Kiara berdiri di jendela kamarnya, memandangi langit malam yang gelap. Hujan turun perlahan, menambah kesunyian yang sudah ada. Ia merasa seolah hidupnya berada dalam dua dunia yang berbeda. Ayahnya berusaha, namun ibu masih tetap terpisah jauh darinya. Meskipun begitu, ada perasaan yang tumbuh di dalam hati Kiara—perasaan bahwa mungkin, justru dia yang harus membuat keputusan. Keputusan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dari keluarganya, dan dari dirinya sendiri.
Kiara merasa bahwa ayahnya sudah berusaha untuk lebih hadir, lebih mendengarkan, dan lebih peduli. Tapi di sisi lain, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi hanya dengan usaha ayah. Ruang kosong itu milik ibunya, yang jauh di luar sana, bekerja tanpa henti, tanpa benar-benar melihat keluarganya. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya bahkan tahu betapa besar rasa rindu yang ia rasakan?
Pulang dari sekolah keesokan harinya, Kiara mendapati ayahnya duduk di meja makan, sibuk menulis sesuatu di laptop. Dimas sedang bermain dengan mainannya di ruang keluarga, tampaknya tidak terganggu dengan kedatangan Kiara.
Ayah menoleh dan tersenyum ketika melihat Kiara masuk. "Kiara, ada yang bisa Ayah bantu?" tanya ayah dengan lembut, tampak peduli meski Kiara tahu, perasaan Ayah masih terhambat oleh penyesalan.
Kiara duduk di samping ayah, lalu menatapnya dengan serius. "Ayah," katanya pelan, "Aku pikir aku butuh bicara tentang ibu."
Ayah terdiam sejenak, lalu menutup laptopnya dan memberi perhatian penuh kepada Kiara. "Aku tahu, Kiara. Aku tahu betapa kamu merindukannya. Aku juga berharap ia bisa ada lebih banyak di sini."
Kiara mengangguk perlahan. "Aku hanya... aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sana. Apakah ia tahu betapa pentingnya kami? Apakah ia tahu betapa aku butuh dia, Ayah?"
Ayahnya menarik napas panjang, matanya terlihat sedih. "Aku rasa, Kiara, aku tidak bisa memberi jawabannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam pikiran ibumu. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Tapi aku ingin kamu tahu, kami ada di sini untukmu, selalu."
Namun, kata-kata itu tidak sepenuhnya mengisi kekosongan yang dirasakan Kiara. Meski Ayah berusaha sebaik mungkin, perasaan kesepian yang terus membayanginya tetap ada. Tanpa disadari, Kiara merasa telah membuat keputusan dalam dirinya—bahwa ia harus belajar untuk menghadapi kenyataan ini, belajar untuk menerima bahwa keluarganya tidak akan pernah kembali seperti dulu.
Ketika malam datang, Kiara merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Tidak ada jawaban pasti untuk semua yang ia rasakan, tetapi ada pemahaman bahwa, terkadang, kita harus belajar untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan. Dan meskipun ibunya mungkin tidak bisa hadir seperti yang ia harapkan, ada ayah yang tetap berjuang, ada adik yang selalu ada, dan ada dirinya sendiri yang perlahan belajar untuk menerima semua itu.
Hari-hari semakin berlalu, dan meskipun Kiara mulai menerima kenyataan bahwa hidupnya tidak akan kembali seperti dulu, ada sedikit ketenangan dalam hatinya. Setiap malam, setelah makan malam, ia duduk bersama ayahnya, berbicara tentang banyak hal kecil yang sering kali mereka lewatkan. Kiara tahu, meskipun ibu masih jauh, dia tidak sendirian.
Suatu hari, Kiara menerima pesan dari ibunya yang sudah lama tidak menghubunginya. Pesan itu singkat, hanya bertuliskan, "Kiara, maafkan ibu. Ibu akan pulang minggu depan, kita bicara nanti, ya?"
Kiara merasa bingung dan sedikit marah, tetapi juga ada rasa harapan yang tak bisa ia sembunyikan. Setelah sekian lama, ibu akhirnya akan pulang. Tapi apakah itu akan cukup? Apakah satu pertemuan bisa memperbaiki semuanya?
Kiara menatap pesan itu lama, perasaan bertentangan menguasai dirinya. Ada kebahagiaan karena ibunya akan pulang, namun juga ada rasa takut—takut kalau semuanya tidak akan berubah, takut jika pertemuan itu tidak mampu menutup luka yang sudah lama tertinggal.
Sesampainya di rumah, Kiara langsung memberitahukan ayahnya. "Ibu akan pulang minggu depan," katanya dengan suara datar, meskipun hatinya bergolak.
Ayahnya tersenyum kecil. "Itu kabar baik. Mungkin ini adalah awal dari perubahan, Kiara. Kita coba mulai lagi, ya?"
Kiara hanya mengangguk. Perasaan ragu masih menggelayuti hatinya. Ia ingin percaya, tetapi entah mengapa, rasa takut itu lebih kuat dari harapan.
Hari yang dinanti pun tiba. Kiara berdiri di depan cermin, melihat dirinya yang sudah sedikit berbeda. Sudah lebih dewasa, lebih kuat meskipun masih ada luka di hatinya. Ia berpikir, bagaimana pertemuan itu akan berlangsung. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Ataukah ada jarak yang lebih dalam antara dirinya dan ibunya?
Ketika ibunya tiba di rumah, Kiara merasakan ada ketegangan di udara. Ibu menatapnya dengan ragu, sama seperti Kiara menatap ibu. Mereka tidak tahu harus mulai dari mana. Waktu yang terbuang begitu banyak, dan kini semuanya terasa asing.
"Ibu..." Kiara mulai dengan suara yang sedikit serak, "Kenapa ibu tidak pernah benar-benar ada untuk kami? Kenapa ibu selalu sibuk?"
Ibu terdiam, matanya sedikit basah. "Kiara, aku... aku minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud membuat kalian merasa terlantar. Aku hanya terlalu terfokus pada pekerjaan, pada semuanya yang harus aku lakukan, dan aku lupa bahwa aku punya keluarga yang butuh aku."
"Kenapa baru sekarang ibu menyadari itu?" Kiara bertanya, suaranya penuh luka.
Ibu menghela napas, mendekat dan memeluk Kiara dengan erat. "Aku tidak bisa mengubah waktu, Kiara. Tapi aku janji, aku akan berusaha untuk lebih hadir, lebih peduli. Aku ingin kita mulai membangun kembali hubungan kita, meskipun aku tahu itu tidak mudah."
Kiara merasa ada sesuatu yang mengalir di dalam dirinya. Meskipun ia masih merasa marah dan terluka, ada sedikit harapan yang muncul di hati kecilnya. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari perubahan yang lebih baik. Tetapi Kiara tahu satu hal, perubahan itu harus datang dari kedua belah pihak. Ibunya harus ada, dan Kiara juga harus membuka hati untuk menerima usaha itu, perlahan-lahan.
Malam itu, saat mereka duduk bersama di meja makan, Kiara merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak sempurna, tidak langsung seperti yang ia inginkan, tapi ada usaha. Itu sudah cukup untuk malam ini.