Hari itu, Kiara memulai paginya dengan langkah berat. Ia merasa sedikit pusing, tetapi ia mengabaikannya. Ia pikir mungkin hanya kurang tidur. Tugas-tugas sekolah dan tekanan dari gosip yang beredar benar-benar menguras energi.
"Kiara, kamu udah sarapan belum?" tanya ayahnya ketika melihat Kiara turun dari tangga dengan wajah pucat.
Kiara menggeleng. "Nggak lapar, Yah. Aku buru-buru ke sekolah."
Ayahnya menghela napas panjang. "Kamu nggak bisa terus-terusan gitu. Jangan sampai sakit."
Namun, Kiara hanya tersenyum kecil dan melangkah keluar rumah. Ia tidak ingin ayahnya khawatir lebih jauh.
---
Di sekolah, hari terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Perut Kiara mulai terasa perih, tetapi ia menahannya. Saat istirahat, Aksa menghampirinya di kelas.
"Kamu nggak apa-apa? Kok muka kamu pucat?" tanya Aksa khawatir.
Kiara tersenyum lemah. "Aku nggak apa-apa, kok. Cuma capek aja."
Aksa tidak yakin dengan jawabannya. "Kalau capek, istirahat aja. Jangan terlalu dipaksain."
Kiara mengangguk, meskipun ia tahu tubuhnya sudah memberikan tanda-tanda bahaya.
---
Ketika pelajaran terakhir berlangsung, pandangan Kiara mulai kabur. Ia berusaha fokus pada papan tulis, tetapi rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan.
Tiba-tiba, tubuhnya terasa lemas, dan sebelum ia sadar, semuanya menjadi gelap. Kiara jatuh pingsan di mejanya, membuat seluruh kelas panik.
"Kiara!" seru Rena yang duduk di sebelahnya. Ia segera menghampiri dan mencoba membangunkan Kiara, tetapi tidak ada respons.
Aksa, yang kebetulan berada di kelas lain, segera diberi tahu oleh teman Kiara. Ia berlari secepat mungkin ke kelas Kiara. Ketika melihat tubuh Kiara terbaring lemas, wajahnya langsung berubah panik.
"Kita bawa dia ke UKS!" seru Aksa sambil membantu mengangkat tubuh Kiara. Beberapa teman lainnya ikut membantu.
---
Di UKS, perawat sekolah memeriksa Kiara dan menyimpulkan bahwa kemungkinan besar ia pingsan karena maag.
"Dia nggak sarapan, ya?" tanya perawat itu pada Rena.
Rena menggeleng. "Aku nggak tahu, Bu. Tapi tadi pagi dia kelihatan lemes banget."
Aksa yang berdiri di sudut ruangan mengepalkan tangannya. Ia merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak memperhatikan Kiara lebih awal.
"Dia perlu makan sesuatu," kata perawat itu sambil memberikan obat maag. "Kalau kondisinya nggak membaik, kita harus hubungi keluarganya."
Aksa segera berlari ke kantin untuk membeli bubur dan air putih. Saat ia kembali, Kiara mulai siuman.
---
"Aksa..." suara Kiara terdengar lemah.
Aksa tersenyum lega. "Kamu bikin aku khawatir setengah mati, tahu nggak?"
Kiara mencoba tersenyum, tetapi rasa perih di perutnya membuat ia meringis. "Maaf..."
"Kiara, kamu nggak boleh kayak gini. Kalau kamu ada masalah, bilang. Jangan sampai sakit sendiri," kata Aksa tegas.
Kiara menatap mata Aksa yang penuh kekhawatiran. Ia merasa bersalah karena membuat orang-orang di sekitarnya cemas.
"Aku cuma nggak mau ngerepotin siapa-siapa," bisiknya.
Aksa menghela napas panjang. "Kamu nggak repotin aku, Kiara. Aku ada di sini buat kamu."
Kiara terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya di luar keluarganya.
---
Sore itu, ayah Kiara datang menjemput setelah dihubungi oleh pihak sekolah. Ketika melihat Kiara, wajahnya langsung dipenuhi rasa bersalah.
"Kamu sakit karena nggak sarapan, ya?" tanyanya sambil mengusap kepala Kiara.
Kiara mengangguk pelan. "Maaf, Yah."
Ayahnya menarik napas panjang. "Kamu harus jaga kesehatanmu, Nak. Ayah tahu kamu banyak pikiran, tapi jangan sampai lupa sama diri sendiri."
Dalam perjalanan pulang, Kiara merenung. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus menekan perasaannya. Jika ia ingin menjaga orang-orang di sekitarnya, ia harus mulai menjaga dirinya sendiri terlebih dahulu.
Namun, di lubuk hatinya, ia juga tahu bahwa masalah yang ia hadapi belum berakhir. Perjalanan ini masih panjang, dan ia harus lebih kuat untuk menghadapi semuanya.
—
Pagi itu, Kiara masih terlihat lemas setelah kejadian kemarin. Ayahnya bersikeras agar ia beristirahat di rumah, tetapi Kiara tetap memaksa pergi ke sekolah.
"Ayah, aku nggak bisa terus-terusan bolos. Lagian, aku nggak apa-apa kok," ucapnya dengan nada meyakinkan, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Ayahnya hanya bisa menghela napas panjang. "Baiklah, tapi kamu janji pulang langsung istirahat, ya. Jangan memaksakan diri lagi."
---
Di sekolah, perhatian Aksa langsung tertuju pada Kiara begitu ia tiba di kelas.
"Kiara! Kamu udah sembuh?" tanya Aksa sambil menghampirinya dengan cemas.
Kiara mengangguk sambil tersenyum kecil. "Aku udah nggak apa-apa. Maaf bikin kamu khawatir."
Aksa menghela napas lega, tetapi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. "Jangan lupa makan, ya. Kalau nggak, aku yang bakal pastiin kamu makan."
Perhatian Aksa membuat Kiara sedikit tersipu. Namun, ia juga merasa bersyukur memiliki seseorang yang begitu peduli padanya.
---
Saat istirahat, Kiara duduk di kantin bersama Rena. Mereka berbicara tentang pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler, tetapi Kiara terlihat tidak sepenuhnya fokus.
"Kamu kenapa, Ki? Kelihatan nggak semangat," tanya Rena.
Kiara menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."
Rena mengangkat alisnya. "Banyak pikiran? Tentang apa?"
Kiara ragu sejenak sebelum menjawab. "Tentang keluarga, Rena. Kadang aku merasa nggak bisa bikin semuanya bahagia. Aku cuma bikin mereka khawatir."
Rena menepuk bahu Kiara. "Ki, kamu nggak perlu mikirin semuanya sendirian. Kamu punya ayah, adik, dan teman-teman yang selalu ada buat kamu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri."
Kiara tersenyum kecil, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.
---
Sepulang sekolah, Kiara menemukan ayahnya sedang berbicara serius di telepon. Wajahnya terlihat tegang.
"Apa ada yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini?" suara ayahnya terdengar berat.
Setelah menutup telepon, Kiara mencoba menanyakan apa yang terjadi.
"Ayah, ada masalah apa?" tanyanya hati-hati.
Ayahnya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Hanya masalah pekerjaan, Ki. Jangan dipikirin."
Namun, Kiara tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Ayahnya jarang menunjukkan kekhawatiran seperti ini.
---
Malam harinya, Kiara duduk di kamarnya sambil menatap foto keluarga yang terpajang di meja. Foto itu diambil bertahun-tahun lalu, ketika ibunya masih sering ada di rumah.
"Tuhan, apa aku terlalu berharap banyak?" gumamnya pelan.
Ia merasa begitu lelah. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Ia tahu ia harus kuat demi adiknya, tetapi kadang ia ingin menyerah.
Di tengah renungannya, Kiara mendengar suara ketukan di pintu. Ketika ia membuka, Aksa berdiri di depan rumahnya dengan membawa sekotak makanan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kiara dengan nada terkejut.
"Aku cuma mau pastiin kamu makan malam. Kamu nggak keberatan, kan?" jawab Aksa sambil tersenyum.
Kiara merasa haru. Dalam segala kekacauan yang ia alami, kehadiran Aksa memberikan sedikit rasa tenang.
---
Malam itu, Kiara merasa sedikit lebih ringan. Namun, ia tahu perjalanan ke depan masih panjang. Masalah keluarga, harapan yang belum tercapai, dan tanggung jawab sebagai seorang kakak terus membayangi pikirannya.
Namun, ia bertekad untuk menghadapi semuanya, sedikit demi sedikit, meskipun itu berarti ia harus merasakan sakit yang lebih dalam. Karena ia tahu, dalam setiap luka, ada kekuatan yang tersembunyi.