Chereads / Searching for home / Chapter 21 - luka yang mulai terobati

Chapter 21 - luka yang mulai terobati

Setelah malam penuh emosi itu, perlahan-lahan keadaan di rumah mulai berubah. Ibu berusaha menunjukkan kehadirannya dengan cara-cara kecil. Ia bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, sesuatu yang sudah lama tidak pernah terjadi. Kiara, meski masih menjaga jarak, mulai menyadari niat ibu untuk memperbaiki hubungan.

Namun, di balik semua itu, Kiara masih merasa ragu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah perubahan ini benar-benar akan bertahan atau hanya sementara. Luka yang sudah lama tertanam tidak bisa sembuh begitu saja.

Pagi itu, saat sarapan bersama, suasana terasa canggung. Dimas terlihat gembira dengan kehadiran ibu, tapi Kiara lebih banyak diam, bermain dengan sendoknya.

"Kiara, apa ada sesuatu yang ingin ibu bantu?" tanya ibu, mencoba memecah kebekuan.

Kiara menatap ibu sejenak, lalu menggeleng. "Tidak ada, Bu," jawabnya singkat.

Ayah memandang Kiara dengan lembut, seolah ingin memberi sinyal bahwa tidak apa-apa untuk membuka diri. Namun, Kiara belum siap. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semuanya terasa terlalu sulit untuk diungkapkan.

Setelah sarapan, ibu mencoba mendekati Kiara di kamar. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati. "Kiara, boleh ibu masuk?"

Kiara menoleh dari meja belajarnya, ragu sejenak, lalu mengangguk. Ibu masuk dan duduk di tepi tempat tidur, memandang putrinya dengan penuh haru.

"Kiara, ibu tahu ini tidak mudah untukmu. Ibu tahu, ibu sudah banyak membuatmu kecewa," kata ibu pelan. "Tapi ibu benar-benar ingin memperbaiki semuanya."

Kiara menarik napas dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kenapa baru sekarang, Bu? Kenapa tidak dari dulu?"

Ibu terdiam, lalu menjawab dengan suara bergetar, "Karena ibu terlalu sibuk mengejar hal-hal yang ibu pikir penting, sampai ibu lupa bahwa yang paling penting adalah kalian. Ibu terlambat menyadarinya, dan itu kesalahan terbesar ibu."

Mendengar itu, pertahanan Kiara mulai runtuh. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. "Aku hanya ingin ibu ada, Bu. Aku hanya ingin kita seperti keluarga lain. Aku capek merasa sendiri."

Ibu memeluk Kiara erat-erat, membiarkan putrinya menangis di pelukannya. "Maafkan ibu, sayang. Ibu janji, ibu akan ada untukmu dan Dimas mulai sekarang."

Dalam pelukan itu, Kiara merasakan sesuatu yang hangat. Luka di hatinya memang belum sepenuhnya sembuh, tapi ia tahu, ini adalah awal dari penyembuhan. Ia tahu, perjalanan mereka masih panjang, tapi setidaknya, mereka melangkah ke arah yang benar.

---

Hari-hari berikutnya, ibu mulai lebih terlibat dalam kehidupan keluarga. Ia mengantar Dimas ke sekolah, menjemput Kiara dari kegiatan ekstrakurikuler, dan sering menghabiskan waktu bersama mereka di malam hari. Meski terkadang ada rasa canggung, Kiara mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Ia sadar, memberi kesempatan pada ibu adalah cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Namun, seperti hidup yang selalu penuh tantangan, perubahan ini tidak berjalan mulus. Konflik kecil masih sering muncul, terutama ketika ibu harus kembali ke pekerjaan untuk waktu singkat. Kiara masih merasa takut, takut jika semua ini hanya sementara. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Ada ayah dan Dimas yang selalu ada di sisinya.

Di tengah perjalanan mereka, Kiara belajar satu hal penting: keluarga bukanlah tentang kesempurnaan. Keluarga adalah tentang usaha untuk saling memahami, menerima, dan memperbaiki kesalahan bersama-sama. Dan itu adalah pelajaran terbesar yang ia dapatkan dari pencarian peran seorang ibu.

Seminggu setelah momen haru itu, suasana di rumah Kiara sedikit lebih hangat. Meski belum sepenuhnya kembali seperti dulu, setidaknya ada upaya nyata dari ibu untuk lebih hadir. Namun, di balik itu, Kiara masih sering bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia ingin sepenuhnya percaya pada perubahan ini, tetapi rasa kecewa yang begitu lama tertanam membuatnya sulit.

Suatu hari, ibu mengajak Kiara untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah. "Ayo, kita jalan-jalan. Sekalian ibu mau tanya beberapa hal soal sekolahmu," kata ibu dengan senyum yang mencoba mencairkan suasana.

Kiara ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka berangkat ke sebuah supermarket dekat rumah. Di sepanjang perjalanan, ibu mencoba memulai obrolan, tetapi respons Kiara seringkali singkat.

"Jadi, apa ada ekstrakurikuler yang Kiara ikuti sekarang?" tanya ibu sambil menyetir.

"Basket," jawab Kiara singkat tanpa menoleh.

"Oh, itu keren. Kamu suka main basket, ya? Sejak kapan?"

"Sejak SMP," jawab Kiara, suaranya datar.

Ibu terdiam sejenak, mungkin menyadari bahwa Kiara masih menjaga jarak. Tapi ia tidak menyerah. Ia terus mencoba membuat percakapan, meski hanya tentang hal-hal kecil seperti cuaca dan aktivitas sehari-hari.

Di supermarket, ibu terlihat berusaha untuk memahami Kiara lebih baik. Ia bahkan bertanya pendapat Kiara soal makanan yang ingin dibeli, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi.

"Kiara, kamu suka spaghetti yang sausnya seperti apa? Atau mungkin kita coba resep baru?" tanya ibu sambil memilih bahan makanan.

"Biasa aja, Bu. Yang penting ada keju," jawab Kiara.

Percakapan itu kecil, hampir tak berarti, tetapi ibu terlihat senang dengan respons Kiara. Meskipun tampak sederhana, momen itu terasa seperti langkah kecil menuju perbaikan hubungan mereka.

---

Malam itu, setelah mereka pulang, Kiara duduk di ruang tamu bersama Dimas, yang sibuk dengan mainannya. Ibu datang membawa dua cangkir cokelat panas, meletakkannya di meja depan Kiara.

"Ibu buat cokelat panas kesukaanmu. Masih ingat, kan?" kata ibu dengan senyum lembut.

Kiara terkejut. Sudah bertahun-tahun ia tidak minum cokelat panas buatan ibunya. Ia mengambil cangkir itu dan menyeruputnya perlahan. Rasanya persis seperti yang ia ingat—hangat dan manis, dengan sedikit rasa pahit yang khas.

"Terima kasih, Bu," ujar Kiara pelan, nyaris berbisik.

Ibu duduk di sebelah Kiara, menatap putrinya dengan penuh haru. "Kiara, ibu tahu, mungkin kamu merasa ibu terlalu terlambat untuk kembali. Tapi ibu benar-benar ingin menjadi bagian dari hidupmu lagi."

Kiara terdiam. Kata-kata itu menyentuh hatinya, tetapi ia masih belum yakin. "Aku hanya ingin kita seperti dulu, Bu. Tapi rasanya sulit," kata Kiara akhirnya.

"Ibu tahu, sayang. Ibu tidak berharap semuanya langsung kembali seperti dulu. Ibu hanya ingin kita mencoba, perlahan-lahan. Kamu mau mencoba bersama ibu, kan?"

Kiara menatap ibunya, dan untuk pertama kalinya ia merasa ada harapan yang nyata. "Iya, Bu. Aku mau mencoba."

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kiara merasa ada kehangatan yang berbeda. Mungkin tidak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya percaya bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya, sedikit demi sedikit.