong sama orang lain."
"Ngomong sama siapa?" balas Kiara cepat. "Ibu? Dia bahkan nggak ada waktu untukku atau adikku. Ayah? Dia juga sibuk dengan pekerjaannya. Aku nggak bisa hanya diam, Aksa. Aku yang harus mengatur semuanya."
Aksa hanya mengirimkan tanda baca '...' sebagai respon. Kiara tahu, Aksa memang selalu berusaha mengerti, tapi ia juga tahu bahwa Aksa tidak bisa membantu banyak dalam hal ini.
Namun, Aksa tetap memberikan saran, meski ia tahu itu tidak akan mudah bagi Kiara. "Kiara, coba bicarakan ini dengan ibu. Mungkin dia belum sadar betapa pentingnya SPP itu, atau mungkin dia butuh waktu untuk mengatur semuanya. Kamu nggak harus jadi superhero yang menyelesaikan semuanya sendiri."
Kiara hanya bisa menghela napas panjang. Entah kenapa, saran Aksa terdengar sederhana, tapi rasanya tidak semudah itu dilakukan. Tapi ia tahu, mungkin ia harus mencoba.
Hari berikutnya, setelah pulang sekolah, Kiara memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Di ruang makan, ketika ibunya duduk di meja, Kiara memberanikan diri.
"Ibu," Kiara memulai, suara agak terseok. "Aku tahu ibu sibuk, tapi aku nggak bisa sendiri lagi. Adik SPP-nya belum dibayar, dan kita nggak bisa terus-terusan seperti ini."
Ibunya berhenti sejenak, lalu menatap Kiara dengan tatapan kosong. "Kiara, kamu tahu ibu sedang berusaha keras. Aku bekerja untuk kalian semua, bukan untuk aku sendiri," jawab ibunya dengan nada lelah.
Kiara menunduk, merasa semakin tertekan. "Tapi ibu nggak tahu apa yang kami rasakan. Aku dan adik juga butuh perhatian ibu. Aku nggak bisa terus seperti ini, Bu."
Ibunya diam, tak tahu harus berkata apa. Kiara tahu, untuk pertama kalinya, ibunya terdiam bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa terhimpit dengan semua beban yang ada.
Namun, untuk Kiara, itu tidak cukup. Ia tahu bahwa tidak ada yang akan mengubah keadaan jika mereka hanya diam. Kiara mengangkat kepalanya dan melihat ibunya yang terdiam, lalu berkata dengan suara lembut, "Aku butuh ibu, Bu."
Dan malam itu, Kiara kembali berpikir, apakah semuanya akan berubah? Seiring berjalannya waktu, Kiara tahu bahwa masalah ini tidak akan selesai dengan cepat, tapi setidaknya, ia telah mencoba untuk berbicara. Namun, sejauh mana ia bisa bertahan dengan semuanya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Kiara tak bisa tidur malam itu. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal yang menekannya—masalah biaya SPP, hubungan yang semakin dingin dengan ibunya, serta perasaan terisolasi yang semakin dalam. Ia teringat percakapannya dengan Aksa, yang meskipun ia anggap sebagai teman baik, tetap saja tidak bisa sepenuhnya memahami betapa besar beban yang harus ia tanggung.
Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, tetapi tak ada jawaban yang jelas di kepalanya. Ia hanya bisa duduk di sudut kamar, menatap jendela yang menghadap ke luar rumah. Malam itu langit tampak gelap dengan sedikit cahaya bulan, memberi kesan hening dan sunyi. Bahkan dunia luar seolah tak peduli dengan masalah kecil yang mengganggu hidupnya.
Keesokan harinya, Kiara mencoba untuk tetap tegar, seperti biasa. Namun, hatinya terasa berat. Saat tiba di sekolah, ia merasakan betapa sepinya dunia tanpa ada orang yang benar-benar peduli. Kecuali Aksa, mungkin. Aksa yang selalu ada, meski tak pernah bisa mengubah keadaan.
"Aksa," panggil Kiara ketika mereka sedang duduk di kantin. "Ada yang harus aku bicarakan."
Aksa mengangkat alisnya. "Apa itu?"
Kiara menghela napas. "Aku... aku merasa capek, Aksa. Dengan semuanya. Dengan keluarga, dengan sekolah, dengan ibuku yang sibuk, dengan ayah yang juga nggak pernah ada. Aku nggak tahu harus bagaimana."
Aksa menatapnya dengan perhatian yang mendalam. "Kiara, kamu nggak sendirian. Aku di sini buat kamu. Tapi kamu juga harus tahu, kalau kamu terus-terusan menyimpan semuanya dalam diri kamu, itu nggak akan menyelesaikan masalah."
Kiara mengangguk pelan, merasakan sedikit kenyamanan dalam kata-kata Aksa. Namun, ia juga tahu, tidak ada yang bisa mengubah keadaan dalam sekejap. Masalah yang ada di rumah, terutama yang berkaitan dengan ibunya, tetap membebani dirinya.
Beberapa minggu kemudian, Kiara semakin merasa terhimpit. Tanggung jawab yang semakin berat, ditambah dengan hubungan yang semakin dingin dengan ibunya, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam hidup yang tidak pernah ia pilih. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan hidup seperti remaja lainnya, tetapi di sisi lain, semua masalah keluarganya membuatnya merasa jauh dari kenyataan itu.
Satu-satunya hal yang tetap memberi harapan padanya adalah adiknya. Adik Kiara yang kini semakin dewasa, meskipun tetap membutuhkan perhatian yang lebih dari orangtuanya. Setiap kali ia melihat adiknya tersenyum, Kiara merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih mampu bertahan.
Namun, suatu hari, Kiara kembali menemukan kenyataan pahit ketika ia mengetahui bahwa biaya SPP adiknya masih belum terbayar. Kali ini, ibunya bahkan tidak memberikan solusi apapun, hanya mengatakan bahwa ia sibuk dengan pekerjaan.
Saat itu, Kiara merasa dunia seakan runtuh. Ia sudah mencoba untuk berbicara, mencoba untuk membuat ibunya mengerti, tapi rasanya seperti usaha yang sia-sia. Ia tahu, tanpa dukungan ibunya, ia tidak akan bisa mengatasi semua ini sendirian.
Malam itu, Kiara duduk termenung, berpikir tentang masa depan keluarganya. Tanpa ada yang memberikan jawaban yang pasti, ia hanya bisa berharap suatu hari nanti semuanya akan menjadi lebih baik. Tapi satu hal yang ia tahu: ia harus terus berjuang. Untuk dirinya sendiri, untuk adiknya, dan untuk keluarga yang tetap menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.